Anda di halaman 1dari 13

CUTANEOUS MYIASIS

Agrifina Helga Pratiwi, S.Ked


Pembimbing: Dr. Sarah Diba, Sp.KK
Bagian / Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Cutaneous myiasis (CM) merupakan penyakit kulit akibat infestasi larva lalat dari
ordo Diptera pada manusia atau vertebrae hidup. Terminologi myiasis berasal dari bahasa
Yunani yaitu myia yang berarti lalat. 1 Larva tersebut memakan jaringan mati atau hidup
serta cairan tubuh atau makanan yang ditelan pejamu.2 Cutaneous myiasis dapat
dikategorikan secara parasitologi maupun anatomi.3
Jenis lalat yang menyebabkan CM sangat beragam. Setiap jenis memiliki
karakteristik morfologi dan siklus hidup berbeda. Larva lalat penyebab CM membutuhkan
oksigen untuk hidup dan beberapa diantaranya dapat berkembang biak pada makhluk
hidup maupun benda mati2.
Cutaneous myiasis terjadi karena berbagai macam faktor termasuk higienitas,
kondisi tubuh, lingkungan, suhu, dan keagresifan jenis lalat itu sendiri. Penyakit ini
tersebar di seluruh dunia dengan tingkat insidensi berbeda. Insidensi tertinggi terjadi di
daerah tropis dan subtropis Afrika.1,2 Kesalahan diagnosis seringkali terjadi akibat
manifestasi klinik yang menyerupai infeksi bakteri lain, sehingga menyebabkan pasien
mendapat pengobatan yang tidak tepat. Hal tersebut melatarbelakangi penulisan referat ini
dengan tujuan menambah informasi sehingga dapat menegakkan diagnosis dan
menatalaksana CM dengan tepat.
.
EPIDEMIOLOGI
Infeksi CM

berlangsung singkat

dan sebagian besar kasus tidak terlalu berat

sehingga dapat dirawat sendiri di rumah. Kondisi ini membuat prevalensi maupun
insidensi CM sulit ditentukan. Kebanyakan insidensi CM di Amerika ditemukan pada
daerah Amerika Selatan atau terjadi pada pasien dengan riwayat kunjungan ke negara
tropis, status ekonomi sangat rendah, dan higienitas buruk. Cutaneous myiasis juga dapat
terjadi pada semua ras, jenis kelamin, dan usia.2,3

Di Panama dilaporkan terjadi sekitar 160 kasus/1000 penduduk pertahun, sedangkan


di Srilanka dilaporkan kasus CM yang menyerang 10 laki-laki dan 6 perempuan dari umur
11 - 94 tahun akibat infestasi larva Chrysomia bezziana.5,7
Penduduk Indonesia berisiko lebih tinggi mengalami CM karena memiliki iklim
tropis. Sulawesi, Sumba Timur, Lombok, Sumbawa, Papua, dan Jawa dilaporkan sebagai
daerah endemik CM di Indonesia. Meskipun insidensi CM di Indonesia jarang dilaporkan,
lalat penyebab myiasis terdapat banyak di Indonesia. Pada studi tentang lalat di timbunan
sampah di kota Yogyakarta terdapat beberapa jenis lalat seperti Cordylobia antropophaga
dan Sarcophagidae. Di Sumatera Selatan sendiri pernah dilaporkan suatu kasus wound
myiasis yang disebabkan oleh Chrysomia bezziana.4,5
KLASIFIKASI
Cutaneous myiasis merupakan salah satu penyakit myiasis yang dikategorikan secara
klinik. Myiasis dapat dikategorikan menjadi dua yaitu secara anatomi (klinik) dan ekologi
(parasitologi).

Klasifikasi

anatomi

berguna

sebagai

diagnosis

praktis

untuk

mengklasifikasikan infestasi berdasarkan lokasi lesi pada pejamu. Klasifikasi parasitologi


