Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

Skenario 1 :

Seorang perempuan, 26 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan penurunan pendengaran


yang dialami sejak 2 hari yang lalu. Keluhan ini pertamakali muncul saat bangun pagi. Riwayat
keluarnya cairan dari talinga [-].

A. Kata kunci
1. Perempuan
2. 26 tahun
3. Penurunan pendengaran
4. Sejak 2 hari yang lalu
5. Muncul keluhan saat bangun pagi
6. Keluar cairan dari telinga [-].
B. Daftar pertanyaan
1. Jelaskan Anatomi indera pendengaran dan Fisiologinya.?
2. Jelaskan defenisi gangguan pendengaran dan tuli.?
3. Jelaskan etilogi dan faktor – faktor resiko gangguan pendengaran.?
4. Jelaskan diagnosis dari beberapa gangguan pada telinga.?
5. Jelaskan penyakit gangguan pendengaran sesuai dengan SKDI.?
6. Jelaskan integrasi islam dengan indera pendengaran.?
C. Learning objectif
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan Anatomi indera pendengaran
dan Fisiologinya.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan defenisi gangguan pendengaran dan tuli.
3. Mahasiswa mampu mengetahui etilogi dan faktor – faktor resiko gangguan
pendengaran.
4. Mahasiswa mampu menegakkan diagnosis dari beberapa gangguan pada telinga.
5. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan penyakit gangguan
pendengaran sesuai dengan SKDI.
6. Mahasiswa mengetahui integrasi islam dengan indera pendengaran.

1
D. Problem tree

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi Sistem Pendengaran
Telinga merupakan organ pendengaran sekaligus juga organ keseimbangan.
Telinga terdiri atas tiga bagian yaitu telinga luar, tengah dan dalam .Gelombang
suara yang diterima oleh telinga luar di ubah menjadi getaran mekanis oleh
membran timpani. Getaran ini kemudian di perkuat oleh tulang-tulang padat di
ruang telinga tengah (tympanic cavity) dan diteruskan ke telinga dalam. Telinga
dalam merupakan ruangan labirin tulang yang diisi oleh cairan perilimf yang
berakhir pada rumah siput / koklea (cochlea). Di dalam labirin tulang terdapat
labirin membran tempat terjadinya mekanisme vestibular yang bertanggung
jawab untuk pendengaran dan pemeliharaan keseimbangan. Rangsang sensorik
yang masuk ke dalam seluruh alat-alat vestibular diteruskan ke dalam otak oleh
saraf akustik (N.VIII). (wonodirekso. 1990)
Secara umum telingan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu telinga bagian luar,
telinga bagian tengah dan telinga bagian dalam. (wonodirekso. 1990)
1. Telinga Bagian Luar
Telinga luar terdiri atas daun telinga (auricle/pinna), liang telinga
luar (meatus accus- ticus externus) dan gendang telinga (membran timpani).
a. Daun telinga /aurikula disusun oleh tulang rawan elastin yang ditutupi
oleh kulit tipis yang melekat erat pada tulang rawan. Dalam lapisan
subkutis terdapat beberapa lembar otot lurik yang pada manusia
rudimenter (sisa perkembangan), akan tetapi pada binatang yang lebih
rendah yang mampu menggerakan daun telinganya, otot lurik ini lebih
menonjol.
b. Liang telinga luar merupakan suatu saluran yang terbentang dari daun
telinga melintasi tulang timpani hingga permukaan luar membran
timpani. Bagian permukaannya mengandung tulang rawan elastin dan
ditutupi oleh kulit yang mengandung folikel rambut, kelenjar sebasea
dan modifikasi kelenjar keringat yang dikenal sebagai kelenjar serumen.
Sekret kelenjar sebacea bersama sekret kelenjar serumen merupakan

3
komponen penyusun serumen. Serumen merupakan materi bewarna
coklat seperti lilin dengan rasa pahit dan berfungsi sebagai pelindung.
(wonodirekso. 1990).
2. Telinga Bagian Tengah
Membran timpani menutup ujung dalam meatus akustiskus eksterna.
Permukaan luarnya ditutupi oleh lapisan tipis epidermis yang berasal dari
ectoderm, sedangkan lapisan sebelah dalam disusun oleh epitel selapis
gepeng atau kuboid rendah turunan dari endoderm. Di antara keduanya
terdapat serat-serat kolagen, elastis dan fibroblas. Gendang telinga menerima
gelombang suara yang di sampaikan lewat udara lewat liang telinga luar.
Gelombang suara ini akan menggetarkan membran timpani. Gelombang
suara lalu diubah menjadi energi mekanik yang diteruskan ke tulang-tulang
pendengaran di telinga tengah. (wonodirekso. 1990).
Telinga tengah atau rongga telinga adalah suatu ruang yang terisi
udara yang terletak di bagian petrosum tulang pendengaran. Ruang ini
berbatasan di sebelah posterior dengan ruang-ruang udara mastoid dan
disebelah anterior dengan faring melalui saluran (tuba auditiva) Eustachius.
Epitel yang melapisi rongga timpani dan setiap bangunan di dalamnya
merupakan epitel selapis gepeng atau kuboid rendah, tetapi di bagian anterior
pada pada celah tuba auditiva (tuba Eustachius) epitelnya selapis silindris
bersilia. Lamina propria tipis dan menyatu dengan periosteum.
Di bagian dalam rongga ini terdapat 3 jenis tulang pendengaran yaitu tulang
maleus, inkus dan stapes. Ketiga tulang ini merupakan tulang kompak tanpa
rongga sumsum tulang. Tulang maleus melekat pada membran timpani.
Tulang maleus dan inkus tergantung pada ligamen tipis di atap ruang
timpani. Lempeng dasar stapes melekat pada tingkap celah oval (fenestra
ovalis) pada dinding dalam. Ada dua otot kecil yang berhubungan dengan
ketiga tulang pendengaran. Otot tensor timpani terletak dalam saluran di atas
tuba auditiva, tendonya berjalan mula-mula ke arah posterior kemudian
mengait sekeliling sebuah tonjol tulang kecil untuk melintasi rongga timpani
dari dinding medial ke lateral untuk berinsersi ke dalam gagang maleus.

4
Tendo otot stapedius berjalan dari tonjolan tulang berbentuk piramid dalam
dinding posterior dan berjalan anterior untuk berinsersi ke dalam leher
stapes. Otot-otot ini berfungsi protektif dengan cara meredam getaran-
getaran berfrekuensi tinggi.
Tingkap oval pada dinding medial ditutupi oleh lempeng dasar
stapes, memisahkan rongga timpani dari perilimf dalam skal vestibuli koklea.
Oleh karenanya getaran-getaran membrana timpani diteruskan oleh
rangkaian tulang-tulang pendengaran ke perilimf telinga dalam. Untuk
menjaga keseimbangan tekanan di rongga-rongga perilimf terdapat suatu
katup pengaman yang terletak dalam dinding medial rongga timpani di
bawah dan belakang tingkap oval dan diliputi oleh suatu membran elastis
yang dikenal sebagai tingkap bulat (fenestra rotundum). Membran ini
memisahkan rongga timpani dari perilimf dalam skala timpani koklea.
(wonodirekso. 1990)
Tuba auditiva (Eustachius) menghubungkan rongga timpani dengan
nasofarings lumennya gepeng, dengan dinding medial dan lateral bagian
tulang rawan biasanya saling berhadapan menutup lumen. Epitelnya
bervariasi dari epitel bertingkat, selapis silindris bersilia dengan sel goblet
dekat farings. Dengan menelan dinding tuba saling terpisah sehingga lumen
terbuka dan udara dapat masuk ke rongga telinga tengah. Dengan demikian
tekanan udara pada kedua sisi membran timpani menjadi seimbang.
3. Telinga Bagian Dalam
Telinga dalam adalah suatu sistem saluran dan rongga di dalam pars
petrosum tulang temporalis. Telinga tengah di bentuk oleh labirin tulang
(labirin oseosa) yang di da-lamnya terdapat labirin membranasea. Labirin
tulang berisi cairan perilimf sedangkan labirin membranasea berisi cairan
endolimf.
a. Labirin Tulang
Labirin tulang terdiri atas tiga komponen yaitu kanalis
semisirkularis, vestibulum, dan koklea tulang. Labirin tulang ini di
sebelah luar berbatasan dengan endosteum, sedangkan di bagian dalam

5
dipisahkan dari labirin membranasea yang terdapat di dalam labirin
tulang oleh ruang perilimf yang berisi cairan endolimf.
Vestibulum merupakan bagian tengah labirin tulang, yang
berhubungan dengan rongga timpani melalui suatu membran yang
dikenal sebagai tingkap oval (fenestra ovale). Ke dalam vestibulum
bermuara 3 buah kanalis semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis
anterior, posterior dan lateral yang masing-masing saling tegak
lurus. Setiap saluran semisirkularis mempunyai pelebaran atau ampula.
Walaupun ada 3 saluran tetapi muaranya hanya lima dan bukan enam,
karena ujung posterior saluran posterior yang tidak berampula menyatu
dengan ujung medial saluran anterior yang tidak bermapula dan
bermuara ke dalam bagian medial vestibulum oleh krus kommune. Ke
arah anterior rongga vestibulum berhubungan dengan koklea
tulang dan tingkap bulat (fenestra rotundum).
Koklea merupakan tabung berpilin mirip rumah siput. Bentuk
keseluruhannya mirip kerucut dengan dua tiga-perempat putaran.
Sumbu koklea tulang di sebut mediolus. Tonjolan tulang yang terjulur
dari modiolus membentuk rabung spiral dengan suatu tumpukan tulang
yang disebut lamina spiralis. Lamina spiralis ini terdapat pembuluh
darah dan ganglion spiralis, yang merupakan bagian koklear nervus
akustikus. (wonodirekso. 1990).
b. Labirin Membranasea.
Labirin membransea terletak di dalam labirin tulang, merupakan
suatu sistem saluran yang saling berhubungan dilapisi epitel dan
mengandung endolimf. Labirin ini dipisahkan dari labirin tulang oleh
ruang perilimf yang berisi cairan perilimf. Pada beberapa tempat
terdapat lembaran-lembaran jaringan ikat yang mengandung pembuluh
darah melintasi ruang perilimf untuk menggantung labirin
membranasea. (wonodirekso. 1990)
Labirin membranasea terdiri atas:
1) Kanalis semisirkularis membranasea

