Disusun Oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2022
1
BAB I
Skenario
LBM 3
Gak Kedengeran!
Bella adalah seorang dokter muda yang sedang bertugas di poli THT RSP
FK UNIZAR. Suatu hari ia mendapatkan pasien seorang perempuan berusia 18
tahun dibawa orang tuanya dengan keluhan penurunan pendengaran telinga kanan
sejak 1 minggu yang lalu. Selain itu pasien merasakan telinga kanan terasa penuh
dan nyeri. Keluhan lain seperti demam, vertigo, tinnitus, serta keluar cairan dari
telinga disangkal. Setiap hari pasien membersihkan telinganya sendiri dengan
korek kuping. Pasien memiliki riwayat berenang dua minggu yang lalu.
Selanjutnya, Bella melakukan pemeriksaan otoskopi dan pemeriksaan
menggunakan garpu tala untuk mengetahui kelainan pada pasien. Hasil
pemeriksaan otoskopi AD : Massa kecoklatan (+), membrane timpani sulit dinilai.
AS : membrane timpani intak.
Identifiksi Masalah
Berdasarkan pembahasan diskusi kami bahwa pasien datang dengan
keluhan penurunan pendengaran dan merasakan telinganya terasa penuh, dari
hasil anamnesis bahwa pasien memiliki Riwayat berenang dua minggu yang lalu
dan sering mengorek kuping, berdasarkan materi, bahwa penurunan pendengaran
dapat terjadi akibat seringnya mengorek kuping sehingga dapat menyebabkan
infeksi pada liang telinga, penurunan pendengaran juga dapat di sebabkan oleh
Riwayat berenang yang mampu membuat serumen pada telingan berkembang
sehingga dapat membuat liang telinga menjadi penuh. Penurunan pendengaran
dapat di klasifikasikan menjadi penurunan pendengaran secara konduksi dan
penurunan pendengaran secara sensorineural. Secara konduksi dapat terjadi akibat
adanya gangguan atau yang dapat menggangu pada hantaran gelombang suara
menunju saraf pendengaran. Namun pada sensorineural terjadi akibat krusakan
yang terjadi pada sistem perubahan inplus menuju
2 sistem saraf pusat sehingga di
katakana tuli sensori neural.
Dari keterangan tersebut, kelompok kami mengambil diagnosis banding
yang mendekati dengan keluhan pasien yaitu tuli konduktif, sensorineural dan
campuran. Untuk penjelasan secara jelas dapat saya bahas dbawah ini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Telinga
a. Telinga luar
4
Telinga tengah berbentuk ruang berongga dan berisi udara
sehingga disebut kavum timpani. Bagian lateral dari telinga tengah
berbatasan langsung dengan membran timpani dan bagian medial
berbatasan dengan membrana ovale dan membrana rotundum. Membran
timpani berbentuk bundar terhadap kanalis auditorius externus dan terlihat
oblik terhadap sumbu kanalis auditorius externus. Bagian atas dari
membran timpani disebut pars flaksida dan bagian bawahnya disebut pars
tensa. Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran, kuadran ini berfungsi
untuk menyatakan letak apabila terdapat perforasi membran timpani. Tuba
eustachii merupakan saluran yang menghubungkan telinga tengah dengan
nasofaring. Tuba eustachii pada bagian telinga dalam terbentuk oleh tulang
dan tuba eustachii yang berakhir pada nasofaring terbentuk oleh tulang
rawan. Tuba eustachii berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara
antara telinga tengah dan lingkungan sekitar dan proteksi. Kavum timpani
terdiri dari 3 tulang pendengaran yaitu malleus, incus dan stapes. Tulang-
tulang pendengaran ini dihubungkan oleh sendi-sendi yang fleksibel dan
menempel pada dinding kavum timpani melalui ligamen untuk
membentuk pengungkit yang berfungsi untuk mengantarkan getaran dari
membran timpani. M. tensor tympani dan M. stapeideus menempel pada
malleus dan stapes, kedua otot ini mengatur tingkat ketegangan rangkaian
tulang dan transmisi suara (Tortora J & 5Nielsen T, 2012).
c. Telinga dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea dan vestibulum. Koklea yang
berbentuk dua setengah lingkaran dengan panjang sekitar 35 mm dan
terbagi menjadi skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Puncak
koklea disebut helikotrema, menghubungkan skala timpani dengan skala
vestibuli. Skala timpani dan skala vestibuli berisi cairan perilimfe,
sedangkan Skala media berada dibagian tengah berisi cairan endolimfe.
