Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KOASISTENSI PARASITOLOGI

IDENTIFIKASI JENIS TREMATODA PADA FESES SAPI YANG BERASAL DARI


RPH OEBA DENGAN METODE FILTRASI BERTINGKAT

KELOMPOK KOAS G1

Desmond T. R. Hurek, S.K.H 1509010003


Diana M. Rihi, S.K.H 1509010008
Poppy S. Pello, S.K.H 1509010014
Venansia N. Beti, S.K.H 1509010020
Maria M. Moi, S.K.H 1509010022
Mesa Jemsly N. Boru, S.K.H 1509010025
Rizky Y. Manafe, S.K.H 1509010031
Maria V. D. Eni Parera, S.K.H 1509010035
Nadya D. Kale, S.K.H 1509010036

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sapi bali merupakan salah satu ternak sumber protein hewani yang diternakkan oleh
masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tingkat konsumsi daging sapi masyarakat
Indonesia saat ini masih rendah yaitu sekitar 7 kg per kapita per tahun (Ditjennak 2011).
Terdapat dua pola pemeliharaan ternak yang diterapkan oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur
yaitu pola pemelihraan semiintensif dan ekstensif. Pola pemeliharaan seperti ini menyebabkan
ternak sulit dikontrol terutama pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Hal ini menyebabkan tingkat
produksinya rendah yang salah satunya disebabkan oleh parasit.
Parasit adalah salah satu organisme berukuran kecil yang hidup menempel pada tubuh
organisme yang lebih besar yang disebut inang atau host (Bowman, 2009). Infeksi cacing parasit
dapat merugikan secara ekonomis, karena dapat menurunkan produktivitas ternak (Tantri et al.,
2013). Salah satu infeksi parasit yang merugikan inangnya yaitu endoparasit atau helminthosis.
Helminthosis atau kecacingan merupakan salah satu penyakit yang menyerang hewan ternak
sehingga dapat mempengaruhi produktifitasnya.
Trematodosis merupakan salah satu penyakit yang disebabkan cacing parasit dari
kelompok trematoda (Af-froze et al., 2013, Khedri et al., 2015). Widjajanti (2004) menyatakan
bahwa Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. adalah spesies trematoda yang umum ditemukan di
Indonesia. Fasciolosis umumnya berjalan secara kronis mengakibatkan kholangitis tapi pada
beberapa kasus yang bersifat akut dapat mengakibatkan hepatitis parenkimatosa. Setelah
menyerang hati, tahap selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan metabolisme lemak, protein
dan karbohidrat, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan, menurunkan bobot hidup, anemia
dan dapat menyebabkan kematian (Hambal et al., 2013). Paramphistomum sp. menimbulkan
Paramphistomosis yang merupakan penyakit parasitik gastrointestinal pada hewan ternak yang
menyebabkan kerugian ekonomi yang ditandai dengan penurunan produktifitas (Choudary et al.,
2015).
Apabila ketidakseimbangan ini terus berlanjut maka dapat menyebabkan penurunan nafsu
makan. Oleh karena itu infeksi parasit usus akan bersifat patogenik, terutama jika bersamaan
dengan kondisi pakan ternak buruk (Koesdarto, dkk., 2001). Kejadian helminthosis pada ternak
sapi di Indonesia masih tergolong tinggi oleh sebab itu perlu dilakukan identifikasi parasit
sehingga dapat dilakukan pengendalian untuk menekan tingkat kejadian dan kerugian yang
ditimbulkan akibat parasit tersebut.

1.2 Tujuan

Tujuan pemeriksaan Trematodosis di RPH Oeba.


