Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit yang diderita manusia disebabkan oleh banyak hal,
salah satunya disebabkan oleh parasit. Ilmu yang mempelajari parasit
sendiri disebut parasitologi. Parasitologi tidak hanya mempelajari
parasitnya saja. Hospes, lingkungannya, serta interaksi antar
komponen-komponennya juga dipelajari dalam parasitologi
(Natadisastra dan Agoes, 2009). Parasit sendiri merupakan organisme
yang hidupnya tergantung pada organisme lain dan memiliki hubungan
timbal balik dengan organisme yang ditumpanginya. Organisme
dimana parasit mengambil nutrient dan bertempat tinggal disebut inang
(Noble dan Noble dalam Sauyai, Londong, dan Kolopita, 2014). Parasit
terdiri dari tiga kelompok, yakni parasit protozoa, parasit cacing, dan
parasite serangga (Natadisastra dan Agoes, 2009).

Penyakit infeksi yang umum terjadi di Indonesia salah satunya


adalah cacingan. Hal ini disebabkan karena iklim di Indonesia yang
termasuk dalam iklim tropis yang memiliki kondisi yang
menguntungkan parasitnya. Kecacingan adalah masalah kesehatan
yang masih banyak ditemukan. Lebih dari 1,5 miliar orang atau 24%
dari populasi dunia terinfeksi cacing yang transmisi penularannya
melalui tanah. Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis,
dengan jumlah terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina
dan Asia Timur (WHO, 2019). Di Indonesia sendiri prevalensi
kecacingan di beberapa kabupaten dan kota pada tahun 2012
menunjukkan angka diatas 20% dengan prevalensi tertinggi di salah
satu kabupaten mencapai 76,67% (Nurhalina dan Desyana, 2018).

Helmintologi adalah ilmu cabang dari parasitologi, yang dalam


bidang kedokteran dikenal sebagai ilmu yang mempelajari infeksi
kecacingan pada manusia, apakah itu menyangkut infeksi kecacingan,

1
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya infeksi kecacingan, dampak
yang ditimbulkan oleh infeksi karena cacing, serta upaya pencegahan
dan pengobatan infeksi kecacingan tersebut (Salakory dan Zulfendri,
2010). Berdasarkan taksonomi, helmitologi dibagi menjadi dua yaitu:
Nemathelminthes (cacing gilik) dan Platyhelminthes (cacing pipih).
(Gandahusada dalam Farantika, 2016).
Selain cacingan, malaria yang merupakan penyakit infeksi
parasit protozoa yang disebabkan oleh plasmodium merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cenderung
meningkat jumlah klien serta semakin luas penyebarannya. Penyakit
ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara–
negara tropik dan sub tropik, baik sebagai penyakit endemik maupun
epidemic. Hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa malaria
menyerang kelompok umur balita sampai dengan umur sekitar 15
tahun. Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria biasanya terjadi di daerah
endemik dan berkaitan dengan datangnya musim hujan, sehingga
terjadi peningkatan aktivitas nyamuk anopheles pada musim hujan
yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit malaria pada
manusia melalui gigitan nyamuk. (Sumarmo, dkk., 2010).
Pengamatan preparat parasitology dan helmintologi dimaksudkan
untuk mengetahui bagaimana bentuk parasit khususnya Trichuris
trichuria, Plasmodium vivax, Ascaris lumbricoides, dan Plasmodium
falciparum dalam fase tertentu menggunakan mikroskop cahaya dengan
perbesaran tertentu.

1.2 Tujuan
1) Mahasiswa diharapkan dapat terampil dalam menggunakan
mikroskop.
2) Mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi dan
mendeskripsikan parasit Trichuris trichuria
3) Mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi dan

2
mendeskripsikan parasit Plasmodium vivax
4) Mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi dan
mendeskripsikan parasit Ascaris lumbricoides
5) Mahasiswa diharapkan dapat mengidentifikasi dan
mendeskripsikan parasit Plasmodium falciparum.

1.3 Manfaat
1) Mahasiswa dapat menggunakan mikroskop dengan terampil
2) Mahasiswa dapat mengidentifikasi dan mendeskripsikan parasit
Trichuris trichuria
3) Mahasiswa dapat mengidentifikasi dan mendeskripsikan parasit
Plasmodium vivax
4) Mahasiswa dapat mengidentifikasi dan mendeskripsikan parasit
Ascaris lumbricoides
5) Mahasiswa dapat mengidentifikasi dan mendeskripsikan parasit
Plasmodium falciparum.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Soil Transmitted Helminth (STH)

Soil Transmitted Helminth (STH) adalah cacing golongan


nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk
infektifnya, dengan kata lain cacing ini membutuhkan tanah sebagai
perantara untuk menularkan penyakit (Widjaja, 2014). Soil
Transmitted Helminth (STH) disebabkan oleh beberapa spesies
parasite cacing yang berbeda. Soil Transmitted Helminth (STH)
ditransmisikan dengan kehadiran telur di feses manusia yang
mengkontaminasi tanah di area yang tingkat sanitasinya rendah
(WHO, 2019). Cacing STH biasanya hidup dewasa di saluran
pencernaan manusia (CDC, 2013). Spesies utama dari Soil
Transmitted Helminth (STH) ialah Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura, Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (WHO,
2019).

