TOKSIKOLOGI
Senyawa Kimia yang Bekerja Lokal (Setempat)
Anggota kelompok:
1. Muh. Kholid Ridwan (B04170081) .......
2. Berlyana Sagita (B04170082) .......
3. Elsi Nidya Putri Erita (B04170083) .......
4. Joan Elviyanti (B04170084) .......
5. Selly Glorya (B04170085) .......
Latar Belakang
Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang
penggunaan berbagai bahan kimiawi yang dapat menyebabkan efek toksik terhadap
tubuh. Efek toksik dapat timbul baik hanya gejala ringan sampai kematian (Fitriana
2015). Toksikologi analitis berkaitan dengan deteksi, identifikasi dan pengukuran obat-
obatan dan senyawa asing lainnya (xenobiotik) dan metabolitnya pada spesimen
biologis dan yang terkait. Metode analisis tersedia untuk berbagai senyawa yang sangat
beragam: dapat berupa bahan kimia, pestisida, obat-obatan, penyalahgunaan obat-
obatan (drugs abuse) dan racun alami (Solihat 2018).
Obat atau senyawa kimia yang bekerja lokal merupakan senyawa yang bekerja
pada tempat dimana obat itu diaplikasikan. Senyawa digolongkan menjadi dua
kelompok, yakni iritansia dan protektiva. Kedua senyawa ini, terbagi lagi kedalam
beberapa golongan. Iritansia berdasarkan kekuatan kerja senyawa kimianya
dikelompokkan menjadi rubefaksi, vesikasi, pustulasi, dan korosi. Protektiva yang
merupakan senyawa pelindung kulit atau mukosa terhadap daya kerja iritansia
dikelompokkan menjadi demulsensia, emoliensia, astrigensia, adsorbensia (Mutschler
1991).
Senyawa Irritansia merupakan kelompok senyawa yang bekerja tidak selektif
pada sel dan jaringan tubuh dengan cara merusak sel-sel atau bagian dari sel untuk
sementara atau permanen. Reaksi yang bersifat ringan hanya akan merangsang fungsi
sel, namun bila parah atau berlangsung lama akan merusak fungsi sel dan dapat
menimbulakan kematian jaringan. Bergantung dari kekuatan kerja senyawa kimia
tersebut, daya kerja irritansia dapat berupa rubefaksi (perangsangan setempat yang
lemah), vesikasi (terjadi pembentukan vesikel), pustulasi (terbentuk pus), dan korosi
(sel-sel jaringan rusak). Berdasarkan daya kerjanya, iritansia terbagi atas rubefaksi,
vesikasi, pustulasi dan korosi. (Lorgue et al 1996).
Senyawa protektiva merupakan senyawa yang digunakan untuk melindungi kulit
atau mukosa terhadap daya kerja irritansia, baik yang kimiawi maupun yang berupa
sinar. Beberapa dapat melindungi tubuh dari efek zat-zat yang bekerja sistemik dengan
melindunginya agar tidak terserap melalui mukosa. Beberapa daya kerja protektiva
adalah demulsensia (senyawa kimia yang merupakan cairan koloid), emolsiensia
(senyawa kimia yang merupakan zat minyak), astringensia (senyawa kimia yang
digunakan lokal untuk mempresipitasikan protein), dan adsorbensia (senyawa kimia
yang digunakan pada kulit dan membran mukosa, ulcera, dan luka-luka) (Ganiswarna
2005).
Daya kerja protektiva bersifat demulsensia, emoliensia, astringensia, dan
adsorbensia. Daya kerja demulsensia adalah membentuk lapisan untuk melindungi
kulit. Emolioen merupakan lemak dan minyak yang digunakan lokal pada kulit dan
mukosa. Emolien digunakan sebagai protektif dan penghalus kulit, karena membentuk
lapisan minyak pada stratum korneum sehingga mencegah penguapan air (Ganiswarna
2005). Senyawa ini mempunyai kemampuan untuk melindungi kulit dari iritasi. Daya
kerja senyawa astringensia yaitu kemampuan presipitasinya. Permeabilitas membran
dapat ditekan tanpa menyebabkan terjadinya kematian sel. Perubahan permeabilitas
menyebabkan menurunnya penyerapan zat iritan. Contoh senyawa astringensia adalah
tanin (Ganiswarna 2005). Senyawa adsorbensia mempunyai kemampuan untuk
menyerap zat iritan. Contoh senyawa adsorbensia adalah karbon. Senyawa ini tidak
mengiritasi kulit, melainkan melindungi kulit dengan cara mengabsorbsi zat iritan.
Senyawa ini tidak berbahaya karena tidak diserap tubuh dan akan dikeluarkan melalui
ekskresi (Ganiswarna 2005).
Tujuan
Praktikum ini bertujuan mengetahui reaksi yang ditimbulkan oleh zat iritansia
dan protektiva serta perbedaan dari tiap perlakuan yang diberikan.
METODE
Prosedur Kerja
Percobaan Pemberian Iritansia
A. Rubefasiensia
Sepotong menthol digosokkan pada kulit, Kemudian dicatat perubahan dan
sensasi yang dirasakan, Kapas dicelupkan ke dalam kloroform dan diletakkan
di atas kulit lengan selama 2-3 menit. Sebagai perbandingan, diteteskan satu
tetes kloroform di atas kulit lengan yang lain, kemudian hasil dicatat dan diberi
keterangan, empat jari tangan dicelupkan masing-masing ke dalam larutan
fenol 5%, alkohol 25%, gliserin 25%, dan minyak olivarium, kemudian reaksi
yang muncul pada jari dicatat.
