Anda di halaman 1dari 26

METODE PENELITIAN

IDENTIFIKASI JAMUR “TRICHOPHYTON TONSURANS” PADA


KEROKAN KULIT KEPALA IBU RUMAH TANGGA DI KELURAHAN
JATI KOTA TERNATE

NAMA : NISYA DHIRA TAHIR

NIM : 17134530036

SEMESTER : V (LIMA)

JURUSAN : DIII-ATLM

DOSEN : ACCE BASRI, SKM.,M.Kes

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES TERNATE

TAHUN AKADEMIK

2019/2020
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Jamur


2.1.1 Definisi Jamur
Jamur adalah suatu kelompok beragam dari organisme eukariota
saprofilik (hidup dari zat gizi yang berasal dari materi organic mati) dan
parasitik. Penyakit jamur pada manusia (mikosis) diklasifikasikan
menurut lokasi didalam tubuh tempat terjadinya infeksi. Disebut sebagai
infeksi kulit jika hanya terbatas pada epidermis, subkutan jika infeksi
menembus dengan jelas ke bawah kulit dan sistemik jika infeksi terdapat
didalam (Harvey, 2013).
2.1.2 Sifat Umum Jamur
Jamur bersifat heteropik yaitu organisme yang tidak mempunyai
klorofil sehingga tidak dapat membuat makanan sendiri melalui proses
fotosintesis seperti tanaman. Untuk hidupnya jamur memerlukan zat
organik yang berasal dari hewan, tumbuh-tumbuhan, serangga dan lain-
lain, kemudian dengan menggunakan enzim zat organik tersebut diubah
dan dicerna menjadi zat anorganik yang kemudian diserap oleh jamur
sebagai makanannya. Sifat inilah yang menyebabkan kerusakan pada
benda dan makanan, sehingga menimbulkan kerugian, dengan cara yang
sama jamur dapat masuk kedalam tubuh manusia dan hewan sehingga
dapat menimbulkan penyakit. Pada umumnya jamur tumbuh dengan baik
di tempat yang lembab. Jamur juga dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, sehingga jamur dapat ditemukan di semua tempat di
seluruh dunia termasuk di gurun pasir yang panas (Irianto, 2014).
Jamur yang menimbulkan penyakit pada manusia, biasanya hidup
pada zat organik atau di tanah yang mengandung zat organik seperti
humus, tinja binatang (unggas,kelelawar) dalam keadaan demikian,
jamur dapat hidup terus menerus sebagai saproba tanpa melalui daur
sebagai parasit manusia. Jamur akan tumbuh lebih subur lagi bila
kebersihan tubuh kurang tejaga, kondisi tubuh menurun, serta
mengkonsumsi beberapa obat seperti antibiotic, steroid dan pil
kontrasepsi. Tempat-tempat umum seperti kolam renang dan tempat
ganti pakaian merupakan tempat ideal untuk perpindahan jamur. Jamur
dapat menembus jaringan kulit terdalam dan menimbulkan infeksi.
Infeksi jamur dapat menular ke bagian lain melalui garukan, handuk, dan
lain-lain (Irianto, 2014).
2.1.3 Klasifikasi Jamur
a. Divisi Zygomycota
Menurut Achmad (2011), jamur yang tergolong divisi ini hidup
di darat, di atas tanah, atau pada tumbuhan dan hewan yang telah
membusuk. Namun, Zygomycota berasal dari Zigospongarium.
Zigospora merupakan spora istirahat yang memiliki dinding tebal.
Jenis jamur yang tergolong Zygomycota, antara lain:
1) Jamur Roti (Rhizopus Nigricans)
Jika roti yang lembab disimpan ditempat yang hangat dan
gelap, beberapa hari kemudian akan tampak jamur tumbuh
diatasnya. Pada roti akan tumbuh bulatan hitam, yang disebut
Sporangium yang dapat menghasilkan sekitar 50.000 spora.
2) Jamur Tempe (Rhizopus Stolonifer)
Jamur tempe digunakan dalam pembuatan tempe.
Reproduksi rhizopus Stolonifer dapat terjadi secara seksual
dan aseksual.
3) Pilobolu
Adalah salah satu jamur yang biasa hidup pada kotoran
hewan yang telah terdekomposisi. Jamur ini tidak dapat
bereproduksi tanpa adanya bantuan cahaya. Jamur ini
menunjukkan respon positif terhadap cahaya.
b. Divisi Ascomycota
Jamur Ascomycota “jamur kantung” ada yang uniseluler dan
multiseluler. Jamur ini ada yang bersifat parasit dan ada juga yang
bersifat saprofit. Spesies yang tergolong Ascomycota, diantaranya
sebagai berikut:
1) Penicillium
Jamur ini berwarna hjjau kebiruan dan tumbuh baik pada
buah-buahan yang telah masak, roti, nasi, serta makanan
