Disusun oleh :
i
2019
ii
DAFTAR ISI
Cover........................................................................................................... ii
Daftar Isi......................................................................................................iii
Daftar Tabel................................................................................................iv
Daftar Gambar.............................................................................................v
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Tujuan..............................................................................................2
C. Manfaat............................................................................................2
A. Kecoa...............................................................................................3
B. Lalat.................................................................................................6
C. Nyamuk............................................................................................7
1. Aedes.........................................................................................8
2. Anopheles..................................................................................9
3. Culex sp...................................................................................10
D. Larva Nyamuk................................................................................13
1. Aedes.......................................................................................13
2. Anopheles................................................................................13
3. Culex sp...................................................................................14
A. Lokasi.............................................................................................15
B. Waktu.............................................................................................15
C. Alat Praktikum................................................................................15
D. Bahan Praktikum............................................................................15
E. Langkah Kerja................................................................................16
Bab IV Hasil...............................................................................................18
A. Kecoa.............................................................................................18
B. Lalat...............................................................................................18
iii
C. Nyamuk Aedes, Anopheles, dan Culex..........................................19
D. Larva Nyamuk Aedes, Anopheles, dan Culex................................21
Bab V Pembahasan...................................................................................22
A. Kecoa.............................................................................................22
B. Lalat...............................................................................................22
C. Nyamuk..........................................................................................23
1. Aedes.......................................................................................23
2. Anopheles................................................................................23
3. Culex sp...................................................................................24
D. Larva Nyamuk................................................................................24
1. Aedes.......................................................................................24
2. Anopheles................................................................................25
3. Culex sp...................................................................................25
Bab VI Penutup..........................................................................................26
A. Kesimpulan....................................................................................26
B. Saran.............................................................................................27
Daftar Pustaka...........................................................................................28
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Entomologi merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari,
segala sesuatu mengenai serangga. Serangga sendiri termasuk kedalam
kelompok yang lebih besar yaitu filum Arthopoda. Arthopoda mempunyai
makna binatang yang mempunyai kaki beruas. Ciri lain Arthopoda yaitu
pada tubuhnya bersegmen dan pada setiap segmen dapat mempunyai
embelan/alat tambahan (appendages) atau tidak; tubuh mempunyai
lapisan luar keras yang disebut kerangka luar, tubuh bilateral simetris,
pada bagian dorsal tubuh terdapat syaraf. Filum Arthopoda terdiri dari
beberapa kelas, antara lain: Crustacea, Arachnida dan Hexapoda
(Intiecta). Ilmu tentang serangga dikenal sebagai entomologi. 1
Insecta atau serangga merupakan kelas yang terbesar di dalam
filum Arthopoda. Insecta berasal dari kata Insecare, In artinya menjadi,
secare artinya memotong atau membagi. Maka Insecta artinya binatang
yang badannya terdiri dari sergum segmen. Kemampuan beradaptasi
hidup pada tempat lingkungan yang ekstrim kering dan lembab sangat
tinggi, hal ini karena tubuh serangga terbungkus oleh Integumen yang
dilapisi oleh chitine.2
Morfologi ialah salah satu cabang linguistik yang menyelidiki
selukbeluk struktur internal kata dan pengaruh perubahan struktur
tersebut terhadap arti dan golongan kata. Struktur internal kata terdiri dari
satuansatuan gramatik terkecil yang disebut morfem. Oleh karena itu,
objek kajian terbesar dalam morfologi ialah kata, sedangkan objek kajian
terkecil dalam morfologi ialah morfem. Morfologi adalah studi mengenai
bentuk dan perkembangan, penampilan eksternal tubuhnya dan berbagai
organnya.3
Serangga (disebut pula Insecta) adalah kelompok utama dari
hewan beruas (Arthropoda) yang berkaki enam (tiga pasang); karena
itulah mereka disebut pula Hexapoda. Serangga ditemukan di hampir
semua lingkungan kecuali di lautan. Keluarga besar serangga (Insecta)
dikelompokan kedalam 28 ordo yang masing-masing ordo memiliki ciri-ciri
unik yang membedakan antar mereka, kelas (class) insecta terbagi
vii
menjadi dua subkelas (subclass) berdasarkan keberadaan organ sayap
yang memiliki, yaitu subkelas Apterygota bagi serangga yang tidak
memiliki sayap dan subkelas Apterygota bagi serangga –serangga yang
memiliki sayap.