2.1.1 Ascaris lumbricoides


a. Siklus hidup
Ascaris lumbricoides dewasa hidup di dalam usus,
cacing betina mampu bertelur rata-rata 200.000 butir
perhari, telur ini kemudian keluar dari tubuh bersama
tinja. Telur akan menjadi infektif tergantung dari kondisi
lingkungan (kelembapan, suhu, intensitas cahaya).
Apabila telur infektif tertelan manusia, telur akan menetas
menjadi larva rhabditiform di usus, kemudian larva akan
menembus dinding usus dan masuk ke vena atau
pembuluh limfe, ikut dalam sirkulasi darah, ke jantung
dan kemudian sampai paru-paru. Dalam kapiler alveoli
larva rhabditiform kemudian menembus dinding alveoli,
masuk ke rongga alveoli, bergerak ke atas menuju

4
bronkhus dan sampai glottis. Kemudian dari glottis larva
tertelan masuk esofagus dan tumbuh menjadi dewasa di
usus. Lama siklus hidup cacing ini dari terjadinya infeksi
sampai cacing dewasa bertelur memerlukan waktu sekitar
2-3 bulan, dan cacing dewasa dapat hidup selama 1-2
tahun (CDC, 2018).
b. Morfologi Telur
Terdapat 2 macam jenis telur yaitu telur yang
mengalami pembuahan (fertil) dan yang tidak mengalami
pembuahan (infertil). Dari kedua jenis telur ini kadang
dijumpai telur yang tanpa dilapisi albumin (dekortikasi)
dan telur yang utuh / dilapisi albumin (kortikasi).

Gambar 1. Telur fertil Ascaris lumbricoides 


(Sumber:https://www.cdc.gov/dpdx/ascariasis/index.html)
Berbentuk bulat atau bulat lonjong, berukuran 45
-75 x 35 -50 mikron. Berdinding tebal, berwarna cokelat
keemasan karena zat warna empedu. Dinding telur
terdiri dari tiga lapis, lapisan luar terdiri dari bahan
albuminoid yang bergergi, lapisan tengah transparan
terbuat dari glikogen, dan bagian terdalam adalah
lapisan lipoidal. Telur ridak bersegmen dan mengandung
granula lecithine yang kasar ketika baru diletakkan.
Kadang – kadang terdapat bentukan seperti bulan sabit
(cresent) yang terletak di antara dinding lapisan glikogen
dan lipoidal (Pusarawati dkk, 2014).

5
Gambar 2. Telur Infertil Ascaris lumbricoides
(Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/ascariasis/index.html)
Telur yang tidak dibuahi dikeluarkan oleh cacing
betina yang tidak dibuahi atau pada awal produksi telur.
Berukuran 88 – 94 x 44 mikron. Dinding telur terdiri dari
dua lapis ( tidak memiliki lapisan lipoidal) dan bagian
dalam telur berisi penuh dengan granula yang amorf
(Pusarawati, dkk., 2014).
c. Morfologi Cacing Dewasa

Gambar 3. Cacing Dewasa Ascaris lumbricoides


(Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/ascariasis/index.html)
Cacing dewasa berbentuk giling (silindris)
memanjang, berwarna krem/ merah muda keputihan dan
panjangnya dapat mencapai 40cm. Ukuran cacing betina

6
20-35cm, diameter 3-6mm dan cacing jantan 15-31cm
dan diameter 2,4mm. Mulut cacing ini memiliki tiga
tonjolan bibir berbentuk segitiga (satu tonjolan di bagian
dorsal dan dua lainnya di ventrolateral) dan bagian
tengahnya terdapat rongga mulut (buccal cavity). Cacing
jantan mempunyai ujung posterior tajam agak
melengkung ke ventral seperti kait, mempunyai 2 buah
copulatory spicule panjangnya 2mm yang muncul dari
orifisium kloaka dan di sekitar anus terdapat sejumlah
papillae. Cacing betina mempunyai ujung posterior tidak
melengkung ke arah ventral tetapi lurus. Cacing betina
juga mempunyai vulva yang sangat kecil terletak di
ventral antara pertemuan bagian anterior dan tengah
tubuh dan mempunyai tubulus genitalis berpasangan
terdiri dari uterus, saluran telur (oviduct) dan ovarium.
Cacing dewasa memiliki jangka hidup 10-12 bulan
(Pusarawati, dkk., 2014).
d. Peran
Ascaris lumbricoides merupakan penyebab penyakit
cacingan yang paling umum pada manusia. Apabila tidak
segera diobati, penyakit cacingan dapat menyebabkan
gangguan kesehatan yang serius seperti malnutrisi dan
anemia. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak
yang tinggal di daerah dengan sanitasi dan kebersihan yang
buruk (Waris dan Rahayu, 2009).
Infeksi awal dari cacing ini biasanya tidak ada
gejalanya. Gejala akan muncul seiring pertumbuhan cacing
yang semakin berkembang. Terdapat dua gejala yang dapat
terjadi, bergantung ke bagian tubuh mana cacing itu
menginfeksi. Organ tubuh yang biasa diserang adalah paru-
paru dan usus (CDC, 2018).

