AKSES YANG KURANG TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK
Akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan pokok utama dalam
pembangunan kesehatan. Aksesibilitas selalu menjadi patokan apakah sebuah pembangunan kesehatan telah dilakukan dengan baik atau tidak. Hal ini juga berkaitan dengan equity atau keadilan di dalamnya. Dalam perkembangan terakhir terkait rencana pemerintah untuk memberlakukan sistem jaminan social kesehatan (SJSN) dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) per tanggal 1 Januari 2014, akses ke pelayanan kesehatan juga menjadi isu utama dalam klausul ataupun pembahasannya. Hal ini masih terkait dengan isu disparitas atau terlalu lebarnya rentang akses antarwilayah, terutama terkait isu disparitas akses antara wilayah Jawa-Bali dengan wilayah non-Jawa-Bali. (Laksono AD, 2013)
Dengan luasnya bentangan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia dengan 13.487 pulau yang telah berhasil diidentifikasi dan dinamai, evidence isu akses ke pelayanan kesehatan tidak berhenti hanya sampai pada ketersediaan sarana fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatannya saja, tetapi juga akses secara fisik terkait dengan ketersediaan prasarana transportasi untuk mencapainya. (Laksono AD, 2013) Akses menjadi isu yang penting dalam kajian kebijakan, terkait upaya pencarian sarana pelayanan kesehatan. Ada lima dimensi penting dari akses yang dikemakaakaan oleh Obrist, dkk (2017) dalam Policy Forum Plos Medicine, yaitu availability, (ketersediaan), accessibility (aksesibilitas), Aordability (keterjangkauan), adequacy (kecukupan), dan acceptability (akseptabilitas). Availability mencakup jenis layanaan yang tersediia, lembaga yang menawarkan layanan, tenaga terampil, serta produk dan jasa yang disediakan. Accessibility mencakup jarak geografis antara layanan yang disediakan dengan rumah masyarakat, transportasi yang dapat digunakan untuk mencapai tempat layanan kesehatan, dan waktu yang digunakan selama perjalanan ke tempat layanan kesehatan. Aordability (keterjangkauan) mencakup biaya yang digunakan untuk pembayaran produk dan jasa yang disediakan. Adequacy mencakup tentang apakah pelayanan kesehatan yang disediakan memenuhi harapan pasien, waktu pemberian layanan, dan kesesuaian dan kualitas dari fasilitas yang disediakan. Dimensi terakhir yaitu acceptability (akseptabilitas) mencakup tentang karakteristik penyedia layanan kesehatan sesuai dengan harapan masyarakat dan apakah masyarakat percaya dengan kompetensi dan kemampuan penyedia layanan kesehatan. (Laksono AD, 2013) Salah satu fokus prioritas pembangunan pemerintah adalah upaya percepatan dan/atau perlakuan khusus untuk pembangunan kesehatan Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan, terutama diarahkan pada wilayah Indonesia bagian Timur. Pemerintah merasa hal ini sangat penting sehingga dituangkan secara eksplisit dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Terpencil, Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pulau Kecil Terluar, ataupun dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan sebagai penanggung jawab dalam bidang kesehatan. (Laksono AD, 2013) Kebijakan dalam pelayanan kesehatan Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan antara lain: 1. Kebijakan pengembangan kesehatan di DTPK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan Rencana Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia sehat dan Kebijakan Pemerintah Daerah; 2. Pelayanan kesehatan di DTPK khusus pelayanan dasar merupakan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat daerah tersebut; 3. Pelayanan kesehatan di DTPK diutamakan untuk meningkatkan jangkauan, pemerataan, serta mutu pelayanan; 4. Pengembangan program pelayanan kesehatan di DTPK dilakukan secara bertahap, terpadu, dan berkesi nambungan; 5. Pemberdayaan masyarakat di DTPK, ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemauan masyarakat mengatasi masalah kesehatan; 6. Pengembangan daerah tertinggal. (Laksono AD, 2013) Sebagaimana arah tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan jangkauan dan pemerataan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat di DTPK, khususnya di 101 Puskesmas prioritas nasional DTPK, disusun rencana aksi dan rencana pengembangan. Strategi yang ditetapkan adalah (Kementerian Kesehatan RI., 2010) sebagai