Disusun oleh :
Kelompok 1
1. Ngiluhtara Aditya Putri (2240022001)
2. Nilna Salsabilah (2240022003)
3. Miladiyah Adania Salsabila (2240022032)
4. Septina Isro’ Hermawati (2240022037)
II. MORFOLOGI
Cacing dewasa hidup di dalam rongga usus halus manusia. Panjang cacing yang betina
20-40 cm dan cacing jantan 15-31 cm. cacing betina dapat bertelur sampai 200.000 butir
sehari, yang dapat berlangsung selama masa hidupnya yaitu kira-kira 1 tahun. Telur ini tidak
menetas dalam tubuh manusia, tapi di keluarkan bersama tinja hospes. Telur cacing ini ada
yang di buahi , disebut fertilized. Bentuk ini ada dua macam, yaitu yang mempunyai cortex
disebut fertilized-corticated. Ukuran telur ini 60 x 45 mikron. Telur yang tidak di buahi
disebut unfertilized, ukurannya lebih lonjong 90 x 40 mikron dan tidak mengandung embrio
di dalamnya. Telur yang dibuahi ketika keluar bersama tinja manusia tidak infekif. Ditanah
pada suhu 20ºC-30ºC, dalam waktu 2-3 minggu menjadi matang yang disebut telur infektif
dan di dalam telur ini sudah terdapat larva. Telur infektif ini dapat hidup lama dan tahan
terhadap pengaruh buruk (Safar, 2010).
Cacing A. lumbricoides dewasa biasanya berwarna warna putih krem dengan warna
merah muda, lurik halus terlihat di kutikula (permukaan meliputi hadir pada nematoda
dewasa). Cacing A. lumbricoides dewasa jantan rata-rata berukuran kecil, jarang mencapai
30 cm panjangnya dan memiliki karakteristik ramping dan memiliki ekor berurat yang
menonjol. Pemupukan telur mengubah massa amorf protoplasma menjadi embrio uniseluler
yang belum berkembang. Polisakarida yang mengandung lapisan tebal nitrogen yang disebut
kitin, juga dikenal sebagai shell terletak di antara embrio dan mammillated berbahan
albuminous (corticated) (Zeibig, 2013).
Ascaris lumbricoides memiliki 4 macam telur yang dapat di jumpai difeses, yaitu telur
fertile (telur yang di buahi), unfertile (telur yang tidak dibuahi), decorticated (telur yang sudah
di buahi tetapi telah kehilangan lapisan albuminya) dan telur infektif (telur yang mengandung
larva) (Atlas parasitology kedokteran, 2014).
Gambar 2.1 Telur Ascaris Lumbricoides Fertile
Sumber : atlas parasitologi kedokteran, 1994
IV. PATHOGENESIS
Penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides adalah Penyakit yang sangat
umum, sebagian besar penderita adalah anak-anak. Penyakit ini bisa menjaddi sebab
kematian, baik dari larva maupun cacing masa dewasa (Irianto, 2013).
Larva cacing Ascaris lumbricoides dapat menyebabkan penyakit hepatitis, pneumonia
ascariasis, edema kulit, jika terkena pada anak-anak dapat menyebabkan nausea (mual),
kolik (gangguan pencernaan), diare, urtikaria, kejang, meningitis (peradangan pada selaput
otak), serta menyebabkan demam, kelesuan, strabismus (mata juling) dan lumpuh. Hepatitis
terjadi karena larva cacing masuk ke dalam dinding pencernaan dan dibawa melalui sistem
peredaran darah ke dalam hati dan dapat menyebabkan kerusakan hati (Irianto, 2013).
Cacing dewasa dapat menyebabkan intoleran laktosa, malabsorpsi vitamin A dan zat
gizi mikro. Dampak serius terjadi jika cacing-cacing tersebut berkumpul Bersama pada
sistem pencernaan sehingga menyebabkan obstruksi saluran cerna. Selain itu, cacing dewasa
juga bisa memasuki lumen usus buntu dan dapat menyebabkan pecahnya usus buntu atau
ganggren. Dengan asumsi cacing dewasa masuk dan menyumbat saluran empedu, mereka
bisa menyebabkan kolik, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis dan abses hati. Pergerakan
cacing dewasa dapat terjadi karena adanya ranggsangan, misalnya demam tinggi
(Kemenkes, 2010).
V. GEJALA KLINIS
Infeksi kecacingan sering dijumpai pada anak usia sekolah dasar dimana pada usia ini
anak-anak masih sering kontak dengan tanah. Salah satu cacing yang penularannya melalui
tanah adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides). Berdasarkan data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2008 didapatkan sekitar 800 juta sampai dengan 1 milyar
penduduk di dunia terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides, 700 juta sampai 900 juta
penduduk dunia terinfeksi cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale), 500 juta penduduk terinfeksi Trichuris trichiura, dan 300 juta penduduk dunia
terinfeksi Oxyuris vermicularis. Gejala yang ditimbulkan pada penderita Ascariasis dapat
disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat
berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan di alveolus dan timbul angguan
pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia. Kejadian Ascariasis ini dapat
ditemukan pada berbagai jenis usia. Prevalensi tertinggi didapatkan pada anak golongan
usia sekolah dasar yaitu pada usia 5-9 tahun karena ada hubungannya dengan kebiasaan
anak-anak yang sering bermain di tanah yang terkontaminasi cacing sehingga lebih mudah
terinfeksi. Infeksi kecacingan merupakan urutan kelima penyakit yang menyerang balita,
dengan urutan penyakit tersering lainnya ialah Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA), penyakit
infeksi kulit, diare, dan demam.