7
2.1.2 Trichuris trichiura
a. Siklus hidup
Cacing dewasa hidup di sekum (cecum) tapi pada infeksi
yang berat dapat dijumpai dibagian bawah ileum sampai
rectum. Telur keluar bersama tinja, telur mengandung larva /
menjadi infektif dalam waktu 2 – 4 minggu. Apabila telur tertelan
manusia, telur akan menetas menjadi larva di istestinum tenue
kemudian larva menembus villi-villi usus dan tinggal didalamnya
selama 3 – 10 hari. Setelah larva tumbuh , kemudian larva turun
sampai sekum kemudian menjadi cacing dewasa. Waktu yang
diperlukan sejak tertelannya telur sampai menjadi cacing
dewasa yang siap bertelur kira-kira 90 hari (CDC, 2017).
b. Morfologi Telur

Gambar 4. Telur Trichuris trichiura


(Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/trichuriasis/index.html)
Telur Trichuris trichiura berbentuk oval mirip buah lemon,
dan dindingnya terdiri dari dua lapis, yakni lapisan luar berwarna
kecoklatan dan lapisan dalam transparan pada kedua ujung
telur dilengkapi tutup (plug) transparan yang menonjol, telur
berisi massa granula yang seragam, dan berwarna kuning
(Faust & Russel; Hunter et al.; Prasetyo; Schmidt et al.;
Soedarto dalam Enie, 2013).

8
c. Morfologi Cacing Dewasa

Gambar 5. Cacing Dewasa Trichura trichiura


(Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/trichuriasis/index.html)
Nematoda dewasa berbentuk seperti cambuk dan umumnya
3-5 cm panjang, dengan jantan yang agak lebih kecil dari pada
betina. Tiga-perlima anterior threadlike, sementara posterior
dua-perlima gemuk dan berisi organ reproduksi. Dua-pertiga
panjang tubuh merupakan oesophagus dikelilingi oleh
stitchocytes. Stitchocytes yang besar, kelenjar uniseluler. Mulut
tidak memiliki bibir dan memiliki pembukaan sederhana.
Rongga bukal kecil. Anus terletak di dekat ujung ekor. Kedua
jenis kelamin memiliki gonad tunggal (Alfred dalam Hidayat,
2017).

d. Peran
Trichuris trichiura menyebabkan trichuriasis. Infeksi cacing
Trichuris dapat menyebabkan diare, anoreksia, peradangan
dan perdarahan pada sekum dan usus. Infeksi cacing Trichuris
juga dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dengan
cara penurunan berat badan, kerentanan terhadap infeksi
penyakit, penurunan produktivitas, serta menyebabkan

9
kematian pada ternak (Waldina, 2017).

2.1.3 Ancylostoma duodenale


a. Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup di dalam intestinum tenue (usus
halus). Cacing betina dewasa mengeluarkan telur dan telur akan
keluar bersama dengan tinja. Apabila kondisi tanah
menguntungkan (lembab, basah, kaya oksigen, dan suhu optimal
26°C – 27°C) telur akan menetas dalam waktu 24 jam menjadi
larva rhabditiform. Setelah 5 – 8 hari larva rhabditiform  akan
mengalami metamorfosa menjadi larva filariform yang merupakan
stadium infektif dari cacing tambang. Jika menemui hospes baru
larva filariform akan menembus bagian kulit yang lunak, kemudian
masuk ke pembuluh darah dan ikut aliran darah ke jantung,
kemudian terjadi siklus paru-paru (bronchus → trachea →
esopagus), kemudian menjadi dewasa di usus halus. Seluruh siklus
mulai dari penetrasi larva filariform ke dalam kulit sampai menjadi
cacaing tambang dewasa yang siap bertelur memakan waktu
sekitar 5 – 6 minggu (CDC, 2017).
b. Morfologi Telur

Gambar 6. Telur Ancylostoma duodenale

(Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/hookworm/index.html)

 Bentuknya oval/lonjong
 Ukuran 40 x 65 mikron
 Tak berwarna

10
 Dindingnya tipis transparan
 Pada waktu keluar bersama feses biasanya masih berupa
unsegment ovum atau berisi 2-8 blastomere yang akan
berkembang lebih lanjut.
c. Morfologi Cacing Dewasa

Gambar 7. Cacing Dewasa Ancylostoma duodenale


(Sumber: https://www.cdc.gov/dpdx/hookworm/index.html)
Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, cacing
melekat pada mukosa usus dengan bagian mulutnya yang
berkembang dengan baik. Cacing ini berbentuk silindris dan
berwarna putih keabuan. Cacing dewasa jantan berukuran 8
sampai 11 mm sedangkan betina berukuran 10 sampai 13 mm.
Cacing N.americanus betina dapat bertelur ±9000 butir/hari
sedangkan cacing A.duodenale betina dapat bertelur ±10.000
butir/hari. Bentuk badan N.americanus biasanya menyerupai huruf
S sedangkan A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut
kedua jenis cacing ini besar. N.americanus mempunyai benda kitin,
sedangkan pada A.duodenale terdapat dua pasang gigi (Safar,
2010).
d. Peran
Anemia defisiensi besi (disebabkan oleh kehilangan darah di
lokasi perlekatan usus cacing dewasa) adalah gejala paling umum
dari infeksi cacing tambang, dan dapat disertai dengan komplikasi
jantung. Gejala gastrointestinal dan nutrisi / metabolisme juga
dapat terjadi. Selain itu, manifestasi kulit lokal ('gatal di tanah')

11
dapat terjadi selama penetrasi oleh larva filariform (L3), dan gejala
pernapasan dapat diamati selama migrasi paru dari larva (CDC,
2017).

