Anda di halaman 1dari 19

CREEPING ERUPTION

I. PENDAHULUAN

Creeping eruption atau yang disebut juga cutaneus larva migrans,


dermatosis linearis migrans, sandworms disease adalah kelainan kulit
yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok- kelok,
menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang
yang berasal dari anjing dan kucing. Penyakit ini banyak terdapat di
daerah tropis atau subtropis yang hangat dan lembab, misalnya di Afrika,
Amerika Selatan dan Barat, Asia Tenggara begitu juga Indonesia. 1-3
Penyebab kelainan ini adalah Ancylostoma braziliense dan
Ancylostoma caninum. Manusia terinfeksi melalui kontak kulit dengan
tanah yang terkontaminasi ini. Manusia merupakan hospes aksidental di
mana larva jarang sekali namun dapat ditemukan infiltrat paru yang
disebut sindrom loeffler. 1-3
Creeping itch atau rasa gatal yang menjalar, merupakan
karakteristik utama dari creeping eruption. Mula-mula akan timbul papul,
kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau
berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna
kemerahan. Faktor resiko utama penyakit ini adalah kontak dengan tanah
lembab atau berpasir, yang telah terkontaminasi dengan feses anjing atau
kucing. 1-3

II. EPIDEMIOLOGI

Creeping eruption adalah penyakit yang terdapat pada daerah


tropis atau subtropis yang hangat dan lembab. Penyakit ini dapat
mengenai semua jenis kelamin dan umur. Creeping eruption merupakan
urutan kedua diantara infeksi cacing kremi di negara maju. Misalnya di
Afrika, Amerika Selatan dan Barat, Karibia, India, Asia Tenggara, dan banyak
dijumpai di Indonesia. 2,4,5,6

1
Infestasi lebih sering ditemukan saat ini karena tingginya mobilitas
dan tamasya. Dilaporkan adanya outbreak insiden CLM di perkemahan
anak-anak di Miami, Florida pada tahun 2006. Dilaporkan 22 orang
(33,7%) terdiri dari anak-anak dan dewasa, menderita CLM setelah 2,5
minggu berada di perkemahan. Dari analisis didapatkan 22 orang tersebut
bermain di kotak pasir selama minimal 1 jam per hari, berjemur matahari
1 jam per hari, 17 dari 22 orang yang terkena ternyata tidak mengenakan
sandal pada saat bermain pasir.7

Gambar 1. Frekuensi penyebaran Cutaneus Larvae Migrans di Amerika Serikat


Sumber : www.cdc.gov/eid/article/15

III. ETIOLOGI

Creeping eruption biasanya ditujukan untuk lesi yang diakibatkan


cacing tambang dengan hospes non-manusia. Penyebab utama adalah
larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing dan kucing,
yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Ancylostoma
braziliense adalah penyebab tersering. Di Asia Timur umumnya
disebabkan oleh gnathostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus
ditemukan Echinococcus, Strongyloides stercoralis, Dermatobia maxiales
dan Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari
beberapa jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle
fly. 1,3,6

2
Gambar 2 : Nematoda dewasa Ancylostoma Braziliense
Sumber : http://www.luciddiagnostics.in/ldadmin/ancylostoma-braziliense

Gambar 3. Jenis-jenis cacing tambang (hookworm)


Sumber : http://www.luciddiagnostics.in/ldadmin/ancylostoma-braziliense

Siklus hidup Ancylostoma braziliense terjadi pada binatang dan


serupa dengan Ancylostoma duodenale pada manusia. Siklus hidup
parasit dimulai saat telur keluar bersama kotoran binatang ke tanah
berpasir yang hangat dan lembab. Pada kondisi kelembaban dan
temperatur yang menguntungkan, telur bisa menetas dan tumbuh cepat
menjadi larva rhabditiform. Awalnya larva makan bakteri yang ada di
tanah dan berganti dulu dua kali sebelum menjadi bentuk infektif (larva
stadium tiga). Pada hospes alami binatang, larva mampu penetrasi
sampai ke dermis dan ditranspor melalui sistem limfatik dan vena sampai
ke paru-paru. Kemudian menembus sampai ke alveoli dan trakea dimana
kemudian tertelan. Di usus terjadi pematangan secara seksual, dan siklus
baru dimulai saat telur diekskresikan. Larva yang infektif dapat tetap hidup
2,5,6
pada tanah selama beberapa minggu.

