Anda di halaman 1dari 9

PENYAKIT KULIT DAN PARASIT DARAH SERTA PENANGANANNYA

PADA ANJING
( DEMODEKOSIS, PYODERMA, BABESIOSIS DAN EHRLICHIOSIS )

Anitawati Umar, Andi Sarmalia, Risna Risyani, Muh.Danawir Alwi, Hanum Latifah

Bagian Bedah & Radiologi. Departemen Klinik, Reproduksi & Patologi


Program Studi Kedokteran Hewan (PSKH), Universitas Hasanuddin (UNHAS)

Korespondensi penulis: anita_umar@yahoo.com

Abstrak
Tujuan praktikum ini adalah untuk memaparkan kasus penyakit kulit dan parasit darah
serta penanganannya pada anjing. Seekor anak anjing domestik bernama Grey yang berumur
3bulan, berat badan 4,6kg dengan anamnesis rambut kusam, belum divaksin, dan Grey
merupakan anjing liar. Memiliki temperatur 38,6o C, frekuensi nafas 28x/menit, frekuensi
nadi 100x / menit, habitus/tingkah laku yang jinak serta sikap berdiri yang malas. Hasil
pemeriksaan klinis ditemukan ekspresi kepala yang selalu menunduk, banyak lesi di daerah
punggung, seborrhea, frekuensi jantung 68x/menit, bradikardia dengan intensitas yang
lemah, serta ditemukan beberapa pinjal yang melompat di rambutnya. Pemeriksaan lanjutan
(lab) yang sebaiknya dilakukan yaitu pemeriksaan mikroskopik dengan mengambil sampel
pinjal dari rambut untuk mengetahui jenis pinjal apa yang menyerang. Anjing didiagnosa
terkena infestasi pinjal Stenocephalides canis dengan prognosa fausta. Terapi yang diberikan
yaitu fipronil 50 EC larutan 1:1000, amitraz untuk dipping, pyrethrum 0,4% spray dan
suplemen yang mengandung zinc. Diagnosa banding untuk kasus ini antara lain pedikulosis
dan akariasis. Kesimpulan yang dapat diambil dari anamnesa serta penemuan klinis yakni
Grey terkena infestasi pinjal Ctenocephalides canis dengan prognosa fausta.
Kata kunci : Anjing, Ctenocephalides canis, pedikulosis, akariasis

Pendahuluan
Anjing sangat berpotensi sebagai
tempat hidup beberapa spesies ektoparasit,
hal ini karena anjing memiliki rambut
yang halus dan hangat yang merupakan
lingkungan yang disukai ektoparasit
seperti caplak dan kutu. Iklim Indonesia
yang panas (tropis) juga merupakan salah
satu faktor pendukung dari banyaknya

jenis ektoparasit yang terdapat pada hewan


peliharaan (Dharmojono, 2001 ).
Di Amerika, Ctenocephalides
canis merupakan penyakit ektoparasit
yang umum terjadi. Di Indonesia,
penelitian mengenai ektoparasit pada
anjing telah dilakukan oleh Ricardo
pada tahun 2000. Hasil penelitiannya

ditemukan
7
jenis
ektoparasit,
diantaranya adalah
Rhipicephalus
sanguineus, Ctenocephalides canis dan
Heterodoxus
longitarsus
yang
menginfestasi anjing peliharaan di kota
Pekanbaru.
Tinjauan Pustaka
Kasus yang kami dapatkan saat
praktikum yakni infestasi parasit (pinjal)
Ctenocephalides canis. Pinjal merupakan
insekta tanpa sayap, berbentuk pipih,
memiliki kaki-kaki kuat untuk meloncat.
Infestasi pinjal yang banyak merugikan
pada anjing salah satunya yaitu
Ctenocephalides. Secara langsung atau
tidak infestasi pinjal menyebabkan
gangguan yang lebih besar secara
dermatologik daripada agen etiologi
lainnya (Subronto, 2010).
Dermatitis akibat gigitan pinjal
dalam jumlah yang banyak akan
mengakibatkan timbulnya rasa gatal. Rasa
gatal menyebabkan ketidaktenangan yang
sangat, dan lesi kulit dapat berkembang
menjadi radang infeksi. Dalam keadaan
demikian
biasa
terjadi
dermatitis
pyoderma (Subronto, 2010).