bergula. Penicillium dibagi menjadi dua: Penicillium
Camemberti dan Penicilium Requeforti, kedua jamur ini
dimanfaatkan dalam industri keju. Beberapa setelah keju
tersebut ditanam diatas keju, cabang hifa akan tumbuh
diseluruh keju.
2) Ragi (Saccharomyces)
Merupakan organisme uniseluler yang dikelompokkan ke
dalam Ascomycotakarena reproduksi seksualnya terjadi
dengan pembentukan Askus.
3) Neurospora
Jamur ini dimanfaatkan untuk pembuatan makanan dari
kacang tanah dengan suatu proses fermentasi jamur. Selain
dimanfaatkan sebagai pembuatan oncom, jamur juga
digunakan sebagi objek penelitian genetika.
4) Higrophorus Coccineal dan Morcella Deliciosa
Jamur ini bersifat parasit, banyak menyerang hewan
selain itu, dapat membusukkan kayu dna buah-buahan.
c. Divisi Basidiomycota
Pada umumnya tubuh buah jamur dari divisi Basidiomycota
berukuran besar (Makroskopis), walapun ada juga yang berukuran
kecil (Mikroskopis). Jamur dari divisi basidomycota memiliki ciri
khas, yang memiliki Basidium. Basidium merupakan alat
reproduksi seksual yang terdapat dalam bilah. Seluruh Basidium
berkumpul membentuk suatu badan yang disebut Basidiokarp.
Spora yang dihasilkan dalam basidium dinamakan Basidiospora.
Beberapa contoh spesies dari Divisi Basidiomycota, antara lain:
1) Puccinia Graminis
2) Jamur Merang (Volcariella Volvacea)
3) Ustilago maydis
4) Jamur Kuping
5) Amanita Muscaria
d. Divisi Deuteromycota
Jamur yang tergolong Deuteromyota adalah jamur yang belum
diketahui reproduksi seksualnya. Jamur ini biasa disebut jamur tidak
sempurna atau Jamur Imperfecti. Reproduksi aseksualnya terjadi
dengan fragmentasi atau dengan Konidium. Berikut contoh jamur
dari Divisi Deuteromycota, antara lain:
1) Aspergillus
Merupakan jamur yang hidup pada medium dengan derjat
keasaman dan kandungan gula tinggi.
2) Epidermophyton dan Mycosporium
Kedua jenis jamur ini merupakan parasit pada manusia.
Epidermophyton menyebabkan penyakit kaki pada atlit,
sedangkan Mycosporium penyebab penyakit kurap.
3) Fusarium, Verticellium, dan Cercos
Ketiga jenis jamur ini merupakan parasit pada tumbuhan.
Jamur ini jika tdaik dibasmi dengan fungisida dapat merugikan
tumbuhan yang diserangnya (Gandjar, 2014).
2.1.4 Struktur Tubuh Jamur
Jamur termasuk tumbuhan tingkat rendah dan seperti halnya
dengan tumbuhan lainnya jamur mempunyai 2 fase dalam siklus
hidupnya, yaitu:
a. Fase vegetative
b. Fase reproduktif/generative
Struktur vegetatif dari jamur sendiri terdiri dari hifa yang
menyerupai benang-benangpanjang. Hifa secara kolektif membentuk
miselium dan panjangnya ada yang sampai beberapa meter. Hifa ada yang
beruas dan tak beruas. Pada hifa yang beruas hifanya terbagi dengan sekat-
sekat dan setiap ruas mengandung satu nucleus atau banyak nucleus.Pada
tipe yang tak beruas terdiri dari hifa yang mempunyai banyak nucleus
yang tidak dibatasi oleh sekat (Irianto, 2014).
Pada tipe ini dapat pula dijumpai dinding sekat terutama pada hifa
yang tua. Jamur parasit mempunyai hifa yang ektofitik atau endofitik.
Miselium yang ektofitik berada pada permukaan tanaman inang sedangkan
miselium yang endofitik berada didalam jaringan tanaman inang dan dapat
tumbuh secara interseluler (diantara sel) atau intraseluler (masuk kedalam
sel). Hifa yang ektofitik dan interseluler membentuk haustorium ke dalarn
sel untuk memperoleh zat makanan. Bentuk haustorium dapat bulat atau
seperti akar (Irianto, 2014).
2.1.5 Reproduksi Jamur
Spora fungi memiliki berbagai bentuk dan ukuran, dan dapat
dihasilkan secara seksual maupun aseksual. Pada umumnya spora adalah
organisme uniseluler, tetapi ada juga spora multiseluler. Spora
dihasilkan di dalam atau dari struktur hifa yang terspesalisasi. Ketika
kondisi lingkngan memungkinkan, pertumbuhan yang cepat, fungi
mengklon diri mereka sendiri dengan cara menghasilkan banyak sekal
spora secara aseksual. Terbawa oleh angin atau air, spora-spora tersebut