3
Gambar 4. Siklus hidup pada hospes alami Ancylostoma braziliense
Sumber :
http://www.ah.novartis.com/companionanimal/cat/parasiticworms/typesofworm
s/cat_parasitic_worms_hookworms

IV. PATOGENESIS

Creeping eruption disebabkan oleh berbagai spesies Uncinaria


(cacing tambang) binatang yang didapat dari kontak kulit langsung dengan
tanah yang terkontaminasi feses anjing atau kucing. Hospes normal
cacing tambang ini adalah kucing dan anjing. Telur cacing diekskresikan
kedalam feses, kemudian menetas pada tanah berpasir yang hangat dan
lembab. Kemudian terjadi pergantian bentuk dua kali sehingga menjadi
bentuk infektif (larva stadium tiga). Manusia yang berjalan tanpa alas kaki
terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva dimana larva menggunakan
enzim protease untuk menembus melalui folikel, fisura atau kulit intak.
Setelah penetrasi stratum korneum, larva melepas kutikelnya. Biasanya
migrasi dimulai dalam waktu beberapa hari. Larva stadium tiga menembus
kulit manusia dan bermigrasi beberapa sentimeter perhari, biasanya
antara stratum germinativum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di
kulit berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal. Hal ini

4
menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam
atau hari akan timbul gejala di kulit. Larva bermigrasi pada epidermis tepat
di atas membran basalis dan jarang menembus ke dermis.

Gambar 5 : Siklus Hidup Ancylostoma Braziliense


Sumber : http://www.intechopen.com/books/soil-contamination/soil-transmitted-
helminthic-zoonoses-in-humans-and-associated-risk-factors

Manusia merupakan hospes aksidental dan larva tidak mempunyai


enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran basalis sampai
ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim proteolitik
yang disekresi larva menyebabkan inflamasi sehingga terjadi rasa gatal
dan progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk
melengkapi siklus hidup, larva sering kali migrasi ke paru-paru sehingga
terjadi infiltrat pada paru. Pada pasien dengan keterlibatan paru-paru didapatkan
larva dan eosinofil pada sputumnya. Kebanyakan larva tidak mampu
menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa
bulan.2,3,5

V. GAMBARAN KLINIS

5
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas.
Mula-mula akan timbul papul, kemudian diikuti bentuk yang khas, yakni
lesi berbentuk linear, menimbul dengan diameter 2-3 mm, dan berwarna
kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan bahwa
larva tersebut telah ada di kulit selama beberapa jam atau hari. 1
Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti
benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk
terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa cm. Rasa gatal
biasanya lebih hebat pada malam hari. Terjadi rasa gatal pada ujung lesi
yang bertambah panjang karena terdapat larva. Larva filariform pada
manusia tidak berkembang menjadi dewasa, infeksi larva terbatas hanya
pada lapisan epidermis, yang menyebabkan kelainan berupa garis merah
berbentuk serpiginosa yang disebut Creeping eruption. Masuknya larva
kekulit dapat menimbulkan erupsi yang tidak spesifik, dapat berupa
sensasi tingling atau prickling selama 30 menit sejak larva masuk kulit.
Kemudian jaringan kulit yang ditembus larva filariform berubah menjadi
papul keras, merah dan gatal. Larva dapat tidur selama beberapa minggu
atau bulan atau segera memulai aktifitasnya. Dalam beberapa hari
berikutnya, akan terbentuk terowongan sempit di intrakutan yang
menimbul dengan diameter 2-3 mm dengan panjang 3-4 cm dan berwarna
kemerahan. Terowongan ini membentuk garis yang semakin panjang
sesuai dengan gerakan larva yang ada didalamnya. Penyakit ini self-
limited dengan kematian larva dalam waktu sebulan atau dua bulan. Lebar
lesi berkisar antara 3mm dan panjang bervariasi mencapai 15-20 cm. Lesi
1,6,7
bisa tunggal atau multipel, sangat gatal dan bisa juga nyeri.

