Anda di halaman 1dari 10

LEARNING ISSUE

Nama Gambar
Papula:
Penonjolan padat di atas
permukaan kulit, diameter < 0,5
cm.

Pustula:
Vesikel berisi nanah

Ekskoriasi:
Lecet kulit yang disebabkan
kehilangan lapisan kulit yang
melampaui stratum .

Krusta:
Kerak atau keropeng yang
menunjukkan adanya cairan
serum atau darah yang
mengering.
Erosi:
Kerusakan kulit sampai stratum
spinosum. Kulit tampak menjadi
merah dan keluar cairan serosa,
misalnya pada dermatitis
kontak.

SCABIES
Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
Sarcoptes scabiei var. hominis. Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas
Arachnida, ordo Acarina, famili Sarcoptidae.
Etiologi & Faktor resiko
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain keadaan
sosial ekonomi yang rendah, kebersihan yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya
promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan demografik seperti keadaan
penduduk dan ekologi.
Epidemiologi
Prevalensi skabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus per tahun.
Prevalensi skabies di Indonesia Indonesia sebesar 4,60% - 12,95% dan penyakit skabies
ini menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering.
Ref : jurnal kedokteran diponorogo 1 januari 2018
Manifestasi klinis
Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei sangat
bervariasi. Dikenal 4 tanda utama atau tanda kardinal pada infestasi skabies yaitu,
pruritus nokturna, menyerang sekelompok orang, ditemukannya terowongan (kunikulus),
dan ditemukan parasit Sarcoptes scabiei. Pruritus nokturna adalah rasa gatal yang terasa
lebih hebat pada malam hari karena meningkatnya aktivitas tungau akibat suhu yang lebih
lembab dan panas. Sensasi gatal yang hebat seringkali mengganggu tidur dan penderita
menjadi gelisah. Pada infeksi inisial, gatal timbul setelah 3 sampai 4 minggu, tetapi
paparan ulang menimbulkan rasa gatal hanya dalam waktu beberapa jam. Studi lain
menunjukkan pada infestasi rekuren, gejala dapat timbul dalam 4-6 hari karena telah ada
reaksi sensitisasi sebelumnya.
Pemeriksaan Diagnois
Diagnosis skabies ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Apabila ditemukan dua dari empat tanda kardinal skabies, maka diagnosis sudah dapat
dipastikan. Diagnosis dapat dipastikan bila menemukan Sarcoptes scabiei. Beberapa cara
untuk menemukan tungau tersebut adalah kerokan kulit, mengambil tungau dengan
jarum, membuat biopsi eksisional, dan membuat biopsi irisan. Apabila ditemukan
gambaran terowongan yang masih utuh, kemungkinan dapat ditemukan pula tungau
dewasa, larva, nimfa, maupun skibala (fecal pellet) yang merupakan poin diagnosis pasti.
Patofisiologi
Patofisiologi scabies atau skabies melibatkan reaksi inflamasi terhadap tungau
Sarcoptes scabiei hominis, yang dapat ditularkan melalui kontak langsung kulit ke kulit,
ataupun kontak tidak langsung dari kulit dengan benda yang mengandung larva atau
tungau dewasa. Secara klinis, gejala yang muncul seperti pada manifestasi klinis.
Tatalaksana
Penatalaksanaan umum meliputi edukasi kepada pasien, yaitu: (a) Mandi dengan
air hangat dan keringkan badan; (b) Pengobatan skabisid topikal yang dioleskan di
seluruh kulit, kecuali wajah, sebaiknya dilakukan pada malam hari sebelum tidur; (c)
Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan; (d) Ganti pakaian, handuk, sprei yang
digunakan, dan selalu cuci dengan teratur, bila perlu direndam dengan air panas, karena
tungau akan mati pada suhu 130 o C; (e) Hindari penggunaan pakaian, handuk, sprei
bersama anggota keluarga serumah; (f) Setelah periode waktu yang dianjurkan, segera
bersihkan skabisid dan tidak boleh mengulangi penggunaan skabisid yang berlebihan
setelah seminggu sampai dengan 4 minggu yang akan datang; dan (g) Setiap anggota
keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan yang sama dan ikut menjaga
kebersihan.
Komplikasi
Gatal yang disebabkan oleh aktivitas tungau dibawah lapisan kulit manusia
menyebabkan reaksi gatal yang sulit untuk tidak digaruk. Aktivitas ini yang menimbulkan
komplikasi seperti lecet dan timbulnya gelembung berair yang berisi nanah atau darah
yang disebabkan oleh kontak langsung dengan jari atau kuku yang dipakai untuk
menggaruk bagian ruam pada kulit yang terkena skabies.
Prognosis & KIE
Penyembuhan ini menggunakan obat anti tungau dan obat pereda rasa gatal dalam
bentuk topikal. Obat topikal dapat digunakan untuk mengatasi reaksi alergi atau
mengurangi peradangan kulit akibat sejumlah kondisi.
Penderita harus mandi secara teratur dan menjaga kebersihan diri. Serta rutin
mencuci handuk, seprai, pakaian secara rutin dan merebusnya terlebih dahulu dengan air
panas. Jemur kasur, bantal dan guling dibawah paparan sinar matahari langsung.
PEDICULOSIS
CUTANEUS LARVA MIGRANS (CREEPING ERUPSION)
Definisi
Cutaneus Larva Migrans (CLM) atau yang biasa disebut Creeping eruption adalah
kelainan kulit berupa peradangan berbentuk linier atau berkelok-kelok, yang menimbul
dan progersif. Penyakit ini disebabkan karena adanya invasi dari larva cacing tambang
yang berasal dari kotoran anjing dan kucing. Umumnya larva ini menginvasi kulit di kaki,
tangan, bokong dan abdomen. (Blackwell & Lopez, 2001)
lnvasi ini sering terjadi pada anak-anak terutama yang sering berjalan tanpa alas
kaki atau yang sering berhubungan dengan tanah atau pasir yang mengandung larva
tersebut. Demikian pula para petani atau tentara sering mengalami hal yang sama.
Penyakit ini banyak terdapat di daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab,
misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, di Indonesia pun banyak dijumpai.
Walaupun demikian dengan berkembangnya pariwisata, infeksi CLM dapat terjadi pada
para wisatawan (travelers). (Gutte, 2011)