berikut: 1. Strategi I: Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat di DTPK. Menggerakkan peran serta masyarakat dan memberdayakan masyarakat dalam menghadapi masalah kesehatan melalui pembentukan Desa Siaga dan pemanfaatan kearifan lokal. Fokusnya adalah: a. pembentukan Desa Siaga, b. pelatihan kader, c. pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga (TOGA), d. pemanfaatan tenaga setempat. (Laksono AD, 2013) 2. Strategi II: Meningkatkan akses masyarakat DTPK terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Meningkatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat di DTPK dengan mendekatkan pelayanan, baik melalui pembangunan sarana pelayanan maupun dengan mendekatkan kegiatan pelayanan kesehatan, sehingga masyarakat dapat menjangkau dan dijangkau pelayanan kesehatan. Fokusnya adalah: Jangka Pendek: a. peningkatan jumlah puskesmas, pustu di wilayah DTPK, b. pelayanan Rumah Sakit Bergerak, c. kegiatan Tim Mobile di DTPK, d. pola pelayanan di DTPK sebagai upaya percepatan, e. sistem pendukung pelayanan seperti radio komunikasi, dan lain-lain. Jangka Panjang: a. pola pelayanan yang komprehensifa b. pola rujukan di DTPK, dan lain-lain. (Laksono AD, 2013) 3. Strategi III: Meningkatkan pembiayaan pelayanan kesehatan di DTPK Pembiayaan sebagai salah satu pendukung terlaksananya pelayanan kesehatan di DTPK yang akan mendukung proses pengadaan sarana, prasarana, obat dan perbekalan, pemberdayaan SDM, baik yang bersumber dari APBD maupun APBN. Fokusnya adalah: a. tersedianya dana bagi pembangunan sarana dan prasarana di DTPK, b. tersedianya dana pelaksanaan pelayanan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) di DTPK, c. tersedianya dana pengadaan obat dan perbekalan serta alat kesehatan di DTPK d. tersedianya dana pengiriman dan pendayagunaan tenaga kesehatan di DTPK, e. tersedianya dana untuk pelaksanaan manajemen di sarana pelayanan, baik primer maupun sekunder. (Laksono AD, 2013) 4. Strategi IV: Meningkatkan pemberdayaan SDM Kesehatan di DTPK SDM Kesehatan sebagai pelaksana dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan, perlu mendapat perhatian yang baik, terlebih di DTPK. Karena sangat terbatas, petugas yang berminat mengabdikan diri melaksanakan pelayanan di DTPK. Dengan demikian, perlu perhatian, baik dalam rekrutmen, penempatan, pemberdayaan, dan pengembangan karier tenaga kesehatan. Fokusnya adalah: Jangka Pendek: a. rekrutmen tenaga DTPK (Puskesmas dan Rumah Sakit serta sarana pelayanan lainnya). b. penempatan dan pemberdayaan tenaga di DTPK (Puskesmas dan Rumah Sakit serta sarana pelayanan lainnya). c. insentif (finansial dan non-fnansial), d. peningkatan kemampuan SDM kesehatan (pelatihan dan pendidikan), e. pendelegasian kewenangan. Jangka Panjang: a. pola penempatan dan pemberdayaan tenaga di DTPK, b. pola insentif dan pengembangan karier tenaga di DTPK. (Laksono AD, 2013) 5. Strategi V: Meningkatkan ketersediaan obat dan perbekalan Ketersediaan obat dan perbekalan serta alat kesehatan adalah suatu proses yang panjang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor di luar bidang kesehatan. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat ketersediaan obat dan perbekalan pada pelaksanaan pelayanan menjadi mutlak. Fokusnya adalah: a. ketersediaan obat dan perbekalan di DTPK, b. ketersediaan peralatan kesehatan di DTPK, c. mutu dan kondisi obat di DTPK, d. pola pengadaan dan pengiriman obat dan perbekalan di DTPK. (Laksono AD, 2013) 6. Strategi VI: Meningkatkan manajemen Puskesmas di DTPK, termasuk sistem survailans, monitoring dan evaluasi, serta Sistem Informasi Kesehatan (SIK) Pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan memerlukan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan yang baik agar terlaksana dengan baik sehingga kegiatan manajerial merupakan hal yang harus diperhatikan, terlebih di DTPK, dimana terbatasnya tenaga yang petugas, serta kondisi dan situasi lapangan yang memerlukan perhaan khusus. Fokusnya adalah: a. pelatihan manajemen puskesmas, b. Sistem Informasi Puskesmas (Simpus), c. pelatihan survailans. (Laksono AD, 2013)
Laksono AD, dan Rachmawati T. 2013. Determinan Sosial Kesehatan Ibu dan Anak. Surabaya: Kanis ius
Dasar Hukum Kesehatan Ibu Dan Anak Sudah Di Bahas Pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Prempuan Mengharruskan Pihak Negara Untuk