6
2) Ultrikulus
3) Sakulus
4) Duktus endolimfatikus merupakan gabungan duktus ultrikularis
dan duktus sakularis.
5) Sakus endolimfatikus merupakan ujung buntu duktus
endolimfatikus.
6) Duktus reuniens, saluran kecil penghubung antara sakulus
dengan duktus koklearis.
7) Duktus koklearis mengandung organ Corti yang merupakan
organ pendengaran.
Terdapat badan-badan akhir saraf sensorik dalam ampula saluran
semisirkularis (krista ampularis) dan dalam ultrikulus dan sakulus
(makula sakuli dan ultrikuli) yang berfungsi sebagai indera statik dan
kinetik. (wonodirekso. 1990)
1) Sakulus dan Utrikulus
Dinding sakulus dan ultrikulus dibentuk oleh lapisan
jaringan ikat tebal yang mengandung pembuluh darah,
sedangkan lapisan dalamnya dilapisi epitel selapis gepeng
sampai selapis kuboid rendah. Pada sakulus dan ultrikulus
terdapat reseptor sensorik yang disebut makula sakuli dan
makula ultrikuli. Makula sakuli terletak paling banyak pada
dinding sehingga berfungsi untuk mendeteksi percepatan
vertikal lurus sementara makula ultrikuli terletak
kebanyakan di lantai /dasar sehingga berfungsi untuk
mendeteksi percepatan horizontal lurus. (wonodirekso.
1990)
Makula disusun oleh 2 jenis sel neuroepitel (disebut sel
rambut) yaitu tipe I dan II serta sel penyokong yang duduk
di lamina basal.Serat-serat saraf dari bagian vestibular
nervus vestibulo-akustikus (N.VIII) akan mempersarafi sel-
sel neuroepitel ini.

7
Sel rambut I berbentuk seperti kerucut dengan
bagian dasar yang membulat berisi inti dan leher yang
pendek. Sel ini dikelilingi suatu jala terdiri atas badan akhir
saraf dengan beberapa serat saraf eferen, mungkin bersifat
penghambat/ inhibitorik. Sel rambut tipe II berbentuk
silindris dengan badan akhir saraf aferen maupun eferen
menempel pada bagian bawahnya. Kedua sel ini
mengandung stereosilia pada apikal, sedangkan pada bagian
tepi stereosilia terdapat kinosilia. Sel penyokong
(sustentakular) merupakan sel berbentuk silindris tinggi,
terletak pada lamina basal dan mempunyai mikrovili pada
permukaan apikal dengan beberapa granul sekretoris.
Pada permukaan makula terdapat suatu lapisan gelatin
dengan ketebalan 22 mikrometer yang dikenal sebagai
membran otolitik. Membran ini mengandung banyak badan-
badan kristal yang kecil yang disebut otokonia atau otolit
yang mengandung kalsium karbonat dan suatu protein.
Mikrovili pada sel penyokong dan stereosilia serta kinosilia
sel rambut terbenam dalam membran otolitik. Perubahan
posisi kepala mengakibatkan perubahan dalam tekanan atau
tegangan dalam membran otolitik dengan akibat terjadi
rangsangan pada sel rambut. Rangsangan ini diterima oleh
badan akhir saraf yang terletak di antara sel-sel rambut.
(wonodirekso. 1990)
2) Kanalis Semilunaris
Kanalis semisirkularis membranasea mempunyai
penampang yang oval. Pada permukaan luarnya terdapat
suatu ruang perilimf yang lebar dilalui oleh trabekula. Pada
setiap kanalis semisirkularis ditemukan sebuah krista
ampularis, yaitu badan akhir saraf sensorik yang terdapat di
dalam ampula (bagian yang melebar) kanalis. Tiap krista

8
ampularis di bentuk oleh sel-sel penyokong dan dua tipe sel
rambut yang serupa dengan sel rambut pada makula.
Mikrovili, stereosilia dan kinosilianya terbenam dalam suatu
massa gelatinosa yang disebut kupula serupa dengan
membran otolitik tetapi tanpa otokonia. (wonodirekso. 1990)
Dalam krista ampularis, sel-sel rambutnya di rangsang oleh
gerakan endolimf akibat percepatan sudut kepala. Gerakan
endolimf ini mengakibatkan tergeraknya stereosilia dan
kinosilia. Dalam makula sel-sel rambut juga terangsang
tetapi perubahan posisi kepala dalam ruang mengakibatkan
suatu peningkatan atau penurunan tekanan pada sel-sel
rambut oleh membran otolitik.
3) Koklea (Rumah Siput)
Koklea tulang berjalan spiral dengan 23/4 putaran
sekiitar modiolus yang juga merupakan tempat keluarnya
lamina spiralis. Dari lamina spiralis menjulur ke dinding luar
koklea suatu membran basilaris. Pada tempat perlekatan
membran basilaris ke dinding luar koklea terdapat penebalan
periosteum yang dikenal sebagai ligamentum spiralis. Di
samping itu juga terdapat membran vestibularis
(Reissner) yang membentang sepanjang koklea dari lamina
spiralis ke dinding luar. Kedua membran ini akan membagi
saluran koklea tulang menjadi tiga bagian yaitu :
 Ruangan atas (skala vestibuli)
 Ruangan tengah (duktus koklearis)
 Ruang bawah (skala timpani).
Antara skala vestibuli dengan duktus koklearis
dipisahkan oleh membran vestibularis (Reissner). Antara
duktus koklearis dengan skala timpani dipisahkan oleh
membran basilaris. Skala vesibularis dan skala timpani
mengandung perilimf dan di dindingnya terdiri atas jaringan

9
ikat yang dilapisi oleh selapis sel gepeng yaitu sel
mesenkim, yang menyatu dengan periosteum disebelah
luarnya. Skala vestibularis berhubungan dengan ruang
perilimf vestibularis dan akan mencapai permukaan dalam
fenestra ovalis. Skala timpani menjulur ke lateral fenestra
rotundum yang memisahkannya dengan ruang timpani. Pada
apeks koklea skala vestibuli dan timpani akan bertemu
melalui suatu saluran sempit yang disebut helikotrema.
Duktus koklearis berhubungan dengan sakulus melalui
duktus reuniens tetapi berakhir buntu dekat helikotrema pada
sekum kupulare.
Pada pertemuan antara lamina spiralis tulang dengan
modiolus terdapat ganglion spiralis yang sebagian diliputi
tulang. Dari ganglion keluar berkas-berkas serat saraf yang
menembus tulang lamina spiralis untuk mencapai organ
Corti. Periosteum di atas lamina spiralis menebal dan
menonjol ke dalam duktus koklearis sebagai limbus spiralis.
Pada bagian bawahnya menyatu dengan membran basilaris.
(wonodirekso. 1990)
Membran basilaris yang merupakan landasan organ
Corti dibentuk oleh serat-serat kolagen. Permukaan bawah
yang menghadap ke skala timpani diliputi oleh jaringan ikat
fibrosa yang mengandung pembuluh darah dan sel
mesotel. Membran vestibularis merupakan suatu lembaran
jaringan ikat tipis yang diliputi oleh epitel selapis gepeng
pada bagian yang menghadap skala vestibule
4) Duktus Koklearis
Epitel yang melapisi duktus koklearis beragam
jenisnya tergantung pada lokasinya, diatas membran
vestibularis epitelnya gepeng dan mungkin mengandung
pigmen, di atas limbus epitelnya lebih tinggi dan tak

10
beraturan. Di lateral epitelnya selapis silindris rendah dan di
bawahnya mengandung jaringan ikat yang banyak
mengandung kapiler. Daerah ini disebut stria vaskularis dan
diduga tempat sekresi endolimf.
5) Organ Corti
Organ Corti terdiri atas sel-sel penyokong dan sel-
sel rambut. Sel-sel yang terdapat di organ Corti adalah :
 Sel tiang dalam merupakan sel berbentuk kerucut yang
ramping dengan bagian basal yang lebar mengandung
inti, berdiri di atas membran basilaris serta bagian leher
yang sempit dan agak melebar di bagian apeks.
(wonodirekso. 1990)
 Sel tiang luar mempunyai bentuk yang serupa dengan
sel tiang dalam hanya lebih panjang. Di antara sel tiang
dalam dan luar terdapat terowongan dalam.
 Sel falangs luar merupakan sel berbentuk silindris yang
melekat pada membrana basilaris. Bagian puncaknya
berbentuk mangkuk untuk menopang bagaian basal sel
rambut luar yang mengandung serat-serat saraf aferen
dan eferen pada bagian basalnya yang melintas di
antara sel-sel falangs dalam untuk menuju ke sel-sel
rambut luar. Sel-sel falangs luar dan sel rambut luar
terdapat dalam suatu ruang yaitu terowongan Nuel.
Ruang ini akan berhubungan dengan terowongan
dalam.
 Sel falangs dalam terletak berdampingan dengan sel
tiang dalam. Seperti sel falangs luar sel ini juga
menyanggah sel rambut dalam.
 Sel batas membatasi sisi dalam organ corti.
 Sel Hansen membatasi sisi luar organ Corti. Sel ini
berbentuk silindris terletak antara sel falangs luar