Gambar 1. Lesi berkelok-kelok yang khas pada


cutaneous larva migrans. (Caumes, 2000)

Gambar 2. Regio thoracal anterior. Terdapat garis linier berkelok-kelok, di beberapa


tempat terdapat terowongan, Sebagian menyembuh setelah terapi. (Aisah, 2010)
Gambar 3. Regio dorsum manus sinistra dan dorsum pedis dekstra terdapat garis linier
berkelok-kelok, di beberapa tempat terdapat terowongan. (Aisah, 2010)
Epidemiologi
lnsidens yang sebenamya sulit diketahui, di Amerika Serikat (pantai Florida,
Texas, dan New Jersey) tercatat 6.7% dari 13,300 wisatawan mengalami CLM setelah
berkunjung ke daerah tropis. Hampir di semua negara beriklim tropis dan subtropis,
misalnya Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Karibia, Afrika, Australia dan Asia
Tenggara, termasuk Indonesia, banyak ditemukan CLM. Pada invasi ini tidak terdapat
perbedaan ras, usia, maupun jenis kelamin. Belum pemah dilaporkan kematian akibat
CLM. lnvasi CLM yang bertahan lama dan tidak diobati dapat menyebabkan infeksi
sekunder akibat garukan. Walaupun jarang, namun dapat menyebabkan selulitis. (Paller,
2011)
Etiologi
Penyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang yang hidup di usus
anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Di Asia
Timur, umumnya disebabkan oleh gnatostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus
ditemukan Echinococcus, Strongyloides sterconalis, dermatobia maxiales, dan Lucilia
caesar. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat, misalnya
Castrophilus (the horse boot fly) dan cattle fly. Biasanya larva ini merupakan stadium
ketiga siklus hidupnya. Nematoda hidup pada hospes, ovum (telur cacing) terdapat pada
kotoran binatang dan karena kelembaban (misalnya di tanah berpasir yang basah dan
lembab) berubah menjadi larva yang mampu mengadakan penetrasi ke kulit. Larva ini
tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang taut dermo-epidermal dan setelah
beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit. (Hochedez & Caumes, 2007)
Gambar 1. Siklus Hidup Cacing Tambang Hewan. (Hochedez & Caumes, 2007)
Faktor Resiko
Resiko terjadinya cutaneous larva migrans meningkat pada (Lam, 2011):
 Hobi dan pekerjaan yang mengalami kontak langsung dengan tanah dan pasir seperti
petani, tukang kebun, dan pekerja bangunan. 
 Orang yang berada di pantai tanpa mengenakan alas kaki.
 Anak-anak yang bermain di tanah atau pasir. (Lam, 2011)
Patofisiologi
Creeping eruption disebabkan oleh berbagai spesies cacing tambang binatang
yang didapat dari kontak kulit langsung dengan tanah yang terkontaminasi feses anjing
atau kucing. Hospes normal cacing tambang ini adalah kucing dan anjing. Telur cacing
diekskresikan ke dalam feses, kemudian menetas pada tanah berpasir yang hangat dan
lembab. Kemudian terjadi pergantian bulu dua kali sehingga menjadi bentuk inefektif
(larva stadium tiga). Manusia yang berjalan tanpa alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja
oleh larva dimana larva menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel,
fisura atau kulit intak. (Shinta, 2015)
Setelah penetrasi stratum korneum, larva melepas kulitnya. Biasanya migrasi
dimulai dalam waktu beberapa hari. Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan
bermigrasi beberapa cm per hari, biasanya antara stratum granulosum dan stratum
korneum. Larva ini tinggal di kulit bergerak tanpa arah tujuan yang pasti sepanjang
dermoepidermal. Hal ini menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah
beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit. (Shinta, 2015)
Larva bermigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang
menembus ke dermis. Manusia merupakan hospes penderita dan larva tidak mempunyai
enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis.
Sehingga penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik yang diekskresi larva