berkecamabh jika berada pada tempat yang lembab pada permukaan
yang sesuai.
Menurut Kenneth (2011) bahwa spora seksual yang dihasilkan dari
peleburan dua nukleus. Ada beberapa spora seksual yaitu:
a) Aksospora: Spora bersel satu ini terbentuk di dalam pundi atau
kantung yang dinamakan askus. Biasanya terdapat delapan
askospora di dalam setiap askus.
b) Basidiospora: Spora bersel satu ini terbentuk di atas struktur
berbentuk gada yang dinamakan basidium.
c) Zigospora: merupakan spora besar berdinding tebal yang terbentuk
apabila ujung-ujung dua hifa yang secara seksual serasi, disebut
juga gametangin, pada beberapa cendawan melebur.
d) Oospora: Spora ini terbentuk di dalam struktur betina khusus yang
disebut ooginium, pembuahan telur atau oosfer oleh gamet jantan
yang terbentuk di dalam anteredium mengasilkan oospora.
2.1.6 Jamur Penyebab Penyakit Kulit
Berbagai jenis jamur dapat berkembangbiak di kulit, istilah
medisnya adalah dermatomikosis yaitu semua penyakit jamur yang
menyerang kulit. Sedangkan dermatofitosis merupakan penyakit jamur
yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita (Siregar, 2014).
2.2 Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial disebabkan oleh
dermatofita yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan
menggunakannya sebagai sumber nutrisi, dengan menyerang jaringan
berkeratin, seperti stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku
(Djuanda, 2010).
Dermatofita merupakan golongan jamur yang gemar mencerna jaringan
yang mengandung zat tanduk (keratin), dan menggunakannya sebagai sumber
makanan menyebabkan mereka mampu berkolonisasi pada jaringan keratin
misalnya stratum korneum pada epidermis ( kulit jari, rambut, dam kuku).
Dermatofitosis sering disebut tinea, ringworm, kurap, teigne, atau herpes
sirsinata. Dermatofita terbagi dalam tiga genus yaitu Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton. Dari 41 spesies dermatofita yang sudah
dikenal hanya 23 spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan
binatang. Terdiri dari 15 spesies Trichophyton, 7 spesies Microsporum, dan
satu spesies Epidermophyton ( Djuanda, 2010).
Setiap spesies dermatofita mempunyai afinitas terhadap hospes tertentu,
yaitu :
a. Dermatofita yang zoofilik terutama menyerang binatang, dan kadang-
kadang menyerang manusia, organisme zoofilik yaitu : Microsporum
canis, Trichophyton verrucosum, Microsporum gallinae, Microsporum
nanum, dan Microsporum equinum.
b. Dermatofita yang geofilik adalah jamur yang hidup di tanah dan dapat
menimbulkan radang pada manusia. Organisme geofilik yaitu :
Mirosporum gypseum, Trichophyton terrestre.
c. Dermatofita yang antrofilik menyerang manusia karena memilih
manusia sebagai hospes tetapnya. Organisme antrofilik yaitu :
Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton
schoenleinii, Trichophyton violaceum, Trichophyton tonsurans,
Microsporum audouinii, dan Epidermophyton floccosum (Irianto, 2014).
Dermatofitosis tersebar diseluruh dunia dengan pravelensi berbeda-
beda pada tiap Negara (Abbas, 2012). Penelitian World Health
Organization (WHO) terhadap insiden dari infeksi dermatofit menyatakan
20% orang dari seluruh dunia mengalami infeksi kutaneus dengan infeksi
tinea korporis merupakan tipe yang paling dominan dan diikuti dengan
tinea kruris, pedis, dan onychomycosis (Lakshmipathy, 2013).
Dermatofitosis disebut juga dengan istilah infeksi “tinea” yang
dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan lokasi infeksinya, yaitu :
a) Tinea kapitis : dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut kepala.
b) Tinea barbae : dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
c) Tinea kruris : dermatofitosis pada daerah lipat paha, daerah bawah
perut dan sekitar anus.
d) Tinea pedis : dermatofitosis pada sela-sela kaki dan telapak kaki.
e) Tinea unguium : dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