11
dengan sel-sel Claudius yang berbentuk kuboid. Sel-sel
Claudius terletak di atas sel-sel Boettcher yang
berbentuk kuboid rendah.
Permukaan organ Corti diliputi oleh suatu membran yaitu
membrana tektoria yang merupakan suatu lembaran pita
materi gelatinosa. Dalam keadaan hidup membran ini
menyandar di atas stereosilia sel-sel rambut.
6) Ganglion Spiralis
Ganglion spiralis merupakan neuron bipolar dengan
akson yang bermielin dan berjalan bersama membentuk
nervus akustikus. Dendrit yang bermielin berjalan dalam
saluran-saluran dalam tulang yang mengitari ganglion,
kehilangan mielinnya dan berakhir dengan memasuki organ
Corti untuk selanjutnya berada di antara sel rambut. Bagian
vestibular N VIII memberi persarafan bagian lain labirin.
Ganglionnya terletak dalam meatus akustikus internus tulang
temporal dan aksonnya berjalan bersama dengan akson dari
yang berasal dari ganglion spiralis. Dendrit-dendritnya
berjalan ke ketiga kanalikulus semisirkularis dan ke makula
sakuli dan ultrikuli.
Telinga luar menangkap gelombang bunyi yang
akan diubah menjadi getaran-getaran oleh membran timpani.
Getaran-getaran ini kemudian diteruskan oleh rangkaian
tulang –tulang pendengaran dalam telinga tengah ke perilimf
dalam vestibulum, menimbulkan gelombang tekanan dalam
perilimf dengan pergerakan cairan dalam skala vestibuli dan
skala timpani. Membran timpani kedua pada tingkap bundar
(fenestra rotundum) bergerak bebas sebagai katup pengaman
dalam pergerakan cairan ini, yang juga agak menggerakan
duktus koklearis dengan membran basilarisnya. Pergerakan
ini kemudian menyebabkan tenaga penggunting terjadi

12
antara stereosilia sel-sel rambut dengan membran tektoria,
sehingga terjadi stimulasi sel-sel rambut.
Tampaknya membran basilaris pada basis koklea
peka terhadap bunyi berfrekuensi tinggi, sedangkan bunyi
berfrekuensi rendah lebih diterima pada bagian lain duktus
koklearis. (wonodirekso. 1990)
B. Fisiologi Pendengaran
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara
adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan
tinggi karena kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara yang berselang-
seling dengan daerah-daerah bertekanan rendah karena penjarangan (rarefaction)
molekul tersebut. Setiap alat yang mampu menghasilkan pola gangguan molekul
udara seperti itu adalah sumber suara. Suatu contoh sederhana adalah garpu tala.
(Lauralee S. 2001)

Konduksi stimulasi suara. (Agamemnon D. 2003)


1. Konduksi mekanis
Reseptor-reseptor khusus untuk suara terletak di telinga dalam yang
berisi cairan. Dengan demikian, gelombang suara hantaran udara harus
disalurkan ke arah dan dipindahkan ke telinga dalam, dan dalam prosesnya
melakukan kompensasi terhadap berkurangnya energi suara yang terjadi
secara alamiah sewaktu gelombang suara berpindah dari udara ke air. Fungsi
ini dilakukan oleh telingan luar dan telinga tengah. (Lauralee S. 2001)

13
Daun telinga yang merupakan bagian dari telinga luar
mengumpulkan gelombang suara dan menyalurkannya ke saluran telinga
luar. Karena bentuknya, daun telinga secara parsial menahan gelombang
suara yang mendekati telinga dari arah belakang dan, dengan demikian,
membantu seseorang membedakan suara datang dari arah depan atau
belakang.
Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membran timpani ke
cairan di telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh adanya rantai yang
terdiri dari tiga tulang yang dapat bergerak atau osikula (maleus, inkus, dan
stapes) yang berjalan melintasi telinga tengah. (Lauralee S. 2001)
Ujung tangkai maleus melekat di bagian tengah membran timpani,
dan tempat perlekatan ini secara konstan akan tertarik oleh muskulus tensor
timpani, yang menyebabkan membran timpani tetap tegang. Keadaan ini
menyebabkan getaran pada setiap bagian membran timpani akan dikirim ke
tulang-tulang pendengaran, dan hal ini tidak akan terjadi bila membran
tersebut longgar. Tulang-tulang pendengaran telinga tengah ditunjang oleh
ligamen-ligamen sedemikian rupa sehingga gabungan maleus dan inkus
bekerja sebagai pengungkit tunggal, dengan fulcrum yang terletak hampir
pada perbatasan membran timpani. (Arthur C. 2008)

Tulang pendengaran pada telinga tengah berlaku sebagai piston terhadap


cairan di telinga dalam. (Erick P. 2001)
Ketika membran timpani bergetar sebagai respon terhadap
gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan
frekuensi sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari membran
timpani ke jendela oval. Artikulasi inkus dengan stapes menyebabkan stapes

14
mendorong jendela oval ke depan dan di sisi lain juga mendorong cairan
koklea ke depan setiap saat membran timpani bergerak ke dalam, dan setiap
maleus bergerak keluar akan mendorong cairan ke belakang. (Arthur C.
2008)

Transmisi getaran suara melalui telinga tengah dan dalam.


(Erick P. 2001)
Tekanan di jendela oval akibat setiap getaran yang dihasilkan
menimbulkan getaran yang dihasilkan menimbulkan gerakan seperti
gelombang pada cairan telinga frekuensi yang sama dengan frekuensi
gelombang suara semula. Namun, diperlukan tekanan yang lebih besar untuk
menggerakkan cairan. Terdapat dua mekanisme yang berkaitan dengan
sistem osikuler yang memperkuat tekanan gelombang suara dari udara
menggetarkan cairan di koklea. Pertama, karena luas permukaan membran
timpani jauh lebih besar daripada luas permukaan jendela oval, terjadi
peningkatan tekanan ketika gaya yang bekerja di membran timpani
disalurkan ke jendela oval (tekanan=gaya/satuan luas). Kedua, efek
pengungkit tulang-tulang pendengaran menghasilkan keuntungan mekanis
tambahan. Kedua mekanisme ini bersama-sama meningkatkan gaya yang
timbul pada jendela oval sebesar dua puluh kali lipat dari gelombang suara
yang langsung mengenai jendela oval. Tekanan tambahan ini cukup untuk
menyebabkan pergerakan cairan koklea.

15
Beberapa otot halus di telinga tengah berkontraksi secara refleks
sebagai respons terhadap suara keras (lebih dari 70 dB), menyebabkan
membran timpani menegang dan pergerakan tulang-tulang di telinga tengah
dibatasi. Pengurangan pergerakan struktur-struktur telinga tengah ini
menghilangkan transmisi gelombang suara keras ke telinga dalam untuk
melindungi perangkat sensorik yang sangat peka dari kerusakan. Namun,
respons refleks ini relatif lambat, timbul paling sedikit 40 mdet setelah
pajanan suatu suara keras. Dengan demikian, refleks ini hanya memberikan
perlindungan terhadap suara keras yang berkepanjangan, bukan terhadap
suara keras yang timbul mendadak, misalnya suara ledakan. (Lauralee S.
2001)
2. Konduksi di cairan
Gerakan stapes yang menyerupai piston terhadap jendela oval
menyebabkan timbulnya gelombang tekanan di kompartemen atas. Karena
cairan tidak dapat ditekan, tekanan dihamburkan melalui dua cara sewaktu
stapes menyebabkan jendela oval menonjol ke dalam: (1) perubahan posisi
jendela bundar dan (2) defleksi membran basilaris. Pada jalur pertama,
gelombang tekanan mendorong perilimfe ke depan di kompartemen atas,
kemudian mengelilingi helikotrema, dan ke kompartemen bawah, tempat
gelombang menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar ke dalam rongga
telinga tengah untuk mengkompensasi peningkatan tekanan. Ketika stapes
bergerak mundur dan menarik jendela oval ke luar ke arah telinga tengah,
perilimfe mengalir dalam arah berlawanan, mengubah posisi jendela bundar
ke arah dalam. Jalur ini tidak menyebabkan timbulnya persepsi suara; tetapi
hanya menghamburkan tekanan. (Lauralee S. 2001)
Gelombang tekanan frekuensi yang berkaitan dengan penerimaan
suara mengambil “jalan pintas”. Gelombang tekanan di kompartemen atas
dipindahkan melalui membran vestibularis yang tipis, ke dalam duktus
koklearis, dan kemudian melalui membran basilaris ke kompartemen bawah,
tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar-
masuk bergantian. Perbedaan utama pada jalur ini adalah bahwa transmisi

16
gelombang tekanan melalui membran basilaris menyebabkan membran ini
bergerak ke atas dan ke bawah, atau bergetar, secara sinkron dengan
gelombang tekanan. Karena organ Corti menumpang pada membran basilaris
sel-sel rambut juga bergerak naik turun sewaktu membran basilaris bergetar.
Karena rambut-rambut dari sel reseptor terbenam di dalam membran
tektorial yang kaku dan stasioner, rambut-rambut tersebut akan membengkok
ke depan dan belakang sewaktu membran basilaris menggeser posisinya
terhadap membran tektorial. Perubahan bentuk mekanis rambut yang maju-
mundur ini menyebabkan saluran-saluran ion gerbang mekanis di sel-sel
rambut terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal ini menyebabkan
perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang bergantian –
potensial reseptor – dengan frekuensi yang sama dengan rangsangan suara
semula. (Lauralee S. 2001)

Efek suara pada membran basilaris. (Agamemnon D. 2003)