Secara morfologi, tubuh serangga dewasa dapat dibedakan
menjadi tiga bagian utama, yaitu kepala (caput), dada (thorax), dan perut
(abdomen). Caput merupakan sebuah konstruksi yang padat dank eras
serta terdapat beberapa suture yang menurut teori evolusi caput tersebut
terdiri dari empat ruas yang mengalami penyatuan. Toraks terdiri dari tiga
ruas yang jelas terlihat, sedangkan abdomen terdiri dari kurang lebih
sembilan ruas.4
Serangga juga dapat menjadi vektor dan penyebar penyakit yang
disebabkan oleh Bakteri, Protozoa dan Virus. Dalam pengamatan
mungkin penampilan urnum serangga yang satu mempunyai- kesamaan
dengan serangga lainnya, akan tetapi mereka menunjukkan keragaman
yang sangat besar dalam bentuknya. Serangga di alam ini sangat
beragam dan luas hubungannya dari segi ekonomi, kesehatan.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui perbedaan morfologi kecoa jantan dan betina.
2. Untuk mengetahui perbedaan morfologi lalat jantan dan betina.
3. Untuk mengetahui perbedaan morfologi kepala nyamuk Aedes,
Anopheles, dan Culex antara jantan dan betina.
4. Untuk mengetahui perbedaan morfologi larva nyamuk Aedes,
Anopheles, dan Culex.
C. Manfaat
1. Mengetahui perbedaan morfologi kecoa jantan dan betina.
2. Mengetahui perbedaan morfologi lalat jantan dan betina.
3. Mengetahui perbedaan morfologi kepala nyamuk Aedes, Anopheles,
dan Culex antara jantan dan betina.
4. Mengetahui perbedaan morfologi larva nyamuk Aedes, Anopheles,
dan Culex.
viii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecoa
Di dunia terdapat ± 3.500 jenis serangga kecoa (ordo Blattodea)
yang hidup secara cosmopolitan dan banyak ditemukan di lingkungan
perumahan, gedung pabrik maupun perkantoran. Kecoa menyukai tempat
hidup yang tersembunyi, sempit, kondisi lembab dan kotor (di balik
retakan dinding / lemari, dekat dengan saluran air, kamar mandi, dll),
serta memiliki lokomosi yang sangat cepat.2
Kecoa merupakan serangga yang dapat berperan sebagai
detritivor serasah atau zat sisa lainnya dalam proses ekosistem di hutan,
walaupun peranannya tidak terlalu signifikan seperti semut, rayap, dan
cacing yang berperan sebagai ecosystem engineer. Namun, seiring
dengan invasi manusia untuk memperluas lahan pemukiman, habitat
kecoa telah berubah dari lingkungan ekosistem perhutanan berpindah ke
lingkungan perkotaan. Di perkotaan, kecoa dikenal sebagai hama yang
mengganggu kelangsungan kehidupan manusia, dan sering berada di
tempat-tempat gelap, kotor dan lembab. Oleh karena itu, kecoa dapat
dijadikan sebagai bioindikator kebersihan suatu lingkungan (BB Biogen,
2012).5
Jenis-jenis kecoa yang umum diketahui antara lain : German
Cockroach (Blatella germanica) ; American cockroach (Periplaneta
americana) ; Oriental cockroach (Blatta orientalis); Brown-banded
cockroach (Supella longipalpa) ; Australian cockroach (Periplaneta
fuliginosa); dan Brown cockroach (Periplanetabrunnea) . Namun yang
paling sering ditemui di Pulau Jawa adalah jenis Periplaneta Americana.2
Kecoa Periplaneta americana merupakan jenis kecoa yang paling
banyak terdapat di lingkungan pemukiman di Indonesia.