Vestibuler terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis yaitu kanalis
semisirkularis superior, posterior, dan lateral yang terletak di atas dan di
belakang vestibulum. Vestibulum merupakan bagian yang membesar dari
labirin tulang dengan ukuran panjang 5 mm, tinggi 5 mm dan dalam 3
mm. Dinding posterior vestibulum terdapat 5 lubang ke kanalis
semisirkularis dan pada dinding anterior terdapat lubang berbentuk elips
ke skala vestibulum koklea (Tortora J & Nielsen T, 2012).
2.2 Histologi telinga
6
a. Telinga luar
Kulit yang melapisi kanalis auditori eksternus memiliki epitel squamus
kompleks. Pada jaringan submukosa sepertiga lateral kanalis auditori
eksternus terdapat folikel rambut, glandula sebasea dan glandula
seruminosa. Glandula seruminosa merupakan modifikasi dari kelenjar
apokrin yang berbentuk tubuler kompleks. Seperti glandula apokrin yang
lain, histologi glandula seruminosa berubah ketika produknya sudah
disekresikan. Ketika proses sekresi sedang berlangsung, sel sekretori
glandula seruminosa yang berbentuk kolumner berubah menjadi kuboid.
Sel myoepitel melapisi bagian luar glandula seruminosa membantu
propulsi dari produk glandula ke lumen kanalis auditori eksternus. Di
bagian dalam kanalis auditori eksternus terdapat membran tipis yang
disebut membran timpani/gendang telinga. Membran ini tersusun dari
jaringan ikat. Terdapat migrasi epitel yang bermula dari bagian umbo
membran timpani sisi luar ke arah lateral (de fiore, 2013).
b. Telinga tengah
Telinga tengah atau rongga telinga adalah suatu ruang yang terisi udara
yang terletak di bagian petrosum tulang pendengaran. Ruang ini
berbatasan di sebelah posterior dengan ruang-ruang udara mastoid dan
disebelah anterior dengan faring melalui saluran (tuba auditiva)
7
Eustachius. Epitel yang melapisi rongga timpani dan setiap bangunan di
dalamnya merupakan epitel selapis gepeng atau kuboid rendah, tetapi di
bagian anterior pada pada celah tuba auditiva (tuba Eustachius) epitelnya
selapis silindris bersilia. Lamina propria tipis dan menyatu dengan
periosteum (de fiore, 2013).
Secara histologi, membran timpani memiliki 3 lapisan, yaitu(de fiore,
2013)
Bagian luar " ditutupi kulit, epitel berlapis gepeng tidak bertanduk,
kelenjar & rambut (-).
Bagian tengah " lapisan fibrosa intermedia, jaringan ikat " serat
kolagen.
Bagian dalam " membran mukosa, epitel selapis gepeng & lamina
propria tipis.
Di bagian dalam rongga ini terdapat 3 jenis tulang pendengaran yaitu
tulang maleus, inkus dan stapes. Ketiga tulang ini merupakan tulang
kompak tanpa rongga sumsum tulang. Tulang maleus melekat pada
membran timpani. Tulang maleus dan inkus tergantung pada ligamen tipis
di atap ruang timpani. Lempeng dasar stapes melekat pada tingkap celah
oval (fenestra ovalis) pada dinding dalam. Ada 2 otot kecil yang
berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran. Otot tensor timpani
terletak dalam saluran di atas tuba auditiva, tendonya berjalan mula-mula
ke arah posterior kemudian mengait sekeliling sebuah tonjol tulang kecil
untuk melintasi rongga timpani dari dinding medial ke lateral untuk
berinsersi ke dalam gagang maleus. Tendo otot stapedius berjalan dari
tonjolan tulang berbentuk piramid dalam dinding posterior dan berjalan
anterior untuk berinsersi ke dalam leher stapes. Otot-otot ini berfungsi
protektif dengan cara meredam getaran-getaran berfrekuensi tinggi.
Fenestra vestibuli (oval window) pada dinding medial ditutupi oleh
lempeng dasar stapes, memisahkan rongga timpani dari perilimf dalam
skal vestibuli koklea. Oleh karenanya getarangetaran membrana timpani
diteruskan oleh rangkaian tulang-tulang8 pendengaran ke perilimf telinga
dalam. Untuk menjaga keseimbangan tekanan di rongga-rongga perilimf
terdapat suatu katup pengaman yang terletak dalam dinding medial rongga
timpani di bawah dan belakang tingkap oval dan diliputi oleh suatu
membran elastis yang dikenal sebagai fenestra koklearis (round window).
Membran ini memisahkan rongga timpani dari perilimf dalam skala
timpani koklea. Tuba auditiva (Eustachius) menghubungkan rongga
timpani dengan nasofarings lumennya gepeng, dengan dinding medial dan
lateral bagian tulang rawan biasanya saling berhadapan menutup lumen.
Epitelnya bervariasi dari epitel bertingkat, selapis silindris bersilia dengan
sel goblet dekat farings. Dengan menelan dinding tuba saling terpisah
sehingga lumen terbuka dan udara dapat masuk ke rongga telinga tengah.