menyebabkan inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak
bisa mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva sering kali migrasi ke
paru-paru sehingga terjadi infiltrat paru. Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih
dalam dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa bulan. (Shinta, 2015)
Pemeriksaan Fisik
Dengan inspeksi pada daerah tungkai, plantar, tangan, anus, bokong atau paha,
juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada,
akan tampak adanya lesi seperti benang yang lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan
terdapat papul dan vesikel di atasnya. (Aisah, 2010)
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menunjang diagnosis bisa dilakukan biopsi kulit. Walaupun tidak terlalu
bermakna. Dimana akan tampak larva nematoda terperangkap di antara kanal folikel,
stratum korneum atau di dermis bersama dengan infiltrat eosinofilik inflamasi. (Elizabeth,
2008)
Bila infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa eosinofilia perifer,
sindrom loeffler (infiltrat paru yang berpindah-pindah), peningkatan IgE. Hanya sedikit
pasien yang menunjukkan eosinofilia perifer dan peningkatan IgE. (Elizabeth, 2008)
Tatalaksana
a. Pengobatan Topical
 Thiabendazol topikal 10%, diaplikasikan 4 kali sehari selama 1 minggu. Obat ini
perlu diaplikasikan di sepanjang lesi dan pada kulit normal di sekitar lesi.
 Albendazole, aplikasi topikal dari 10% albendazole krim 2 kali sehari membaik
dalam waktu 10 hari.
 Tiabendazol topikal ditambah kortikosteroid topical, digunakan secara oklusi dalam
24-48 jam.
 Dry ice (CO₂ snow), yaitu dilakukan dengan penekanan selama 45 detik sampai 1
menit, dilakukan selama dua hari berturut-turut.
 Etil klorida, terapi ini efektif apabila epidermis terkelupas bersama parasit. Seluruh
terowongan harus dibekukan karena parasit diperkirakan berada dalam terowongan.
Cara ini bersifat traumatik dan hasilnya kurang dapat dipercaya karena lokasi
tempat larva berada sulit ditentukan. (Aisah, 2010)
b. Pengobatan Sistemik
1. Tiabendazol (Mintezol)
Merupakan drugs of choice (DOC) untuk Creeping eruption. Bekerja
dengan menghambat enzim fumarat reduktase larva, dan menghambat ambilan
glukosa oleh larva sehingga menyebabkan kematian larva. Dosis yang dianjurkan
untuk dewasa adalah 25-50 mg/kgBB/hari dua kali sehari, selama 2-5 hari. Untuk
anak-anak diberikan 25-50 mg/kgBB/hari dua kali sehari, maksimal 3 gram sehari.
Bila masih ditemukan lesi aktif, selang dua hari kemudian dapat diberikan lagi satu
kuur pengobatan. Obat ini kontra indikasi untuk anak-anak dengan berat badan
kurang dari 15 kg. Gangguan fungsi hati atau ginjal dan pasien yang hipersensitif.
Efek samping yang ditimbulkan dapat berupa anoreksia, mual, muntah, diare, sakit
kepala, nyeri epigastrium dan rasa kantuk. (Hidayati, 2020)
2. Albendazol
Merupakan antelmintik berspetrum luas yang bekerja dengan cara
memblokir pengambilan glukosa oleh larva, sehingga glikogen menurun dan
pembentukan ATP berkurang, akibatnya larva akan mati. Albendazol tersedia
dalam bentuk sediaan tablet 400 mg dan suspensi 200 mg/5 ml. Diberikan dengan
dosis 400 mg peroral selama 3 hari berturut-turut untuk dewasa dan anak-anak usia
di atas 2 tahun. Untuk anak-anak usia di bawah 2 tahun diberikan 200 mg/hari
selama 3 hari. Efek samping yang ditimbulkan antara lain nyeri ulu hati, diare, sakit
kepala, mual, lemah, insomnia, dan dizzines. Albendazol tidak dianjurkan untuk
wanita hamil, penderita serosis dan hipersensitif. (Hidayati, 2020)
Komplikasi
Ekskoriasis dan infeksi sekunder oleh bakteri akibat garukan merupakan
komplikasi yang sering terjadi. Infeksi umumnya disebabkan oleh streptococcus
pyogenes. Bisa juga terjadi impetigo, reaksi alergi lokal atau general misalnya edema dan
reaksi vesicobullous. (Aisah, 2010)

Anda mungkin juga menyukai