f) Tinea korporis : dermatofitosis pada bagian badan atau kulit tubuh
yang tidak berambut. ( Djuanda, 2010).
2.3 Tinea Kapitis
Tinea kapitis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
superfisialis pada kulit, kepala, bulu mata dengan kecenderungan menyerang
tangkai rambut dan folike-folikel rambut. Penyakit ini termasuk kepada
mikosis superfisialis atau dermatofitosis. Beberapa sinonim yang digunakan
termasuk ringworm of the scalp dan tinea tonsurans. Di Amerika Serikat dan
wilayah lain di dunia insiden dari tinea kapitis meningkat (Djuanda, 2010).
Di klinis tinea kapitis ditemukan berbeda-beda dari dermatofitosis non
inflamasi dengan sisik mirip dermatitis seboroik sampai inflamasi dengan lesi
bersisik yang eritematous dan kerontokan rambut atau alopesia dan dapat
berkembang menjadi inflamasi yang berat berupa abses yang dalam disebut
kerion, yang mempunyai potensi menjadi jaringan parut dan menyebabkan
alopesia yang menetap. Keadaan penyakit ini tergantung pada interaksi antara
host dan agen penyebab (Adina B, 2010).
2.3.1 Etiologi
Di Amerika Serikat 90% dari kasus tinea capitis disebabkan
oleh Trichophyton tonsurans, dan pada beberapa kasus disebabkan
oleh Microsporum canis. Sebelumnya, sebagian besar kasus disebabkan
oleh Microsporum Audouinii, Microsporum gypseum, Trichophyton
Mentagrophytes, dan Trichophyton rubrum. Di Eropa Timur dan Eropa
Selatan serta Afrika Utara kasus tinea kapitis sering disebabkan
oleh Trichophyton Violaceum (Adina B, 2010).
2.3.2 Epidemiologi
Tinea kapitis adalah infeksi jamur yang mengenai anak – anak
berumur antara 4 dan 14 tahun. Walaupun jamur patogen yang terlibat
banyak, Trichophyton tonsurans menjadi penyebab lebih dari 90% kasus
di Amerika Utara dan United Kingdom (Adina B, 2010).
Di Amerika Serikat dan daerah lain di dunia, insidensi tinea capitis
meningkat. Di Afrika dan Amerika kejadian puncak dilaporkan terjadi
pada anak usia sekolah. 92,5% dermatofitosis pada anak-anak muda dari
usia 10 tahun. Rentang usia tinea kapitis yaitu antara 3-7 tahun. Tinea
kapitis tersebar luas di beberapa daerah perkotaan, terutama pada anak-
anak keturunan Afro-Karibia, di Amerika Utara, Amerika Tengah, dan
Amerika Selatan. Di Asia Tenggara, tingkat infeksi telah dilaporkan
telah menurun secara dramatis dari 14% (rata-rata anak-anak laki-laki
dan perempuan) menjadi 1,2% dalam 50 tahun terakhir karena
peningkatan kondisi sanitasi umum dan kebersihan pribadi. Angka
insidensi dermatofitosis yang tercatat melalui Rumah Sakit Pendidikan
Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi, dimulai dari prosentase
terendah sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga prosentase tertinggi sebesar
82,6 % (Surakarta) dari seluruh kasus dermatomikosis.
Angka kejadian tinea kapitis mungkin berbeda menurut jenis
kelamin. Microsporum audouini telah dilaporkan hingga 5 kali lebih
sering terjadi pada anak laki-laki dari pada anak perempuan. Setelah
pubertas, sebaliknya pada perempuan lebih banyak mungkin karena
perempuan memiliki eksposur yang lebih besar untuk anak yang
terinfeksi dan mungkin karena faktor hormonal. Pada infeksi oleh
Microporum canis rationya bervariasi, tetapi tingkat infeksi biasanya
lebih tinggi pada anak laki-laki. Infeksi Trichophyton pada anak
perempuan dan laki-laki mempunyai ratio yang sama, tetapi pada orang
dewasa, wanita lebih sering terinfeksi daripada pria. Tinea kapitis lebih
banyak pada ras kulit hitam dibandingkan kulit putih.
2.3.3 Manifestasi Klinis
Jamur ini dapat masuk ke dalam kulit kepala atau rambut dan
berkembang sehingga membentuk kelainan di kulit kepala. Umumnya
gejala tinea kapitis yaitu adanya keluhan penderita berupa bercak di kulit
kepala yang terasa gatal dan sering disertai rontoknya rambut di tempat
tersebut. Ada tiga bentuk klinis dari tinea kapitis, setiap bentuk tinea
kapitis memiliki gejala tersendiri.
a. Gray patch ringworm