Dengan demikian tekanan udara pada kedua sisi membran timpani menjadi
seimbang (de fiore, 2013)
c. Telinga dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea dan vestibulum. Koklea yang berbentuk
dua setengah lingkaran dengan panjang sekitar 35 mm dan terbagi menjadi
skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Puncak koklea disebut
helikotrema, menghubungkan skala timpani dengan skala vestibuli. Skala
timpani dan skala vestibuli berisi cairan perilimfe, sedangkan Skala media
berada dibagian tengah berisi cairan endolimfe. Vestibuler terdiri dari 3
buah kanalis semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis superior, posterior,
dan lateral yang terletak di atas dan di belakang vestibulum. Vestibulum
merupakan bagian yang membesar dari labirin tulang dengan ukuran
panjang 5 mm, tinggi 5 mm dan dalam 3 mm. Dinding posterior
vestibulum terdapat 5 lubang ke kanalis semisirkularis dan pada dinding
anterior terdapat lubang berbentuk elips ke skala vestibulum koklea (de
fiore, 2013)
2.3 Fisiologi Pendengaran
Gelombang bunyi yang masuk ke dalam telinga luar menggetarkan
gendang telinga. getaran ini akan diteruskan oleh ketiga tulang dengar ke
jendela oval. getaran Struktur koklea pada9jendela oval diteruskan ke cairan
limfa yang ada di dalam saluran vestibulum. getaran cairan tadi akan
menggerakkan membran Reissmer dan menggetarkan cairan lifa dalam
saluran tengah. Perpindahan getaran cairan limfa di dalam saluran tengah
menggerakkan membran basher yang dengan sendirinya akan menggetarkan
cairan dalam saluran timpani. Perpindahan ini menyebabkan melebarnya
membran pada jendela bundar. Getaran dengan frekuensi tertentu akan
menggetarkan selaput-selaput basiler yang akan menggerakkan sel-sel rambut
ke atas dan ke bawah. Ketika rambut- rambut sel menyentuhmembran
tektorial, terjadilah rangsangan (impuls). getaran membran tektorial
danmembran basiler akan menekan sel sensori pada organ Korti dan
kemudian menghasilkanim impuls yang akan dikirim ke pusat pendengar di
dalam otak melalui saraf pendengaran (Soetirto., 2022).
2.4 Patofisiologi pendengaran
Bunyi dinyatakan sebagai sensasi pendengaran yang lewat telinga dan
timbul karena penyimpangan tekanan udara. Penyimpangan ini biasanya
disebabkan oleh beberapa benda yang bergetar karena dipukul. Sewaktu
fluktuasi tekanan udara ini membentur gendang pendengaran (membran
timpani) dari telinga maka membran ini akan bergetar sebagai jawaban pada
fluktuasi tekanan udara tersebut. Getaran ini melalui saluran dan proses
tertentu akan sampai diotak kita dimana hal ini diinterprestasikan sebagai
suara. Pada kondisi atau aktifitas tertentu, misalnya saat seseoarang berpindah
dari satu lokasi ke lokasi lain dengan perbedaan tingkat ketinggian lokasi
cukup besar dalam waktu relatif singkat, akan timbul perbedaan tekanan udara
antara bagian depan dan belakang gendang telinga. Akibatnya gendang telinga
tidak dapat bergetar secara efisien, dan sudah barang tentu pendengaran akan
terganggu. Telinga manusia hanya mampu menangkap suara yang ukuran
intensitasnya 80 dB (batas aman) dan dengan frekuensi suara sekitar bekisar
antara 20-20.000Hz. Lebar responden telinga manusia diantara 0 dB-140 dB
yang dapat didengar. Dan batas intensitas suara tertinggi adalah 140 dB
dimana untuk mendengarkan suara itu sudah timbul perasaan sakit pada alat
pendengaran (Soetirto., 2022). 10
2.5 Pemeriksaan Pendengaran
a. Ketajaman Pendengaran
Pemeriksaan ketajaman pendengaran dilakukan setelah
pemeriksaan struktur telinga luar dan telinga tengah. Cara termudah
melakukannya adalah dengan mengoklusi kanal eksternal pasien dengan
tragus dan berbicara menggunakan suara kecil pada telinga yang lain.
Pemeriksa membisikkan kata-kata pada telinga yang tidak dioklusi dan
menentukan apakah pasien dapat membedakan kata-kata yang dibisikkan.