3. Transduksi
Sel-sel rambut adalah sel reseptor khusus yang berkomunikasi melalui
sinaps kimiawi dengan ujung-ujung serat saraf aferen yang membentuk saraf
auditorius (koklearis). Depolarisasi sel-sel rambut (sewaktu membran
basilaris bergesar ke atas) meningkatkan kecepatan pengeluaran zat perantara
mereka, yang menaikkan kecepatan potensial aksi di serat-serat aferen.
Sebaliknya, kecepatan pembentukan potensial akasi bekurang ketika sel-sel

17
rambut mengeluarkan sedikit zat perantara karena mengalami hiperpolarisasi
(sewaktu membran basilaris bergerak ke bawah).
Dengan demikian, telinga mengubah gelombang suara di udara
menjadi gerakan-gerakan berosilasi membran basilaris yang
membengkokkan pergerakan maju-mundur rambut-rambut di sel reseptor.
Perubahan bentuk mekanis rambut-rambut tersebut menyebabkan
pembukaan dan penutupan (secara bergantian) saluran di sel reseptor, yang
menimbulkan perubahan potensial berjenjang di reseptor, sehingga
mengakibatkan perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang
merambat ke otak. Dengan cara ini, gelombang suara di terjemahkan menjadi
sinyal saraf yang dapat dipersepsikan oleh otak sebagai sensasi suara.
(Lauralee S. 2001)

Stimulasi sel rambut oleh deformasi membran. (Agamemnon D. 2003)


4. Transduksi elektrik
Timbulnya potensial aksi pada saraf auditorius lalu dilanjutkan ke
nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus
temporalis. (Indro S. 2012)

18
C. Gangguan Pendengaran
1. Definisi Gangguan Pendengaran
Definisi gangguan pendegaran adalah ketidak mampuan secara
parsial atau total untuk mendengaran suara pada salah satu kedua telinga.
Pembagian gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan
pendengaran, yaitu mulai dari gangguan pendengaran ringan (20-39 dB),
gangguan pendengaran sedang (40-69 dB) dan gangguan pendengaran berat
(70-89 dB). (Supardi,2017)
2. Faktor Resiko Gangguan Pendengaran
a. Faktor genetik
Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya
berupa gangguan pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan
mungkin bersifat statis maupun progresif. Kelainan dapat bersifat

19
dominan, resesif, berhubungan dengan kromosom X (contoh : Hunter’s
syndrome, Alport syndrome, Norrie’s disease) kelainan mitokondria
(contoh : Kearns-Sayre syndrome), atau merupakan suatu malformasi
pada satu atau beberapa organ telinga (contoh : stenosis atau atresia
kanal telinga eksternal sering dihubungkan dengan malformasi pinna dan
rantai osikuler yang menimbulkan tuli konduktif).
b. Faktor didapat
 Infeksi
Rubella kongenital, Cytomegalovirus, Toksoplasmosis, virus
herpes simpleks, meningitis bakteri, otitis media kronik purulenta,
mastoiditis, endolabirintitis, kongenital sifilis.
 Neonatal hiperbilirubinemia
 Masalah perinatal
Prematuritas, anoksia berat, hiperbilirubinemia, obat
ototoksik
 Obat ototoksik
Obat-obatan yang dapat menyebabkan gangguan
pendengaran adalah : golongan antibiotika : Erythrimycin,
Gentamicin, Streptomycin, Netilmicin, Amikacin, Neomycin ( Pada
pemakaian tetes telinga), Kanamycin, Etiomycin, Vancomycin.
Golongan diuretika : Furosemide.
 Trauma
Fraktur tulang temporal, perdarahan pada telinga tengah atau
koklea, dislokasi osikular, dan trauma suara.
 Neoplasma
Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromatosis)
cerebellopontine tumor, tumor pada telinga tengah (contoh :
rhabdomyosarcoma, glomus tumor). (Lucente,2011)

20
D. Tuli
1. Definisi tuli
 Tuli adalah keadaan dimana orang tidak dapat mendengar sama sekali,
suatu bentuk yang berat dari gangguan pendengaran. (Raihana,2017)
2. Kalsifikasi :
a. Tuli konduktif :
 Telinga Luar :
- Atresia liang telinga
- Sumbatan oleh serumen, benda asing
- Otitis eksterna
- Osteoma liang telinga
 Telinga Tengah :
- Oklusi tuba eustachius
- Otitis media
- Otosklerosis
- Timpanosklerosis
- Hemotimpanum
- Dislokasi tulang pendengaran
b. Tuli sensorineural :
 Koklea :
- Aplasia (kongenital)
- Labirintitis
- Intoksikasi obat
- Trauma kapitis
- Trauma akustik
- Pajanan bising
- Degeneratif
 Retrokoklea :
- Neuroma akustik
- tumor sudut pons serebelum
- myeloma multiple

21
- cedera otak
- perdarahan otak.
c. Tuli Campuran
 Penggabungan antara gangguan konduktif dengan gangguan
sensorineural. (Raihana,2017)
3. Faktor risiko tuli
a. Kebisingan
Sumber kebisingan bermacam-macam. Dilingkungan kerja,
bising dapat bersumber dari benda-benda manapun situasi yang berada
didalam maupun diluar lingkungan kerja. Beberapa hal yang dapat
menimbulkan terjadinya bising yaitu mesin-mesin yang ada disekitar
pekerja, proses-proses kerja, peralatan pabrik, kendaraan, kegiatan
manusia, suara pekerja itu sendiri, dan suara orang yang berulang-ulang,
sampai bunyi yang berasal dari luar lingkungan kerja (background
noise).
b. Usia
Usia mempunyai pengaruh terhadap gangguan pendengaran.
Usia tua relatif akan mengalami penuurunan kepakaan terhadap
rangsangan suara. Beberapa perubahan yang terkait dengan pertambahan
usia dapat terjadi pada telinga. Membran yang ada ditelinga bagian
telinga tengah, termasuk di dalamnya gendang telinga menjadi kurang
fleksibel karena bertambahnya usia. Selain itu, tulang-tulang kecil yang
terdapat ditelinga bagian tengah juga menjadi lebih kaku dan sel-sel
rambut di telinga bagian dalam dimana koklea berada juga mulai
mengalami kerusakan. Rusak atau hilangnya sel-sel rambut inilah yang
menyebabkan seseorang sulit untuk mendengar suara.
c. Masa Kerja
Tenaga kerja memiliki resiko mengalami NHL yang dapat
terjadi secara perlahan-lahan dalam waktu lama dan tanpa disadari.
Gejala klinis penderita gangguan pendengaran akibat bising dikeluhkan
pekerja setelah bekerja selama 5 tahun dan inipun baru disadari setelah

22
pihak lain seperti istri, anak dan teman bergaul mengatakan bahwa
penderita memerlukan suara yang cukup keras untuk mampu mendengar.
d. Riwayat merokok
Rokok merupakan salah satu zat yang paling sering ditemui dan
memberikan efek ototoksik pada fungsi sel rambut dan menimbulkan
nicotine-like receptors pada sel rambut. Secara tidak langsung merokok
mempengarauhi suplai pembuluh darah ke koklea. Tembakau
mengandung hidrogen sianida dan bahan afiksian yang dapat
mengganggu fungsi stria vaskularis bila terpapar dengan jumlah yang
besar. Merokok memberikan implikasi sebagai bahan ototoksik langsung
dikarenakan efek dari nikotin atau menyebabkan iskemia melalui
produksi karboksi-hemoglobin, spasme pembuluh darah, kekentalan
darah atau juga melalui arterioskletorik. Insufiensi sistem sirkulasi darah
pada organ koklea yang disebabkan oleh merokok inilah penyebab
gangguan pendengaran pada frekuensi tinggi yang progresif dan paling
sering timbul pada usia tua (presbycusis). (Rahmawati,2015).
e. Penggunaan Obat Ototoksik
Obat ototoksik adalah semua obat-obatan yang dapat
menimbulkan terjadinya gangguan pendengaran fungsional pada telinga
dalam meliputi obat golongan aminoglikosida, koop diuretik, salsilat,
obat malaria, obat anti tumor. Obati-obatan yang bersifat racun pada
telinga (ototoksik) merusak stria vaskularis, sehingga saraf pendengaran
rusak, dan terjadi tuli sensorineural. Gangguan pendengaran yang
berhubungan dengan ototoksik sangat sering ditemukan, diakibatkan
pemberian gentamisin dan streptomisin. Keruskan yang ditimbulkan
akibat preparat ototoksik adalah:
 Degenarasi stria vaskularis
Kelaianan patologi ini terjadi pada semua penggunaan jenis obat
ototoksik.

23
 Degenarasi sel epitel
Kelainan patologi ini terjadi pada organ corti dan labirin
vestibular, akibat gangguan antibiotika aminoglikosida sel rambut
luar lebih terpengaruh daripada sel rambut dalam, dan perubahan
degeneratif ini terjadi mulain.
 Degenarasi sel ganglion
Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya degenerasi sel epitel
sensoris.
f. Lingkungan tempat tinggal
Faktor lingkungan tempat tinggal seseorang sangat
mempengaruhi nilai ambang pendengarannya. Dalam sebuah penelitian
yang dilakukan pada responden yang tinggal dekat bandara dengan
kebisingan di atas 55 dB dari 27 responden terdapat 4 orang dengan
hearing loss dan dari 124 responden yang tempat tinggalnya mempunyai
kebisingan > 72 dB terdapat 23 orang yang mengalami hearing loss . hal
ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan snagat berpengaruh terhadap
nilai ambang pendengaran seseorang.
g. Jenis kelamin
Penurunan pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin,
pada umumnya lebih cepat terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Gangguan pendengaran yang terjadi pada laki-laki
ambangnya lebih tinggi dibanding pada perempuan. Kejadian gangguan
pendengaran punpresentasenya lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan. (Rahmawati,2015).
h. Hobi terkait Bising
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa hobi terkait bising
seperti mendengarkan musik keras-keras dapat mengakibatkan ketulian.
i. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit merupakan kondisi kesehatan telinga
pendengar seperti otitis media, dan tinnitus yang sedang
diderita.(Rahmawati,2015).