Anamnesa merupakan berita atau


keterangan atau lebih tepatnya keluhan
dari pemilik hewan mengenai keadaan
hewannya
ketika
dibawa
datang
berkonsultasi untuk pertama kalinya
(Widodo, Setyo,2011). Anamnesa yang
didapatkan yaitu anjing bernama Grey
merupakan anjing liar, berambut kusam,
belum divaksin, dan sering menggaruk
moncongnya.
Sinyalemen merupakan identitas
diri
dari
seekor
hewan
yang
membedakannya dengan hewan lain
sebangsa dan sewarna meski ada
kemiripan satu sama lainnya (Widodo,
Setyo,2011). Sinyalemen yang dilakukan
yaitu anjing bernama Grey merupakan
anjing domestik berjenis kelamin jantan,

berumur 3bln dengan berat badan 4,6kg.


Status present ( keadaan umum ) yang
ditemukan saat pemeriksaan yaitu
habitus/tingkah laku jinak, gizi dan
pertumbuhan yang baik, sikap berdiri
malas, suhu tubuh 38,6oC, frekuensi nadi
100x/menit, frekuensi nafas 28x/menit,
frekuensi jantung 68x/menit. Inspeksi
pertama yaitu ekspresi kepala yang selalu
menunduk, kemudian dilakukan palpasi
pada turgor kulit dengan hasil 1detik
(normal) namun ditemukan banyak lesi di
daerah punggung serta seborrhea. Pada
auskultasi jantung hasil yang didapatkan
yaitu ritme jantung ritmis namun
bradikardia dengan intensitas yang lemah.
Hasil tersebut didapatkan kemungkinan
karena
anjing
dalam
keadaan
rileks/istirahat. Daerah urogenital yakni
pada preputium anjing kotor. Inspeksi alat
gerak tidak ada perubahan namun anjing
tidak mau berlari, selalu ingin berbaring.
Pemeriksaan lanjutan yang dapat
dilakukan untuk membantu dalam
menegakkan diagnosa yaitu pemeriksaan
mikroskopik. Pemeriksaan mikroskopik
diperlukan untuk mengamati sel dan benda
berbentuk partikel lainnya. Banyak macam
unsur mikroskopik dapat ditemukan baik
yang ada kaitannya dengan infeksi
(bakteri, virus,parasit) maupun yang bukan
karena infeksi misalnya perdarahan,
disfungsi endotel dan gagal ginjal
(Atmojo, 2010). Pemeriksaan mikroskopis
dilakukan sebagai pemeriksaan lanjutan
untuk memastikan bahwa anjing terkena
infestasi pinjal serta untuk melihat jenis
pinjal apa yang menyerang anjing.
Dari hasil temuan yang didapatkan,
anjing bernama Grey terkena infestasi
pinjal Ctenocephalides canis. Hasil studi
pustaka menyatakan hal yang sama dilihat
dari gejala-gejala yang ditimbulkan seperti
sering menggaruk daerah wajah dan
kepala, lesi pada beberapa bagian tubuh,
seborrhea serta ditemukan agen parasit
yang dapat dilihat dengan kasat mata.
Menurut Subronto (2010), bagian tubuh
anjing yang paling disenangi oleh pinjal