6
Gambar 6. Creeping eruption pada kaki
Sumber : http://www.dermatalk.com/blogs/skin-disorders/cutaneous-larva-migrans/

Tempat predileksi adalah di tungkai, plantar, tangan, anus,


bokong, paha, juga di bagian tubuh di mana saja yang sering berkontak
dengan tempat larva berada. Sering terjadi ekskoriasi dan infeksi
sekunder oleh bakteri. Sepanjang garis yang berkelok-kelok terdapat
vesikel kecil yang sewaktu-waktu memungkinkan terjadinya infeksi
sekunder jika kulit digaruk. 6,7
Tanda dan gejala sistemik (mengi, batuk kering, urtikaria)
pernah dilaporkan pada pasien dengan infeksi ekstensif. Tanda sistemik
termasuk eosinofilia perifer dan peningkatan kadar IgE. Pada kasus
creeping eruption bisa terjadi sindrom loeffler dan myositis namun
jarang dijumpai. Larva bisa bermigrasi ke usus halus dan menyebabkan
enteritis eosinofilik. 6,7

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan IgE serum dan eosinophil biasanya didapatkan
meningkat dari normal yang menandakan adanya infeksi parasit.
Untuk menunjang diagnosa bisa dilakukan biopsi kulit. Biopsi kulit
yang diambil tepat di atas lesi menunjukkan larva (tes periodic asam schiff
positif) di terowongan suprabasilar, terowongan pada membrane basalis,

7
spongiosis dengan vesikel intraepidermal, nekrosis keratinosit dan infiltrat
kronis oleh eosinofil pada lapisan epidermis dan dermis bagian atas. 8

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis creeping eruption ditegakkan berdasarkan atas
gambaran klinis, riwayat pajanan epidemiologi dan ditemukan lesi yang
khas. Bentuk khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang
lurus atau berkelok-kelok, menimbul, dan terdapat papul atau vesikel
di atasnya. Biopsi spesimen diambil pada ujung jalur yang mungkin
mengandung larva tetapi biopsi kurang mempunyai arti karena larva sulit
ditemukan. Bila infeksi ekstensif bisa dijumpai tanda sistemik berupa
eosinofilia perifer, sindrom loeffler (infiltrate paru yang berpindah-pindah),
peningkatan kadar IgE. Hanya sedikit pasien yang menunjukkan
1,3,9,10
eosinofilia perifer dan peningkatan IgE.

VIII. DIAGNOSIS BANDING


A. Scabies
Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi
dan sensitasi terhadap sarcoptes scabiei var. hominis dan
produknya. Cara penularan bisa melalui kontak langsung (kontak
dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur bersama dan
hubungan seksual. Dan melalui kontak tidak langsung (melalui
8-12
benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal dan lain-lain.

8
Gambar 7. Scabies pada pergelangan tangan dan sela- sela jari
Sumber : http://scabiesrashpictures.org/Scabies-Mites-Pictures.php

Scabies memiliki gejala klinis seperti pruritus nocturnal,


adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi
yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau
berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan
ditemukan papul atau vesikel. Menemukan tungau, merupakan hal
yang paling diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium
hidup tungau ini. Penyakit ini menyerang manusia secara
berkelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya seluruh
anggota keluarga terkena infeksi. Dengan melihat adanya
terowongan harus dibedakan dengan scabies. Pada scabies
terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti pada
creeping eruption.3,8,11

