I.
a. Telinga Luar
Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari rawan yang diliputi kulit. Liang
telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun bertulang di sebelah
medial. Seringkali ada penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang dan rawan
ini. Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap liang
telinga sementara prosesus mastoideus terletak di belakangnya. Saraf fasialis
meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju prosesus
stiloideus di posteroinferior liang telinga, dan kemudian berjalan di bawah liang
telinga untuk memasuki kelenjar parotis (Higler, 2000). Pinna merupakan daun
kartilago yang menangkap gelombang bunyi dan menjalarkannya ke kanal auditori
eksternal (meatus), suatu lintasan sempit yang panjangnya sekitar 2,5 cm yang
merentang dari aurikula sampai membran timpani (Sloane, 2004).
b. Membrana Timpani
Membrana timpani atau gendang telinga adalah perbatasan telinga tengah. Membran
ini memisahkan telinga luar dari telinga tengah, dan memiliki tegangan, ukuran, dan
ketebalan yang sesuai untuk menggetarkan gelombang bunyi secara mekanis
(Sloane, 2004). Membrana timpani adalah suatu bangunan berbentuk kerucut
dengan puncaknya umbo, mengarah ke medial. Membrana timpani umumnya bulat.
Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum
yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas
membrana timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum yang meluas melampaui
batas bawah membrana timpani. Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan
epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah di mana tangkai maleus
dilekatkan, dan lapisan mukosa bagian dalam. Lapisan fibrosa tidak terdapat di atas
prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membran timpani yang
disebut membrana Shrapnell menjadi lemas (flaksid) (Higler, 2000).
c. Telinga Tengah
Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan
enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak
tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke
arah umbo dari membrana timpani sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian
tengah. Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fosa kranii media.
Pada bagian atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang mastoid dan di
bawahnya adalah saraf fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf fasialis dan
tendonnya menembus melalui suatu piramid tulang menuju ke leher stapes. Saraf
korda timpani timbul dari saraf fasialis di bawah stapedius dan berjalan ke lateral
depan menuju inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari telinga tengah lewat
sutura petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung dengan saraf lingualis
dan menghantarkan serabut-serabut sekretomotorik ke ganglion submandibularis
dan serabut-serabut pengecap dari dua pertiga anterior lidah. Dasar telinga tengah
adalah atap bulbus jugularis yang di sebelah superolateral menjadi sinus sigmodeus
dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus. Keduanya adalah aliran vena utama
rongga tengkorak. Cabang aurikularis saraf vagus masuk ke telinga tengah dari
dasarnya. Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis karotikus. Di atas kanalis
ini, muara tuba eustakius dan otot tensor timpani yang berinsersi pada leher maleus.
Dinding lateral dari telinga tengah adalah dinding tulang epitimpanum di bagian
atas, membrana timpani, dan dinding tulang hipotimpanum di bagian bawah. Bagian
yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium yang menutup
lingkaran koklea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintasi promontorium
ini. Fenestra rotundum terletak di posteroinferior dari promontorium, sedangkan
kaki stapes terletak pada fenestra ovalis pada batas posterosuperior promontorium.
Kanalis falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis terletak di atas fenestra ovalis
mulai dari prosesus kokleariformis di anterior hingga piramid stapedius di posterior
(Higler, 2000).
d. Tuba Eustakius
Tuba Eustakius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian
lateral tuba eustakius adalah yang bertulang sementara duapertiga bagian medial
bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas bagian
bertulang sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian
bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas
otot konstriksor superior. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat terbukan melalui
kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi
suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular,
dikenal sebagai membrana tektoria. Membrana tektoria disekresi dan disokong oleh
suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus (Sherwood,2001).
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulum, utrikulus dan kanalis
semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel
rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus
oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan
dengan berat jenis yang lebih besar daripada ensolimfe. Karena pengaruh gravitasi,
maka gaya dari otkan membengkokkan silia sel-sel rambut dan menimbulkan
rangsangan pada reseptor (Higler, 2000).
Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga
merupakan saluran menuju sakulus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada
bidang yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis
bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu ujung yang
melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut krista. Sel-sel rambut
menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis
semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan
silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel reseptor (Higler, 2000).
II.
Fisiologi Pendengaran
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara
adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan
tinggi karena kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara yang berselang
seling dengan daerah bertekanan rendah karena penjarangan molekul tersebut
(Sherwood, 2001). Sewaktu suatu gelombang suara mengenai jendela oval,
tercipta suatu gelombang tekanan di telinga dalam. Gelombang tekanan
menyebabkan perpindahan mirip gelombang pada membran basilaris terhadap
membrane tektorium Sewaktu menggesek membrana tektorium, sel-sel rambut
bertekuk. Hal ini menyebabkan terbentuknya potensial aksi. Apabila
deformitasnya cukup signifikan, maka saraf-saraf aferen yang bersinaps dengan
sel-sel rambut akan terangsang untuk melepaskan potensial aksi dan sinyal
suara
berdasarkan
neuron-neuron
yang
diakftifkan.
Otak
Pada telinga luar misalnya serumen prop atau benda asing dalam liang telinga,
otitis eksterna, eksostosis. Pada telinga tengah misalnya OMA supurativa dan
nonsupurativa, otitis media kronik dengan atau tanpa mastoiditis, perforasi
membranan timpani, otitis media serosa (glue ear), otitis media adesiva,
otosklerosis, sumbatan tuba eustachii, barotrauma, trauma kepala disertai
gangguan fungsi telinga oleh ossicular chain disruption atau oleh hematoma
dalam telinga tengah, neoplasma (Hassan et al, 2007).
Pada tulis sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam,
nervus VIII atau di pusat pendengaran (Soepardi et al, 2007). Tuli saraf
disebabkan oleh hal yang merintangi atau mengurangi reaksi normal dari sel
/rambut terhadap stimulasi oleh gelombang suara atau hal yang merintangi atau
mengganggu reaksi normal dari jalan serabut saraf organ corti ke korteks
serebral (Hassan et al, 2007).
Kerusakan pada saraf atau koklea dapat disebabkan oleh trauma kepala disertai
kerusakan os petrosus, trauma akustik misalnya ketulian akibat bising di pabrik,
infeksi (virus pada parotitis, campak, influenza dan sebagainya), neoplasma
(akustik neuroma, glomus jugulare), obat ototoksi (streptomisin, kanamisin,
IV.
bila pasien tidak dapat mendengar melalui hantaran udara setelah penala
tidak lagi terdengar melalui hantaran tulang (HU<HT). (Stach, 1998).
Hasil Uji Rinne Status Pendengaran Lokus
b. Uji Schwabach
Uji Schwabach membandingkan hantaran tulang pasien dengan pemeriksa.
Pasien diminta melaporkan saat penala bergetar yang ditempelkan pada
mastoidnya tidak lagi dapat didengar. Pada saat itu, pemeriksa memindahkan
penala ke mastoidnya sendiri dan menghitung beberapa lama (dalam detik)
ia masih dapat menangkap bunyi (Higler, 2000). Uji Schwabach dikatakan
normal bila hantaran tulang pasien dan pemeriksa hampir sama. Uji
Schwabach memanjang atau meningkat bila hantaran tulang pasien lebih
lama dibandingkan pemeriksa, misalnya pada kasus gangguan pendengaran
konduktif. Jika telinga pemeriksa masih dapat mendengar penala setelah
pasien tidak lagi mendengarnya, maka dikatakan Schwabach memendek.
Interpretasi uji Schwabach (Hassan et al, 2007).
c. Uji Weber
Uji Weber membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien.