meliputi wilayah sakral, lumbal, ekor dan


kepala. Di bagian tubuh yang merupakan
sarang pinjal atau di kulit yang diserang
pinjal akan terbentuk alopesia lokal,
eritema, papula dan keropeng, disertai rasa
gatal yang sangat.
Diagnosa banding untuk kasus
infestasi pinjal Ctenocephalides canis
yaitu (1) Pedikulosis. Infestasi kutu (lice)
pada anjing paling banyak dilakukan oleh
kutu menggigit antara lain Trichodectes sp
dan Linognathus sp. Kutu dapat dijumpai
di berbagai bagian kulit tubuh terutama
pada bagian kulit yang ada lipatannya.
Infestasi yang bersifat sedang hanya
mengakibatkan
rasa
gatal,
dan
ketidaktenangan, pada infestasi yang berat
terjadi eritema dan rontoknya rambut. (2)
Akariasis (Skabies). Skabies disebabkan
oleh tungau Sacrcoptes scabiei var canis
pada jantan biasanya hidup di lapisan kulit
epidermis. Gejala klinis yang ditemukan
antara lain rasa gatal dan ketidaktenangan
dan penderita mencoba mengurangi rasa
gatal dengan menggosok-gosokkan ke
obyek keras. Rambut rontok, dengan lesi
yang tidak rata tepinya, tidak begitu
menonjol dari permukaan dan biasa
bersisik atau berkeropeng, dengan bentuk
papula yang tidak begitu berat (Kelly,
1977).
Prognosis adalah proses suatu
kasus
penyakit
berdasarkan
hasil
diagnosis. Terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:
- Fausta : tingkat kesembuhan lebih dari
50%
- Dubius : tingkat kesembuhan 50 : 50
- Infausta : tingkat kesembuhan <50%
Sedangkan prognosa dari kasus ini
dapat dikatakan fausta dilihat kondisi
tubuh anjing yang baik dan lesi tidak
menyebar rata diseluruh tubuh (Sajuthi,
Tiara, 2013).
Pengobatan untuk anjing yang
terinfestasi pinjal tergantung dari tingkat
infestasi dan tebalnya rambut. Obat-obatan

dapat berpa serbuk atau cairan untuk


disemprotkan atau dimandikan seperti
Rotenon 1%, Maldison 2% (obat berupa
serbuk), pyrethrum 0,4%, carbaryl 0,4%1% (aeorosol), pyrethrum 0,4% spray,
fipronil dalam bentuk larutan. Secara
sistemik obat yang dapat diberikan yaitu
Fenchlorphos dengan dosis 200mg/kg
diberikan per os tiap 3-4 hari sampai
populasi pinjal terkendali (Subronto,
2010).
Pyoderma
Etiologi
Pyoderma merupakan suatu infeksi
bakteri yang dapat terjadi pada berbagai
lapisan kulit. Infeksi kulit ini sering terjadi
pada anjing dan jarang terjadi pada kucing.
Pyoderma dapat terjadi pada lapisan
superfisial dan pada lapisan dalam kulit
(deep
pyoderma).
Bakteri
yang
menyebabkan pyoderma antara lain
Staphylococcus
intermedius,
Staphylococcus ureus, Staphylococcus
hyicus, Pasteurella multocida, atau
Pseudomonas aeroginosa.. Selain itu,
infeksi kulit ini dapat terjadi sebagai akibat
komplikasi dari alergi kulit (alergi kutu,
alergi lingkungan, dan alergi makanan),
ketidakseimbangan hormon (hipotiroidism,
Cushings disease), dan kondisi lain yang
berkaitan
dengan
sistem
imun
(Paterson,2008)
Gejala Klinis
Pyoderma superfisial umumnya
terjadi pada tubuh. Luasnya lesi dari
pyoderma tidak jelas akibat tertutup oleh
rambut hewan. Pyoderma yang dalam
sering mempengaruhi dagu, hidung, dan
kaki ataupun terjadi secara menyeluruh.
Pada saat physical examination terlihat
adanya sisik, kerak, kemerahan pada kulit,
kebotakan,
papula,
pustul,
abses,
furunculosis, dan cellulitis. Gejala yang
sering terlihat pada kejadian pyoderma
adalah pruritus. Jika penyebab awal dari
pyoderma adalah alergi maka kulit akan
kemerahan, jika penanganan hanya untuk