Gambar 2.1. Bentuk klinis Gray patch ringworm


(Sumber : Verma, 2012)
Merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh genus
Microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai
dengan papul merah yang kecil disekitar rambut. Papul ini melebar
dan membentuk bercak, yang menjadi pusat dan bersisik. Keluhan
penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi abu – abu dan
tidak berkilat lagi. Rambut mulai patah dan terlepas dari akarnya,
sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua
rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur, sehingga dapat
terbentuk alopesia setempat. Tempat – tempat ini terlihat sebagai
grey patch (Verma, 2012).
b. Kerion

Gambar 2.2. Bentuk klinis kerion (Sumber :


Verma, 2012)
Adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel
radang yang padat disekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum
canis dan Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lehih
sering dilihat. Agak kurang bila penyebabnya Tricophyton
tonsurans, dan sedikit sekali bila penyebabnya adalah Tricophyton
violaceum. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut dan
berakibat alopesia yang menetap. Jaringan parut yang menonjol
kadang – kadang dapat terbentuk (Verma, 2012).
c. Black Dot Ringworm

Gambar 2.3. Bentuk klinis Black dot ringworm


(Sumber : Verma, 2012)
Terutama disebabkan oleh Tricophyton tonsurans dan
Tricophyton violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran
klinisnya menyerupai kelainan yang disebabkan oleh genus
Microsporum. Rambut yang terkena infeksi patah tepat pada muara
folikel, dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh spora.
Ujung rambut yang hitam didalam folikel rambut ini memberi
gambaran khas, yaitu black dot. Ujung rambut yang patah, kalau
tumbuh kadang – kadang masuk ke bawah permukaan kulit. Dalam
hal ini perlu dilakukan irisan kulit untuk mendapat bahan biakan
jamur (Verma, 2012)
2.3.4 Patogenesis
Berdasarkan patogenesisnya tinea kapitis dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Lesi non inflamasi
Disebabkan invasi jamur ke batang rambut terutama
oleh Microporum audouini dan penularan dari anak ke anak
melalui alat cukur rambut, penggunaan topi dan sisir yang sama.
Microsporum canis dapat ditularkan melalui hewan peliharaan ke
anak, dan anak-anak.
b. Lesi inflamasi
Disebabkan oleh Trichophyton tonsurans, Microsporum
canis, Trichophyton verrucosum , dan lain-lain. Spora masuk
melalui celah di batang rambut atau kulit kepala sehingga
menyebabkan infeksi klinis. Trauma di kulit kepala juga membantu
inokulasi. Dermatofit awalnya menyerang stratum korneum kulit
kepala, yang dapat diikuti oleh infeksi rambut. Menyebar ke folikel
rambut lain kemudian terjadi infeksi regresi dengan atau tanpa
respon peradangan. Gejala klinis bervariasi sesuai dengan jenis
invasi rambut, imun tubuh, dan tingkat respons inflamasi.
Berdasarkan invasinya infeksi jamur dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:
1) Endothrix; infeksi di dalam batang rambut tanpa merusak
kutikula, biasanya oleh Trichophyton spp yang ditandai
dengan adanya rantai spora yang besar.
2) Exothrix; infeksi terjadi di batang rambut luar dan
menyebabkan kerusakan kutikula. Biasanya disebabkan
oleh Microsporum spp (Gandjar, 2014).
2.3.5 Faktor Penyebab Tinea Kapitis
a. Kurangnya menjaga kebersihan kulit
b. Faktor gemuk
c. Udara panas yang menyebabkan orang akan berkeringat
d. Gesekan pada kulit
e. Pemakaian antibiotika dalam jangka panjang
Pada faktor ketiga, kita dapat menyimpulkan bahwa bila pada
udara panas baju dari setiap orang cenderung akan basah seketika.
Pada baju basah tersebut, jamur dapat tumbuh dan menyerang kulit
sehingga menyebabkan infeksi. Gesekan kulit, dimisalkan pada
lipatan paha, tingkat kelembapan yang relatif tinggi di wilayah yang
terkena gesekan itu menyebabkan jamur juga tumbuh. Oleh karena
itu, disarankan untuk tidak menggunakan pakaian yang cukup ketat
dan padat.
2.3.6 Morfologi Spesies Jamur Penyebab Tinea Kapitis
a. Microsporum canis

Gambar 2.4. Microsporum canis ( Sumber :


Verma, 2012)
Secara makroskopis Microsporum canis tumbuh dengan cepat
dan diameter koloni mencapai 3 hingga 9 cm setelah inkubasi pada
250C selama 7 hari pada agar Sabouraud dextrose agar. Teksturnya
dari wol ke katun dan rata untuk beralur jarang. Warnanya putih ke
kekuningan dari depan dan kuning tua ke kuning-oranye dari
terbalik.
Secara mikroskopis Microsporum canis memiliki konidia yang
besar, berdinding kasar, multiseluler berbentuk kumparan dan
terbentuk pada ujung-ujung hifa. Konidia seperti ini disebut
makrokonidia yang terdiri dari 8 -15 sel, berdinding tebal dan
seringkali mempunyai ujung-ujung yang melingkung.
b. Microsporum audouinii