B. Insect bite

Insect bite merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh


gigitan dari serangga. Kelainan kulit disebabkan oleh masuknya zat
farmakologis aktif dan sensitasi antigen dari serangga tersebut.
Dalam beberapa menit akan muncul papul persisten yang
seringkali disertai central hemmoragic punctum. Reaksi bulosa
sering terjadi pada kaki anak-anak. Pada permulaan timbulnya
creeping eruption akan ditemukan papul yang menyerupai insect
bite (Gambar 8). 13-6

9
Gambar 8. Gigitan serangga pada punggung
Sumber : http://bed-bugbites.org/bed-bug-bites-pictures-on-humans/bed-
bug-bites-on-back/

IX. PENATALAKSANAAN

Cutaneous larva migrans ini adalah penyakit yang dapat sembuh


sendiri. Berapa lama penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya
tergantung spesies larva yang menginfeksi. Pada beberapa kasus, lesi
akan sembuh tanpa terapi dalam 4 sampai 8 minggu. Tetapi, terapi yang
efektif dapat mempercepat penyembuhan penyakit ini. Adapun terapi yang
dapat digunakan adalah sebagai berikut:

A. Non-Medika Mentosa
Infeksi cacing tambang binatang dapat dicegah dengan
meningkatkan sistem sanitasi yang baik terutama yang terkait
dengan feses. Pemakaian sepatu tertutup pada area dimana
banyak terdapat penyakit cacing tambang. Memperhatikan
kebersihan dan menghindari kontak yang terlalu banyak dengan
hewan-hewan yang merupakan karier cacing tambang.

10
Menghindari kontak kulit langsung dengan tanah yang tercemar
kotoran binatang. Pengobatan cacing tambang untuk kucing dan
anjing merupakan hal yang utama untuk mencegah creeping
eruption. Kotoran binatang harus dipindahkan secara benar dari
area aktivitas manusia. Creeping eruption bisa dicegah dengan
1-3
mudah dengan memakai alas kaki yang memadai setiap saat.

B. Medikamentosa
Jika dibiarkan saja tanpa pengobatan, larva akan mati dan
diabsorbsi. Meskipun penyakit ini self-limited, rasa gatal yang
hebat dan resiko infeksi sekunder memaksa seseorang untuk
berobat. Untuk kasus yang ringan biasanya tidak memerlukan
pengobatan. Jika perlu dapat diberikan secara topikal. Pengobatan
topikal ditujukan untuk lesi awal yang terlokalisasi. Untuk kasus
yang lebih berat dapat diberikan obat peroral. Pengobatan oral
untuk lesi yang luas atau gagal dengan topikal. Antihistamin
membantu mengurangi rasa gatal. Jika terjadi infeksi sekunder
oleh bakteri dapat diberikan antibiotik.1-3

1. Pengobatan Sistemik (Oral)


a. Anti-Helmintes
1. Tiabendazol
Merupakan drugs of choice. Sejak tahun 1963 telah
diketahui bahwa antihelminthes berspektrum luas,
misalnya tiabendazol ternyata efektif. Obat ini sukar
didapat. Menghambat enzim fumarat reductase
sehingga menginhibisi pembentukan mikrotubuli. Akan
terjadi gangguan uptake glukosa dan inhibisi malat
dehidrogenase. Merupakan antihelminthes heterosiklik
generasi ketiga. 1-3
Untuk dosis orang dewasa :

11
Topikal berupa supensi 10-15% (kadang dicampur
dengan krim kortikosteroid) secara oklusi, 2 kali
sehari, selama minimal 1 minggu
Oral 25-50 mg/kgBB/hari, tiap 12 jam, selama 2-5
hari
Untuk dosis anak-anak :
Dengan dosis 25-50 mg/kgBB/hari setiap 12 jam.
Tidak lebih dari 3 gr/hari.
Tiabendazol lebih toksik daripada benzimidazol dan
ivermectin sehingga lebih dipilih agen yang lain. Efek
samping yang sering berupa pusing, anoreksia, nausea
dan muntah. Permasalahan yang lebih jarang seperti
nyeri epigastrium, kram abdomen, diare, pruritus,
nyeri kepala, mengantuk, dan simtom neuroleptik.
Pernah dilaporkan kerusakan hati yang ireversibel dan
sindrom Steven Johnson. Tiabendazol pada anak di
bawah 15 kg masih terbatas penggunaaannya. Obat ini
tidak boleh digunakan untuk ibu hamil atau yang
1-3
menderita penyakit hati maupun ginjal.

