Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KEGIATAN PPDH

BAGIAN DIAGNOSTIK LABORATORIUM PARASITOLOGI

EKTOPARASIT DAN ENDOPARASIT PADA DOMBA

Disusun Oleh:
Kelompok C2 PPDH Semester Ganjil 2019/2020

Elsi Rahmadhani, SKH B941910021


Dewi Nuriatul Sapitri, SKH B941910075

Dosen Pembimbing:
Prof Dr Drh Umi Cahyaningsih, MS
Dr Drh Susi Soviana, MSi

BAGIAN PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba merupakan hewan ternak yang umum dipelihara dan digunakan


sebagai salah satu mata pencarian masyarakat pedesaan. Domba biasanya
dipelihara untuk diambil daging dan bulunya. Selain itu, domba juga
mengeluarkan hasil samping berupa kotoran padat (feses) dan kotoran cair (urin)
yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang.
Beberapa kendala yang sulit dihindari peternak adalah keberadaan parasit.
Adanya infestasi parasit dapat menyebabkan turunnya produktivitas ternak.
Parasit adalah organisme yang hidup menumpang pada organisme lainnya.
Organisme yang ditumpangi oleh parasit disebut juga dengan inang. Parasit
bersifat merugikan inang karena selain menumpang hidup, parasit juga memakan
nutrisi yang berasal dari inang, sehingga gangguan yang ditimbulkan parasit
meliputi penurunan berat badan, penurunan kualitas hidup, kerusakan organ, pada
jumlah infeksi parasit yang besar kadang dapat timbul kematian, akan tetapi pada
dasarnya organisme hidup secara harmonis, begitupun juga dengan parasit.
Parasit terbagi atas dua jenis, yaitu parasit yang hidup di luar tubuh inang
(ektoparasit) dan parasit yang hidup di dalam tubuh inang (endoparasit).
Ektoparasit terbagi menjadi dua, yaitu ektoparasit yang bersifat obligat dan
ektoparasit fakultatif. Bersifat obligat artinya seluruh stadiumnya, mulai dari
pradewasa sampai dewasa, hidup bergantung kepada inangnya. Kelompok yang
bersifat fakultatif artinya ektoparasit itu menghabiskan waktunya sebagian besar
di luar inangnya (Hadi dan Soviana 2010).
Endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang meliputi cacing
atau helminth (trematoda, nematoda dan cestoda) dan protozoa. Endoparasit
mempunyai kemampuan untuk beradaptasi terhadap jaringan inang sehingga
umumnya tidak menimbulkan kerusakan serta gejala klinis yang berat.
Endoparasit dapat pula menjadi patogen karena inang menderita malnutrisi atau
terjadi penurunan daya imunitas tubuh (Hernasari 2011). Gangguan endoparasit
seperti helminth dan protozoa sudah sejak lama menghinggapi industri
peternakan, pecinta hewan kesayangan maupun satwa liar di Indonesia.
Penanggulangan yang efektif diperlukan untuk menghindari penyebaran yang luas
dan kerugian yang lebih tinggi. Adapun identifikasi endoparasit dapat dilakukan
dengan pemeriksaan ulas darah dan pemeriksaan feses.

Tujuan

Tujuan dilakukan pemeriksaan ini yaitu untuk meningkatkan keterampilan


mahasiswa Program Pendidikan Dokter Hewan FKH IPB dalam mendiagnosis
penyakit yang dapat disebabkan oleh parasit, mengetahui kepentingan parasit di
bidang veteriner, serta mengetahui tata laksana untuk mengidentifikasi parasit
baik ektoparasit maupun endoparasit.
METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 4-15 November 2019 bertempat di


laboratorium parasitologi dan entomologi RSHP FKH IPB. Sampel diperoleh dari
domba RSHP FKH IPB, Kandang Fakultas Peternakan IPB, dan Unit Reproduksi
dan Rehabilitasi (URR) FKH IPB.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk mengoleksi dan mengidentifikasi parasit