Gambar 2.5. Microsporum audouinii


(Sumber : Verma, 2012)
Secara makroskopis Microsporum audouinii koloni tumbuh
lambat, rata, menyebar, padat, dengan tikar berbulu yang memiliki
tepi memancar. Warna koloni adalah putih keabu-abuan sampai putih
kecokelatan dan jarang berkarat. Dari kebalikannya, salmon pink
untuk persik atau mawar coklat.
Secara mikroskopis Microsporum audouinii menghasilkan
hifa dan mikrokonidia. Terminal Chlamydoconidia membentuk
secara pendek seperti, memberikan penampilan runcing di ujungnya.
Makrokonidia yang halus, kurang berkembang, tebal berdinding dan
berbentuk tidak teratur spindle jarang dijumpai. Mikrokonidia juga
jarang dijumpai dan jika dijumpai, bentuknya adalah bulat telur dan
uniselluler Trichophyton soudanense.
c. Trichophyton soudanense

Gambar 2.6. Trichophyton soudanense


(Sumber : Verma, 2012)
Secara makroskopis Trichophyton soudanense koloni tumbuh
lambat dengan permukaan rata hingga terlipat, seperti suede.
Seringkali ada pinggiran luas pertumbuhan terendam. Miselium
permukaan dan pigmen terbalik biasanya berwarna aprikot-oranye
tua.
Secara mikroskopis Trichophyton soudanense hifa sering
menunjukkan refleksif atau sudut kanan bercabang. Microconidia
pyriform terkadang dapat ditemukan dan banyak chlamydoconidia
sering ditemukan dalam kultur yang lebih lama. Trichophyton
soudanense adalah jamur antropofilik yang sering menjadi penyebab
tinea kapitis di Afrika. Rambut menginvasi menunjukkan infeksi
endothrix.
d. Trichophyton rubrum

Gambar 2.7. Trichophyton rubrum


(Sumber : Verma, 2012)
Secara makroskopis Trichophyton rubrum koloni sebagian
besar rata hingga sedikit terangkat, putih menjadi krem, seperti suede
hingga halus, baik tanpa pigmen balik atau kuning-coklat hingga
merah anggur. Sebagian besar kultur menunjukkan sedikit clavate
slavate hingga moderat untuk pyriform microconidia. Makrokonidia
biasanya tidak ada, tetapi bila ada halus, berdinding tipis, ramping
dan berbentuk silinder hingga berbentuk cerutu. Kultur yang lebih
tua dapat menunjukkan banyak klamidospora dengan sedikit klavat
menjadi mikrokonidia piriform.
Secara mikroskopis Trichophyton rubrum menghasilkan
hifa septate hialin. Jenis berbulu halus, dijelaskan dalam posting ini,
ditandai dengan produksi jumlah moderat dari klavat (berbentuk
klub) atau pyriform (bentuk tetesan air mata) mikrokonidia (3-5,5 X
3-3,5 μm) dengan makrokonidia langka jika ada. (Bentuk butiran
ditandai dengan produksi mikrokonida dalam jumlah sedang hingga
banyak serta jumlah makrokonidia panjang, sempit, berdinding tipis
atau makrokonidia berbentuk pensil (40-55 X 6-7,5 μm) dengan sisi
parallel). Macroconidia (panjangnya 4 - 10) dapat terbentuk langsung
di ujung hifa yang tebal secara tunggal atau berkelompok.
e. Trichophyton tonsurans