1. Mengidentifikasi jenis Trematoda pada feses sapi yang berasal dari RPH Oeba.
2. Melengkapi data prevalensi distribusi Trematoda di Kota Kupang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trematoda
Trematoda atau cacing daun merupakan kelas dari filum Platyhelminthes. Bentuk
Trematoda umumnya berbentuk seperti daun, pipih dorsoventral, dan tidak bersegmen. Telur
trematoda cenderung memiliki warna keemasan hingga coklat gelap dan memiliki operculum
pada salah satu ujungnya (Wardana, 2017). Telur Trematoda cenderung padat dan tidak
mengapung jika digunakan metode apung pada pemeriksaan sehingga pada pemeriksaan telur
trematoda digunakan metode filtrasi bertingkat dengan menggunakan beberapa ukuran mesh
yaitu pada ukuran mesh 400, 100, dan 45. Dimana pada mesh 400 digunakan untuk
menyaring debris yang besar, pada mesh 100 menyaring debris yang kecil dan pada mesh 45
meloloskan debris yang kecil termasuk ookista, telur nematode, dan cestoda, bila ada.
Namun, akan menahan telur trematoda karena telur trematoda memiliki Berat Jenis yang
lebih besar dari Berat Jenis Pelarut (Winarso, 2018). Trematoda dapat menyebabkan penyakit
Trematodosis pada ternak. Menurut Satyawardana et al. (2018) menyatakan bahwa
Trematodosis pada ternak dapat menimbulkan kerugian ekonomi karena dapat menurunkan
produktivitas ternak. Spesies Tremoda yang umum ditemukan di Indonesia adalah Fasciola
sp. dan Paramphistomum sp. (Arsani et al., 2015).
2.2.1 Fasciola sp.
Fasciola sp. merupakan penyebab terjadinya penyakit fasciolosis pada ternak.
Cacing fasciola yang dapat ditemukan di Indonesia adalah cacing Fasciola gigantica
(Martindah et al., 2005).
Klasifikasi cacing tersebut sebagai berikut:
Filum : Platyhelmintes
Kelas : Trematoda
Ordo : Digenea
Family : Fasciolidae
Genus : Fasciola
Spesies : F. Hepatica, F. Gigantica, F. Halii, dan F. California (Kusnoto et al,
2015).
a. Morfologi telur fasciola sp.
Telur Fasciola sp. memiliki kerabang tipis dan agak menebal dibagian ujung
operkulum dengan warna keemasan dan tidak terlalu padat serta ukuran relatif
besar. Telur fasciola sp. tidak menyerap warna methylen blue sehingga tetap
berwarna kuning keemasan.

Gambar 1. Morfologi telur Fasciola sp.


b. Siklus hidup
Siklus hidup cacing fasciola memerlukan inang antara yaitu siput air dari
genus Lymnea. Jenis siput air di Indonesia yang berperan sebagai inang antara
cacing fasciola adalah Lymnea rubigenosa atau L. javanica (Kusnoto, 2015).
didalam tubuh hospes dimulai dengan mengeluarkan telur bersama dengan feses.
Kemudian telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut getar) diseluruh
permukaan tubuhnya yang disebut mirasidium. Larva mirasidium kemudian
berenang mencari siput Lymnea. Mirasidium akan mati bila tidak masuk kedalam
siput air tawar (Lymnea rubigenosa). Setelah berada dalam tubuh siput selama 2
minggu, mirasidium akan berubah menjadi sporosis. Larva tersebut mempunyai
kemampuan reproduksi secara aseksual dengan cara paedogenesis di dalam tubuh
siput, sehingga terbentuk larva yang banyak. Selanjutnya sporosis melakukan
paedogenesis menjadi beberapa redia, kemudian redia melakukan paedogenesis
menjadi serkaria. Larva serkaria kemudian berekor menjadi metaserkaria dan
menempel pada rumput. Metaserkaria akan membungkus diri menjadi kista yang
dapat bertahan lama pada rumput. Ternak dapat terinfeksi karena memakan hijauan
yang mengandung metaserkaria. Manusia juga dapat tertular bila memakan
sayuran yang tercemar larva infektif (metaserkaria) sehingga manusia merupakan
accidental host (Ditjenak, 2012).
2.2.2 Parampistomum sp.
Parampistomum sp. dapat menyebabkan penyakit pada hewan yang biasa disebut
Paramphistomosis. Salah satu jenis cacing paramphistomum yang sering menginfeksi
sapi adalah Paramphistomum cervi (Subronto, 2007). Cacing muda Paramphistomum sp.
berpredileksi didalam usu halus dan akan bermigrasi kedalam rumen dan retikulum
setelah dewasa. Daerah penyebaran Paramphistomum sp. adalah daerah yang memiliki
suhu udara 25-30 0C dengan kelembaban kira-kira 85% (Darmin, 2014).
a. Morfologi
Paramphistomum sp. merupakan cacing trematoda yang tebal, berbentuk pipih,
memiliki batil isap dibagian perut (ventral sucker) yang disebut asetabulum, da
dibagian mulut ada batil isp mulut yang kecil (oral sucker). Telur
Paramphistomum sp. mempunyai kulit telur yang transparan dan menyerap
warna bila diwarnai bila diwarnai dengan methylen blue sehingga akan nampak
berwarna biru.