ditentukan jika satu spesies menyerang lebih dari satu lokasi anatomi atau satu lokasi
anatomi terinfestasi spesies yang berbeda.6 Berikut penjelasan klasifikasi myiasis:
a. Klasifikasi anatomi
Klasifikasi anatomi pertama kali diusulkan Bishopp, kemudian dimodifikasi James dan
Zumpt. Setiap penemu memiliki istilah yang berbeda namun memiliki arti yang sama
dalam mengklasifikasikan penyakit myiasis. Myiasis secara anatomi dapat dibagi
menjadi enteric, ophthalmic, nasopharyngeal, auricular, oral, urogenital, dan
cutaneous myiasis. Cutaneous myiasis merupakan jenis paling banyak ditemukan dan
terbagi lagi menjadi furuncular myiasis, migratory myiasis, serta wound myiasis.2,6
b. Klasifikasi parasitologi
Myasis secara parasitologi dibagi menjadi tiga yaitu obligatory, facultative, dan
accidental myiasis. Obligatory myiasis adalah keadaan dimana larva lalat tidak dapat
hidup bebas dan hanya dapat hidup pada jaringan tubuh manusia atau binatang. Telur
diletakkan pada kulit, luka, atau rambut pejamu. Facultative myiasis berarti larva
selain hidup pada daging busuk atau sayuran busuk, dapat hidup juga pada jaringan
tubuh manusia, sedangkan accidental myiasis terjadi jika telur yang mengkontaminasi
makanan dan minuman tidak sengaja tertelan manusia dan menetas menjadi larva di
usus.2,6

ETIOLOGI DAN SIKLUS HIDUP


Cutaneous myiasis disebabkan oleh infestasi larva lalat dari ordo Diptera (lalat
sejati) yang memiliki satu pasang sayap fungsional dengan sayap kecil dibagian belakang.
Ordo ini terbagi menjadi dua subordo, yaitu Nematocera dan Brachycera. Nematocera
terdiri atas famili lalat penghisap darah. Subordo Brachycera terdiri atas beberapa
infraordo. Infraordo Muscomorpha mengandung semua spesies lalat penyebab CM
terutama dari famili Calliphoridae (bowfly) dan Muscidae (housefly).5,7
Jenis lalat penyebab CM penting untuk diketahui untuk menegakkan diagnosis
definitif CM. Berikut penjelasan beberapa jenis lalat dan siklus hidupnya:
a. Dermatobia hominis (human botfly)
Jenis lalat ini merupakan penyebab tersering furuncular myiasis, kebanyakan
ditemukan di negara dengan kelembaban relatif tinggi seperti Meksiko, Argentina, dan
Chile. Dermatobia hominis dewasa memiliki kepala kuning, dada biru, perut biru
metalik, dan berukuran 12-15 mm (Gambar 1).
Dermatobia hominis betina langsung bertelur di dedaunan atau menempelkan
telurnya pada nyamuk. Telur ditempelkan pejamu melalui kontak langsung dengan
dedaunan atau ketika nyamuk menggigit pejamu. Karakteristik ini disebut hitch-hiking
atau phoresis. Waktu hidupnya tergolong singkat yaitu 4-8 hari.2
Panas dari tubuh pejamu setelah kontak dengan kulit menyebabkan telur menetas.
Larva instar pertama masuk melalui kulit yang sudah mengalami perforasi lalu
berkembang menjadi instar kedua atau ketiga dalam 5-10 minggu. Instar ketiga
berukuran 18-24 mm. Larva instar ketiga (Gambar 2) yang sudah siap menjadi
kepompong akan menuju ke permukaan kulit dan jatuh ke tanah untuk menjadi pupa.
Pupa akan berkembang menjadi dewasa selama 20-30 hari dan siklus hidup lalat
terulang kembali (Gambar 3). 2,6
Gambar 1. Lalat Dermatobia hominis2

Gambar 2. Larva Dermatobia hominis6

Pupa
menjadi
lalat
dewasa
setelah
5-30
hari

Vektor mengigit
manusia kemudian
telur menetas menjadi

Fase

Vektor yang
mengandung
telur

Fase diagnostik

Larva berkembang
dan berpenetrasi
pada kulit manusia
Larva keluar dari
kulit manusia
setelah 5-10 pekan
lalul jaatuh ke
tanah
bermetamorfosis