Pendengaran dianggap berada dalam batas normal apabila 3 pasien dapa
tmenjawab dengan benar. Menurut berbagai studi, ditemukan bahwa
apabila hasilnya normal, penurunan pendengaran yang signifikan dapat
dieksklusi (Soetirto., 2022).
b. Tes Penala
. Tes Penala Tes penala merupakan pemeriksaan pendengaran kualitatif
dan terdiri atas berbagai macam tes. Tes penala lebih akurat dalam
mendeteksi adanya penurunan pendengaran daripada tes bisikan dan dapat
menentukan jenis tuli, apakah konduktif atau sensorineural.Pemeriksaan
ini sebaiknya dilakukan apapun hasil dari tes bisikan. Pada LTM ini, yang
akan dibahas adalah tes Rinne, tes Weber, dan tes Schwabach. Garpu tala
yang dapat digunakan berfrekuensi 512, 1024, dan 2048 Hz karena untuk
pendengaran sehari-hari yang paling efektif terdengar adalah bunyi antara
500-2000 Hz. Apabila tidak memungkinkan penggunaan tiga garpu tala
yang telah disebut, maka yang digunakan adalah garpu tala dengan
frekuensi 512 Hz. Garpu tala tersebut tidak terlalu dipengaruhi suara
bising lingkungan (Soetirto., 2022).
Tes Rinne
Tes ini digunakan untuk membandingkan hantaran melalui
udara dengan hantaran melalui tulang. Cara melakukannya adalah
dengan menggetarkan penala, lalu meletakkan tangkainya di
prosesus mastoid. Setelah suara tidak terdengar lagi oleh pasien,
pegang penala di depan telinga 11
dalam jarak kira-kira 2,5 cm. Bila
suara masih terdengar, maka tes Rinne disebut positif (+)
sedangkan bila tidak terdengar disebut RInne negatif (-) (Soetirto.,
2022).
Tes Weber
Pada tes Weber, penala digetarkan lalu diletakkan pada
garis tengah kepala, misalnya di tengah dahi. Pasien lalu diminta
menyebutkan apakah bunyi terdengar lebih keras di telinga
tertentu. Pada orang normal, bunyi sama-sama terdengar atau bisa
juga terdapat lateralisasi. Apabila terdapat lateralisasi,
pelaporannya adalah Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila
bunyi terdengar sama kerasnya di kedua telinga, pelaporannya
adalah Weber tidak ada lateralisasi (Soetirto., 2022).
Tes Schwabach
Setelah digetarkan, penala diletakkan di prosesus
mastoideus. Ketika bunyi menghilang, penala dipindahkan ke
prosesus mastoideus pemeriksa. Apabila bunyi masih terdengar,
berarti pendengaran pasien telah mengalami pemendekan. Namun
apabila bunyi sudah tidak terdengar lagi, maka kemungkinannya
adalah pendengaran pasien normal atau memanjang. Untuk
memastikannya. Dilakukan tes yang sama tapi dengan perubahan
urutan; penala digetarkan mulamula pada prosesus mastoid
pemeriksa, lalu setelah bunyinya hilang dipindahkan ke prosesus
mastoid pasien. Apabila pasien masih dapat mendengar bunyi,
berarti pendengarannya memanjang (Schwabach memanjang),
sedangkan bila ia tidak dapat mendengar lagi maka
pendengarannya normal (Schwabach sama dengan pemeriksa)
(Soetirto., 2022).
Interpretasi hasil tes penala (Soetirto., 2022).
12
c. Audiometri
Pemeriksaan Rinne dan Weber merupakan pemeriksaan skrining.
Untuk memastikan, diperlukan pemeriksaan audiometri. Pengukuran
pendengaran dilakukan dengan mengamati dua komponen, yaitu frekuensi
dan intensitas bunyi. Pemeriksaan audiometri dapat mengukur dan
membuat grafik pendengaran seseorang pada berbagai frekuensi dan
intensitas. Frekuensi diukur dengan siklus gelombang perdetik [Hz]
sedangkan intensitas dalam desibel [dB]. Pemeriksaan audiometri
seringkali dilakukan oleh dokter layanan primer karena prosedur yang
tidak kompleks dan peralatan yang tidak banyak. Pemeriksaan audiometri
dapat menentukan jenis (tuli konduktif, sensorineural, atau tuli campur)
dan derajat ketulian serta gap. Ketulian dapat diukur derajatnya melalui
perhitungan dengan indeks Fletcher (Soetirto., 2022).:
24
BAB III
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Dokter Indonesia. 2015. Panduan Praktis Klinik Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta, Indonesia.
Liwang, ferry et al 2020. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi V. Media
Aescalapius, Jakarta.
Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli). In: In:
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi
Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2022.
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors 2014. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Sylvia, P. 2016. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol. 2 edisi 6.
Jakarta: EGC
Tortora, GJ., Derrickson, B. (2012). Principles of Anatomy and Physiology 12th
Ed. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc
Vinay, Kumar. 2013. “Buku Ajar Patofisiologi Robbins”. Edisi 9. Elsevier.
26