24
E. Diagnosis Umum
1. Anamnesis
a. Tanakan identitas dari pasien yaitu nama,usia, jenis kelamin, alamat dan
pekerjaan.
b. Tanykan keluhan utama pasien kemudian galih keluhan utama dengan
menanyakan lokasi (unilateral atau bilateral), waktu atau frekuensi, tingkat
keparahannya, factor yang memperberat, factor yang membuat kambuh,
c. Tanyakan tanda dan gejala yang sering di keluhkan seperti penurunan
pendengaran, tinnitus, vertigo, pusing, rasa penuh pada telinga, gatal nyeri,
ataupun ada perdarahan.
d. Tanyakan penyebab keluhan jika pasien gtahu keluhannya.
e. Tanyakan riwayat penyakit telinga sebelumnya.
f. Tanyakan riwayat komsumsi obat obatan.
g. Tanyakan riwayat keluarga pasien apakah ada yang pernah mengalami hal
yang sama atau pernah mengalami gangguanpendengaran. (Lucente. 2014)
2. Pemeriksaan fisik.
a. Pertama adalah inspeksi dan palpasi pada daerah kepala terkhususnya pada
telinga seperti dimana kita memriksa mulai dari kita mneilai ukuran telinga,
posisi, bentuk dan keadaan umum dari aurikula.
b. Penilaian meatus akustikus eksternus dimana yang dinilai adalah
kebersihan, adanya lesi atau tidak, serta apakah ada benda asing atau tidak.
Untuk pemeriksaan meatus akustikus eksternus biasanya menggunakan
lampu kepala.
c. Pemeriksaan membran timpani biasanya kta menggunakan mikroskop
ataupun otoskop dimana kita akan melihat dan menilai dari warna,
transparansi, posisi gendang telinga, apakah terdapat tonjolan, retraksi,
ataupun perforasi gendang telinga. (Lucente. 2014)
d. Tes uji pendengaran, contohnya yaitu uji pendengaran dengan
menggunakan garpu tala, dimana ada 3 uji garpu tala yaitu uji weber, uji
rinne, dan schwabach.

25
e. Selain uji pendengaran dengan menggunakan garpu tala juga terdapat
pemeriksaan yang ain yaitu pemeriksaan audiometri. (Lucente. 2014)

F. Diferensial Diagnosis
1. Benda Asing Pada Telinga
a. Definisi
Benda asing dalam suatu organ adalah benda yang berasalah dari luar
tubuh atau dari dalam tubuh sendiri, yang dalam keadaan normal tidak ada
dalam organ tersebut.(Kalan A, 2000)
Benda asing yang berasal dari luar tubuh disebut benda asing eksogen,
sedangkan yang berasal dari dalam tubuh disebut benda asing
endogen.(Davies PH, 2000)
Benda asing dapat berupa benda mati, binatang, atau komponen tumbuhan
yang ditemukan pada liang telinga anak maupun dewasa.(Risca, 2016)
b. Epidemiologi
Berdasarkan kelompok usia diperoleh frekuensi masuknya benda asing
tertinggi pada usia 0-10 tahun (218 kasus), diikuti oleh usia >51 tahun. Hal
ini disebabkan oleh keingintahuan anak-anak terhadap sesuatu benda yang
baru dilihat sehingga anak-anak berusia 2-4 tahun cenderung memasukkan
benda-benda di sekitarnya ke dalam liang telinganya, sedangkan Pada orang
dewasa usia >51 tahun mempunyai kebiasaan mengorek-ngorek
kuping.(Marthalisa, 2011)
Berdasarkan jenis kelamin, pada penelitian ini didapatkan bahwa benda
asing dalam liang telinga, hidung, atau tenggorokan ditemukan pada laki-
laki sejumlah 298 kasus dan perempuan 184 kasus. Hal ini diduga karena
laki-laki bersikap acuh tak acuh terhadap hal tersebut yang dianggap tidak
penting.(Marthalisa, 2011)
c. Etiologi
Keingintahuan anak-anak terhadap sesuatu benda yang baru dilihat
sehingga anak-anak berusia 2-4 tahun cenderung memasukkan benda-benda
di sekitarnya ke dalam liang telinganya, sedangkan Pada orang dewasa usia

26
>51 tahun mempunyai kebiasaan mengorek-ngorek kuping. (Marthalisa,
2011)
d. Faktor Risiko
Beberapa faktor yang berperan pada masuknya benda asing ke dalam
telinga yaitu : Faktor Personal (usia, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi
sosial, tempat tinggal); Faktor Fisik (kelainan dan penyakit neurologik);
Ukuran, Bentuk dan Sifat benda asing; Faktor Kecerobohan; Faktor
Kejiwaan (emosi, gangguan psikis).(Prabo D, 2011)
e. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dapat berupa iritasi, gatal, tuli konduktif, telinga terasa
penuh, bahkan pendarahan.(Risca, 2016)
f. Diagnosis
1) Anamnesis : keluhan akan sesuai dengan gejala klinis, identitas pasien,
riwayat benda asing, kebiasaan pasien mengorek- orek kuping.
2) Pemeriksaan fisik : Otoskopi (Mantooth R, 2013)
3) Pemeriksaan penunjang :
 Jika pasien dicurigai terdapat gangguan pendengaran, maka
dilakukan peneriksaan audiometri nada murni;
 CT scan dapat dilakukan untuk menentukan lokasi dan komplikasi
akibat benda asing (Asokarathinam K, 2014)
g. Tata Laksana
1) Terapi simtomatik : pemberian analgetik;
2) Irigasi dilakukan jika tidak ada perforasi membran timpani;
3) Mengeluarkan benda asing dilakukan dengan:
 Suction memakai kateter kecil yang ditempatkan berdekatan
dengan obyek;
 Alligator forceps untuk mengambil objek;
 Pengait serumen yang ditempatkan di belakang obyek kemudian
ditarik keluar;
4) Serangga yang hidup, dimatikan terlebih dahulu. Dapat dimatikan
menggunakan tampon basah ke liang tekinga lalu teteskan cairan

27
gliserin, minyak goreng bersih, atau anestesi lokal misalnya lidokein
2% selama 10 menit.
5) Jika benda asingnya baterai, jangan dibasahi karena bersifat korosif.
Keluarkan baterai secepatnya untuk menghindari luka iritasi dan korosi.
Jangan hancurkan baterai selama proses pengeluaran dari telinga.
Zat adhesif, seperti sinoakrilat (lem) dapat dikeluarkan secara manual
dalam 24-48 jam setelah terjadi deskuamasi. Jika zat adhesif tersebut
mengenai membran timpani, rujuk ke dokter THT. (Risca, 2016)
2. Tuli Mendadak (Sudden Deafness)
a. Definisi
Tuli mendadak (Sudden Deafness) atau disebut juga Sudden
Sensorineural Hearing Loss (SSNHL) didefinisikan sebagai bentuk sensasi
subjektif kehilangan pendengaran sensorineural pada satu atau kedua telinga
yang berlangsung secara cepat dalam periode 72 jam, dengan kriteria
audiometri berupa penurunan pendengaran ≥30 dB sekurang-kurangnya
pada 3 frekuensi berturut-turut, yang menunjukkan adanya abnormalitas
pada koklea, saraf auditorik, atau pusat persepsi dan pengolahan impuls
pada korteks auditorik di otak. Jika penyebab tuli mendadak tidak dapat
diidentifi kasi setelah pemeriksaan yang adekuat, disebut idiopathic sudden
sensorineural hearing loss (ISSNHL). (Stachler. 2012)
Keparahan tuli mendadak berdasarkan derajat penurunan pendengaran,
menurut WHO, terbagi atas beberapa tingkatan sebagaimana tersaji dalam
tabel berikut. (WHO. 2000)

28
b. Epidemiologi
Tuli mendadak merupakan pengalaman yang menakutkan, menyebabkan
pasien segera mengunjungi dokter. Di Amerika Serikat, kejadian tuli
mendadak ditemukan pada 5-20 tiap 100.000 orang per tahun dengan 4000
kasus baru tiap tahunnya. Distribusi laki-laki dan perempuan hampir sama.
Tuli mendadak dapat ditemukan pada semua kelompok usia, umumnya pada
rentang usia 40-50 tahun, dengan puncak insidensi pada dekade keenam.
(Stachler. 2012)
c. Etiologi dan Patogenesis
Penyebab tuli mendadak masih belum diketahui secara jelas; banyak
teori dugaan penyebab yang dikemukakan oleh para ahli. Sebuah data
memperkirakan 1% kasus tuli mendadak disebabkan oleh kelainan
retrokoklea yang berhubungan dengan vestibular schwannoma, penyakit
demielinisasi, atau stroke, 10-15% kasus lainnya disebabkan oleh penyakit
Meniere, trauma, penyakit autoimun, sifilis, penyakit Lyme, atau fi stula
perilimfe. Dalam praktik, 85-90% kasus tuli mendadak bersifat idiopatik
yang etiopatogenesisnya tidak diketahui pasti. Dalam sebuah systematic
review, diuraikan beberapa kemungkinan penyebab tuli mendadak, yaitu
idiopatik (71%), penyakit infeksi (12,8%), penyakit telinga (4,7%), trauma
(4,2%), vaskular dan hematologik (2,8%), neoplasma (2,3%), serta
penyebab lainnya (2,2%).
Ada empat teori utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli
mendadak, yakni infeksi virus, kelainan vaskular, kerusakan membran
intrakoklea, dan kelainan imunologi.
1) Infeksi virus
Meskipun sampai saat ini masih belum ditemukan bukti kuat,
infeksi virus dianggap sebagai salah satu penyebab tuli mendadak.
Sebuah studi oleh Wilson (1986) menunjukkan adanya hubungan antara
infeksi virus dengan kejadian tuli mendadak. Dalam studi ini,
ditemukan tingkat serokonversi untuk virus herpes secara signifikan
lebih tinggi pada populasi pasien tuli mendadak. Pada studi lain,