2. Ivermectin
Antiparasit semisintetik makrosiklik yang berspektrum
luas terhadap nematoda. Cara kerjanya dengan
menghasilkan paralisis flaksid melalui pengikatan kanal
klorida yang diperantarai glutamat. Mungkin merupakan
drug of choice karena keamanan, toksisitas rendah dan
dosis tunggal. 1-3

Untuk dosis dewasa :


12 mg atau 200 ug/kgBB dosis tunggal
Untuk dosis anak-anak :

12
<5tahun : 150 ug/kgBB dosis tunggal
>5 tahun : sama dengan dewasa
Efek samping mencakup kelelahan, pusing, nausea,
muntah, nyeri perut dan bercak kemerahan. Hindari
penggunaan bersama obat yang meningkatkan aktivitas
GABA seperti barbiturat, benzodiazepine dan asam
valproat. Ivermectin tidak boleh diberikan pada ibu
hamil.1-3

3. Albendazol
Antihelmintes bersepektrum luas yang mengganggu
uptake glukosa dan agregasi mikrotubuli. Sebagai
alternatif pengganti tiabendazol.
Untuk dosis dewasa :
400 mg per oral, sekali sehari, selama 3 hari atau
2x200 mg sehari selama 5 hari
Untuk dosis anak-anak :
<2tahun : 200 mg/hari selama 3 hari dan diulang
3 minggu kemudian jika perlu
>2 tahun : sama seperti dewasa
Bila digunakan 1-3 hari, albendazol hampir bebas
efek samping. Bisa terjadi gejala ringan distres
epigastrium, diare, sakit kepala, nausea, pusing, lesu
dan insomnia. Pada pemakaian jangka panjang harus
dicek darah dan fungsi hati. Tidak boleh diberikan
pada orang yang hipersensitif terhadap benzimidazol
lainnya atau orang dengan sirosis. Kemanan pada ibu
hamil dan anak kurang dari 2 tahun masih belum
diketahui. 1-3

4. Mebendazol

13
Antihelmintes spektrum luas yang menginhibisi perakitan
mikrotubuli dan memblok uptake glukosa sehingga terjadi
deplesi cadangan glikogen parasit.
Untuk dosis dewasa :
200 mg per oral, 2 kali sehari selama 4 hari
Untuk dosis anak-anak :
<2 tahun : tidak disarankan
>2 tahun : seperti dewasa
Bisa terjadi nausea, muntah, diare dan nyeri
abdominal. Efek samping yang jarang berupa reaksi
hipersensitivitas, agranulositosis, alopesia dan
peningkatan enzim hati. Mebendazol teratogenik pada
binatang sehingga tidak disarankan untuk ibu hamil.
Pada anak kurang dari 2 tahun harus berhati-hati
karena masih kurangnya penelitian. Kadar plasma bias
berkurang pada penggunaan bersama karbamazepin
atau fenitoin. Meningkat ada penggunaan bersama
simetidin. Harus berhati-hati pada orang dengan sirosis.
Hasil studi yang dilakukan Tae Hyeung Kim,
Byeung Song Lee, dan Wook Mok Sohn
mendapatkan bahwa ivermectin dosis tunggal 12 mg
pada studi acak 21 pasien didapat hasil lebih efektif
daripada albendazol 400mg dosis tunggal.
Tiabendazol juga merupakan pengobatan yang efektif
untuk CLM. Namun ivermectin dan tiabendazol sukar
didapat sehingga disarankan pengobatan dengan
albendazol dosis tunggal. 1-3
b. Anti-Pruritus
1
Antihistamin membantu mengurangi rasa gatal.

c. Antibiotik

14
1
Jika terjadi infeksi sekunder disebabkan oleh bakteri.