Perkembangbiakan Periplaneta americana relatif tinggi, dihasilkan rata-
rata satu ooteka perminggu sampai kira-kira yang dihasilkan sejumlah 15-
90 ooteka. Setiap ooteka berisi sekitar 15 butir telur.6
Kecoa Periplaneta americana dewasa memiliki panjang sekitar 4
cm dengan tinggi sekitar 7 mm. Warna tubuhnya merah kecoklatan
dengan garis batas kekuningan pada bagian kepala. Badan kecoa dibagi
ke dalam tiga bagian, bagian badan berbentuk oval dan tipis dengan
ix
pronotum yang melapisi bagian kepala. Pronotum merupakan struktur
seperti plat yang menutupi seluruh permukaan dorsal thoraks. Kecoa juga
memiliki mulut pengunyah, antena panjang dan bersegmen serta sayap
depan berkulit dan sayap belakang yang rapuh. Bagian ketiga adalah
abdomen dari kecoa.7
1. Caput (Kepala)
Pada bagian kepala terdapat mulut yang digunakan untuk
mengunyah, terdapat sepasang mata majemuk yang dapat
membedakan gelap dan terang. Di kepala terdapat sepasang antena
yang panjang alat indra yang dapat mendeteksi bau-bauan dan
vibrasi di udara. Dalam keadaan istirahat kepalanya ditundukkan
kebawah pronotum yang berbentuk seperti perisai.
2. Thorax (Dada)
Pada bagian dada terdapat tiga pasang kaki dan sepasang
sayap yang dapat menyebabkan kecoa bisa terbang dan berlari
dengan cepat. Terdapat struktur seperti lempengan besar yang
berfungsi menutupi dasar kepala dan sayap, dibelakang kepala
disebut pronotum.
3. Abdomen (Perut)
Badan atau perut kecoa merupakan bangunan dan sistem
reproduksi, kecoa akan mengandung telur-telurnya sampai telur-
telurnya siap untuk menetas. Dari ujung abdomen terdapat sepasang
cerci yang berperan sebagai alat indra. Cerci berhubungan langsung
dengan kaki melalui ganglia saraf abdomen (otak sekunder) yang
x
paling penting dalam adaptasi pertahanan. Apabila kecoa merasakan
adanya gangguan pada cerci maka kakinya akan bergerak lari
sebelum otak menerima tanda atau sinyal.7
B. Lalat
Lalat merupakan salah satu ordo Diptera yang mempunyai
kedekatan dengan pemukiman manusia maupun di peternakan. Populasi
lalat di alam sangat tinggi, hal ini dipengaruhi oleh morfologi tubuh lalat
yang berukuran kecil, kemampuan terbang yang jauh, serta sirklus hidup
yang pendek, termasuk hewan omnivorous (pemakan segala). Disamping
itu, serangga ini juga mempunyai daya reproduksi yang cukup tinggi dan
merupakan multivoltine (beberapa generasi dalam satu tahun).8
Lalat merupakan hama pengganggu baik pada manusia maupun
pada hewan lainnya. Jenis lalat yang terutama menimbulkan masalah
dalam industri peternakan baik peternakan unggas, babi dan sapi perah
dan pada prosesing makanan asal hewan adalah lalat rumah Musca
domestica. Pada peternakan unggas, lalat ini yang paling tinggi populasi
dan potensinya sebagai hama (pestiferous fly) serta menjadi target utama
dalam program manajemen dan pengendalian.8
Lalat rumah termasuk family Muscidae sebarannya diseluruh
dunia, berukuran sedang dan panjang 6-8 mm, berwarna hitam keabu-
abuan dengan empat garis memanjang gelap pada bagian dorsal toraks