29
dilakukan pemeriksaan histopatologi tulang temporal dan ditemukan
kerusakan pada koklea yang konsisten dengan infeksi virus. Terdapat
pula temuan lain, seperti hilangnya sel rambut dan sel penyokong, atrofi
membran tektoria, atrofi stria vaskularis, dan hilangnya sel neuron, yang
berhubungan dengan mumps virus, maternal rubella, dan virus campak.
(Stevani. 2013)
2) Kelainan vascular
Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak.
Koklea memperoleh asupan darah dari arteri labirintin atau arteri
auditiva interna. Pembuluh darah ini merupakan end artery yang tidak
memiliki vaskularisasi kolateral, sehingga jika terganggu dapat
mengakibatkan kerusakan koklea. Kelainan yang menyebabkan iskemia
koklea atau oklusi pembuluh darah—seperti trombosis atau embolus,
vasopasme, atau berkurangnya aliran darah—dapat mengakibatkan
degenerasi luas sel ganglion stria vaskularis dan ligament spiralis yang
diikuti pembentukan jaringan ikat dan penulangan. (Stevani. 2013)
3) Kerusakan membran intrakoklea
Terdapat membran tipis yang memisahkan telinga dalam dari
telinga tengah dan ada membran halus yang memisahkan ruang
perilimfe dengan endolimfe dalam koklea. Robekan salah satu atau
kedua membrane tersebut secara teoretis dapat menyebabkan tuli
sensorineural. Kebocoran cairan perilimfe ke dalam telinga tengah
melalui tingkap bundar dan tingkap lonjong didalilkan sebagai
penyebab ketulian dengan membentuk hidrops endolimfe relatif atau
menyebabkan robeknya membran intrakoklea. Robekan membran
intrakoklea memungkinkan terjadinya percampuran perilimfe dan
endolimfe sehingga mengubah potensial endokoklea. Teori ini diakui
oleh Simmons, Goodhill, dan Harris, dengan pembuktian histologi yang
didokumentasikan oleh Gussen. (Stevani. 2013)

30
4) Kelainan imunologi
Tuli sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun
diperkenalkan oleh McCabe pada tahun 1979. Pada kondisi ini,
ditemukan adanya kehilangan pendengaran progresif. Adanya aktivitas
imun pada koklea mendukung konsep teori ini. Gangguan pendengaran
pada sindrom Cogan, SLE, dan kelainan reumatik autoimun lainnya
telah lama diketahui. Sebagai pendukung lain teori ini, terdapat sebuah
studi prospektif pada 51 pasien tuli mendadak dan ditemukan beberapa
kelainan yang berkaitan dengan sistem imun (multiple immune-
mediated disorders).
d. Gejala Klinis
Keluhan pasien pada umumnya berupa hilangnya pendengaran pada satu
sisi telinga saat bangun tidur. Sebagian besar kasus bersifat unilateral, hanya
1-2% kasus bilateral. Kejadian hilangnya pendengaran dapat bersifat tiba-
tiba, berangsur-angsur hilang secara stabil atau terjadi secara cepat dan
progresif. Kehilangan pendengaran bisa bersifat fluktuatif, tetapi sebagian
besar bersifat stabil. Tuli mendadak ini sering disertai dengan keluhan
sensasi penuh pada telinga dengan atau tanpa tinitus; terkadang didahului
oleh timbulnya tinitus. Selain itu, pada 28-57% pasien dapat ditemukan
gangguan vestibular, seperti vertigo atau disequilibrium. (Stevani. 2013)
e. Diagnosis
Menurut AAO-HNS (American Academy of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery) guideline, langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah
membedakan tuli sensorineural dan tuli konduktif melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, tes penala, pemeriksaan audiometri, dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis dilakukan terutama
pada pasien dengan tuli mendadak bilateral, tuli mendadak dengan episode
rekuren, dan tuli mendadak dengan deficit neurologis fokal, untuk mencari
kelainan serta penyakit penyerta lainnya. (Stachler. 2012)

31
Pada pemeriksaan pendengaran dengan tes penala ditemukan kesan Tuli
Sensoruneural. Audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural ringan
sampai berat. Tes SISI (short increment sensitivity index), skor 100% atau
kurang dari 70%., kesan ditemukan rekrutmen. Tes Tone decay atau reflex
kelelahan negative, kesan bukan tuli retrokoklea. Audiometri tutur (speech
audiometry) SDS (speech discrimination score) kurang dari 100%, kesan
tuli sensorineural. Audiometri inpedans didapatkan Timpanogram tipe A
(normal), reflex stapedius ipsilateral negative atau positif, sedangkan
kontralateral positif, kesan tuli sensorineural koklea. Pada pemeriksaan
BERA (pada anak) menunjukkan tuli sensorineural ringan sampai berat.
Pemeriksaan ENG (electronistamografi) mungkin terdapat paresis kanal.
Pemeriksaan CT Scann dan MRI dengan kontras diperlukan untuk
menyingkirkan diagnosis seperti neuroma akustik dan malformasi tulang
temporal. Bila diduga ada kemungkinan adanya neuroma akustik, perlu
dikonsulkan ke Bagian Saraf. Pemeriksaan arteriografi diperlukan untuk
kasus yang diduga akibat thrombosis.
Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk memeriksa
kemungkinan infeksi virus, bakteri, hiperlipidemia, hiperfibrinogenm
hipotiroid, penyakit autoimun, dan faal hemostasis. Pasien perlu
dikosultasikan ke Sub-Bagian Hematologi Penyakit Dalam dan Bagian
Kardiologi untuk mengetahui adanya kelainan darah dan hal-hal yang
mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah. (Stachler. 2012)
f. Penatalaksanaan
1) Total bed rest
Tirah baring sempurna (toyal bed rest) istirahat fisik dan mental
selama dua minggu untuk mrnghilangkan atau mengurangi stress yang
besar pengaruhnya pada keadaan kegagalan neurovascular.
2) Vasodilatansia injeksi
Vasodilatansia injeksi yang cukup kuat disertai pemberian tablet
vasodilator oral tiap hari. (Stachler. 2012)

32
3) Kortikosteroid sistemik
Terdapat bukti laboratorium yang menunjukkan adanya cascade
inflamasi kematian sel pada pasien tuli mendadak, yang dimodifikasi
oleh terapi steroid. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid
sintetik oral, intravena, dan/atau intratimpani, meliputi prednison,
metilprednisolon, dan deksametason. Kortikosteroid diperkirakan
memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan dalam meningkatkan
aliran darah koklea. Standar pengobatan tuli mendadak adalah dengan
tapering off kortikosteroid oral. (Stevani. 2013)
4) Kortikosteroid intratimpani
Terapi ini direkomendasikan sebagai pengganti terapi
kortikosteroid sistemik atau “salvage therapy” pada pasien yang tidak
mengalami perbaikan dengan kortikosteroid sistemik. Dapat menjadi
alternatif untuk pasien diabetes yang tidak bisa mengonsumsi
kortikosteroid sistemik. Steroid diberikan dengan sebuah jarum melalui
membran timpani atau ditempatkan di telinga tengah melalui tabung
timpanostomi atau miringotomi yang kemudian diserap dan menyebar
melalui membran tingkap bundar ke telinga dalam. Keuntungan terapi
kortikosteroid intratimpani adalah memberikan steroid konsentrasi
tinggi langsung pada jaringan target (perilimfe) dengan efek samping
sistemik minimal. (Stachler. 2012)
5) Vitamin C 500 mg 1×1 tablet / hari
6) Diet rendah garam dan rendah kolesterol
7) Inhalasi oksigen 4×15 menit (2 liter/menit)
8) Terapi oksigen hiperbarik
Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari
1 ATA (atmosphere absolute). Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan
oksigenasi koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat
menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke
jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik.

33
Menurut guideline AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik
sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu hingga 3 bulan dari saat diagnosis
tuli mendadak. Pasien usia muda memberikan respons lebih baik
dibandingkan pasien yang lebih tua (usia bervariasi antara 50-60 tahun).
(Stachler. 2012)
9) Terapi farmakologi lainnya
Guideline AAO-HNS tidak merekomendasikan penggunaan
sejumlah obat, seperti antivirus, trombolitik, vasodilator, substansi
vasoaktif, atau antioksidan, secara rutin pada pasien tuli mendadak
untuk menghindari pengobatan yang tidak perlu, efek samping
pengobatan, dan alasan biaya.
Salah satu penyebab tuli mendadak adalah inflamasi oleh infeksi
virus. Mekanisme inflamasi berupa invasi virus secara langsung pada
koklea atau saraf koklea, reaktivasi virus laten dalam ganglion spirale,
dan infeksiyang dimediasi imun. Secara teoretis, inisiasi pemberian
antivirus dapat membantu pemulihan fungsi pendengaran.
Pada iskemia koklea akibat kelainan vaskular, seperti
perdarahan, emboli, dan vasospasme. Agen vasoaktif, trombolitik,
vasodilator, atau antioksidan telah dicoba untuk meningkatkan aliran
darah koklea, tetapi belum ada bukti keberhasilan terapi. (Stachler.
2012)
Evaluasi fungsi pendengran dilakukan setiap minggu selama satu
bulan. Kallinen et al mendefinisikan perbaikan pendengaran pada tuli
mendadak sebagai berikut:
a. Sangat baik, apabila perbaikan lebih dari 30 dB pada 5 frekuensi.
b. Sembuh, apabila perbaikan ambang pendengaran kurang dari 30 dB
pada frekuensi 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, dan dibawah 25
dB pada frekuensi 4000 Hz.
c. Baik, apabila rerata perbaikan 10-30 dB pada 5 frekuensi.
d. Tidak ada perbaikan, apabila terdapat perbaikan kurang dari 10
dB pada 5 frekuensi.