2. Pengobatan Topikal
Obat pilihan berupa tiobendazol topikal 10%, diaplikasi 4 kali
sehari selama satu minggu. Topikal tiobendazol adalah pilihan
terapi pada lesi yang awal, untuk melokalisir lesi, mengurangi
lesi multipel dan infeksi folikel oleh cacing tambang. Obat ini
perlu diaplikasikan di sepanjang lesi dan pada kulit normal di
sekitar lesi. Dapat juga digunakan solutio tiobendazol 2% dalam
DMSO (dimetil sulfoksida) atau tiobendazol topikal ditambah
kortikosteroid topikal yang digunakan secara oklusi dalam 24-48
jam. 1-3
Eyster mencoba pengobatan topikal solusio tiobendazol
dalam DMSO dan ternyata efektif. Demikian pula pengobatan
secara oklusi selama 34-48 jam telah dicoba oleh Davis. Obat
lain ialah albendazol, dosis sehari 400 mg sebagai obat
dosis tunggal, oral atau tiabendazole topikal merupakan
terapi yang direkomendasikan. Namun pengobatan ini
mempunyai efek samping seperti nausea, diare, anoreksia,
pusing, sakit kepala, pembesaran KGB dan reaksi alergi.
Keamanan pengobatan ini selama kehamilan masih belum
diketahui. 1-3

3. Bedah beku
Cara terapi ialah dengan bedah beku atau krioterapi yakni
menggunakan etil klorida atau dry ice dengan penekanan 45
detik sampai 1 menit, 2 hari berturut-turut. Penggunaan NO 2 cair
juga pernah dicoba. Cara beku dengan menyemprotkan kloretil
sepanjang lesi. Cara tersebut di atas agak sulit karena kita
tidak mengetahui secara pasti di mana larva berada, dan
bila terlalu lama dapat merusak jaringan di sekitarnya.

15
Terapi ini efektif bila epidermis terkelupas bersama parasit.
Seluruh terowongan harus dibekukan karena parasit
diperkirakan berada dalam terowongan. Cara ini bersifat
3
traumatik dan hasilnya kurang dapat dipercaya.

Gambar 9. Cara melakukan krioterapi


Sumber :
http://fabulouslyaverage.com/beauty/cryotherapy-worked-but-more-
age-spots-uncovered

4. Lain-lain
Pengobatan cara lama dan sudah ditinggalkan adalah
dengan preparat antimony. Kemoterapi dengan klorokuin,
1
antimony, dan dietilkarbamazin juga tidak berhasil.

X. KOMPLIKASI

Ekskoriasi dan infeksi sekunder oleh bakteri akibat garukan. Infeksi


umum disebabkan oleh streptococcus pyogenes. Bisa juga terjadi selulitis
dan reaksi alergi. 6,7

XI. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini biasanya baik dan merupakan penyakit self-
limited, dimana larva akan mati dan lesi membaik dalam waktu 4-8 minggu.
Dengan pengobatan progresi lesi dan rasa gatal akan hilang dalam waktu
48 jam. 5