mengatasi kejadian pyoderma tanpa


mengatasi kejadian alergi maka pruritus
yang timbul tidak akan terselesaikan. Jika
penyebab
utama
adalah
disfungsi
endokrin, maka akan terlihat gejala lain
seperti
polidipsia/poliuria,
lethargy,
penambahan berat badan, ataupun
feminisasi (Paterson,2008).
Diferensial Diagnosa
Differensial diagnosa dari kejadian
pustula yaitu pyoderma superfisial akibat
staphylococcus,
dermatophytosis,
demodecosis, pemphigus foliaceus, dan
dermatosis pustular subcornea. Sedangkan
differensial diagnosa untuk furunculosis
adalah
pyoderma
dalam
akibat
Staphylococcus, infeksi bakteri tingkat
tinggi
(Actinomyces,
Nocardia,
Mycobacteria,
Actinobacillus),
demodecosis,
dermatophytosis, infeksi
jamur oportunis, panniculitis, dermatosis
akibat respon zinc (Paterson, 2008).
Terapi
Terapi dapat dilakukan dengan
pemberian Ivermectin 0.2 mg/kg bb sc,
Metronidazole 20 mg/kg bb po, CTM 4
mg po, dan Dexamethasone 0.3 mg/kg bb
po. Menurut Smith dan Tilley (2000),
pyoderma
akibat
Staphylococcus
intermedius dapat diterapi dengan
pemberian Cephalosporin, Cloxacillin,
Oxacillin,
Methicillin,
Amoxicillinclavulanate,
Erythromycin,
dan
Chloramphenicol. Terkadang isolat sudah
resisten terhadap Amoxicillin, Ampicillin,
Penicillin, Tetrasiklin, dan Sulfonamida.
Hindari pemakaian steroid karena akan
merangsang resistensi dan pengulangan
kejadian meskipun diberikan bersamaan
dengan antibiotik. Oleh karena itu,
pemberian
Dexamethasone
yang
merupakan turunan dari corticosteroid
sebaiknya tidak digunakan lagi untuk
mengatasi kasus pyoderma (Irhke PJ,
2007).
Demodekosis
Etiologi

Demodekosis merupakan penyakit


kulit yang disebabkan oleh tungau
Demodex canis yang menyerang anjing.
Demodex canis terdapat dalam jumlah
yang kecil pada kulit dan tidak
menunjukkan gejala klinis pada anjing
yang sehat. Penularan demodekosis ini
terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari.
Dalam kondisi normal, parasit ini tidak
memberikan kerugian bagi anjing, namun
bila kondisi kekebalan anjing menurun
maka demodex akan berkembang menjadi
lebih banyak dan menimbulkan penyakit
kulit (Triakoso, 2006).
Gejala Klinis
Gejala klinis dari demodekosis
adalah pada kulit terjadi alopecia,
berkerak, kemerahan, disertai rasa gatal
dan sakit jika ada infeksi sekunder.
Munculnya demodex biasanya pada daerah
kepala, kaki depan, hidung, ekor dan
beberapa anjing ada juga yang terserang
hanya di daerah telapak kaki dan telinga
saja. Pada demodekosis general, lesi
terdapat hampir di seluruh tubuh dan
biasanya disertai dengan infeksi sekunder
(Scott, 2001).
Diagnosa yang dapat dilakukan
pada kasus demodekosis adalah dengan
kerokan kulit yang agak dalam dari bagian
tengah lesi, kemudian diberi tetesan KOH
10 % untuk diamati di bawah mikroskop.
Apabila positif maka akan ditemukan
parasit demodex yang bentuknya seperti
wortel atau
Cerutu (Scott, 2001).
Terapi
Pengobatan demodekosis terutama
ditujukan untuk membunuh parasit
penyebab. Ivermectin diberikan secara sub
kutan dengan dosis 400 g per kg berat
badan dengan interval pengulangan sekali
seminggu, dan diberikan injeksi duradryl
secara sub kutan terlebih dulu sebagai
antihistamin. Pemberian Amitraz dengan
cara hewan penderita dimandikan dengan
interval sekali seminggu. Pengobatan yang
dilakukan pada penderita demodikosis

