Anda di halaman 1dari 8

Hari/tanggal : Rabu, 9 September 2020

Dosen : drh. Andriyanto, MSi


Kelompok : 3 / paralel 6 / sore

TOKSIKOLOGI
Senyawa Kimia yang Bekerja Lokal (Setempat)

Anggota kelompok:
1. Muh. Kholid Ridwan (B04170081) .......
2. Berlyana Sagita (B04170082) .......
3. Elsi Nidya Putri Erita (B04170083) .......
4. Joan Elviyanti (B04170084) .......
5. Selly Glorya (B04170085) .......

DIVISI FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2020
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang
penggunaan berbagai bahan kimiawi yang dapat menyebabkan efek toksik terhadap
tubuh. Efek toksik dapat timbul baik hanya gejala ringan sampai kematian (Fitriana
2015). Toksikologi analitis berkaitan dengan deteksi, identifikasi dan pengukuran obat-
obatan dan senyawa asing lainnya (xenobiotik) dan metabolitnya pada spesimen
biologis dan yang terkait. Metode analisis tersedia untuk berbagai senyawa yang sangat
beragam: dapat berupa bahan kimia, pestisida, obat-obatan, penyalahgunaan obat-
obatan (drugs abuse) dan racun alami (Solihat 2018).
Obat atau senyawa kimia yang bekerja lokal merupakan senyawa yang bekerja
pada tempat dimana obat itu diaplikasikan. Senyawa digolongkan menjadi dua
kelompok, yakni iritansia dan protektiva. Kedua senyawa ini, terbagi lagi kedalam
beberapa golongan. Iritansia berdasarkan kekuatan kerja senyawa kimianya
dikelompokkan menjadi rubefaksi, vesikasi, pustulasi, dan korosi. Protektiva yang
merupakan senyawa pelindung kulit atau mukosa terhadap daya kerja iritansia
dikelompokkan menjadi demulsensia, emoliensia, astrigensia, adsorbensia (Mutschler
1991).
Senyawa Irritansia merupakan kelompok senyawa yang bekerja tidak selektif
pada sel dan jaringan tubuh dengan cara merusak sel-sel atau bagian dari sel untuk
sementara atau permanen. Reaksi yang bersifat ringan hanya akan merangsang fungsi
sel, namun bila parah atau berlangsung lama akan merusak fungsi sel dan dapat
menimbulakan kematian jaringan. Bergantung dari kekuatan kerja senyawa kimia
tersebut, daya kerja irritansia dapat berupa rubefaksi (perangsangan setempat yang
lemah), vesikasi (terjadi pembentukan vesikel), pustulasi (terbentuk pus), dan korosi
(sel-sel jaringan rusak). Berdasarkan daya kerjanya, iritansia terbagi atas rubefaksi,
vesikasi, pustulasi dan korosi. (Lorgue et al 1996).
Senyawa protektiva merupakan senyawa yang digunakan untuk melindungi kulit
atau mukosa terhadap daya kerja irritansia, baik yang kimiawi maupun yang berupa
sinar. Beberapa dapat melindungi tubuh dari efek zat-zat yang bekerja sistemik dengan
melindunginya agar tidak terserap melalui mukosa. Beberapa daya kerja protektiva
adalah demulsensia (senyawa kimia yang merupakan cairan koloid), emolsiensia
(senyawa kimia yang merupakan zat minyak), astringensia (senyawa kimia yang
digunakan lokal untuk mempresipitasikan protein), dan adsorbensia (senyawa kimia
yang digunakan pada kulit dan membran mukosa, ulcera, dan luka-luka) (Ganiswarna
2005).
Daya kerja protektiva bersifat demulsensia, emoliensia, astringensia, dan
adsorbensia. Daya kerja demulsensia adalah membentuk lapisan untuk melindungi
kulit. Emolioen merupakan lemak dan minyak yang digunakan lokal pada kulit dan
mukosa. Emolien digunakan sebagai protektif dan penghalus kulit, karena membentuk
lapisan minyak pada stratum korneum sehingga mencegah penguapan air (Ganiswarna
2005). Senyawa ini mempunyai kemampuan untuk melindungi kulit dari iritasi. Daya
kerja senyawa astringensia yaitu kemampuan presipitasinya. Permeabilitas membran
dapat ditekan tanpa menyebabkan terjadinya kematian sel. Perubahan permeabilitas
menyebabkan menurunnya penyerapan zat iritan. Contoh senyawa astringensia adalah
tanin (Ganiswarna 2005). Senyawa adsorbensia mempunyai kemampuan untuk
menyerap zat iritan. Contoh senyawa adsorbensia adalah karbon. Senyawa ini tidak
mengiritasi kulit, melainkan melindungi kulit dengan cara mengabsorbsi zat iritan.
Senyawa ini tidak berbahaya karena tidak diserap tubuh dan akan dikeluarkan melalui
ekskresi (Ganiswarna 2005).