16
XII. KESIMPULAN
Creeping eruption merupakan penyakit kulit yang disebabkan
oleh larva cacing tambang binatang dan bersfiat self-limited. Penyakit
ini sering dijumpai di daerah tropis dan subtropis. Orang yang beresiko
terinfeksi adalah mereka yang sering berhubungan dengan tanah
berpasir dan tidak memakai alas kaki.
Penyebab penyakit ini adalah Ancylostoma braziliense dan
Ancylostoma caninum. Penyebab tersering adalah Ancylostoma
braziliense. Manusia terinfeksi melalui kontak kulit dengan tanah yang
terkontaminasi. Manusia merupakan hospes aksidental di mana larva
jarang sekali namun dapat ditemukan infiltrat paru yang disebut
sindrom loeffler.
Gejala klinis yang timbul berupa gatal, papul eritematosa,
kadang disertai rasa nyeri, serta lesi khas yang berbentuk linear
berkelok-kelok. Dapat terjadi ekskoriasi dan infeksi sekunder yang
umumnya disebabkan oleh Streptococcus pyogenes. Ditemukan
eosinofilia perifer dan peningkatan kadar IgE. Tempat pedileksi di
bagian tubuh mana saja yang sering berkontak dengan tempat larva
berada.
Penatalaksanaan yang baik adalah edukasi mengenai
pencegahan. Pengobatan dapat diberikan antiheliminthes topikal
maupun oral, digunakan antihelminthes berspektrum luas. Ivermectin
dosis tunggal 12 mg, Albendazol 400 mg dosis tunggal, Tiabendazol 50
mg/kgBB dalam 2 dosis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Aisah S. Creeping eruption. In: Djuanda A, editor. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin. Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia 2007. p. 125-6.

17
2. Nareswari S. Cutaneous larva migrans yang disebabkan cacing
tambang. Disertasi. Lampung: Universitas Lampung, 2015.

3. Estrada R. Larva migrans (larva migrans syndrome). In: Arenas R,


Estrada R, editors. Tropical dermatology. Goergetown, Texas:
Landes Bioscience 2001. p. 213-8.

4. Hairani B. Keberadaan telur dan larva cacing tambang pada tanah


di lingkungan desa Sepunggur dan desa Gunung Tinggi Kabupaten
Tanah Bumbu Kalimantan Selatan tahun 2014. Disertasi.
Kalimantan Selatan: Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Badan
Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, 2015.

5. Erawan IGMK, Widyastuti SK, Suartha IN. Prevalensi dan intensitas


infeksi ancylostoma spp. pada anjing di Jawa. Disertasi. Bali:
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, 2016.

6. Lederman ER, Weld LH, Elyazar IRF, Sonnenburg F, Loutan L,


Schwartz E, Keystone JS. Dermatologic conditions of the ill
returned traveler: an analysis from the GeoSentinel Surveillance
Network. Disertasi. Canada: Internal Society For Infectious
Disease, 2007.

7. Micantonio T, Peris K. Pruritic, serpiginous eruption in a returning


traveller. CMAJ.JAMC 2008:51-2.

8. Handoko RP. Skabies. In: Djuanda A, editor. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. 5 ed. Jakarta: FK-UI; 2010. p. 122-4.

9. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM. Infeksi Parasit: Creeping


Eruption, Skabies. In: Penyakit kulit yang umum di Indonesia.
Jakarta: PT Medical Multimedia Indonesia; 2005. p. 71-2.

10. Soeharsono. Infeksi parasit: Creeping eruption. In: Zoonosis.


Jakarta: PT Medical Multimedia Indonesia; 2007. p. 141-2.

18
11. Barry M. Scabies. In: Elson DM, editor. Medscape. Virginia:
Departement of Dermatology, University of Virginia School of
Medicine; 2009.

12. Handoko RP. Penyakit Virus: Herpes zoster. In: Djuanda A, editor.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: FK-UI; 2010. p. 110.

13. Burns BD. Insect bites. In: Alcock J, editor. Medscape. Oklahoma:
Departemen of Emergency Medicine, University of Oklahoma
School of Comunity Medicine; 2011.

14. Hunter J, Savin J, Dahl M. Infestation: Insect Bite, Scabies, Larva


migrans. In: Taylor S, editor. Clinical dermatology. 3th ed: Blackwell;
2002. p. 224-32.

15. Budimulja U. Mikosis: Dermatofitosis. In: Djuanda A, editor. Ilmu


penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: FK-UI; 2010. p. 92-93.

16. Arenas R. Dermatophytosis. In: Arenas R, Estrada R, editors.


Tropical dermatology. Georgetown, Texas: Landes Bioscience;
2001. p. 2-8.

19

Anda mungkin juga menyukai