adalah sweeping net, nzi trap, killing jar, corong barlesse, mikroskop stereo,
kapas, object glass, cover glass, inkubator, pinning block dan jarum pinning.
Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, 80%, 90%, 100%, kloroform, minyak
cengkeh, xylol, cairan hoyer, kapur barus, dan cairan perekat. Alat yang
digunakan untuk pengujian sampel darah dan feses yaitu vacutainer EDTA,
kapas, syringe, object glass, cover glass, pipet tetes, counter, mikroskop, mortar,
wadah pupukan, gelas sedimentasi dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah
spesimen darah dan feses, aquades, larutan pengapung, lugol, eosin, dan
vermiculite.

Bagian Ektoparasit

Koleksi Spesimen
Ektoparasit pada domba diambil menggunakan alat dan bahan, seperti
gunting dan KOH 10%. Ektoparasit yang ditemukan pada domba adalah kutu.

Pembutan Preparat Kering Kutu


Kutu yang diperoleh dibuat menjadi preparat kering untuk diamati
menggunakan mikroskop. Alat dan bahan yang digunakan adalah bunsen, gelas
beker, tabung reaksi, penusuk, plat tetes keramik, gelas objek, cover glass,
inkubator, akuades, KOH 10%, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol
100%, minyak cengkeh, xylol, cairan hoyer dan cairan perekat.
Spesimen kutu diambil dari rambut yang telah direndam KOH 10%,
specimen kutu yang didapatkan kemudian diambil dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi berisi KOH sebanyak 1/3 tabung. Tabung tersebut dipanaskan
menggunakan bunsen dan gelas beker berisi air. Tabung dipanaskan selama satu
jam untuk menipiskan khitin pada kutu. Setelah itu, kutu diambil dan dimasukkan
ke dalam plat tetes yang telah berisi alkohol 70%, 80%, 90%, dan 10 % secara
berturut-turut masing-masing selama 10 menit. Kemudian, kutu dimasukkan ke
dalam minyak cengkeh selama 30 menit. Hal ini dilakukan untuk menjernihkan
kutu tersebut.
Setelah itu, spesimen kutu direndam ke dalam xylol pada plat tetes selama
10 menit, apabila kutu masih dalam keadaan kurang bersih dilakukan perendaman
ulang pada xylol hingga kutu menjadi bersih dan mudah diamati pada mikroskop.
Spesimen kutu diangkat dan diletakkan ke gelas objek yang telah diberi cairan
sebanyak 2-3 tetes. Kemudian, gelas objek ditutup menggunakan cover glass dan
diinkubasi pada suhu 37°C selama 2 hari. Spesimen diidentifikasi dan diberi label.

Bagian Endoparasit

Koleksi Sampel Feses


Sampel feses domba dikoleksi dari domba di RSHP FKH IPB, Kandang B
Fakultas Peternakan IPB, dan Unit Reproduksi dan Rehabilitasi (URR) FKH IPB.
Feses yang didapatkan dimasukkan ke dalam plastik dan diberi identitas. Sampel
dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengujian (jika sampel tidak langsung
digunakan, maka disimpan ke dalam lemari pendingin dengan suhu 4-5 °C).

Persiapan Sampel Feses


Pemeriksaan Feses Secara Kualitatif
Metode pemeriksaan feses secara kualitatif dilakukan dengan 2 cara, yaitu metode
pewarnaan eosin atau lugol dan flotasi sederhana.