Gambar 2. Morfologi telur Paramphistomum sp.


b. Siklus hidup
Ternak ruminansia yang terinfeksi oleh parasit cacing ini biasanya
memakan rumput yang terdapat metaserkaria. Metarserkaria masuk kedalam
saluran pencernaan, diusus halus akan berkembang menjadi cacing muda dan
dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa usus. Kemudian bermigrasi ke
rumen dan akan berkembang menjadi cacing dewasa dalam rumen dan akan
bertelur. Telur cacing akan keluar bersama feses dan akan berkembang menjadi
mirasidium dan akan berkembang didalam siput sebagai inang perantara
kemudian akan berkembang menjadi ookista, dan kemudian menjadi redia, dan
menjadi serkaria. Serkaria keluar dari tubuh siput dan berkembang menjadi
metaserkaria. Metaserkaria akan melepaskan ekor dan akan menempel pada
rumput menunggui untuk ikut termakan ternak ruminansia (Kulla, 2017).
2.2.3 Schistosoma
Schistosoma adalah merupakan cacing pipih yang berasal dari kelas trematoda,
yang juga menyebabkan kerugian ekonomi pada ternak ruminansia besar. Cacing
schistosoma dilaporkan pernah ditemukan Indonesia ialah Schistosoma bovis dan
Schistosoma japonicum (Putra et al.2014). Telur Schistosoma yang tertahan di dalam
tinja di luar tubuh inang mamalia dapat bertahan hidup hingga 80 hari pada suhu 1 4 C
(Li 2010) Telur Schistosoma tampak berbentuk bulat cenderung ovoid dengan ada spina
berdiameter ± 40 x 60 µm (Budiono et.al, 2018) . Sapi dan kerbau merupakan inang yang
berpotensi terinfeksi oleh Schistosoma dan di saat yang bersamaan juga dapat berperan
sebagai sumber kontaminasi telur Schistosoma ke lingkungan (Gordon et al. 2012).
Penyakit yang disebabkan schistosoma yaitu Schistosomiasis. Menurut Hu et al. (2017)
keberadaan Oncomelania hupensis lindoensis sebagai inang antara Schistosoma juga
keberadaan parasitnya.

Gambar 3. Morfologi Telur Schistosoma japonicum (Budiono et al. 2018).


BAB III
METODE
Metode Filtrasi Bertingkat
3.1 Alat dan Bahan
1. Gelas
2. Spatula
3. Penyaring teh
4. Filter mesh bertingkat (400µm, 100µm, dan 45µm)
5. Tabung reaksi
6. Kaca arloji
7. Pipet
8. Hand sprayer
9. Mikroskop stereo

3.2 Prosedur Kerja


1. Ambilah feces sekitar 4 gram.
2. Buatlah suspensi feces tersebut dengan menambahkan air 200 ml di dalam gelas.
3. Saring dengan penyaring teh, tampung filtrat dan buanglah debris yang tersaring.
4. Susun filter bertingkat sehingga fungsi penyaringan pertama adalah 400µm, kemudian
100µm, dan terakhir 45µm.
5. Lalukan filtrate yang diperoleh pada prosedur nomor 3 ke filter bertingkat.
6. Gunakan hand spayer yang berisi air bersih untuk membantu mendorong partikel
melewati filter mesh.
7. Dengan filtrasi tersebut, telur trematoda akan tertahan pada filter mesh 45µm.
8. Pindahkan partikel yang tertahan pada mesh 45µm ke dalam tabung reaksi (dengan cara
memiringkan mulut filter dan mengarahkannya ke mulut tabung reaksi, lalu partikel
dialirkan dengan bantuan hand sprayer).
9. Memindahkan sedikit suspensi endapan menggunakan pipet tetes ke dalam kaca arloji.
10. Amati endapat di mikroskop stereo untuk melihat adanya telur trematoda.
11. Lakukan pengamatan untuk sisa endapan lainnya.
12. Mencatat hasil pengamatan.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Trematoda berasal dari bahasa Yunani yang berarti berlubang-lubang. Daur hidup
trematoda sebagian besar pada sistem pencernaan inang, sehingga disebut sebagai endoparasit.
Penyakit Trematodiosis merupakan penyakit akibat investasi telur cacing pada sistem pencernaan
inang. Peternak dapat mengalami kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit
trematodiosis. Identifikasi kejadian Trematodiosis dapat dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan feses dengan metode filtrasi bertingkat. Metode filtrasi bertingkat bertujuan untuk
memisahkan telur dan debris sehingga memudahkan dalam proses pengamatan. Dalam
pemeriksaan menggunakan mesh berukuran 400 µm, 100 µm, dan 45 µm secara berurutan.