34
10) Penggunaan alat bantu dengar
Bila pendengaran tidak sembuh dengan pengobatan di atas, dapat
dipertimbangkan pemasangan hearing aid. (Stachler. 2012)
11) Psikoterapi dan rehabiilitasi
Apabila penggunaan alat bantu dengar juga masih belum dapat
berkomunikasi secara adekuat perlu diberikan psikoterapi dengan tujuan
agar pasien dapat menerima keadaan. Rehabilitasi pendengaran agar
dengan sisa pendengaran yang ada dapat digunakan secara maksimal
bila memakai alat bantu dengar dan rehabilitasi suara agar dapat
mengendalikan volume, nada dan intonasi oleh karena pendengarannya
tidak cukup untuk mengontrol hal tersebut. (Stachler. 2012)
g. Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu usia,
derajat gangguan pendengaran, metode pengobatan yang digunakan, saat
memulai pengobatan, ada tidaknya gejala vestibular, dan factor predisposisi
lainnya. Usia lanjut, gangguan pendengaran sangat berat, dan adanya gejala
vestibular subjektif dikaitkan dengan rendahnya tingkat kesembuhan. Usia
lanjut, hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemia berkaitan dengan disfungsi
mikrovaskuler di koklea, yang merupakan faktor prognosis buruk. (Stevani.
2013) Usia muda mempunyai angka perbaikan yang lebih besar.
Pada umumnya makin cepat diberikan pengobatan makin cepat pula
kemungkinan untuk sembuh, bila sudah lebih dari 2 minggu kemungkinan
sembuh menjadi kecil. Penyembuhan dapat total atau parsial, disebabkan
oleh factor-faktor di atas. Tinitus, vertigo, dan perasaan penuh di telinga
dapat dihilangkan dan adanya tinnitus menunjukkan prognosis baik.
(Stachler. 2012)
Pasien tuli mendadak disarankan melakukan pemeriksaan audiometri
ulang dalam waktu 6 bulan setelah diagnosis, untuk menentukan
keberhasilan terapi. (Stachler. 2012)

35
3. Serumen Obsturans
a. Definisi
Serumen obsturan atau kotoran telinga adalah produk kelenjar sebasea
dan apokrin yang ada pada kulit liang telinga dalam kondisi menumpuk dan
keras. (Soetirto. 2007)
b. Epidemiologi
Sekitar 2-6% dari seluruh populasi pada suatu daerah dapat mengalami
serumen obsturan. Namun, tidak semua penderita serumen obsturan mencari
pertolongan medis, hanya sekitar 39 dari 1000 pasien dalam satu populasi
mencari pertolongan medis ke dokter terkait serumen obsturan.
Di Inggris, sebanyak 1,2- 3,5 juta orang bermasalah dengan serumen
obsturan. Sementara di Amerika Serikat, terjadi pada 6-18 juta orang dan
150.000 tindakan ekstraksi serumen dilakukan. Namun, data mengenai
insiden serumen obsturan di Indonesia belum tersedia dengan akurat, dan
studi yang mempelajari tentang hal ini masih sangat terbatas. (Soetirto.
2007)
c. Etiologi
Serumen obsturan umumnya muncul akibat sejumlah penyebab.
Pertama-tama, sejumlah perubahan anatomis (seperti stenosis pada meatus
akustikus eksterna) dapat memicu serumen obsturan. Keratosis obsturan
(yaitu sebuah penyakit akibat produksi keratin yang berlebihan) dapat
memperlebar meatus akustikus eksterna sehingga memungkinkan akumulasi
serumen dalam jumlah besar. (Soetirto. 2007)
d. Patofisiologi
Serumen obsturan dapat terjadi akibat kegagalan keratinosit untuk saling
memisah pada proses turnover kulit. Teori ini diperkuat dengan data bahwa
serumen keras yang sering menjadi obsturan terdiri dari lebih banyak
lembaran-lembaran keratin dibanding serumen tipe lunak.
Terdapat hipotesis lain yang diusulkan menjadi salah satu patogenesis
pembentukan serumen obsturan, yaitu berkaitan dengan zat karotenoid.
Pemberian retinoid pada sebuah eksperimen memperlihatkan terjadinya

36
peningkatan hiperplasia epidermal dan aktivitas kelenjar sebacea penghasil
serumen. Perubahan-perubahan ini meningkatkan produksi serumen dan
juga kecenderungan terjadi obsturan.
Penggunaan cotton bud untuk membersihkan liang telinga sering
dianggap dapat mengakibatkan serumen obsturan, yaitu ketika pemakaian
yang keliru mendorong serumen semakin ke dalam liang telinga menuju
membran timpani dan mengakibatkan akumulasi serumen sehingga menjadi
obsturan. (Hafil. 2007)
e. Manifestasi klinik
Serumen obsturan dapat menimbulkan gejala yang bervariasi,
diantaranya termasuk berkurangnya pendengaran, gatal, nyeri, tinnitus,
vertigo, dan peningkatan risiko infeksi terutama otitis eksterna. Pasien dapat
pula merasakan sensasi penuh di telinga, keluarnya aroma tidak sedap dari
telinga, dan batuk. Pendengaran dapat sangat terganggu bila serumen
sampai menutup seluruh liang telinga. Penurunan pendengaran dapat
bervariasi, dari 5 dB hingga 40 dB, tergantung dari derajat tertutupnya liang
telinga. Pasien juga dapat mengeluhkan rasa tertekan saat berenang atau
mandi karena serumen mengembang bila telinga masuk air. (Hafil. 2007)
f. Diagnosis
Anamnesis dimulai dengan melengkapi data mengenai riwayat gejala
yang dirasakan oleh pasien. Pasien dapat mengeluhkan sejumlah keluhan
ataupun hanya satu keluhan saja. Keluhan penurunan pendengaran
terkadang tidak disadari hingga terjadi penurunan yang signifikan. Keluhan
pusing atau telinga berdengung dapat terjadi ketika liang telinga telah
mengalami obstruksi parsial.
Pemeriksaan organ telinga difokuskan pada pemeriksaan visual dan
menggunakan otoskop. Pemeriksaan visual dimaksudkan untuk melihat
kondisi-kondisi tertentu yang dapat mempengaruhi atau menghambat teknik
ekstraksi serumennya nanti. Sementara pemeriksaan dengan otoskop
bertujuan untuk mengetahui apakah perlu dilakukan ekstraksi serumen.
Faktor-faktor yang harus dievaluasi antara lain: adanya serumen, tipe

37
serumen, bentuk, ukuran, dan status dari kanalis akustikus itu sendiri. Bila
memungkinkan, membran timpani juga dievaluasi untuk memastikan
keutuhannya. Bila membran timpani tidak bisa dievaluasi maka harus
melanjutkan prosedur ekstraksi serumen dengan lebih berhati-hati.
Pemeriksaan audiologi dengan tes penala dapat melengkapi diagnosis
serumen obsturan untuk mengetahui derajat tuli konduksi yang diderita
pasien. Untuk diagnostik serumen obsturan sendiri sebenarnya tidak
terdapat standardisasi khusus. Crandell dan Boeser memaparkan derajat
penyumbatan liang telinga oleh serumen sebagai berikut: non-occluding
(<50% penyumbatan liang telinga), excessive (50- 80% penyumbatan liang
telinga), atau total (>80% penyumbatan liang telinga). (Soetirto. 2007)
g. Penatalaksanaan
Serumen yang lembek, dibersihkan dengan kapas yang dililitkan pada
pelilit kapas. Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengait atau kuret.
Apabila dengan cara tersebut serumen tidak dapat dikeluarkan, maka
serumen harus dilunakkan lebih dahulu dengan tetes karbogliserin 10%
selama 3 hari.
Namun, jika serumen sudah terlalu jauh terdorong ke dalam liang telinga
sehingga dikhawatirkan menimbulkan trauma pada membran timpani
sewaktu mengeluarkannya, maka dikeluarkan dengan mengalirkan (irigasi)
air hangat yang suhuya sesuai suhu tubuh. (Soetirto. 2007)
Sebelum melakukan irigasi telinga, harus dipastikan tidak ada riwayat
perforasi pada membran timpani. Teknik irigasi dilakukan dengan
mengalirkan air hangat menggunakan syringe ke dalam liang telinga secara
postero-superior untuk memastikan semburan air tidak langsung mengenai
gendang telinga. Diharapkan dengan teknik ini serumen dapat keluar
mengikuti aliran semburan air. Obat-obatan serumenolitik digunakan untuk
melunakkan serumen terlebih dahulu sehingga memudahkan ekstraksi
serumen. Dengan menggunakan serumenolitik, tindakan irigasi dan
ekstraksi menjadi lebih mudah. (Soetirto. 2007)