Gambar 3. Siklus hidup Dermatobia hominis6

b. Hypoderma bovis
Hypoderma bovis dewasa berukuran 11-16 mm menyerupai lebah, berwarna
kuning hingga putih, dan berambut hitam (Gambar 4). Hypoderma bovis dewasa
muncul selama musim panas dan paling sering menyebabkan migratoric myasis.1,2
Telur Hypoderma spp. akan menempel pada rambut manusia dan larva masuk
melalui kulit atau mukosa bukal. Larva bermigrasi 2-30 cm dalam 24 jam di jaringan
subkutan. Larva berikutnya mengalami periode pertumbahan yang cepat menjadi instar
ketiga (Gambar 5), kemudian keluar melalui kulit ekstremitas proksimal, kulit kepala,
wajah, atau leher dan jatuh ke tanah untuk menjadi kepompong. Perlu diketahui bahwa
kebanyakan larva mati dalam jaringan manusia.2
c. Chrysomyia bezziana
Chrysomyia bezziana merupakan lalat penyebab wound myiasis. Lalat dewasa
jenis ini berukuran 8-12 mm, berkepala hitam, wajah jingga, sedangkan pada dada dan
perut berwarna hijau sampai ungu kebiruan.2 (Gambar 6). Siklus hidup Chrysomyia
bezziana betina bertelur di tepi luka atau membran mukosa dan telur menetas setelah
masa inkubasi yang kurang dari 1 hari. Larva instar pertama mendapat nutrisi dari
jaringan tubuh manusia selama 4-8 hari, kemudian menjadi instar kedua dan ketiga
yang menyebabkan kerusakan jaringan besar. Sebuah luka dapat berisi hingga 3000

larva. Larva instar ketiga berukuran 14-18 mm (Gambar 7) jatuh ke tanah dan menjadi
kepompong dalam 6-7 hari. Dalam kondisi optimal, seluruh siklus hidup berlangsung
selama 20 hari.2

Gambar 4. Lalat Hypoderma bovis2

Gambar 6. Lalat Chrysomia bezziana2

Gambar 5. Larva instar ketiga Hypoderma bovis2

Gambar 7. Larva Chrysomyia bezziana2

MANIFESTASI KLINIK
Jenis larva penyebab CM akan menimbulkan manifestasi klinik bervariasi yang berguna
dalam menentukan tipe CM. Berikut gambaran klinik masing-masing tipe CM:
1. Furuncular myiasis
Lesi awal furuncular myiasis berupa papul eritem yang berkembang menjadi
furunkular dalam beberapa hari. Setiap lesi memiliki pori sentral yang memungkinkan
udara masuk untuk respirasi larva. Rasa gatal, sensasi seperti ada yang bergerak, nyeri
seperti ditusuk, dan munculnya sekret serosanguinus dari pori sentral akan timbul
selama fase larva. Ujung posterior larva dilengkapi dengan sekelompok spirakel,

biasanya terlihat dalam pori sentral (Gambar 8). Reaksi inflamasi di sekitar lesi dapat
disertai dengan limfangitis dan limfadenopati regional. Setelah larva dikeluarkan, lesi
akan cepat sembuh. Sengatan tajam di lokasi lesi akan terasa beberapa hari atau pekan
sebelum gejala timbul yang disebabkan oleh penetrasi larva ke dalam kulit.8,9

myiasis6

Gambar 8. Furuncular

2. Wound myiasis
Wound

myiasis sering terjadi

di sekitar telinga,

hidung, ataupun kaki

(Gambar 9). Infestasi berat wound myiasis dapat mengakibatkan erosi tulang rawan
atau tulang tengkorak dan kematian. Ukuran lesi wound myiasis dapat mencapai 4-5 cm
dan menghasilkan bau yang khas. Kecurigaan adanya infeksi larva harus timbul jika
terdapat luka dengan pus yang berbau busuk disertai sensasi pergerakan dan nyeri. 5,9

Gambar 9. Wound myiasis5

3. Migratoric myiasis
Creeping myiasis lebih sulit didiagnosis dibandingkan furuncular myiasis karena
larva lalat tidak terlihat jika belum terbentuk lubang untuk respirasi. Creeping myiasis
yang disebabkan oleh Gasterophilus spp. superfisial, jelas, dan terdapat terowongan
serpentin (creeping eruption). Larva Hypoderma spp. terdapat lebih dalam (subkutan),
lebih nyeri disertai pembengkakan kulit yang sementara. Lesi pada creeping dermal

myiasis menyerupai cutaneous larva migrans. Lesi tersebut berliku-liku seperti garis
merah dengan vesikel terminal yang menandai larva telah bermigrasi melalui kulit
(Gambar 10). Lesi awal pada creeping dermal myiasis berbentuk papula seperti
furuncular myiasis. Kulit akan menjadi sedikit eritematosa, lembut, berukuran 1-5 cm,
dan menonjol selama terjadi migrasi. Lesi yang berbentuk nodul umumnya tampak di
dada dan leher dan terjadi saat musim dingin. Sensasi seperti berduri, rasa terbakar, dan
gatal juga banyak ditemui pada CM jenis ini. Eritema berlangsung beberapa jam hingga
beberapa hari dan akan berubah menjadi patch kekuningan sebagai tanda bahwa larva
telah bermigrasi ke lokasi lain.8,9