Gambar 2.8. Trichophyton tonsurans secara makroskopis


dan mikroskopis dengan KOH (Sumber : Verma, 2012)
Secara makroskopis Trichophyton tonsurans mungkin
memiliki morfologi koloni yang sangat bervariasi. Pertumbuhan
permukaan bisa berwarna putih, krem, keabu-abuan atau pucat
hingga kuning belerang, naik warna menjadi kecoklatan. Tekstur
permukaan juga dapat bervariasi dari beludru atau tepung sampai
seperti suede, sering dengan alur radial atau konsentris.
Secara mikroskopis Trichophyton tonsurans menghasilkan
hifa septate. Ciri yang paling menonjol adalah banyak mikrokonidia
yang terbentuk di sepanjang hifa atau konidiofor pendek yang
tumbuh tegak lurus terhadap hifa yang berasal. Mikrokonidia
adalah sesil (melekat oleh 'basis' dari pada 'tangkai'). Mereka juga
bisa sangat bervariasi adalah bentuk mulai dari bentuk pyriform
(tear-drop) hingga clavate (seperti club) hingga berbentuk seperti
silinder dan bahkan lebih besar seperti balon. Macroconidia biasanya
jarang dan juga menunjukkan variasi dalam bentuk & ukuran dari
silinder ke berbentuk cerutu (10 - 65 μ m oleh 4- 12 μ m). Mereka
agak tebal berdinding dengan permukaan yang halus dan biasanya
mengandung antara 2 hingga 4 sel dalam masing-masing.
Klamidospora terminal dan interkarial juga dapat ditemukan,
terutama pada kultur yang lebih tua (Jihan R, 2014).
2.4 Tinjauan Umum Trichophyton Tonsurans
Trichophyton tonsurans merupakan jamur yang dapat menyerang beberapa
bagian tubuh manusia terutama pada bagian kulit kepala dan rambut,
berbentuk pensil dengan ujung yang tumpul dan berdinding halus tiap-tiap
spesies berbeda dalam pigmentasinya dan morfologi. Trichophyton tonsurans
memperbanyak diri dengan membelah, biasanya banyak juga cepat, dan
memungkinkan untuk menghasilkan cabang-cabang yang pendek, koloninya
biasa dalam bentuk serbuk (Godfrey, 2014).
2.4.1 Klasifikasi Trichophyton Tonsurans
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Ordo : Onygenales
Famili : Arthodermataceae
Genus : Trichophyton
Spesies : Trichophyton tonsurans
2.4.2 Proses Kontaminasi Trichophyton Tonsurans
Jamur menyebar melalui kontak langsung ataupun kontak dengan
peralatan yang terkontaminasi, personal hygiene, obesitas, status
ekonomi rendah serta iklim yang lembab. Jamur ini dapat menyerang
beberapa bagian tubuh manusia terutama pada bagian kulit kepala dan
rambut (Godfrey, 2014).
2.4.3 Proses Penularan Trichophyton Tonsurans
Infeksi dimulai pada kulit kepala, yang selanjutnya dermatofita
tumbuh kebawah mengikuti dinding keratin folikel rambut. Infeksi pada
rambut berlangsung tepat diatas akar rambut. Jamurnya akan terus
tumbuh kebawah pada batang rambut yang tumbuh keatas, sebagian
memasuki batang rambut (endodotrix), yang dapat membuat rambut
mudah patah didalam atau pada permukaan folikel rambut (Godfrey,
2014).
2.4.4 Distribusi Trichophyton Tonsurans
Spesies penyebab tinea kapitis dapat berubah seiring dengan waktu
dan berbeda-beda di tiap Negara. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20, Microsporum audouinii dan Microsporum canis merupakan
penyebab utama tinea kapitis di Eropa Barat dan Mediterania, sedangkan
Trichophyton schoeleinii lebih dominan di Eropa Timur. Munculnya
griseofulvin untuk pengobatan tinea kapitis disertai survey ke sekolah-
sekolah yang ketat di akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an
menyebabkan penurunan nyata Microporum sp. Sebagai penyebab di
Eropa Barat. Pada tahun 2007 dilaporkan peningkatan spesies
Trichophyton tonsurans dan penurunan spesies Microsporum canis
sebagai penyebab tinea kapitis di Eropa dalam kurun waktu 30 tahun
terakhir. Walaupun begitu, Microsporum canis masih menjadi penyebab
utama di benua Eropa. Trichophyton tonsurans menjadi penyebab 60-
90% infeksi tinea kapitis di Inggris, Amerika Serikat, Jamaika, dan
Brazil. Trichophyton soudanense adalah penyebab utama di beberapa
Negara Afrika. Trichophyton rubrum yang merupakan dermatofita
tersering yang di isolasi di seluruh dunia bukan merupakan penyebab
yang sering ditemukan pada tinea kapitis.
2.5 Personal Hygiene
Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yang berarti personal yang
artinya perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah
suatu tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan baik fisik dan psikisnya. Personal hygiene adalah salah satu
kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhan guna
mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan
kondisi kesehatannya yang dinyatakan terganggu jika tidak dapat melakukan
perawatan diri (Andarmoyo, 2012).
Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat
penting yang harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan kesejahteraan klien. Praktek hygiene
seseorang dipengaruhi oleh faktor pribadi, social dan budaya. Jika seseorang
sakit biasanya masalah kebersihan kurang diperhatikan. Hal ini terjadi karena
kita menganggap masalah kebersihan adalah masalah sepele, padahal jika hal
tersebut dibiarkan terus dapat mempengaruhi kesehatan secara umum.
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene
Menurut Laily (20120, sikap seseorang melakukan personal hygiene
dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain :
1. Status sosial ekonomi
Pendapatan keluarga akan mempengaruhi kemampuan keluarga
untuk menyediakan fasilitas dan kebutuhan-kebutuhan yang
diperlukan untuk menunjang hidup dan kelangsungan hidup
keluarga. Sumber daya ekonomi seseorang mempengaruhi jenis dan
tingkatan praktik personal hygiene. Untuk melakukan personal
hygiene yang baik dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai,
seperti kamar mandi, peralatan mandi, serta perlengkapan mandi
yang cukup (misalnya sabun, sikat gigi, sampo, dan lain-lain).
2. Pengetahuan
Pengetahuan tentang personal hygiene sangat penting, karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Pengetahuan
tentang pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan
mempengaruhi praktik hygiene. Kendati demikian, pengetahuan itu
sendiri tidaklah cukup, pasien juga harus termotivasi untuk
memelihara personal hygiene. Individu dengan pengetahuan tentang
pentingnya personal higene akan selalu menjaga kebersihan dirinya
untuk mencegah dari kondisi atau keadaan sakit.
3. Kebudayaan
Kebudayaan dan nilai pribadi mempengaruhi kemampuan
perawatan personal hygiene. Seseorang dari latar belakang
kebudayaan yang berbeda, mengikuti praktek perawatan personal
hygiene yang berbeda. Keyakinan yang didasari kultur sering
menentukan defenisi tentang kesehatan dan perawatan diri. Dalam
merawat pasien dengan praktik higiene yang berbeda, perawat
menghindari menjadi pembuat keputusan atau mencoba untuk
menentukan standar kebersihannya.
2.6 Kerangka Teori
Dermatofitosis