a. Pewarnaan, natif, eosin, atau lugol


Pemeriksaan menggunakan pewarnaan eosin atau lugol dilakukan untuk
melihat keberadaan telur cacing serta protozoa dalam feses. Tata cara perlakuan
uji ini adalah satu tetes campuran feses ditambahkan 5 mL aquades dimasukan ke
dalam mortar, kemudian digerus hingga homogen. Untuk pemeriksaan secara
natif, larutan yang sudah homogen diletakkan pada gelas objek dan ditutup
menggunakan cover glass. Untuk pemeriksaan menggunakan lugol, larutan yang
sudah homogen diletakkan pada gelas objek dan ditambahkan dengan satu tetes
lugol, kemudian ditutup menggunakan cover glass. Untuk pemeriksaan
menggunakan eosin, larutan yang sudah homogen diletakkan pada gelas objek dan
ditambahkan dengan satu tetes eosin, kemudian ditutup menggunakan cover glass.
Pemeriksaan dilakukan dengan pengamatan menggunakan mikroskop pada
perbesaran 4x10 hingga 40x10. Pewarnaan eosin akan memperjelas gambaran
telur cacing dan protozoa, serta membedakan organisme yang hidup (tidak
menyerap warna merah) dan yang mati (menyerap warna merah). Pewarnaan
lugol dapat membantu melihat struktur morfologi endoparasit.

b. Metode Flotasi Sederhana

Sebanyak 2 gram feses ditambahkan dengan 58 mL larutan pengapung,


kemudian dimasukkan ke dalam gelas plastik untuk diaduk hingga homogen.
Campuran larutan feses dan larutan pengapung yang sudah dibuat dan
dihomogenkan dituangkan ke dalam tabung reaksi hingga permukaannya
membentuk miniskus cembung. Bagian atas tabung reaksi tersebut kemudian
ditutup menggunakan cover glass. Setelah 10-15 menit, kaca penutup diangkat
kemudian langsung diletakkan pada gelas objek. Preparat tersebut diamati
menggunakan mikroskop pada perbesaran 10x10 untuk mengamati keberadaan
telur cacing dan mengidentifikasi jenisnya.
Pemeriksaan Feses Secara Kuantitatif
Pemeriksaan secara kuantitatif dilakukan menggunakan metode
McMaster. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui derajat infeksi dari
adanya kecacingan (telur tiap gram tinja) atau infeksi oleh protozoa (ookista tiap
gram tinja). Campuran larutan feses dan larutan pengapung yang sudah
dihomogenkan (larutan floatasi) dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster
menggunakan pipet ke dalam kedua chamber, kemudian diamati menggunakan
mikroskop perbesaran 10x10 dan dihitung jumlahnya menggunakan counter.
Jumlah telur cacing atau ookista dalam tiap gram feses dapat dihitung dengan
cara:

TTGT/OTGT

Keterangan :
n : jumlah telur atau ookista yang ditemukan
w : berat feses (2 gram)
V total : volume larutan pengapung dan feses (60 ml)
V hitung : volume cairan yang dimasukkan ke dalam kamar hitung
McMaster (2 x 0.5 ml= 3 ml)

Pemupukan Feses
Proses pemupukan dilakukan untuk mengubah telur menjadi larva,
sehingga dapat mengidentifikasi genus hingga spesies cacing dari telur yang
didapatkan. Sampel feses dipupuk dengan mencampurkan feses terlebih dahulu
dengan vermiculite dengan perbandingan 1:1, kemudian disemprotkan sedikit
akuades dan diaduk hingga homogen. Campuran tersebut kemudian ditempatkan
pada cawan petri. Pupukan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari dan
dilakukan pengadukan setiap hari satu hari sekali, serta dipastikan pupukan tetap
dalam kondisi lembab. Setelah tujuh hari, pupukan dipanen dan pengamatan
dilanjutkan menggunakan metode Baermann.

Metode Baermann
Pemisahan larva dari feses dilakukan dengan metode ini sehingga
diperoleh suspensi larva yang bersih. Campuran feses dan vermiculite yang sudah
dipanen dibungkus dalam kain saring, kemudian disangga dengan potongan gelas
plastik dan diletakkan pada permukaan gelas Baermann. Setelah ditunggu selama
kurang lebih satu jam, larva dipanen dari bagian dasar gelas, dan diamati
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40x10. Larva tersebut kemudian
diidentifikasi menggunakan kunci identifikasi.