dan satu garis hitam medial pada abdomen dorsal, matanya pada yang
betina mempunyai celah yang lebih lebar sedangkan lalat jantan lebih
sempit, antenanya terdiri dari tiga ruas, bagian mulut atau proboscis lalat
xi
disesuaikan khusus dengan fungsinya untuk menyerap dan menjilat
makanan berupa cairan, sayapnya mempunyai vena 4 yang melengkung
tajam ke arah kosta mendekati vena 3, ketiga pasang kaki lalat ini
ujungnya mempunyai sepasang kuku dan sepasang bantalan disebut
pulvilus yang berisi kelenjar rambut.9
Ciri morfologi dari lalat Musca, yaitu tubuh jantan berukuran 5.8-
6.5 mm dan betina 6.5-7.5 mm. Toraks berwarna kelabu dengan empat
ban hitam longitudinal di dorsal, tubuh tidak berwarna biru metalik atau
hijau . Lalat ini memiliki probosis tipe penghisap dengan bentuk seperti
spons. Antena pendek dengan arista yang berambut (plumose) pada
bagian ventral dan dorsal. Sayap jernih dengan vena sayap M1+2 sangat
khas membentuk lengkungan sudut yang tajam dengan sel R5 agak
tertutup di distal.10
C. Nyamuk
Nyamuk merupakan vector yang menimbulkan dan menularkan penyakit
dalam kehidupan manusia. Di Indonesia sebagai daerah tropis
merupakan tempat yang sangat baik untuk perindukan nyamuk, hal ini
dikarenakan suhu, cuaca, serta musim di Indonesia sangat mendukung
dalam proses perkembangbiakan nyamuk. Sehingga, populasi nyamuk di
Indonesia tinggi. Nyamuk yang berkembang di daerah Indonesia antara
lain nyamuk Anopheles yang menyebabkan penyakit malaria, Aedes
aegypti yang menyebabkan penyakit DBD, dan Culex merupakan nyamuk
yang dapat menularkan penyakit kaki gajah (filariasis).11
2.1.1 Ascaris lumbricoides
xii
Gambar 2.1. Telur Ascaris lumbricoides.
xiii
Gambar 2.2. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides
2.1.2 Trichuris trichiura
xiv
Gambar 2.4. Siklus Hidup Trichuris trichiura.
xv
tiap hari mengeluarkan telur kira-kira 9.000 butir, sedangkan A.duodenale
kira-kira 10.000 butir. Cacing betina berukuran panjang kurang lebih 1
cm, cacing jantan kuran lebih 0,8 cm. Bentuk badan N.americanus
biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A.duodenale menyerupai huruf
C. Rongga mulut kedua jenis cacing itu besar. N.americanus mempunyai
benda kitin, sedangkan A.duodenale ada dua pasang gigi (Gandahusada
dalam Ariwati, 2018).
Pada kondisi tanah berpasir dengan temperature optimum yaitu
sekitar 23º-30º C, telur tumbuh dan berkembang setelah 1-2 hari
melepaskan larva rhabditiform yang berukuran 250-300µm. setelah itu
akan mengalami perubahan menjadi larva infektif yaitu filaiform, yang
dapat menembus kulit dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah
(Gandahusada dalam Ariwati, 2018).
Manusia dapat terinfeksi oleh cacing ini jika larva infektif ini
tertelan atau menembus kulit, biasanya pada kulit kaki. Jika larva filaiform
masuk menembus kulit dan bermigrasi menelusuri kuliat atau yang
disebut dengan cutaneous larva migrans, hingga akhirnya menemukan
jalan keluar berubah pembuluh vena dan masuk ke sirkulasi darah.