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Feses Sapi


Status infeksi Trematoda (+/-)
Kode Sampel Jenis Kelamin Paramphistomum sp.
Fasciola sp.
Sapi 1 Betina - -
Sapi 2 Betina - +
Sapi 3 Betina - -
Sapi 4 Betina - -
Sapi 5 Betina - -
Sapi 6 Betina - -
Sapi 7 Betina - -
Sapi 8 Betina + +
Sapi 9 Betina + +
Sapi 10 Betina + -
Sapi 11 Betina - -
Sapi 12 Betina - -
Sapi 13 Betina - -
Sapi 14 Betina - -
Sapi 15 Betina - -
Sapi 16 Betina + -
Sapi 17 Betina - -
Sapi 18 Betina + -
Sapi 19 Betina - -
Sapi 20 Betina - -
Sapi 21 Betina + -
Berdasarkan hasil pemeriksaan 21 sampel feses sapi bali di RPH Oeba menunjukan hasil
positif pada 7 sampel feses (Tabel 1). Dari 7 ekor sapi 4 ekor positif terdapat telur fasciola sp.,
1 ekor positif paramphistomum sp. dan 2 ekor positif terdapat Fasciola sp. dan Paramphistonum
sp.(Gambar 4). Pada pemerikasaan juga ditemukan adanya telur Schistosoma sp. pada sapi
kedelapan (Gambar 5).

A B

Gambar 4. Telur Fasciola sp.(A), telur Paramphistonum sp. (B)

Gambar 5. Telur Schistosoma sp.

Faktor resiko terjadinya kejadian trematodiosis disebabkan oleh faktor internal dan
eksternal. Faktor internal yaitu jenis kelamin, umur, dan breed. Faktor eksternal yang
mempengaruhi yaitu musim, pakan, sumber pakan, dan sistem pemeliharaan ( Purwaningsih
dkk., 2016). Sampel feses sapi yang diambil dari RPH oeba berasal dari Betina dewasa. Menurut
Sari (2015) pada sapi muda memiliki prevalensi yang lebih rendah dibandingkan dengan sapi
dewasa. Hal ini disebabkan karena sapi muda masih minum air susu dari induknya, sehingga
kemungkinan untuk terinfeksi lebih rendah. Sayuti (2007) melaporkan bahwa sapi bali berumur
lebih dari 12 bulan lebih rentan terinfeksi trematoda dibandingkan sapi berumur kurang dari 12
bulan.

Faktor eksternal yang mempengaruhi terhadap tingkat kejadian trematodiosis yaitu sistem
pemeliharaan di kupang yang masih menggunakan sistem pemeliharaan semi-intensif. Sapi yang
dipelihara secara semi-intensif memiliki kecenderungan terinfeksi lebih tinggi dibandingkan
dengan pola pemeliharaan intensif. Hal ini berhubungan dengan interaksi sapi dengan rumput
(Sadarman dkk., 2007). Faktor eksternal yaitu musim kemarau berkepanjangan yang terjadi di
Kupang dapat mempengaruhi resiko terinfeksi trematoda. Kondisi tanah yang kering dan
atmosfer yang cukup panas menyebabkan tinja cepat kering, sehingga telur cacing menjadi
rusak dan mati (Sayuti, 2007). Hal ini sejalan dengan hasil yang didapat bahwa lebih banyak sapi
yang negatif terinfeksi trematoda.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang pemeriksaan yang dilakukan pada 21 sampel feses sapi Bali
yang diambil dari RPH Oeba menunjukan 7 sampel feses sapi positif terinfeksi cacing
trematoda yang terdiri dari telur Fasciola sp., Paramphistonum sp. dan Schistosoma sp.

4.2 Saran
Dapat dilakukan sosialisasi tentang manajemen pemeliharaan yang baik dan benar
agar dapat mengurangi tingkat kejadian trematodiosis
DAFTAR PUSTAKA

[Ditjenak] Direkorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Manual Penyakit Hewan
Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta.
Affroze S, Begum N, Islam MS, Rony SA Islam MA, Mondal MMH. 2013. Risk Factors and
Gross Pathology of Bovine Liver Fluke Infec-tion at Netrokona District, Bangladesh.
Jour-nal of Animal Science Advances 3:83-90.

Arsani NM, Mastra IK, Saraswati NKH, Yunanto, dan Sutawijaya IGM. 2015. Epidemologi
Helminthiasis pada Ternak Sapi di Provinsi Bali. Buletin veteriner. 4(2):1-5
Bowman, D.D., dan Georgi, R.J. 2009. Georgi’s Parasitology for Veterinarians. Elsavier Health
Sciences. United Kingdom.