Koleksi Sampel Darah


Sampel darah domba diambil melalui vena jugularis. Alat dan bahan yang
digunakan adalah syringe, gelas objek, alkohol, kapas, dan metanol. Daerah yang
akan ditusuk dibersihkan menggunakan kapas beralkohol, dan dibendung. Darah
yang keluar langsung dibuat preparat ulas darah dengan cara darah diteteskan
pada gelas objek dan digoreskan pada gelas objek lainnya. Kemudian, gelas objek
direndam ke dalam metanol selama 5-10 menit. Gelas objek yang sudah kering
dibungkus dengan tisu dan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa.

Preparat Ulas Darah


Pengamatan parasit pada darah perlu dilakukan pembuatan preparat ulas
darah. Alat yang dibutuhkan adalah mikroskop dan pewarna giemsa. Gelas objek
yang telah direndam metanol dimasukkan ke dalam pewarna giemsa selama 45
menit. Setelah itu, gelas objek dibilas menggunakan air secara perlahan. Gelas
objek dikeringkan dan diamati menggunakan mikroskop. Perbesaran yang
digunakan adalah 100 x 10 menggunakan minyak emersi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemeriksaan ektoparasit dilakukan dengan melakukan pengambilan
spesimen ektoparasit pada domba. Pemeriksaan endoparasit dilakukan dengan
melakukan pengambilan sampel feses dan darah. Setelah dilakukan pengambilan
sampel dilakukan identifikasi untuk mengetahui jenis parasit yang ada pada
sampel yang telah diambil.

Tabel 1 Hasil Pemeriksaan Endoparasit dan Ektoparasit

No Lokasi Hewan Kualitatif Kuantitatif Darah Ektoparasit


Floatasi Eosin Lugol Pemupukan Mc Master
sederhana test feses (TTGT)
1. Kandang Domba 1 + + + Haemonchus 300 - -
B Fapet contortus
Domba 2 + + + 500 - -
Domba 3 + + + 700 - -
Domba 4 + + + 200 - -
Domba 5 + + + 800 - -
2. URR Domba 6 - - - - - Damalinia
FKH IPB ovis
Domba 7 + + + 500 - Damalinia
ovis
Domba 8 - - - - - Damalinia
ovis
3. RSHP Domba 9 - - - - - Damalinia
FKH IPB ovis
C Domba - - - - - Damalinia
10 ovis

Ektoparasit

Anamnesa, sinyalemen dan status present


Sampel diambil dari seekor domba garut (Ovis aries) milik RSHP FKH IPB.
Domba tersebut memiliki berumur 2 tahunn, memiliki warna rambut hitam dan
putih, serta berjenis kelamin betina. Keadaan umum hewan, hewan memiliki gizi
yang cukup, karena menurut keterangan pemelihara hewan, domba diberi makan
sehari dua kali yaitu pagi dan sore. Domba memiliki tingkah laku jinak, habitus
tulang punggung lurus, sikap berdiri tegak pada keempat kaki, perawatan yang
kurang baik (terlihat dari rambut yang kusam), dan adanya tingkah laku gelisah
karena adanya rasa gatal. Menurut keterangan dari pemelihara hewan, domba
jarang sekali dimandikan sehingga rambutnya menjadi kusam dan menebal.
Sampel kutu diambil dengan menggunting bagian rambut domba tersebut di
bagian kepala, tengkuk, punggung dan tungkai.

Gambar 1 Domba RSHP FKH IPB


Sistem Perkandangan
Tipe kandang domba yang ada di RSHP FKH IPB merupakan kandang
panggung. Kandang panggung memiliki bagian kolong untuk menampung feses
domba. Adanya kolong sebagai tempat penampungan feses domba membuat
bangunannya lebih tinggi jika dibandingkan dengan sekitarnya.