dengan pemberian obat anti bakterial


seperti Erythromycin atau obat golongan
Trimethoprim-sulfonamide yang sering
digunakan seperti Bactrim, karena
pemberian obat golongan ini ditujukan
untuk
pengobatan
infeksi
bakteri
(Triakoso, 2006).
Babesiosis
Etiologi
Babesiosis
atau
periplasmosis
merupakan salah satu infeksi parasit yang
biasa terjadi pada anjing. Kejadian
babesiosis disebabkan oleh protozoa
Babesia sp dari filum Apicomplexa. Pada
anjing kejadian babesiosis umumnya
disebabkan oleh adanya infeksi Babesia
canis dan Babesia gibsoni. Parasit babesia
bersifat intraseluler pada sel darah merah.
Infeksi babesia umumnya melalui vektor.
Pada anjing, vektor yang paling sering
dilaporkan dapat menularkan babesia ialah
caplak dari spesies
Rhipicephalus
sanguineus filum Ixodidae (Atmojo,
2010).
Gejala Klinis
Infeksi babesiosis dapat terjadi
dengan tanpa gejala, atau menimbulkan
gejala ringan sampai berat, tergantung
derajat infeksi, patogenitas agen serta
kerentanan dari inang. Gejala akut yang
sering diperlihat pada infeksi babesia ialah
adanya demam, ataksia, anoreksia,
kelemahan, kelesuan, kadang-kadang juga
terdapat tanda-tanda saraf sebagai akibat
dari penyerapan eritrosit yang terinfeksi di
kapiler otak. Pada kasus kronis kadang
terjadi
kondisi
Anemia
dan
haemoglobinuria.
Dilaporkan
bahwa
kejadian babesia umumnya berlangsung
subklinis. Penyakit ini dapat menyebabkan
terjadinya
anemia
hemolitik,
trombositopenia, dan splenomegali. Tanda
lainnya yang dapat menunjukkan adanya
infeksi babesia adalah pucat gusi dan
lidah, urin berwarna merah atau oranye,
penyakit kuning (semburat kuning pada
kulit, gusi, putih mata, dll), pembesaran

kelenjar getah bening, dan pembesaran


limpa (Boozer & Macintire, 2005).
Diagnosa hewan yang terkena
babesiosis dapat dilakukan dengan
pengamatan tanda-tanda klinis berupa
haemoglobinuria dan anemia. Diagnosa
kemudian dapat dikonfirmasi dengan
pengamatan babesia pada preparat ulas
darah yang diwarnai dengan pewarna
giemsa kemudian diamati dibawah
mikroskop dengan pembesaarn 100x. Hasil
positif ditunjukkan oleh adanya babesia
dalam sel darah merah. Selain itu,
diagnosa laboratorium lainya yang dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi adanya
infeksi babesia ialah melalui pemeriksaan
Elisa, PCR atau menggunakan FAT.
Penggunaan PCR dalam diagnosis babesia
sangat meningkatkan sensitivitas deteksi
parasit, namun cara ini masih terbatas pada
laboratorium tertentu limpa (Boozer &
Macintire, 2005).
Terapi
Pemberian
obat
Imidocarb
dipropionate
(Imizol,
Burroughs
Wellcome,
Schering-Plough)
2.5
mg/pound BB IM tiap 2 minggu untuk 2x
treatment.
(Donald
C.
Plumb,
Pharm.D.1999).
Ehrlichiosis
Etiologi
Ehrlichia merupakan tipe bakteri
yang menyerang anjing dan spesies
lainnya di dunia yang menyebabkan
penyakit Ehrlichiosis. Ehrlichiosis dapat
pula disebut sebagai penyakit tropical
canine pancytopenia yang biasanya
ditularkan melalui kutu. Ehrlichia
menyerang sel darah putih (Scott, 2001).
Gejala Klinis
Gejala
yang
ditimbulkan
tergantung pada spesies dan sistem imun
anjing. Gejala klinis yang biasanya muncul
antara lain demam, letargy, nafsu makan
menurun, kehilangan berat badan,
pembesaran limfonodus, splenomegali,
rasa sakit dan kekakuan (terjadi akibat

arthritis dan rasa sakit pada otot), batuk,


ocular dan nasal discharge, muntah, diare,
inflamasi daerah mata, gejala syaraf (Scott,
2001).
Diagnosa
Ehrlichiosis
sulit
dilakukan.
Pemeriksaan
darah
menunjukkan penurunan jumlah trombosit
(trombositopenia) dan penurunan sel darah
merah (anemia) dan/atau sel darah putih
(leukopenia) (Scott, 2001).
Terapi
Ehrlichiosis merespon dengan baik
antibiotik Doxycyclin. Pada kasus yang
parah dimana jumlah sel darah sangat
rendah,
transfusi
darah
mungkin
diperlukan (Scott, 2001).

dilakukan isolasi parasit


dibawah mikroskop.