B. Kaustika
Rambut bagian abdomen tikus dicukur dilanjutkan anastesi pada tikus tersebut.
Asam sulfat pekat, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, fenol likuafatkum,
NaOH 75 %, dan kloroform diteteskan pada kiri dan kanan dari garis tengah
abdomen. Setelah dibiarkan selama 30 menit zat tersebut bekerja, hasil reaksi
yang muncul dicatat.
Percobaan Pemberian Protektiva
A. Demulsensia
Rangsangan diberikan pada salah satu kaki katak dengan larutan H 2SO4 1/50
N, H2SO4 1/10 N, H2SO4 1/25 N dan H2SO4 1/75 N. Selanjutnya langkah yang
sama dilakukan pada kaki yang lain dengan larutan H 2SO4 1/50 N ditambah
gom Arab 10%, H2SO4 1/10 N ditambah gom Arab 10% dan H2SO4 1/25 N
ditambah gom Arab 10%. Perubahan yang diamati yaitu warna, bentuk dan
sensasi kulit. Reaksi yang muncul dicatat.
B. Astringensia
Satu tetes larutan tanin 5% diteteskan pada ujung lidah. Setelah dua menit hasil
dan reaksi yang muncul dicatat, kemudian berkumur dengan air. Perubahan
yang terjadi pada permukaan mukosa lidah dan rasa nyeri yang terjadi diamati
dan dicatat.
C. Adsorbensia
Sebanyak 1 mL larutan strikhnin nitrat (0,2 mg/mL) disuntikkan pada katak
secara subkutan (SC). Sebanyak 1 mL larutan strikhnin nitrat (0,2 mg/mL)
disuntikkan pada katak secara SC yang sebelumnya telah dikocok dengan
karboadsorbensia. Gejala yang muncul pada kedua katak tersebut diamati dan
dibandingkan durasi, onset dan intensitas yang terjadi pada setiap katak.
Daya Kerja Depilator
NaOH dan Na2S diteteskan di atas kulit tikus pada tempat yang berbeda.
Kemudian dibiarkan selama 10 menit. Sisa dari perlakuan dibersihkan dengan
kapas. Pengamatan dilakukan terhadap adanya rambut yang lepas dan reaksi
yang terjadi pada kulit. Pada bagian lain dioleskan krim Veet. Setelah selesai
pengamatan, bagian yang ditetesi dibersihkan dengan dicuci menggunakan
sabun. Pemeriksaan dilakukan terhadap adanya zat devibilator yang dapat
menimbulkan kerusakan pada kulit.
Tabel 2. Kausatika
Senyawa kimia Reaksi pada kulit
H2SO4 pekat Kulit menebal dan putih
HCl pekat Kulit menebal dan putih
HNO3 pekat Kulit menebal dan putih
NaOH 75% Kulit mengelupas
Kloroform Kulit sedikit memerah
Tabel 3. Demulsensia
Senyawa kimia Reaksi pada kulit
H2SO4 1/10N Reaksi menarik kaki dalam 7 detik
H2SO4 1/10N + gom arab 10% Reaksi menarik kaki dalam 22 detik
Pada percobaan pencelupan kaki katak dalam larutan H 2SO4 1/10N dan H2SO4
1/10N ditambah dengan Gom arab 10% menimbulkan waktu reaksi berbeda. Hasil
percobaan dapat dilihat pada tabel 3. Katak lebih cepat menunjukkan reaksi
mengangkat kaki saat pencelupan pada larutan H 2SO4 1/10N daripada larutan H2SO4
1/10N ditambah dengan Gom arab 10% . Hal ini dapat terjadi karena H 2SO4 1/10N
merupakan jenis asam kuat yang termasuk dalam golongan iritan terhadap jaringan.
Asam sulfat memiliki daya ioisasi asam lebih kuat sehingga asam sulfat lebih banyak
dan lebih mudah untuk bereaksi dengan zat-zat di dalam kulit. Pada H2SO4 1/10N
ditambah dengan Gom arab 10%, katak menunjukkan reaksi “mengankat kaki” yang
lebih lama karena gom arab merupakan senyawa protektiva yang digunakan untuk
melindungi kulit atau mukosa terhadap daya kerja irritansia. Pemakaian lokal gom arab
dapat menghilangkan iritasi dan secara fisik melindungi sel dibawahnya terhadap zat
iritan (Ganiswara 2005).
Tabel 4. Astringensia
Senyawa Kimia Reaksi
Tanin 5% lidah menjadi kemerahan
Booth NH, McDonald LE. 1982. Veterinary Pharmacology and Therapeutics 5th Ed.
Ames (US): Iowa State University Press.
Fitriana AN. 2015. Forensic toxicology. Medical Jounal of Lampung University. 4(4)
: 1-5.
Ganiswarna SG. 2005. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FK-UI Press.
Loomis, Ted A. 1978. Toksikologi Dasar Edisi Ketiga. Semarang(ID): IKIP Semarang
Press.
Lorgue G, Lechenet J, Riviere A. 1996. Clinical veterinary Toxicology. London(UK):
Blackwell Science Ltd.
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat, edisi ke-5. Bandung: ITB-Press.
Solihat MF dan Rahayu M. 2018. Toksikologi Klinik. Jakarta (ID) : Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Sumardjo D. 2006. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta(ID): EGC.
Tasmin N, Erwin, Kusuma IW. 2014. Isolasi, identifikasi, dan uji toksisitas senyawa
flavonoid fraksi kloroform dari daun terap (Artocarpus oforatissimus blanco).
Jurnal Kimia Mulawarman. 12(1): 45-5.