Gambar 2 Kandang Domba di RSHP FKH IPB

Damalinia ovis

Kutu merupakan ektoparasit yang kulit yang memiliki host specificity yang
tinggi. Kutu juga merupakan parasit obligat yang tidak dapat menyelesaikan
siklus hidup, dan tidak bisa bertahan hidup di luar tubuh inangnya
(Crawford 2001). Keberadaan kutu di dalam tubuh inang sangat dipengaruhi oleh
kebersihan individu, suhu, dan kelembapan. Kebersihan individu seperti
membersihkan rambut dan badan dapat mengurangi angka infestasi D. ovis. Suhu
optimum untuk perkembangan D. ovis berada diantara 37-39 ◦C. Paparan suhu
48 ◦C (60 menit) dan 50◦C (30 menit), 55◦C (5 menit) dapat membunuh semua
telur, nimfa, dan seluruh tahap perkembangan kutu dewasa. Kelembapan menjadi
suatu critical factor bagi pertumbuhan hidup kutu. Kutu dapat bertahan hidup
pada kondisi kelembapan 70-90% (Murray 1968). Kutu merupakan ordo
phtiraphtera yang terdiri atas Anoplura (kutu pengisap) dan Mallophaga (kutu
penggigit). Keberadaan kutu penggigit lebih bervariasi dan tersebar luas jika
dibandingkan dengan kutu pengisap dengan perkiraan persebaranya di seluruh
dunia sekitar 2600 spesies (Marshall 1981). Damalinia ovis merupakan bagian
dari Mallophaga, dengan klasifikasi sebgai berikut:

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub filum : Chelicerrata
Kelas : Insecta
Ordo : Phtiraphtera
Sub ordo : Mallophaga
Famili : Trichodectidae
Genus : Damalinia
Spesies : Damalinia ovis

Damalinia ovis (D. ovis) memiliki morfologi tubuh berwarna kuning pucat,
dengan garis cokelat transversal di bagian abdomen, dan kepala yang berwarna
merah kecokelatan. D. ovis memiliki panjang tubuh sekitar 1.5 – 2 mm. D. ovis
jantan berukuran lebih kecil dibandingkan dengan betina, serta memiliki ujung
abdomen yang lebih runcing. D. ovis hidup dengan memakan lapisan kulit, lemak,
kelenjar keringat, dan bakteri di kulit inang (Sinclair dan Picton 1989).

Gambar 3 Morfologi D. ovis (Pembesaran 10x10)

Kutu mengalami metamorfosis tidak sempurna, siklus hidup kutu dimulai


dari telur, nimfa instar pertama, kedua, dan ketiga, lalu dewasa. Siklus hidup kutu
berlangsung selama 34-36 hari. Seluruh tahap perkembangan kutu terjadi di dalam
tubuh inangnya. Telur kutu berbentuk oval, berwarna putih, dan pada beberapa
jenis permukaan telur bercorak-corak dan dilengkapi dengan operkulum. Telur
kutu disebut nits, yang melekat pada rambut inangnya dengan semacam zat semen
pada bagian ujung dasar telur. Jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk
kutu bisa mencapai 300 butir selama hidupnya. Telur menetas setelah 9-10 hari,
kemudian menjadi nimfa yang mengalami 3 kali molting sebelum akhirnya
menjadi kutu muda, dan kutu dewasa. Nimfa dan kutu muda berwarna keputih-
putihan, semakin tua umurnya maka warna kutu akan semakin gelap. Kutu
dewasa bisa hidup 10 hari hingga beberapa bulan (Hadi dan Soviana 2013).
D. ovis betina akan mating dalam beberapa jam setelah molting menjadi dewasa,
tetapi tidak akan bertelur hingga usia dewasanya 3-4 hari (James 1999).