2.2 Plasmodium
2.2.1 Siklus Hidup
Siklus hidup Plasmodium terdiri dari 2, yaitu siklus
sporogoni (siklus seksual) yang terjadi pada nyamuk dan siklus
skizogoni (siklus aseksual) yang terdapat pada manusia. Siklus
ini dimulai dari siklus sporogoni yaitu ketika nyamuk mengisap
darah manusia yang terinfeksi malaria yang mengandung
plasmodium pada stadium gametosit. Setelah itu gametosit
akan membelah menjadi mikrogametosit (jantan) dan
makrogametosit (betina). Keduanya mengadakan fertilisasi
menghasilkan ookinet. Ookinet masuk ke lambung nyamuk
membentuk ookista. Ookista ini akan membentuk ribuan
sprozoit yang nantinya akan pecah dan sprozoit keluar dari
ookista. Sporozoit ini akan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk,
salah satunya di kelenjar ludah nyamuk. Dengan ini siklus
sporogoni telah selesai (Setiyani, 2014).
Siklus skizogoni terdiri dari 2 siklus, yaitu siklus
eksoeritrositik dan siklus eritrositik. Dimulai ketika nyamuk
menggigit manusia sehat. Sporozoit akan masuk kedalam
tubuh manusia melewati luka tusuk nyamuk. Sporozoit akan
mengikuti aliran darah menuju ke hati, sehingga menginfeksi
sel hati dan akan matang menjadi skizon. Siklus ini disebut
siklus eksoeritrositik. Pada Plasmodium falciparum dan
Plasmodium malariae hanya mempunyai satu siklus
eksoeritrositik, sedangkan Plasmodium vivax dan Plasmodium
ovale mempunyai bentuk hipnozoit (fase dormant) sehingga
siklus eksoeritrositik dapat berulang. Selanjutnya, skizon akan
pecah mengeluarkan merozoit yang akan masuk ke aliran

12
darah sehingga menginfeksi eritrosit dan di mulailah siklus
eritrositik. Merozoit tersebut akan berubah morfologi menjadi
tropozoit belum matang lalu matang dan membentuk skizon
lagi yang pecah dan menjadi merozoit lagi. Diantara bentuk
tropozoit tersebut ada yang menjadi gametosit dan gametosit
inilah yang nantinya akan dihisap lagi oleh nyamuk. Begitu
seterusnya akan berulang-ulang terus. Gametosit tidak menjadi
penyebab terjadinya gangguan klinik pada penderita malaria,
sehingga penderita dapat menjadi sumber penularan malaria
tanpa diketahui (karier malaria) (Setiyani, 2014).
Plasmodium melibatkan 2 inang selama siklus hidupnya.
Ketika nyamuk Anopheles menggigit manusia, sporozoit masuk
ke dalam tubuh manusia. Kemduain sporozzoit menginfeksi sel
hati dan matang menjadi skizon yang kemudian pecah dan
mengeluarkan merozoit (fase ini disebut ekso-eritrosit
skizogoni). Kemudian, parasite ini melakukan kopulasi di
eritrosit (Setiyani, 2014).

2.2.2 Peran
Plasmodium menyebabkan penyakit malaria pada manusia.
Spesies plasmodium di dunia sendiri sangatlah banyak, namun
terdapat empat spesies yang menyerang manusia, yaitu :
a. Plasmodium falciparum (Welch dalam Setiyani, 2014)
menyebabkan malaria falciparum atau malaria tertiana
maligna/malaria tropika/malaria pernisiosa.
b. Plasmodium vivax (Labbe dalam Setiyani, 2014)
menyebabkan malaria vivax atau malaria tertiana benigna.
c. Plasmodium ovale (Stephens dalam Setiyani, 2014)
menyebabkan malaria ovale atau malaria tertiana benigna
ovale.
d. Plasmodium malariae (Grassi dan Feletti dalam Setiyani,
2014) menyebabkan malaria malariae atau malaria kuartana.