dan

dilihat

Menurut literatur, bagian tubuh


anjing yang paling disenangi oleh pinjal
meliputi wilayah sakral, lumbal, ekor dan
kepala. Di bagian tubuh yang merupakan
sarang pinjal atau di kulit yang diserang
pinjal akan terbentuk alopesia lokal,
eritema, papula dan keropeng, disertai rasa
gatal yang sangat (Subronto, 2010). Dalam
jumlah yang sedikit dan sistem imunitas
dalam keadaan baik, pinjal tidak
membahayakan tubuh tetapi ketika sistem
imun mengalami penurunan, jumlah
ektoparasit seperti pinjal akan banyak
dijumpai dan dapat menimbulkan gejalagejala yang merugikan tubuh hewan.
Kesimpulan

Hasil Praktikum
Data dalam bentuk tabel ( salinan
kartu rekam medis)
Diskusi
Penyakit kulit akibat infestasi
ektoparasit sangat banyak dijumpai pada
hewan kecil seperti anjing. Kasus yang
ditemukan pada saat praktikum yaitu
infestasi pinjal Ctenocephalides canis.
Pinjal ini banyak ditemukan pada tubuh
hewan khususnya dibagian superficial dan
dapat dilihat dengan kasat mata apabila
kita memperhatikan dengan seksama.
Pinjal akan melompat dari satu tempat ke
tempat yang lain dan dapat menyebabkan
rasa gatal pada tubuh anjing.
Saat praktikum ditemukan banyak
lesi di daerah punggung serta seborrhea
dan rambut anjing yang sangat kusam.
Anjing juga selalu menunduk dan lemas
dilihat dari anjing yang hanya diam,
berbaring dan denyut jantung yang
bradikardia, sesekali menggaruk di daerah
moncongnya. Dan ditemukan agen
ektoparasit Ctenocephalides canis pada
rambut disekitar punggung anjing,

Kasus akibat infestasi pinjal


Ctenocephalides canis sering ditemukan
saat pemeriksaan. Prognosa fausta dengan
pemberian terapi seperti dimandikan
dengan pyrethrum, fipronil atau dengan
obat sistemik seperti Fenchlorphos dan
juga
pemberian
suplemen
yang
mengandung zinc untuk membantu
meremajakan kulit.
Pustaka Acuan
Atmojo SD. 2010. Identifikasi Protozoa
Parasit Darah pada Anjing (Canis sp.)
Ras Impor di Balai Besar Karantina
Pertanian Soekarno Hatta.[Skripsi].
Program Sarjana Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
Boozer L, Macintire D. 2005. Babesia
Canis: An Emerging Pathogen in Dogs.
Compend
Contin
Educ
Pract
Vet27(1):33-41.
Dharmojono.
2001. Kapita
Selekta
Kedokteran
Veteriner. Jakarta :
Pustaka Populer Obor.
Donald C.
Veterinary
Edition.

Plumb, Pharm.D.1999.
Drug Handbook Third

Irhke PJ. 2007.Infectious Diseases of the


Dog and Cat. Ed ke-3. Oxford (GB):
Blackwell. Hlm: 6-7.
Kelly, J.D.K. 1977. Canine Parasitology,
The University of Sydney, Post Grad.
Foundation in Vet. Science, Vet.Rev. 17,
Sydney, N.S.W Australia.
Paterson S. 2008. Manual of the Skin
Diseases of Dogs and Cats. Ed ke-2.
Oxford (GB): Blackwell. Hlm: 26-47

Lampiran:

Sajuthi Tiara. 2013. Cat Flu. Veterinary


Clinis PDHB drh. Cucu K. Sajuthi

Scott, DW, WH Miller, CG Griffin. 2001.


Small Animal Dermatology. WB
Saunders Company.
Subronto. 2010. Penyakit Infeksi Parasit
dan Mikroba pada Anjing dan
Kucing. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press

Pinjal Ctenocephalides canis yang


ditemukan di rambut Grey

Triakoso, N. 2006. Demodicosis Up Date.


Reginal
Seminar
Veterinary
Dermatology Up Date. Surabaya
Widodo Setyo. 2011. Diagnostik Klinik
Hewan Kecil. Bogor : IPB Press.

Pemeriksaan umur, mukosa, gigi geligi


dan lidah

Pyoderma pada anjing

Auskultasi jantung

Demodekosis pada anjing

Gejala klinis babesiosis jaundice pada gusi


Lesi dan seborrhea

Ehrilichiosis pada anjing menunjukkan


gejala perdarahan kapiler diseluruh tubuh

Anda mungkin juga menyukai