Berdasarkan lokasi

1. Tinea kapitis, infeksi pada kulit kepala dan


rambut
2. Tinea barbae, infeksi pada dagu dan jenggot
3. Tinea kruris, infeksi pada lipatan paha, bagian
bawah perut, dan sekitar anus
4. Tinea pedis, infeksi pada sela-sela jari kaki dan
telapak tangan
5. Tinea korporis, infeksi pada kulit tubuh
6. Tinea unguium, infeksi pada kuku

Tinea kapitis

Jamur yang menginfeksi kulit

1. Microsporum canis
2. Microsporum audouinii
3. Trichophyton soudanense
4. Trichophyton rubrum
5. Trichophyton tonsurans

Trichophyton tonsurans

Faktor pertumbuhan jamur

Faktor individu Faktor lingkungan


1. Personal hygiene 1. pH
terutama pada 2. Suhu
kebersihan kulit 3. Kelembapan
kepala dan rambut 4. Kebersihan
lingkungan

Gambar 2.9. Kerangka Teori


2.7 Kerangka Konsep

Kerokan kulit
kepala

Nondermatofitosis Dermatofitosis

Tinea kapitis

Trichophyton M.canis,
tonsurans M.audouinii,
T.soudanense,
T.rubrum

Pemeriksaan

Makroskopik Mikroskopik

Gambar 2.10. Kerangka Konsep


2.8 Definisi Operasional
a. Dermatofitosis ialah infeksi jamur superfisialis yang disebabkan oleh
dermatofita yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan
menggunakannya sebagai sumber nutrisi dengan menyerang jaringan
berkeratin, seperti startum korneum pada epidermis rambut, dan kuku.
b. Trichophyton tonsurans ialah jamur yang dapat menyerang beberapa
bagian tubuh manusia terutama pada bagian kulit kepala dan rambut.
c. Tinea kapitis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
superfisialis pada kulit kepala, bulu mata dengan kecenderungan
menyerang tangkai rambut dan folikel-folikel rambut.
d. Personal hygiene adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan
kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya yang dinyatakan
terganggu jika tidak dapat melakukan perawatan diri.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K. dkk (2012). Celluler dan Moleculer Immunology, 7th Ed, Saunders

Elsevier, Philadelphia.

Achmad, dkk (2011). Panduan Lengkap Jamur, Penebar Swadaya, Jakarta.

Adina B, Sari dkk (2010). Tinea kapitis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo,

Jakarta.

Andarmoyo, (2012). Personal Hygiene, Konsep, Proses Aplikasi Dalam Praktik,

Graha Ilmu, Yogyakarta.

Djuanda, (2010). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin , Edisi 6, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Yogyakarta.

Gandjar, dkk (2014). Mikologi Dasar Dan Terapan, IKAPI DKI, Jakarta.

Godfrey Baldachino, dkk (2014). Tinea Kapitis Due To Trichophyton Tonsurans

In A Maltese Patient, Malta Medical Journal Volume 26 Issue 03.

Harvey, dkk (2013). Farmakologi ulasan bergambar. Jakarta: EGC.

Irianto, K (2014). Bakteriologi Medis, Mikologi Medis, dan Virologi Medis,

Alfabeta, Bandung.

Jihan Rosita, dkk (2014). Tinea Korporis Et Kruris Kronis Disebabkan

Trichophyton Tonsurans, Departemen Ilmu Kesehatan, Jakarta.

Kenneth D. S. PhD (2011). Rangkuman Kasus Klinik : Mikrobiologi dan Penyakit

Infeksi, Karisma Publishing Group, Tangerang.

Laily, Sulistyo. (2012) Pentingnya Personal Hygiene Untuk Kesehatan. Jakarta :


CV Segung Seto

Lakshimpathy, (2013). Pencegahan Penyakit Kulit dan Kelamin, Sunda Kelapa

Pustaka, Jakarta.

Siregar R.S, (2014). Atlas Berwarna : Saripati Penyakit Kulit. Edisi 3. Jakarta:

EGC.

Verma S, Hefferman MP (2012). Dermatologi In General Medicine, Edisi ke-7,

New York.

Anda mungkin juga menyukai