13
Selain empat spesies Plasmodium diatas, manusia juga
bisa terinfeksi oleh Plasmodium knowlesi, yang merupakan
plasmodium zoonosis yang sumber infeksinya adalah kera.
Penyebab terbanyak di Indonesia adalah Plasmodium
falciparum dan Plasmodium vivax. Untuk Plasmodium
falciparum menyebabkan suatu komplikasi yang berbahaya,
sehingga disebut juga dengan malaria berat (Setiyani, 2014)
2.2.3 Plasmodium falciparum
Tabel 1. Gambar dan Deskripsi Morfologi Fase Hidup
Plasmodium falciparum
No. Gambar fase Deskripsi

Penampakan pada sel darah


merah: sel darah merah tidak
membesar; titik Maurer (dengan
pewarnaan tertentu).
1 Penampakan parasit: Sitoplasma
Gambar 8. Fase Ring tipis; terdapat 1 atau 2 titik
Plasmodium falciparum chromatin kecil (Adhinata dkk.,
2016).
(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

Penampakan pada sel darah


merah: Sel darah merah tidak
membesar; titik Maurer (dengan
pewarnaan tertentu).
2 Penampakan parasite:
Gambar 9. Fase Tropozoit Sitoplasma tebal; pigmen gelap
Plasmodium falciparum (Adhinata dkk., 2016).

(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

14
Penampakan sel darah merah:
Sel darah merah tidak
membesar; titik Maurer (dengan
pewarnaan tertentu).
penampakan parasite: dewasa =
3 8 sampai 24 merozoite kecil;

Gambar 10. Fase Skizon pigmen gelap, mengelompok

Plasmodium falciparum menjadi satu (Adhinata dkk.,


2016).
(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

Penampakan sel darah merah:


Bentuknya tidak teratur mengikuti
parasite. Penampakan parasite:
Berbentuk sabit atau sosis;
chromatin mengelompok
4
Gambar 11. Fase Gametosit (macrogametocyte)/ menyebar

Plasmodium falciparum (microgametocyte); pigmen gelap


(Adhinata dkk., 2016).
(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

15
2.2.4 Plasmodium vivax

Tabel 2. Gambar dan Deskripsi Morfologi Fase Hidup


Plasmodium vivax

No. Gambar dan Fase Deskripsi

Penampakan sel darah merah:


Ukuran sel darah merah normal
sampai membesar 1.25 kali,
berbentuk bulat; kadang
1
terdapat titik-titik Schüffner.
Gambar 12. Fase Ring
Penampakan parasite: titik
Plasmodium vivax
chromatin besar (Adhinata dkk.,
(Sumber: https://www.cdc.gov/ 2016).
dpdx/malaria /index.html)

Penampakan sel darah merah:


Ukuran sel darah merah
membersar 1.5 sampai 2 kali;
kadang bentuknya tidak teratur;
terdapat titik-titik Schüffner.
2
Penampakan parasit:
sitoplasma amoeboid besar;
Gambar 13. Fase Tropozoit
chromatin besar ; terdapat
Plasmodium vivax
pigmen coklat kekuningan

(Sumber: https://www.cdc.gov/ (Adhinata dkk., 2016).

dpdx/malaria /index.html)

3 Penampakan sel darah merah:


ukuran sel darah merah

16
membersar 1.5 sampai 2 kali;
kadang bentuknya tidak teratur;
terdapat titik-titik Schüffner.
Penampakan Parasit: besar,
hampir mengisi seluruh sel
Gambar 14. Fase Skizon darah merah; dewasa = 12
Plasmodium vivax sampai 24 merozoite; coklat
kekuningan, pigmen
(Sumber: https://www.cdc.gov/
mengumpul (Adhinata dkk.,
dpdx/malaria /index.html)
2016).

Penampakan sel darah merah:


Ukuran sel darah merah
membersar 1.5 sampai 3 kali;
kadang bentuknya tidak teratur;
terdapat titik-titik Schüffner.
Penampakan Penyakit:
4 Gambar 15. Fase Gametosit berbentuk bulat sampai oval;

Plasmodium vivax padat; hampir mengisi seluruh


RBC; chromatin padat, eccentric
(Sumber: https://www.cdc.gov/ (macrogametocyte) atau
dpdx/malaria /index.html) menyebar (microgametocyte);
tersebar pigment coklat
(Adhinata, dkk., 2016).

17
2.2.5 Plasmodium malariae
Tabel 3. Gambar dan Deskripsi Morfoloogi Fase Hidup
Plasmodium malariae

No. Gambar dan Fase Morfologi

Memiliki sitoplasma yang kuat


1 Gambar 16. Fase Ring dan titik kromatin yang besar
Plasmodium malariae (CDC, 2017)

(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

Sitoplasma padat dan terdapat


titik kromati yang besar.
2 Sesekali berbentuk seperti
keranjang dengan pigmen kasar

Gambar 17. Fase Tropozoit dan coklat tua (CDC, 2017)

Plasmodium malariae

(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

18
Skizonnya memiliki 6-12
merozoit dengan inti sel yang
besar, yang berkumpul di di
3
sekitar masssa yang kasar,
Gambar 18. Fase Skizon pigmennya berwarna coklat
Plasmodium malariae gelap (CDC, 2017)

(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

Berbentuk bulat ke-oval-an


dengan pigmen coklat yang.
Plasmodium malariae pada fase
4
ini hamper mengisi seluruh sel
darah merah yang terinfeksi
Gambar 19. Fase Gametofit
(CDC, 2017)
Plasmodium malariae

(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

19
2.2.6 Plasmodium ovale
Tabel 4. Gambar dan Deskripsi Morfologi Fase Hidup
Plasmodium ovale.