Setelah berada pada sistem sirkulasi, maka larva ini akan masuk ke
dalam siklus paru seperti pada siklus A.lumricoides. Berbeda halnya jika
larva tertelan, maka larva tidak akan melewati siklus paru, melainkan
masuk langsung ke sistem pencernaan dan menetap di usus halus
hingga menjadi cacing dewasa. Pada N.americanus infeksi lebih
disebabkan oleh masuknya larva melalui kulit, sedangkan pada
A.duodenale dengan cara tertelannya larva (Gandahusada dalam Ariwati,
2018).
Larva yang menembus kulit menyebabkan rasa gatal. Bila
sejumlah larva menembus paru-paru dan suatu waktu dan orang-orang
yang peka dapat menyebabkan bronkhitias atau pneumonitis
(Gandahusada dalam Ariwati, 2018).
Penyakit cacing tambang adalah suatu infeksi kronis dan orang-
orang yang terinfeksi kadang-kadang tidak melibatkan simpton yang akut.
Karena serangan cacing dewasa menyebabkan anemia yang disebabkan
karena kehilangan darah terus menerus. Satu ekor cacing dapat
menghisap darah setiap hari 0,1 – 1,4 cm3, berari penderita yang
xvi
mengandung 500 ekor cacing, kehilangan darah 50-500 cm3 setiap hari
(Gandahusada dalam Ariwati, 2018).
xvii
dikeluarkan bersama tinja (Gandahusada dalam Ariwati, 2018). Daur
hidup ada 3 yaitu:
a. Siklus langsung
Sesudah sampai 2-3 hari di tanah, larva rabditiform yang
berukuran kira-kira 225x16 mikron, berubah menjadi larva filariform
.dengan bentuk langsing dan merupakan bentuk infektif, panjangnya
kira-kira 700 mikron. Bila larva filaform menembus kulit manusia, larva
tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian
melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai
menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring.
Sesudah sampai di laring terjadi reflex batuk sehingga parasit
tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi
dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari
sesudah infeksi. Siklus langsung sering terjadi di negeri-negeri yang
lebih dingin dengan keadaan yang kurang menguntungkan untuk
parasite tersebut (Gandahusada dalam Ariwati, 2018).
b. Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah
menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk
bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina
berukuran 1 mm x 0,06 mm yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,44
mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spikulum. Sesudah
pembuahan, cacig betina menghasilkan telur yang menetas menjadi
larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat
menjadi larva filaform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru,
atau larva rabditiform tersebut dapat juga mengulangi fase hidup
bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan
sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan
untuk kehidupan bebas parasite ini misalnya di negeri-negeri tropic
dengan iklim lembab (Gandahusada dalam Ariwati, 2018).
c. Autoinfeksi
Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filaform di
usus atau di daerah sekitar anus (perianal). Bila lerva filaform
menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur
perkembangan di dalam hospes. Adanya autoinfeksi dapat
xviii
menyebabkan strongloidiasis menahun pada penderita yang hidup di
daera nonendemik (Gandahusada dalam Ariwati, 2018).
xix
2.2.4 Plasmodium malariae
Menurut Grassi dan Feletti (dalam Setiani, 2014) plasmodium ini
menyebabkan malaria malariae atau malaria kuartana.
2.2.5 Plasmodium knowlesi
Manusia juga bisa terinfeksi oleh Plasmodium knowlesi, yang merupakan
plasmodium zoonosis yang sumber infeksinya adalah kera.
Siklus skizogoni terdiri dari 2 siklus, yaitu siklus eksoeritrositik dan siklus
eritrositik. Dimulai ketika nyamuk menggigit manusia sehat. Sporozoit akan
masuk kedalam tubuh manusia melewati luka tusuk nyamuk. Sporozoit akan
xx
mengikuti aliran darah menuju ke hati, sehingga menginfeksi sel hati dan akan
matang menjadi skizon. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositik. Pada
Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae hanya mempunyai satu siklus
eksoeritrositik, sedangkan Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale mempunyai
bentuk hipnozoit (fase dormant) sehingga siklus eksoeritrositik dapat berulang.