Penelitian epidemiologi telah dilakukan di seluruh provinsi Indonesia terutama pada
anak sekolah. Selain penggolongan Ascariasis berdasarkan usia, angka kejadian
Ascariasisbanyak ditemukan pada wanita dari pada pria di Pulau Sumatera.
VI. EPIDEMIOLOGI
Ascaris lumbricoides merupakan jenis cacing terbanyak yang menyebabkan infeksi
pada manusia. Angka kejadian infeksi A.lumbricoides ini cukup tinggi di negara
berkembang seperti Indonesia dibandingkan dengan negara maju (Rampengan, 2005).
Tingginya angka kejadian Ascariasis ini terutama disebabkan oleh karena banyaknya telur
disertai dengan daya tahan larva cacing pada keadaan tanah kondusif. Parasit ini lebih
banyak ditemukan pada tanah liat dengan kelembaban tinggi dan suhu 25°- 30°C sehingga
sangat baik untuk menunjang perkembangan telur cacing A.lumbricoides tersebut (Sutanto
dkk, 2008).
Telur A. lumbricoides mudah mati pada suhu diatas 40° C sedangkan dalam suhu
dingin tidak mempengaruhinya (Rampengan, 2005). Telur cacing tersebut tahan terhadap
desinfektan dan rendaman yang bersifat sementara pada berbagai bahan kimiawi keras
(Brown dkk, 1994).
Infeksi A. lumbricoides dapat terjadi pada semua usia, namun cacing ini terutama
menyerang anak usia 5-9 tahun dengan frekuensi kejadian sama antara laki-laki dan
perempuan (Natadisastra, 2012). Bayi yang menderita Ascariasis kemungkinan terinfeksi
telur Ascariasis dari tangan ibunya yang telah tercemar oleh larva infektif . Prevalensi A.
lumbricoides ditemukan tinggi di beberapa pulau di Indonesia yaitu di pulau Sumatera
(78%), Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat (92%), dan Jawa Barat
(90%) (Sutanto, 2008).
VII. DIAGNOSIS
Untuk menetapkan diagnosis pasti askariasis harus dilakukan pemeriksaan
makroskopis terhadap tinja atau muntahan penderita untuk menemukan cacing dewasa.
Pada pemeriksaan mikroskopis atas tinja penderita dapat ditemukan telur cacing yang khas
bentuknya di dalam tinja atau cairan empedu penderita (Soedarto, 2011). Adanya cacing
Ascaris pada organ atau usus dapat dipastikan jika dilakukan pemeriksaan radiografi dengan
barium. Untuk membantu menegakkan diagnosis askariasis, pemeriksaan darah tepi akan
menunjukkan terjadinya eosinofilia pada awal infeksi, sedangkan scratch test pada kulit
akan menunjukkan hasil positif (Soedarto,2011).
Diagnosis dapat juga dilakukan dengan mengidentifikasi cacing dewasa yang keluar
dari tubuh tuan rumah setelah tuan rumah memakai obat. Untuk dapat mendiagnosis adanya
larva pada paru – paru dapat dilakukan dengan Rontgenologis (hasil foto Rontgen pada
rongga dada), dan dapat pula memeriksa dahak yang dikeluarkan. Untuk anak kecil biasanya
sukar untuk dapat memeriksa dahaknya karena biasanya ditelan lagi. Dapat juga penderita
Ascariasis diketahui dengan cara serologis melalui uji penggumpalan (Irianto, 2009).
Adapun beberapa macam pemeriksaan makroskopis pada ascaris lumbricoides meliputi
warna, darah, lendir, konsistensi, bau, pH, dan sisa makanan.
a. Pemeriksaan Bau
Seperti halnya pemeriksaan bau urine, uji bau pada tinja dilakukan dengan
mengibaskan menggunakan telapak tangan terhadap sampel tinja pada wadahnya.
Interpretasi hasil.
b. Pemeriksaan Warna dan Sisa Makanan
Warna dan sisa makanan diuji secara langsung dengan mengamati tinja secara
visual.
c. Pemeriksaan Lendir dan Konsistensi
Dua parameter ini dapat diperiksa secara bersamaan dalam satu Langkah kerja,
yaitu dengan menggunakan stik yang ditusukkan kedalam sampel.
d. Pemeriksaan pH
pH tinja diperiksa mengunakan strip pit dengan bantuan pinset. Kertas pH
menggunakan pinset lalu tempelkan/benamkan ke dalam sampel tinja selama 30
detik. Cocokkan perubahan warna yang terjadi pada kertas pH dengan standar
warna strip pit.
e. Pemeriksaan Darah
Darah dapat diperiksa secara langsung maupun dengan bantuan reagen kimia untuk
mendeteksi adanya darah samar dalam tinja.
Irianto, Koes. 2009. Parasitologi Berbagai Penyakit Yang Mempengaruhi Kesehatan Manusia.
Bandung: CV Yrama widya
Natadisastra, Djaenudin., & Ridad Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Noviastuti, Aulia rahma. 2015. “infeksi soil transmitted helminth”. (jurnal) 4 (8) 107-115