Gambar 4 siklus hidup Damalinia ovis (James 1999)

Transmisi dari Damalinia ovis terjadi secara horizontal melalui close


contact antara domba sehat dan domba yang terinfestasi D. ovis. Kepekaan domba
terinfestasi kutu bergantung pada ras, umur, kondisi kesehatan, dan nutrisi hewan.
Menurut James et al. (2008), domba merino secara genetik lebih susceptible
terinfestasi oleh D. ovis. Domba muda lebih mudah terinfeksi dibandingkan
dengan domba yang berumur tua, dan biasanya infestasi kutu yang berat terjadi
pada domba yang pertumbuhannya lambat dan domba yang stres akibat buruknya
kondisi kandang dan kurangnya nutrisi. Menurut gejala klinis yang ditimbulkan
oleh hewan yang terinfestasi kutu adalah menggosokkan badannya ke kandang,
menggigit bagian yang gatal, menggaruk bagian yang gatal menggunakan
kukunya, serta adanya penebalan pada bagian kulit. Menurut Britt et al. (1986),
penebalan kulit disebabkan oleh dua hal, yaitu secara mekanik akibat gigitan
D. ovis atau trauma akibat garukan, serta secara imunologis akibat reaksi antara
antigen di saliva kutu dengan permukaan kulit.
Teknik pengendalian Damalinia ovis dilakukan dengan menjaga kebersihan
hewan, mengelola lingkungan kandang, dan melakukan pengendalian secara
kimiawi. Kebersihan hewan dapat dijaga dengan memandikan hewan secara
teratur, dan membiarkannya merumput agar terkena sinar matahari. Lingkunagn
kandang dapat dikelola dengan membersihkan lingkungan kandang, melakukan
rotasi hewan, dan memisahkan hewan yang sakit. Pengendalian secara kimiawi
dapat dilakukan baik melalui metode dipping, maupun metode pour on. Metode
dipping biasanya menggunakan insektisida organofosfat yaitu diazinon (Johnson
et al. 1992). Metode pour on biasanya menggunakan sintetik piretroid seperti
deltrametrin, cypermethrin, dan alphacypermethrin (Hennesy et al. 2000; Johnson
et al. 1992); Insecticides growth promotor (IGR) seperti triflumoron dan
diflubenzuron (James et al. 2008); serta insektisida alami sintetik seperti spinosad
(Jin et al. 2010).

Endoparasit
Anamnesa, Sinyalement dan Status Present
Sampel feses dan darah diambil dari domba yang dipelihara di Unit
Rehabilitasi dan Reproduksi (URR) FKH IPB. Domba berwarna putih dan hitam,
berjenis kelamin betina dengan kondisi badan yang kurus dan feses yang relatif
lembek.

Gambar 5 Domba di URR FKH IPB

Hasil Pemeriksaan
Pemeriksaan endoparasit dilakukan dengan mengamati sampel feses dan
darah. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan hasil yang negatif sedangkan hasil
pemeriksaan sampel feses ditemukan dua jenis telur nematoda yaitu tipe telur
strongiloid. Kedua tipe telur tersebut ditemukan pada setiap pemeriksaan kualitatif
maupun kuantitatif.
Tipe telur strongiloid ditemukan pada setiap pengulangan pemeriksaan
sampel feses dengan metode kualtitatif maupun kuantitatif pada domba tersebut.
Perhitungan dengan metode McMaster didapatkan TTGT telur strongiloid
sejumlah 800. Berdasarkan standar infeksi menurut Levine (1990), infeksi dapat
dikategorikan ringan jika jumlah telur yang dihitung sejumlah 1-499 butir tiap
gram, infeksi sedang ditunjukkan jika jumlah telur 500-5000 butir tiap gram dan
infeksi berat ditunjukkan jika telur yang dihasilkan >5000 butir tiap gram feses
ternak. Berdasarkan standar tersebut, domba tersebut dikategorikan menderita
kecacingan derajat sedang.
Gambar 6 Telur tipe strongiloid

Sampel feses yang positif mengandung telur dilakukan pemupukan pada


selama 7 hari. Setelah 7 hari, hasil pupukan dilakukan panen dan dilakukan
pengujian terhadap adanya larva. Larva yang ditemukan dari hasil panen yaitu
diduga larva cacing genus Hemonchus. Larva tersebut dapat dilihat pada gambar.