No Gambar dan Fase Deskripsi

Memiliki sitoplasma yang kuat


1 dan titik kromatin yang besar
(CDC, 2017).

Gambar 20. Fase Ring


Plasmodium ovale

(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

Memiliki sitoplasma yang kuat,


titik kromatin yang besar dan
2
dapat memadat menjadi sedikit
tidak beraturan (CDC, 2017).

Gambar 21. Fase Tropozoit


Plasmodium ovale

(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

20
Skizonnya memiliki 6-14
merozoit dengan inti sel yang
3 besar, berkumpul di sekitas
massa yang berwarna coklat
Gambar 22. Fase Skizon
tua (CDC, 2017).
Plasmodium ovale

(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

Fase gametosit berbentuk bulat


ke oval and hamper dapat
mengisi seluruh sel darah
4
merah. Pigmennya coklat dan
Gambar 23. Fase Gametosit lebih kasar dibandingkan
Plasmodium ovale Plasmodium vivax (CDC, 2017).

(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

21
2.2.7 Plasmodium knowlesi
Tabel 5. Gambar dan Deskripsi Morfologi Fase Hidup
Plasmodium knowlesi.

No. Gambar dan Fase Deskripsi

Titik kromatin ganda, terdapat


cincin persegi panjang yang
menyimpan satu atau lebih
kromatin aksesori. Sel darah
1. merah dapat terinfeksi
multiplikasi. Ketika dewasa, ring

Gambar 24. Fase Ring ameboid dapat menempati

Plasmodium knowlesi setengah satau satu sel darah


merah inang (CDC, 2017).
(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

Bentuk menyerupai cincin,


sitoplasma menyerupai cincin
dengan vakuola, terdapat 1 titik
2.
kromatin, kromatin dalam
bercoak, dan tropozoit tidak
Gambar 25. Fase Tropozoit
berwarna (Asmara, 2018)
Plasmodium knowlesi

(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

3. Berbentuk bola, dipenuhi


merozoit dan pigmen, maksimal

22
mengandung 16 merozoit,
tersebar atau tersusun seperti
buah anggur, banyak butiran
kecil bergerombol atau
Gambar 26. Fase Skizon gumpalan padat, tiitik halus
Plasmodium knowlesi tidak teratur (Asmara, 2018)

(Sumber: https://www.cdc.gov/
dpdx/malaria /index.html)

Berbentuk bola, berwarna ungu


agak pink (mikrogamet),
berwarna kebiruan
(makrogamet), pigmen tersebar
dengan tidak teratur, terdapat
4.
butiran coklat gelap, massa
Gambar 27. Fase Gametosit besar yang gelap dan tersebar
Plasmodium knowlesi (mikrogamet), padat warna pink
letak dipinggir(makrogamet)
(Sumber: https://www.cdc.gov/
(Asmara, 2018)
dpdx/malaria /index.html)

23
BAB III

METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Pengamatan dilakukan pada hari Rabu, tanggal 15 Mei 2019,


pukul 13.30 WIB, di Laboratorium Terpadu, Gedung B, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.2 Alat dan Bahan


Alat:
1) Mikroskop
Bahan:
1) Preparat Trichuris trichuria
2) Preparat Plasmodium vivax
3) Preparat Ascaris lumbricoides
4) Preparat Plasmodium falciparum
5) Kertas HVS A4
6) Pensil Warna
7) Alat tulis

3.3 Langkah Kerja

1) Siapkan mikroskop dan preparat yang telah disediakan


2) Letakkan preparat di atas meja preparat
3) Jepit preparat di atas meja preparat dengan penjepit preparat
4) Gunakan perbesaran lensa objektif sebesar 4x terlebih dahulu
5) Atur letak preparat di atas meja preparat hingga objek terlihat
6) Atur fokus objek dengan memutar mikrometer dan makrometer
mikroskop
7) Ganti perbesaran lensa objektif menjadi 10x jika objek sudah

24
ditemukan namun terlalu kecil
8) Atur kembali fokus objek dengan memutar mikrometer dan
makrometer mikroskop
9) Ganti perbesaran lensa objektif menjadi 40x jika objek yang sudah
ditemukan masih terlalu kecil
10) Ulangi langkah 8
11)Jika objek yang diamati sudah terlihat jelas, amati kemudian
digambarkan dengan rapi di kertas HVS A4 menggunakan alat tulis
dan pensil warna
12) Ulangi langkah 1-11 untuk preparat lainnya

25
BAB IV

HASIL

Tabel 6. Gambar Hasil Pengamatan Preparat

26
No Gambar Keterangan
.

1 Nama objek : Trichuris


trichiura
Fase : Telur
Perbesaran : 40x
Penyakit : Trichuriasis

2 Nama objek : Plasmodium


vivax
Fase :-
Perbesaran : 40x
Penyakit : Malaria
tersiana

3 Nama objek : Ascaris


lumbricoides
Fase : Telur fertil dan
telur infertil
Perbesaran : 40x
Penyakit : Ascariasis