38
G. Integrasi Keislaman
Indera Pendengaran Dalam Informasi Al-Quran Dan Al-Sunnah
Diberikan Allah Sejak Penyempurnaan Kejadian
Firman Allah :
(Dialah Allah) yang menjadikan segala ciptaan-Nya indah, dan Dia memulai
penciptaan manusia dari tanah, kemudian menjadikan keturunannya dari air
yang hina (air maniy), kemudian Dia sempurnakan kejadian (fisiknya) dan
Dia tiupkan Ruh-Nya, dan Dia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan,
dan hati (akal fikiran ), nemun sedikit sekali kamu yang bersyukur. (QS. 32 (Al-
Sajadah): 7-9).
Dari informasi ayat di atas dapat difahami bahwa:
1. Allah menciptakan segala makhluk-Nya dengan sebaik-baiknya
2. Penciptaan manusia pertama (Adam) dengan bahan baku pertama langsung
dari tanah
3. Manusia keturunan (Bani Adam) diciptakan dengan bahan baku pertama
adalah air yang hina yaitu sperma yang bercampur dengan ovum (sel telur)
dalam bahasa al-Qur-an disebut “Nuthfatin Amsyaaj” QS. 76: 2.
4. Allah menyempurnakan kejadian manusia (melengkapi seluruh organ
tubuhnya), dan meniupkan Ruh-Nya kepada jasad manusia itu
5. Allah memberi manusia indera: pendengaran, penglihatan, dan akal fikiran.
Di dalam kaidah ilmu tafsir, jika Allah dalam al-Quran menyebut beberapa hal
dengan urut, maka seperti urutan itu pula kejadian dan fakta yang sesenggunhya
terjadi. Dalam ayat di atas, Allah memberi indera manusia pendengaran,
penglihatan, dan akal fikiran, maka dapat dipastikan bahwa berfungsinya
pendengaran lebih dahulu dari pada penglihatan, apalagi dengan akal fikiran.
Sebutan hidup dan mati dalam al-Qur-an ada dua bentuk urutan, di dalam
QS. 6: 162, kata hidup lebih dahulu disebut dari pada mati, karena yang
dimaksud hidup dalam ayat itu adalah kehidupan dunia ini, dan yang dimaksud
mati adalah sesudahnya, sementara dalam QS. 67: 2, kata mati disebut lebih
dahulu dari pada kata hidup, karena yang dimaksud mati adalah ketika manusia
belum lahir ke dunia, yakni alam arwah, dan yang dimaksud dengan hidup,

39
adalah kehidupan dunia ini, karena memang manusia menjalani dua kali mati dan
dua kali hidup QS. 2: 28, dan QS. 40: 10-11.
Sepanjang penelusuran kita, ketika Allah menjelaskan penciptaan manusia
dan memberinya indera, selalu menyebut lebih dahulu menyebut “al-Sam’a”
(pendengaran) dari “al-abshara” (penglihatan, dapat diperhatikan ayat-ayat
berikut: QS.10: 31; QS. 16: 78; QS. 23: 78, dan QS. 67: 23; dan apabila
sebutan al-sam’a di belakang sebutan “al-abshar”, maka dapat disimpulkan
dalam rangka mengecam atau mencela, seperti firman Allah di bawah ini:
Dan pasti akan Kami campakkan ke dalam neraka jahannam itu, kebanyakan
dari golongan Jin dan manusia, mereka punya hati tetapi tidak dipergunakan
untuk memahami ayat-ayat Allah, dan mereka punya mata tetapi tidak
dipergunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, dan mereka punya telinga, tetapi
juga tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah, mereka itu laksana
binanatng, bahkan lebih sesat lagi, dan mereka itulah makhluk-makhluk yang
lalai (QS. 7 (al-A’raf ): 179).

Demikian halnya, ketika kelak di akhirat yang lebih dahulu ditanya adalah
pendengaran, baru penglihatan, kemudian akal fikiran, seperti diinformasikan
QS. 17: 37. karena urutannya seperti itu, namun demikian yang perlu
diperhatikan secara akhlak Islam terhadap Allah, hamba-Nya tidak
diperkenankan meyakini bahwa indera yang satu lebih penting dari yang lainnya,
semuanya penting dan mempunyai peran masing-masing, yang saling
mendukung sebagai suatu sistem yang utuh dan tak terpisahkan.
Informasi Al-Hadits
Analisis pendengaran lebih dahulu berfungsi dari pada penglihatan yang
difahami dari informasi al-Quran, agaknya diperkuat oleh al-Hadits, yang
mengajarkan bayi lahir diadzankan dari telinga kanannya dan diiqamatkan di
telinga kirinya, jika bayinya laki-laki,dan diiqamatkan di telingan kanan-kiirnya
jika bayinya perempuan.
Diriwayatkan dari Abi Rafi’ Maula Rasulillah saw. ra.,:

40
bahwa dia melihat Rasulullah SAW mengadzankan dengan adzan shalat di
telinganya Husein bin Ali, ketika telah dilahirkan oleh Fathimah. Riwayat Abu
Dawud, al-Turmudzy, dan rawi lainnya.

Menurut Jamaah : Dianjurkan diadzankan ditelingan kanannya dan


diiqamahkan ditelinga kirinya, dan telah diriwayatkan dalam Ktab Ibnu Sinniy
dari Husein bin ‘Ali, bahwa nabi SAW bersabda :
Barang siapa yang anaknya lahir dan diazdankan di telingan kanannya dan
diiqamahkan di telingan kirinya, maka tidak akan dapat diganggu oleh
Ummushshibyaan (Saithan yang diberi tugas menggoda anak yang baru lahir).
Indera Terakhir Saat Kematian
Jika ayat dan hadits-hadits di atas menunjukkan pendengaran adalah indera
pertama yang lebih dahulu berfungsi, maka ternyata indera pendengaran juga
yang paling akhir berfungsi, sehingga ketika skarat maut, manusia dianjurkan
untuk ditalqinkan, yang artinya diajari, diingatkan, serta dituntun mengucapkan
kalimat-kalimat thayyibah.
Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya:
Tuntunlah oleh kamu orang yang hampir mati itu dengan bacaan “Laa
ilaaha Illallaah” (tiada Tuhan selain Allah)
Hadits ini sering disalah-praktekan oleh kebanyakan muslimin Indonesia,
bahwa orang yang sudah dikubur baru ditalqinkan, padahal arti talqin itu sendiri
adalah menuntun, berarti untuk orang yang masih dapat mengikuti, artiny
sebelum mati, maka harus dituntun mengucapkan Laa ilaaha Illallaah.
Namun ada yang lebih essensi dari itu semua bahwa, perintah Rasul ini
secara tidak lengsung menunjukkan bahwa orang yang sudah hampir mati pun
pendengarannya masih berfungsi, maka disuruh menuntunnya. Dengan demikian
maka dapat disimpulkan indera pendengaran adalah indera manusia yang
pertama kali berfungsi dan juga sekaligus yang terakhir.

41
Daftar Pustaka
Arthur C, John E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; p. 681-7.
Agamemnon D, Stefan S. 2003. Color Atlas of Physiology. 5th ed. New York:
Thieme; p. 364-7.
Asokarathinam K, Shwetha, Prabakan J. 2014. Unrolling Stone Gather no Moss!
Asymptomatic Long-Standing Foreign Body in the External Ear- A
Case Report. International Journal of Basic and Applied Medical Sciences.
Davies PH, Benger JR. 2000. Foreign Bodies in the Nose and Ear: review of
technique for removal in the emergency departemetn. J Accid Emerg Med.
Eric P, Hershel R, KevinT. 2001. Vander’s Human Physiology: The Mecanism of
Body. 8th ed. New York: McGraw-Hill; p. 253-4.
Hafil, dkk. 2007.Kelainan Telinga Luar. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Indro S, dkk. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; p. 10-12.
Kalan A, Tariq M. 2000. Foreign Bodies in the Nasal Cavities: a comprehensive
review of aetiology, diagnotic pointers, and therapeutic measures. Postgrad
Med J
Lauralee S. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2nd ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; p. 177-183.
Lucente, Frank E dan Gady Har-El. 2011. Ilmu THT Esensial. Edisi 5. Jakarta :
EGC
Lucente Frank E, Gady Har-EL.2014. Ilmu THT Esensial. Jakarta : EGC.
Mantooth R. 2013. Ear Foreign Body Removal in Emergency Medicine.
Marthalisa S. Sosir,dkk. 2011. Benda Asing Telinga Hidung Tenggorok
di bagian/SMF THT-KL BLU/RSUP PROF. DR. R.D. Kandou Manado
Periode Januari 2008 – Desember 2011. Bagian THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.

42
Prabo D. Benda asing di saluran napas [homepage on the Internet]. Nodate
[cited 2011 Nov 11]. Available from:
http://diemazcaeem.blogspot.com/2011/05/benda-asing-di-saluran-
napas.html.
Rahmawati Dini. 2015. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Gangguan
pada Pekerja Di Departemen Metal Forming and Heat Treatment PT.
Dirgantara Indonesia. Jakarta: Uin Syarif Hidayatullah.
Raihana, Amira Trini. 2017. Bahan Ajar Fakultas Kedokteran UIN Alauddin
Makassar. Makassar : UIN press
Risca Marcelena,dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jakarta.
2016.
Soetirto dkk. 2007.Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi
ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soepardi, Efiaty Arsyad dkk. 2017. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta : FK UI
Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR, Barrs
DM, et al. 2012. Clinical practice guideline sudden hearing loss:
Recommendations of the American Academy of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery. Otolaryngol Head Neck Surg.;146:S1.
Stevani Novita, Natalia Yuwono. 2013. Diagnosis dan Tata Laksana Tuli
Mendadak. Kalimantan Barat: Continuing Medical Education.
World Health Organization. WHO Grades of Hearing Impairment in Global
Burden of Hearing Loss in the Year 2000 [Internet]. 2000 [cited 2013 Apr
08].Availablefrom:http://www.who.int/healthinfo/statistics/bod_hearingloss
.pdf.
Wonodirekso, S dan Tambajong J (editor) (1990), Organ-Organ Indera Khusus
dalam Buku Ajar Histologi Leeson and Leeson (terjemahan), Edisi V,
EGC, Jakarta.

43

Anda mungkin juga menyukai