Gambar 7 Larva cacing Haemonchus contortus

Siklus Hidup Nematoda


Siklus hidup nematoda secara umum dimulai dari larva nematoda paling
infektif melalui ingesti (penelanan) bersama rumput yang dimakan oleh ternak.
Larva infektif dapat menembus kulit pada bagian kaki ketika hewan berdiri di atas
tanah, juga dapat melalui fecal contaminated area atau daerah yang terkontaminasi
feses yang mengandung telur cacing yang akan tertempel di permukaan tubuh
hewan ketika berbaring. Larva cacing yang telah tertelan atau masuk ke dalam
tubuh, bergerak melalui darah menuju ke jantung dan paru-paru, kemudian ke
saluran usus dan menjadi cacing dewasa.
Perkembangan larva nematoda gastrointestinal ke fase tiga atau larva
infektif dapat terjadi secara cepat selama 7 - 14 hari di lingkungan selama kondisi
optimal (suhu yang hangat). Ketika larva sudah mencapai fase larva infektif, larva
tersebut dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan hingga pergantian musim.
Setelah menginfeksi hewan ternak, kebanyakan nematoda parasit berkembang
menjadi dewasa selama 2 - 4 minggu. Kerusakan besar yang ditimbulkan di
abomasum dan saluran usus terjadi selama periode perkembangan larva ke tahap
dewasa. Total siklus hidup dari telur menuju telur kembali membutuhkan waktu
sekitar 6 – 8 minggu yaitu 2 - 3 minggu di lingkungan dan 2 - 5 minggu di dalam
tubuh hewan (Wiliams dan Loyacano, 2001).

Gambar 4 Siklus hidup nematoda usus (Whittier et al. 2003).

Pencegahan dan Pengendalian


Pengendalian hama dapat dilakukan secara fisik, kimia, agen biologi dan
kombinasi ketiganya. Pengendalian yang umum digunakan adalah menggunakan
pestisida. Beberapa golongan pestisida yang dapat digunakan yaitu golongan
piretroid sintetik seperti sipertrin, bifentrin dan permetrin. Aplikasi yang umum
digunakan adalah space spraying (penyemprotan ruang), residual spraying
(penyemprotan permukaan), dan baiting (penggumpanan) atau fumigasi (Hadi
2011). Pada kasus adanya endoparasit berupa cacing pada gastrointestinal dapat
dikendalikan dengan perbaikan sanitasi kandang. Dianjurkan untuk melakukan
pembersihan kandang dengan penyikatan lantai kandang dan dekontaminasi
peralatan kandang menggunakan deterjen dan air panas (Wafiatiningsih 2008).
Penanggulangan terhadap infeksi cacing dilakukan dengan memberi obat
cacing (antelmintika). Pemberian obat cacing seperti pyrantel mempunyai
kemampuan untuk membunuh cacing yang hidup di dalam usus, karena pyrantel
merupakan obat cacing yang larut dalam air (Rahmadani 2015). Pemberian
antihelmin lain juga dapat diberikan yang dapat digunakan membunuh cacing
pada usus inang definitif pada seperti piperazine, pyrantel pamoat, dan salamectin
(Zibaei et al. 2017). Perbaikan kualitas dan kuantitas pakan dilakukan agar hewan
mempunyai daya tahan tubuh cukup tinggi sehingga mampu mengurangi
pengaruh akibat infeksi parasit.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada domba ditemukan
adanya endoparasit berupa Haemonchus contortus dari golongan cacing
nematoda, dan pada pemeriksaan ektoparasit dijumpai adanya Damalinia ovis.
DAFTAR PUSTAKA