Gambar 10. Migratoric myiasis5

DIAGNOSIS
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Terdapat riwayat melakukan perjalanan ke area endemis CM beberapa minggu


terakhir.

Terdapat sensasi pergerakan di bawah kulit.

Lesi disertai rasa gatal dan nyeri yang hebat secara tiba-tiba.

Terdapat lesi sesuai dengan ciri khas manifestasi klinik masing-masing tipe CM.

Ditemukan larva.2

2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah rutin mungkin menunjukkan leukositosis dan peningkatan


eosinofil.2

Pemeriksaan Histopatologi

Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan sebuah kavitas berukuran kecil di


lapisan dermis, berisi larva yang sedang berkembang. Kavitas ini dikelilingi oleh
infiltrate yang merupakan gabungan sel-sel inflamasi, yaitu limfosit, histiosit, giant
cells, dan sel plasma.2,6

MRI telah digunakan dalam sejumlah kasus miasis serebral, myiasis payudara, dan

myiasis wajah, dan orbital.5


Ultrasonografi merupakan alat bantu diagnostik baru yang bisa menentukan lokasi

dan ukuran larva.2,9


Dermoskopi memberikan gambaran central opening yang dikelilingi dengan
pembuluh darah yang berdilatasi dan berisi struktur berwarna kekuningan dengan
gambaran spirakel hitam.13

Diagnosis definitif dapat ditegakkan dengan menemukan dan menentukan jenis larva.
DIAGNOSIS BANDING
Furuncular myiasis yang disebabkan Dermatobia hominis sering didiagnosis sebagai
gigitan arthropoda, pioderma, atau keduanya. Furuncular myiasis juga sering didiagnosis
banding dengan ruptur kista epidermoid, abses, furunkulosis, reaksi benda asing, selulitis,
onchocerciasis, tungiasis, reaksi arthropoda, leishmaniasis, dan limfadenopati. Tungau
penetrans, kutu yang menyerang kulit, menyebabkan nodul furunkular yang dapat juga
menyerupai furuncular myiasis, tetapi tungiasis umumnya terdapat pada jari-jari kaki dan
telapak kaki. Infestasi Cochliomyia anthropophaga yang menyebabkan furuncular myiasis
terkadang

didiagnosis

sebagai

pioderma,

impetigo,

furunkulosis

staphylococcal,

Leishmaniasis, drakunkuliasis, penyakit faktisial, dan herpes zoster.2,3


Tiga gejala klinis yang membedakan migratoric myiasis dan cutaneus larva migran
adalah pemanjangan lesi myiasis lebih lama dan tidak terlalu menyebar, larva lalat dapat
bertahan hidup lebih lama dari cacing, dan larva lalat umumnya lebih besar dari cacing
pada Gasterophilus spp.2
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan CM adalah menciptakan kondisi hipoksia lokal untuk
memaksa pengeluaran larva, mengaplikasikan bahan toksik terhadap larva dan telur, serta
mengeluarkan semua larva secara mekanik atau bedah. Tujuan terapi adalah membersihkan
luka dari larva secara total dan mengontrol infeksi sekunder. Terdapat cara non operatif
(metode oklusi dan mekanik), operatif (ekisisi dan debridement), dan suportif dengan
pemberian obat-obat simptomatis.5