Selanjutnya, skizon akan pecah mengeluarkan merozoit yang akan masuk ke
aliran darah sehingga menginfeksi eritrosit dan di mulailah siklus eritrositik.
Merozoit tersebut akan berubah morfologi menjadi tropozoit belum matang lalu
matang dan membentuk skizon lagi yang pecah dan menjadi merozoit lagi.
Diantara bentuk tropozoit tersebut ada yang menjadi gametosit dan gametosit
inilah yang nantinya akan dihisap lagi oleh nyamuk. Begitu seterusnya akan
berulang-ulang terus.
xxi
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. Tempat Praktikum
Praktikum Morfologi Serangga dilaksanakan di Laboratorium
Epidemiologi Terpadu gedung D lantai 3 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro.
B. Waktu Praktikum
Praktikum Morfologi Seranga dilaksanakan pada hari Kamis, 23
Mei 2019.
C. Alat Praktikum
D. Bahan Praktikum
10
11
12
13
E. Langkah Kerja
xxii
1. Diletakkan preparat pada meja preparat kemudian tahan menggunakan
penjepit preparat.
2. Diatur perbesaran lensa objektif dimulai dari perbesaran terendah yaitu
10x untuk mencari lapangan pandang.
3. Diamati preparat spesimen dengan mengubah posisi pengatur preparat
ke depan-belakang, ke samping kanan-kiri, pengarah makro (naik-turun
meja preparat), pengarah mikro (fokus lensa), terang cahaya, dan lensa
objektif sampai menemukan lapangan pandang.
4. Diatur perbesaran lensa objektif ke perbesaran yang lebih tinggi yaitu 40x
untuk dapat mengamati objek dengan lebih jelas, apabila belum jelas bisa
diperbesar lagi.
5. Ditulis keterangan setiap gambar terdiri dari nama, fase, dan perbesaran
lensa objektif dengan pulpen.
6. Diulangi langkah 1-5 dengan preparat yang berbeda.
7. Dibuat laporan praktikum sementara dengan digambar setiap
pengamatan preparat yang terdapat spesimen pada kertas HVS terlipat
empat bagian dengan pensil dan pensil warna di dalam lingkaran yang
dibuat dengan bantuan jangka, kertas dituliskan identitas penulis di pojok
kiri atas.
8. Dibuat laporan praktikum.
xxiii
BAB IV
HASIL
No Gambar Keterangan
.
1. Nama Objek : Trichuris
trichiura
Fase : Telur
Perbesaran Lensa Objektif :
40x
Penyakit : Trichuriasis
xxiv
4. Nama Objek : Ascaris
lumbricoides
Fase : Telur
Perbesaran Lensa Objektif :
40x
Penyakit : Ascariasis
xxv
BAB V
PEMBAHASAN
xxvi
dengan ukuran ±1/6 diameter eritrosit. Pada bentuk cincin dapat dilihat dua
butir kromatin; bentuk pinggir (marginal) dan bentuk accole sring ditemukan.
Beberapa bentuk cincin dapat ditemukan dalam satu eritrosit (infeksi
multiple). Walaupun bentuk marginal, accole, cincin dengan kromatin ganda
dan infeksi multiple dapat juga ditemukan dalam eritrosit yang ada di infeksi
oleh species plasmodium lain pada manusia, kelainan-kelainan ini lebih
sering ditemukan pada Plasmodium falciparum dan keadaan ini penting untuk
membantu diagnosis species.
Bentuk cincin plasmodium falciparum kemudian menjadi lebih besar.
Berukuran seperempat dan kadang-kadang setengah diameter eritrosit dan
mungkin dapat disangka parasit Plasmodium malariae. Sitoplasmanya dapat
mengandung satu atau dua butir pigmen. Stadium perkembangan siklus
aseksual berikutnya pada umumnya tidak berlangsung dalam darah repi,
kecuali pada kasus berat (pemiseosa).