Cara melakukan uji weber dengan menggetarkan garpu tala 512 Hz lalu
tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Gagang penala
yang bergetar ditempelkan di tengah dahi dan pasien diminta melaporkan
apakah suara terdengar di telinga kiri, kanan atau keduanya (Hassan et al,
2007). Umumya pasien mendengar bunyi penala pada telinga dengan
konduksi tulang yang lebih baik atau dengan komponen konduktif yang
lebih besar. Jika nada terdengar pada telinga yang dilaporkan lebih buruk,
maka tuli konduktif perlu dicurigai pada telinga tersebut. Jika terdengar pada
telinga yang lebih baik, maka dicurigai tuli sensorineural pada telingga yang
terganggu. Fakta bahwa pasien mengalami lateralisasi pendengaran pada
telinga dengan gangguan konduksi dan bukannya pada telinga yang lebih
baik mungkin terlihat aneh bagi pasien dan kadangkadang juga pemeriksa
(Higler, 2000). Uji Weber sangat bermanfaat pada kasus-kasus gangguan
unilateral, namun dapat meragukan bila terdapat gangguan konduktif
maupun sensorineural (campuran), atau bila hanya menggunakan penala
frekuensi tunggal (Stach, 1998).
d. Audiometri
Audiometri berasal dari kata audir dan metrios yang berarti mendengar dan
mengukur. Audiometri dikembangkan awal 1920-an, mencontoh rangkaian
oktaf dari skala C seperti pada penala. Intensitas nada dapat dipertahankan
pada tingkat tertentu, tidak seperti penla di mana intensitas nada segera
berkurang setelah dibunyikan. Nada dapat pula diinterupsi sesuai kehendak,
atau intensitas dapat dilemahkan pada interval tertentu dengan hambatan
elektris, dengan demikian intensitas bunyi dapat dihitung. Hanya tinggal
menambahkan satuan intensitas, suatu notasi desibel dan kontinuitas
intensitas, dan lahirlah suatu era modern audiometri nada murni. Desibel
(dB) adalah satuan yang sangat cocok yaitu, logaritma dari rasio dua daya
atau tekanan (Higler, 2000).
1) Audiometri Nada Murni
Audiometer nada murni adalah suatu alat elektronik yang menghasilkan
bunyi yang relatif bebas bising ataupun energi suara pada kelebihan
nada, karenanya disebut murni. Terdapat beberapa pilihan nada
terutama dari oktaf skala C : 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, dan 8000
Hz. Tersedia pula nada-nada dengan interval setengah oktaf (750, 1500,
3000 dan 6000 Hz). Audiometer memiliki tiga bagian penting yaitu suatu
osilator dengan berbagai frekuensi untuk menghasilkan bunyi, suatu
peredam yang memungkinkan berbagai intensitas bunyi (umumnya
dengan peningkatan 5 dB), dan suatu transduser (earphone atau
penggetar tulang dan kadang-kadang pengeras suara) untuk mengubah
energi listrik menjadi energi akustik (Stach, 1998). Ada dua sumber
bunyi, yang pertama adalah dari earphone yang ditempelkan pada
telinga. Masing-masing telinga diperiksa secara terpisah dan hasilnya
digambarkan sebagai audiogram hantaran udara. Sumber bunyi kedua
adalah suatu osilator atau vibrator hantaran tulang yang ditempelkan
pada mastoid (atau dahi) melalui suatu head band. Vibrator
menyebabkan osilasi tulang tengkorak dan menggetarkan cairan dalam
koklea. Hasil pemeriksaan digambar sebagai audiogram hantaran tulang,
dan biasanya diinterpretasikan sebagai suatu metoda yang memintas
telinga tengah, sebagai alat pengukur cadangan koklearis dan
mencerminkan keadaan sistem saraf pendengaran (Higler, 2000).
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran
pasien pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi
yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yangnormal grafik
berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala desibel, suara dipresentasikan
dengan aerphon (air conduction) dan skala skull vibrator (bone
conduction). Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya
CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone conduction
menggambarkan SNHL (Stach, 1998). Langkah-langkah melakukan tes
audiometri nada murni yaitu (Stach, 1998) :
Tes telinga yang normal terlebih dahulu yang ditanya kepastiannya
melalui anamnese. Ambang batas telinga normal akan berperan
langsung
ke
dengan
tulang
sangat
kulit
sehingga
kecil.
getaran
Supra-aural
yang
earphone
2) Audiometri Tutur
Audiometri tutur
adalah
yang