Oklusi dengan petroleum jelly, parafin cair, lilin lebah, cat kuku atau minyak
ditempatkan di atas pori sentral. Penggunaan lemak babi atau potongan bacon pada
furunkula akan membuat larva keluar dari pori sentral dalam beberapa jam. Pengobatan
tradisional di Belize juga menggunakan teknik oklusi. Tembakau yang lembab digulung
menjadi 3-5 mm kemudian diletakkan pada lesi hingga menutupi pori sentral pada
furuncular myiasis. Oklusi akan menyebabkan kondisi hipoksia lokal sehingga memicu
larva untuk keluar dari luka untuk mencari sumber udara. Bahan oklusif yang sering
digunakan antara lain kloroform, minyak zaitun, minyak paraffin, bacon, beeswax atau
petroleum jelly. Petroleum jelly diaplikasikan tebal di atas luka dan diganti setiap tiga jam
sampai semua larva keluar dari luka.3,5
Pengeluaran larva furuncular myasis juga dapat dilakukan dengan menekan tepi luka
dengan jari-jari. Lidokain dapat disuntikkan ke dasar rongga tempat larva bermukim
sehingga larva akan muncul ke permukaan. Antiseptik dan antibiotik diberikan jika
terdapat infeksi sekunder.3,9,10
Alternatif selain lidokain adalah menggunakan semprotan etil klorida, nitrogen cair,
kloroform dalam minyak sayur atau insektisida yang digunakan tunggal atau kombinasi,
namun penggunaan klorofom belakangan kurang dianjurkan karena diketahui dapat
menyebabkan nekrosis jaringan. Ekstraktor racun dapat dipertimbangkan sebagai alat
esktraksi karena dapat dilakukan dengan cepat tanpa perlu didahului metode oklusi dan
tidak berbahaya (Gambar 11). Andrea dan Jay dalam sebuah studi menunjukkan
keberhasilan penggunaan ekstraktor racun setelah penggunaan petroleum jelly selama 18
jam gagal mengeluarkan larva.

11,12

Penggunaan ekstraktor racun ini mudah digunakan dan

dijual bebas (Gambar 12), sehingga masyarakat awam dapat menggunakannya sebagai
pertolongan pertama tanpa perlu kecakapan khusus12.

Gambar 11. Ekstraksi larva menggunakan ekstraktor racun.11

Gambar 12. Penggunaan ekstraktor racun yang ada dipasaran. 11

Gambar 13. Beeswax.11

Gambar 14. Bacon sebagai bahan oklusi2

Debridement dengan anestesi lokal merupakan tindakan kuratif, meskipun reaksi


benda asing dapat terjadi jika bagian dari larva tetap ada. Semua larva yang tampak harus
segera dikeluarkan, diikuti dengan debridement jaringan nekrotik yang tersisa dan irigasi
luka yang bergaung. Irigasi dapat dilakukan menggunakan cairan salin, hidrogen
peroksida, atau larutan antimikroba. Eksisi secara bedah diperlukan jika larva tidak dapat
dikeluarkan secara mekanik atau tertanam pada posisi yang sulit. Ekstraksi larva harus
dilakukan hati-hati untuk mencegah ruptur yang dapat memicu infeksi bakteri sekunder
atau reaksi alergi.5

Bahan toksik yang efektif adalah ivermectin 1% dalam larutan propylene glycol
(maksimal 400 g/kgBB) yang diaplikasikan pada luka selama 2 jam dan kemudian dibilas
dengan salin. Penggunaan obat oral tidak direkomendasikan untuk CM pada manusia.
Antibiotik dapat diberikan jika terdapat infeksi bakteri sekunder. Cutaneous myiasis dapat
menjadi tempat masuk Clostridium tetani dan harus dipertimbangkan pemberian
vaksinasi.3,5
PENCEGAHAN
Mayoritas infestasi larva dapat dihindari apabila dilakukan tindakan pencegahan
yang tepat. Menghindari diri dari faktor predisposisi CM merupakan langkah pencegahan
paling awal yang dapat dilakukan. Faktor predisposisi CM antara lain musim panas dan
lembab, kontak langsung dengan pejamu yang terinfestasi, tidur di luar ruangan, higienitas
buruk, dan melakukan perjalanan ke daerah endemik.
Serangan larva lalat dapat diminimalisasi dengan menggunakan pakaian bersih yang
dapat melindungi tubuh dari serangga, menjaga anak-anak dengan pengawasan yang ketat
di luar ruangan, dan menggunakan pintu serta jendela dengan ventilasi memadai terutama
jika tinggal di daerah tropis atau di tempat populasi lalat sering bersarang.
Risiko infestasi larva lalat yang sering menyerang hewan ternak contohnya
Hypoderma spp. dan Gasterophilus spp., dapat dikurangi dengan menghindari kontak
dengan pejamu yang terinfestasi. Serangan Dermatobia hominis terjadi karena gigitan
artropoda (biasanya nyamuk) yang membawa telur Dermatobia hominis. Wisatawan di
daerah Meksiko, Amerika Tengah, Amerika Selatan dianjurkan untuk menggunakan
pakaian pelindung, anti serangga, dan kelambu. Lalat betina Cordylobia anthropophaga
bertelur di pasir atau pakaian sehingga dianjurkan untuk menghindari kontak dengan pasir
yang lama dan selalu menyetrika pakaian agar telur atau larva dapat terbunuh.9
Higienitas baik, pengobatan cepat, dan penutupan luka adalah metode terbaik untuk
melawan lalat fakultatif ataupun obligat yang menginvasi luka, jaringan nekrotik, atau
rongga tubuh. Tunawisma, lansia, atau orang dengan keterbatasan adalah kelompok
berisiko yang harus mendapat perhatian khusus dalam perawatan luka. Habitat lalat juga
harus dikurangi dengan mengelola residu makanan dan kontainer sampah dengan benar.9
PROGNOSIS
Cutneous myiasis adalah infestasi larva yang dapat sembuh sendiri dengan
morbiditas dan mortilitas minimal jika ditatalaksana dengan baik. Pengobatan terutama
ditujukan untuk mengobati nyeri, pengembalian fungsi, dan kosmetik. Lesi yang