4 Nama objek : Plasmodium


falciparum
Fase : Gametosit
Perbesaran : 40x
Penyakit : Malaria
kuartana

27
28
BAB V
PEMBAHASAN

Pada gambar di tabel nomor 1 terlihat objek berupa Trichuris


trichiura yang berada dalam fase telur dengan perbesaran lensa objektif
40x. Terlihat dari morfologinya yang berbentuk berbentuk oval mirip buah
lemon, dan dindingnya terdiri dari dua lapis, yakni lapisan luar berwarna
kecoklatan dan lapisan dalam transparan pada kedua ujung telur
dilengkapi tutup (plug) transparan yang menonjol, telur berisi massa
granula yang seragam, dan berwarna kuning (Faust & Russel; Hunter et
al.; Prasetyo; Schmidt et al.; Soedarto dalam Enie, 2013).
Pada gambar di tabel nomor 2 terlihat objek berupa Plasmodium
vivax yang fasenya tidak dapat diketahui karena perbesaran lensa objektif
yang digunakan 40x masih kurang sekali sehingga membutuhkan
pengamatan lebih lanjut (menggunakan mikroskop dengan lensa objektif
yang perbesarannya lebih besar lagi). Pada gambar hasil pengamatan
terlihat bahwa titik-titik/objek yang bentuknya tidak beraturan dan
berwarna ungu kemerahan merupakan Plasmodium vivax.
Plasmodium vivax memiliki 4 fase seperti Plasmodium lainnya. Jika
dapat diamati dengan jelas, pada fase ring Plasmodium vivax, telihat titik
chromatin besar. Pada fase tropozoit Plasmodium vivax, terlihat
sitoplasma amoeboid besar, chromatin besar, serta terdapat pigmen
coklat kekuningan. Pada fase skizon Plasmodium vivax, parasite terlihat
besar, hampir mengisi seluruh sel darah merah, skizon dewasa
mengandung 12 sampai 24 merozoit, warnanya coklat kekuningan, dan
pigmennya mengumpul. Pada fase gametosit Plasmodium vivax, parasite
berbentuk bulat sampai oval, padat, hampir mengisi seluruh sel darah
merah, chromatin padat, eccentric pada macrogametocyte) atau
menyebar pada microgametocyte, serta pigment coklat tersebar (Adhinata
dkk., 2016).
Pada gambar di tabel no. 3 terlihat objek berupa Ascaris
lumbricoides yang berada dalam fase telur fertil dan telur infertile

29
menggunakan perbesaran lensa objektif sebesar 40x, di mana terlihat
perbedaan morfologi antara telur di sebelah kiri dengan telur yang di
sebelah kanan. Telur di sebelah kanan merupakan telur fertil, sedangkan
telur di sebelah kiri merupakan telur infertil. Terlihat bahwa bentuk telur
fertil bulat, sedangkan telur infertil berbentuk oval. Kemudian, lapisan telur
fertil terlihat lebih tebal yang menunjukkan telur fertile memiliki 3 lapisan,
yakni lapisan albumin, lapisan glikogen, dan lapisan lipid. Sedangkan,
telur infertil lapisannya lebih tipis yang menunjukkan telur infertil memiliki 2
lapisan, yakni hanya lapisan albumin dan lapisan glikogen (Pusarawati,
dkk., 2014)..
Pada gambar di tabel no. 4 terlihat objek berupa Plasmodium
falciparum dengan perbesaran lensa objektif 40x berada dalam fase
gametofit yang terlihat dari bentuknya yang menyerupai sabit atau sosis.
Pada fase ini sel darah merah bentuknya tidak teratur mengikuti parasit.
Pada makrogametosit kromatinnya mengelompok menjadi satu,
sedangkan pada microgametosit kromatinnya menyebar. Pada fase ini
Plasmodium falciparum berpigmen gelap. (Adhinata dkk., 2016).

30
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Soil Transmitted Helminth (STH) adalah cacing golongan
nematoda yang memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk
infektifnya, dengan kata lain cacing ini membutuhkan tanah sebagai
perantara untuk menularkan penyakit (Widjaja, 2014). Spesies utama
dari Soil Transmitted Helminth (STH) ialah Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
(WHO, 2019). Cacing-cacing tersebut dapat menyebabkan cacingan
jika menginfeksi tubuh manusia.
Hasil pengamatan preparat Soil Transmitted Helminth (STH),
yakni Trichuris trichuria dan Ascaris lumbricoides didapatkan dengan
menggunakan perbesaran 40x. Trichuris trichiura yang diamati berada
dalam fase telur, sedangkan Ascaris lumbricoides yang diamati
berada dalam fase telur infertil dan telur fertil.
Selain cacingan, malaria yang merupakan penyakit infeksi
parasit protozoa yang disebabkan oleh plasmodium merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cenderung
meningkat jumlah klien serta semakin luas penyebarannya.
Hasil pengamatan plasmodium, yakni Plasmodium vivax dan
Plasmodium falciparum didapatkan dengan menggunakan perbesaran
40x. Plasmodium vivax yang diamati tidak dapat diketahui fasenya
karena keterbatasan perbesaran lensa objektif mikroskop. Preparat
Plasmodium falciparum yang diamati berada dalam fase gametosit.