Choudhary V, Hasnani JJ, Khyalia MK, Pandey S, Chauhan VD, Pandya SS, Patel PV. 2015.
Morphological and Histological Identification of Paramphistomum cervi (Trematoda:
Param-phistoma) in the Rumen of Infected Sheep. Veterinary World 8:125-129.

Gordon CA, Acosta LP, Gray DJ, Olveda RM, Jarilla B, Gobert GN, Ross AG, McManus DP.
2012. High prevalence of Schistosoma japonicum infection in carabao from Samar
Province, the Philippines: Implication for transmission and control. PLOS Neglected
Tropical Diseases6: e1778.https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0001778
Hambal M, Sayuti A, Dermawan A. 2013. Tingkat Kerentanan Fasciola gigantica pada Sapi dan
Kerbau di Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Medika Veterinaria 7:49-
53.

HuY, Xia C, Li S, Ward MP, Luo C, Gao F, Wang Q, Zhang S, dan Zhang Z. 2017. Assessing
environmental factors associated with regional schistosomiasis prevalence in Anhui
Province, People’s Republic of China using a geographical detector metod. Infectious
Disease of Poverty. 6(8): 18.
Khedri J, Radfar MH, Borji H, Mirzaei M. 2015. Prevalence and Intensity of Paramphistomum
spp. In Cattle from South-Eastern Iran. Iran Journal of Parasitology 10:268-272.

Koesdarto, S., S. Uga, Machfudz, S.S. Mumpuni, Kusnoto and H. puspitawati. 2001. The
prevalence of toxocara vitulorum in dairy cow in Surabaya. Proc. Seminar on infectious
Disease The Tropics. TDC Airlangga University, Surabaya : 46-49.
Kulla HN. 2017. Prevalensi Fasciolosis dan Paramphistomosis pada Sapi Potong di Sekolah
Peternakan Rakyat (SPR) Wilayah Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan. [Skripsi].
Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Kusnoto, Bendryman SS, Koesdarto S, Sosiawati SM. 2015. Ilmu Penyakit Helmin Kedokteran
Hewan. Zifatama Publishing: Jawa Timur.
Li YS. 2010. Schistosomiasis practical prevention and control technology. Beijing (CN):
People’s Health Publishing House.
Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih SE, Suhardono. 2005. Meningkatkan Kesadaran dan
Kepedulian Masyarakat Terhadap Fasciolosis Sebagai Penyakit Infeksius. Wartazoa. Vol.
15(3):143-154
Purwaningsih, Novianty, Putra R P. 2017. Distribusi dan Faktor Resiko Fasciolosis pada Sapi
Bali di Distrik Prafi, Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Acta Veterinaria
Indonesia 5:2;120-126

Sadarman J, Handoko, Febriana. 2007. Infestasi Fasciola sp. Pada sapi Bali dengan sistem
pemeliharaan yang berbeda di desa Tanjung Rambutan Kecamatan Kampar. Jurnal
Peternakan 4: 37-45.

Sari E A. 2015. Prevalensi dan Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Fasciolosis Pada Sapi Bali di
Kecamatan Ujung Loe, Kabupaten Bulukumba. Fakultas Kedokteran. Universitas
Hasanuddin Makasar. [skripsi].

Satyawardana W. 2018. Prevalensi dan Faktor Resiko Trematodosis pada Sapi Potong DI Sentra
Peternakan Rakyat (SPR) Kasiman Kabupaten Bojonegoro. [Tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sayuti L. 2007. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp.) Pada Sapi Bali di Kabupaten
Karangasem, Bali. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor [skripsi].

Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II. Cetakan III Gadja Mada University Press, Yogyakarta.
Widjajanti S. 2004. Fasciolosis pada Manusia: Mungkinkah Terjadi di Indonesia? Wartazoa
14:65-72.
LAMPIRAN

No Gambar Keterangan

1.

Proses pengambilan feses sapi

2.

Penyimpanan fese sapi pada coolbox


yang sudah diberikan es batu

3.

Proses menghaluskan feses sapi

4.

Pengukuran larutan gula unttk


pembuatan metode apung dan McMaster
pada feses sapi
5.

Penyaringan feses sapi

6.

Pembuatan metode apung

7.

Proses pembuatan metode McMaster

8.

Filter mesh bertingkat (400µm, 100 µm,


45 µm)
9.

Hand sprayer untuk membantu


mendorong partikel melewati filter mesh

Anda mungkin juga menyukai