ditimbulkan dapat sembuh dengan cepat setelah larva berhasil dikeluarkan, namun pada
jenis tertentu seperti Hominivorax, sangat perlu diwaspadai karena dapat menginfestasi
otak.2
KESIMPULAN
Cutaneus myiasis ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis dan di musim panas
pada daerah beriklim sedang. Kasus CM akan lebih sering dijumpai pada era globalisasi
saat ini karena manusia dapat dengan mudah melakukan perjalanan ke berbagai daerah
terutama daerah endemik CM. Anamnesis mengenai riwayat perjalan penyakit pasien dan
faktor risiko CM serta pemeriksaan klinik yang cermat adalah kunci mendiagnosis dan
menatalaksana CM dengan cepat dan tepat. Tindakan pencegahan sangat penting dilakukan
setiap orang untuk menghindari penyakit ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of the Skin 11th edition.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
2. McGraw TA, Turiansky GW. Cutaneous myasis. J Am Acad Dermatol
2008;58(6):90726.
3. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini R. Cutaneous myasis. In: Dermatology. Vol 1. 2 nd
ed. Mosby Elsevier; 2008.
4. Wardhana AH. Chrysomya bezziana; penyebab myiasis pada hewan dan manusia:
permasalahan dan penanggulangannya. Bogor: Balai Penelitian Veteriner Press.

2006.
5. Natadisastra D, Agoes R. Kelainan kulit oleh serangga. Parasitologi Kedokteran:
Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC; 2009.
6. Yolanda M, Winata SM. Wound myiasis pada anak. Cermin dunia kedokteran
2014;41(8):601-04.
7. Francesconi F, Lupi O. Myasis. J. Clin Microbiol Rev 2012;25(1):79105.
8. Natadisastra D, Agoes R. Parasitologi kedokteran. FK Unpad Press; 2009.
9. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Diseases caused by arthropods and
other noxious animals. In: Rooks Textbook of Dermatology. Vol 2. 8th ed. Malden,
MA: Blackwell Publishing; 2010:33.810.
10. Caissie R, Beaulieu F, Giroux M, Berthod F, Landry P. Cutaneus myiasis:
diagnosis, treatment, and prevention. J Oral Maxillofac Surg 2008;66:50868.
11. Diaz JH. The epidemiology, diagnosis, management, and prevention of
ectoparasitic diseases in travelers. J Travel Med 2006;13(2):10011.
12. Safdar N, Daniel KY, David A. Furuncular myiasis in United Sates: case report and
literature review. Clin Infect Dis 2003; 36(7):7380.
13. Nagarajjapa R, Vivekananda M. Oral myiasis in children. Contemp Clin Dent
2012; 3(1):1922.
14. Filho F, Martin G, Barbara EF, Barros ML, Filho RLP, Nery JA. Dermoscopy as an
auxiliary tool for the diagnosis of furuncular myiasis. An Bras Dermatol 2014 JulAug; 89(4): 663665.

Anda mungkin juga menyukai