31
DAFTAR PUSTAKA

Adhinata FD, Suryani E, Dirgahayu P. Identification of parasite


Plasmodium
sp. on thin blood smears with rule-based method. Itsmart Juraln
Teknologi dan Informasi. 2016;(5.1):16-24.
Ascariasis. [internet] 2018. [dikunjungi 2019 Mei 15] tersedia dari:
https://www.cdc.gov/dpdx/ascariasis/index.html
Asmara IGY. Infeksi malaria Plasmodium knowlesi pada manusia. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia. 2018;5-14
Budiyanti, RT. Efek antihelmintik infusaherba Sambiloto (andrographis
paniculata, nees) terhadap Ascaris suum secara in vitro [Disertasi].
Surakarta: Universitas Sebelas Maret; 2010.
Enie. Perbandingan efektivitas dosis tunggal albendazol selama 2 dan 3
hari pada Trichuris trichiura pada anak SDN 102052 Tanjung
Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai [tesis]. Medan: Universitas
Sumatra Utara. 2013.
Hidayat, DR. Perbedaan jumlah telur cacing Trichuris trichiura pada
bagian
luar tubuh lalat musca domestica dengan lalat chrysomya
megacephala di pasar gadang kota malang [Disertasi]. Malang:
Universitsas Muhammadiyah Malang, 2017.
Farantika R. Eksplorasi dan prevalensi jenis telur cacing pada feses
kucing
liar dan kucing peliharaan di kawasan kampus universitas negeri
semarang [Disertasi]. Semarang: Universitas Negeri Semaran;
2016.
Hookworm. [internet] 2017. [dikunjungi 2019 Mei 15] tersedia dari:
https://www.cdc.gov/dpdx/hookworm/index.html
Natadisastra D, Ridad A. Parasitologi kedokteran: ditinjau dari organ tubuh
yang diserang. Jakarta: EGC; 2009.

32
Nurhalina, Desyana. Gambaran infeksi kecacingan pada siswa SDN 1-4
Desa Muara Laung Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan
Tengah tahun 2017. Jurnal Surya Medika. 2018;(3.2):41-53.
Parasites: Soil-transmitted helminths. [intenet] 2013. [dikunjungi 2019 Mei
15] tersedia dari: https://www.cdc.gov/parasites/sth/index.html
Plasmodium malariae. [internet]. dikunjungi 2019 Mei 15] tersedia dari
https://www.cdc.gov/dpdx/resources/pdf/benchAids/malaria/
Pmalariae _benchaidV2.pdf
Pusarawati S, Ideham B, Kusmartisnawati, Tantular, Indah S, Basuki,
Sukmawati. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2014.
Safar R. Parasitologi kedokteran: protozoologi, pntomologi dan
helmintologi.
Cetakan I. Bandung: Yrama Widya; 2010.
Salakory M, Zulfendri. Helmontologi dalam persfektif filsafat ilmu. USU e-
Journals. 2010;(15):10.
Sauyai K, Sammy NJL and Magdalena EFK. Identifikasi parasit pada ikan
kerapu sunu, Plectropomus leopardus. e-Journal Budidaya
Perairan. 2014;(2.3).
Setiyani, Nur Rochmah Wahyu, and M. Hussein Gassem. Gambaran
Klinis
dan Tatalaksana Pasien Rawat Inap Malaria Falciparum di RSUP
Dr Kariadi Semarang Periode 2009–2013 [disertasi]. Semarang:
Universitas Diponegoro; 2014.
Soil-transmitted helminth infection. [internet] 2019. [dikunjungi 2019 Mei
15]
tersedia dari https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/soil-
transmitted-helminth-infections
Sumarmo SS, Herry G, Rezeki SS. Buku ajar infeksi dan pediatrik tropis.
Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI); 2010.
Trichuriasis. [internet] 2017. [dikunjungi 2019 Mei 15] tersedia dari:
https://www.cdc.gov/dpdx/trichuriasis/index.html
Waldina O. Prevalensi, derajat infeksi, dan faktor risiko Trichuriasis pada

33
peternakan sapi potong di Desa Ronggo Kecamatan Jaken
Kabupaten Pati [skripsi].Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2017.
Waris, L, Rahayu N. Distribusi parasit pencernaan di Sekolah Dasar
Negeri Miawa Kecamatan Piani Kabupaten Tapin Provinsi
Kalimantan Selatan tahun 2008. Indonesian Bulletin of Health
Research. 2009;(37.4)
WHO. Pedoman teknik dasar untuk laboratorium kesehatan. Terj.
Chairlan dan Estu Lesfari. Ed. Albertus Agung Mahode. Edisi 2.
Jakarta: EGC; 2011.
Widjaja J, et al. Prevalensi dan jenis telur cacing soil transmitted
helmints (sth) pada sayuran kemangi pedagang ikan bakar di kota
palu. Jurnal Buski. 2014;(5.2).

34
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Pengamatan

Gambar 28. Hasil Pengamatan Telur Trichuris trichiura

Gambar 29. Hasil Pengamatan Plasmodium vivax

35
Gambar 30. Hasil Pengamatan Telur feril dan infertile Ascaris
lumbricoides

Gambar 31. Hasil Pengamatan Gametosit Plasmodium falciparum

36

Anda mungkin juga menyukai