Britt AG, Cotton CL, Pitman IH, Sinchlair N. 1986. Effect of the sheep-chewing
louse (Damalinia ovis) on the epidermis of the Australian merino. Journal of
Biology Science. 39(1):137-143.
Crawford S, James PJ, Maddocks S. 2011. Survival away from sheep and
alternative methods of transmission of sheep lice (Bovicola ovis). Veterinary
Parasitology. 94(1): 205-216.
Fourie LJ, Kok DJ, Allan MJ, Oberem PT. The efficacy of Diflubenzuron against
the body louse (Damalinia limbata) of Angora Goats. Veterinary Parasitology.
59(1):257-256.
Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit; Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Press.
Hadi UK, Soviana S. 2011. Bioekologi berbagai jenis serangga pengganggu pad a
hewan ternak di Indonesia dan pengendaliannya [Makalah]. Bagian
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan FKH IPB.
Hadi UK, Soviana S. 2013. Ektoparasit: Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Press.
Hennesy DR, Darwish A, Maxwell CA. 2000. Increased control of the sheep
bitting louse Bovicola (Damalinia) ovis with deltamethrin formulated in a
fractionated wool grease carrier. Veterinary parasitology. 89(1):117-127
Hernasari PR. 2011. Identifikasi Endoparasit pada Sampel Feses Nasalis larvatus,
Presbytis comata, dan Presbytis siamensis dalam Penangkaran
Menggunakan Metode Natif dan Pengapungan dengan Sentrifugasi.
[skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
James PJ. 1999. Do sheep regulate the size of their mallophagan louse
populations?. International Journal for Parasitology. 29(1):869-875.
James PJ, Cramp AP, Hook SE. 2008. Resistance to insect growth regulator
incecticides in populations of sheep lice as assessed by a moulting disruption
assay. Medical and Veterinary Entomology. 22 (1):326-330.
Jin ZH, Xu B, Lin SZ, Jin PL. 2009. Enhanced production of Spinosad in
Saccharopolyspora spinosa by genome shuffling. Application Biochemical
Biotechnology. 159(1):655-663.
Johnson PW, Boray JW, Dawson KL. 1992. Resistance to syntetic pyrethroid
pour on insecticides in strains of the sheep body louse Bovicola (Damalinia)
ovis. Australia Veterinary Journal. 69(1):213-217.
Marshall AG. 1981. The Ecology of Ectoparasitic Insects. London (GB):
Academic Press.
Murray MD. 1968. Ecology of lice on sheep. VI. The influence of shearing and
solar radiation on populations and transmission of Damalinia ovis. Australian
Journal of Zoology. 16(1): 725-738.
Rahmadani, S. 2015. Evaluasi Helmintiasis Pada Anjing Penderita Diare di Klinik
Hewan Makasar [Skripsi]. Makasar (ID): Fakultas Kedokteran Hewan.
Universitas Hasanuddin
Sinclair AR, Picton J. 1989. Feeding of the chewing louse Damalinia ovis
(Schrank) (Phtiraptera:Trichodectidae) on sheep. Veterinary Parasitology.
30(3): 233-251.
Wafiatiningsih, Barrioh NR. 2008. Optimalisasi Penggunaan Pkana Berbasis
Limbah Sawit Melalui Manajemen Pengendalian Nematodiasis di
Kalimantan Timur. Seminar Optimalisasi Hasil Samping Perkebunan
Kelapa Sawit dan Industri Olahannya sebagai Pakan Terrnak 60-64
Whittier, W.D., A. M. Zajac, and S.M. Umberger. 2003. Control of Internal
Parasities in Sheep. Blackburg, VA (US): Virginia Tech.
Wiliams, J. C., dan A. F. Loyacano. 2001. Internal Parasites of Cattle in
Lousiana and others Southern States. United State (US): LSU Agricultural
Center Research Studies
Zibaei, M. and S.M. Sadjadi. 2017. Trend of toxocariasis in Iran : a review on
human and animal dimensions. Iranian J Vet Res. 18(4): 233-242.

Anda mungkin juga menyukai