5.3 Plasmodium vivax
Plasmodium vivax dibawa oleh nyamuk Anopheles betina.
Plasmodium vivax terdapat di daerah sub tropis, tropis, dan dingin. Sehingga
penyebarannya cukup luas. Seperti P. palchiparum, P. vivax juga memiliki
dua hospes yaitu manusia dan nyamuk. Siklus hidup tidak jauh beda dengan
P. falciparum. Ada stadium tidak aktif dalam hati selama beberapa waktu.
Setelah bereplikasi di dalam sel hati, P. vivax akan berkembang biak asexual
di dalam eritrosit. P. vivax memiliki masa inkubasi antara 12 hingga 17 hari,
tapi ada yang lebih dari 9 bulan.
Dalam siklus hidupnya P. vivax memiliki beberapa bentuk: Trofozoit
muda: Eritrosit membesar, P. vivax berbentuk cincin, inti berwarna merah,
sitoplasma berwarna biru, mulai terdapat titik schuffner pada eritrosit.
Trofozoit tua: Sitoplasma hamper memenuhi seluruh eritrosit, pigmen
menjadi semakin nyata. Mikrogametosit: Sitoplasma hamper memenuhi
seluruh eritrosit, inti difus ditengah, pigmen tersebar. Makrogametozit:
Sitoplasma bulat hampir memenuhi seluruh eritrosit, inti padat biasanya
berada ditepi eritrosit. Skizon muda: Inti telah membelah lebih dari satu,
pigmen tersebar pada eritrosit. Dam skizon tua: Inti 12-24 pigmen berkumpul
ditengah.
xxvii
5.4 Ascaris lumbricoides
Telur Ascaris lumbricoides yang telah dibuahi berbentuk oval melebar,
mempunyai lapisan yang tebal dan berbenjol-benjol, dan pada umumnya
berwarna coklat keemasan, ukuran panjangnya dapat mencapai 75µm dan
lebarnya 50µm. Telur yang belum dibuahi umumnya lebih oval dan ukuran
panjangnya dapat mencapai 90µm, lapisan yang berbenjol-benjol dapat
terlihat jelas dan kadang tidak.
Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat
yang mempunyai kelembapan tinggi dan pada suhu 25º-300º C. pada kondisi
ini telur tumbuh menjadi bentuk yang infektif (mengandung larva) dalam
waktu 2-3 mingu.
Proses larva A.lumbricoides menjadi dewasa memakan waktu kurang
lebih tiga minggu. Setealh dewasa, cacing menetap di usus inang dan
melakukan reproduksi, seekor cacing betina dewasa dapat memproduksi
telur hingga 200.000 per harinya (Prianto dalam Dionysios, 2014). Telur ini
kemudian dibuahi dan menjadi telur infektif dalam waktu beberapa minggu.
Telur A. lumbricoides ini memiliki lapisan lipid, telur yang telah dibuahi
memiliki lapisan lipid yang lebih tebal sehingga telur tersebut dapat bertahan
dalam keadaan ekstrem lingkungan (Prianto dalam Dionysios, 2014). Telur
yang telah dibuahi memiliki bentuk yang lebih bulat dan relatif lebih kecil jika
dibandingkan dengan telur yang tidak dibuahi. A. lumbricoides sendiri
memiliki panjang 15-31 cm dan berdiameter 2-4mm untuk cacing jantan. Dan
untuk cacing betina, umumnya memiliki ukuran yang lebih besar, yaitu
dengan panjang 20-49 cm dan diameter 3-6mm. selain itu A. lumbricoides
adalah cacing parasit yang bersifat monogenetic yang artinya hanya
membutuhkan satu inang untuk menyelesaikan seluruh siklus hidupnya
(Susanto dalam Dionysios, 2014). Manusia merupakan inang dari cacing ini.
xxviii
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
xxix
DAFTAR PUSTAKA
xxx
LAMPIRAN LAPORAN SEMENTARA
xxxi