Tujuan

Praktikum ini bertujuan mengetahui reaksi yang ditimbulkan oleh zat iritansia
dan protektiva serta perbedaan dari tiap perlakuan yang diberikan.

METODE

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah pipet tetes, spuid dan
stopwatch. Bahan yang digunakan adalah tikus, katak, menthol, kloroform, kapas,
larutan fenol 5%, alkohol 25%, gliserin 25%, dan minyak olivarium, asam sulfat pekat,
asam klorida pekat, asam nitrat pekat, fenol likuafatkum, NaOH 75 %, H 2SO4 1/50 N,
H2SO4 1/10 N, H2SO4 1/25 N, H2SO4 1/75 N, gom Arab 10%, tanin 5%, strikhnin nitrat,
NaOH, Na2S, dan Ca-tioglikolat (Veet).

Prosedur Kerja
Percobaan Pemberian Iritansia
A. Rubefasiensia
Sepotong menthol digosokkan pada kulit, Kemudian dicatat perubahan dan
sensasi yang dirasakan, Kapas dicelupkan ke dalam kloroform dan diletakkan
di atas kulit lengan selama 2-3 menit. Sebagai perbandingan, diteteskan satu
tetes kloroform di atas kulit lengan yang lain, kemudian hasil dicatat dan diberi
keterangan, empat jari tangan dicelupkan masing-masing ke dalam larutan
fenol 5%, alkohol 25%, gliserin 25%, dan minyak olivarium, kemudian reaksi
yang muncul pada jari dicatat.
B. Kaustika
Rambut bagian abdomen tikus dicukur dilanjutkan anastesi pada tikus tersebut.
Asam sulfat pekat, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, fenol likuafatkum,
NaOH 75 %, dan kloroform diteteskan pada kiri dan kanan dari garis tengah
abdomen. Setelah dibiarkan selama 30 menit zat tersebut bekerja, hasil reaksi
yang muncul dicatat.
Percobaan Pemberian Protektiva
A. Demulsensia
Rangsangan diberikan pada salah satu kaki katak dengan larutan H 2SO4 1/50
N, H2SO4 1/10 N, H2SO4 1/25 N dan H2SO4 1/75 N. Selanjutnya langkah yang
sama dilakukan pada kaki yang lain dengan larutan H 2SO4 1/50 N ditambah
gom Arab 10%, H2SO4 1/10 N ditambah gom Arab 10% dan H2SO4 1/25 N
ditambah gom Arab 10%. Perubahan yang diamati yaitu warna, bentuk dan
sensasi kulit. Reaksi yang muncul dicatat.
B. Astringensia
Satu tetes larutan tanin 5% diteteskan pada ujung lidah. Setelah dua menit hasil
dan reaksi yang muncul dicatat, kemudian berkumur dengan air. Perubahan
yang terjadi pada permukaan mukosa lidah dan rasa nyeri yang terjadi diamati
dan dicatat.
C. Adsorbensia
Sebanyak 1 mL larutan strikhnin nitrat (0,2 mg/mL) disuntikkan pada katak
secara subkutan (SC). Sebanyak 1 mL larutan strikhnin nitrat (0,2 mg/mL)
disuntikkan pada katak secara SC yang sebelumnya telah dikocok dengan
karboadsorbensia. Gejala yang muncul pada kedua katak tersebut diamati dan
dibandingkan durasi, onset dan intensitas yang terjadi pada setiap katak.
Daya Kerja Depilator
NaOH dan Na2S diteteskan di atas kulit tikus pada tempat yang berbeda.
Kemudian dibiarkan selama 10 menit. Sisa dari perlakuan dibersihkan dengan
kapas. Pengamatan dilakukan terhadap adanya rambut yang lepas dan reaksi
yang terjadi pada kulit. Pada bagian lain dioleskan krim Veet. Setelah selesai
pengamatan, bagian yang ditetesi dibersihkan dengan dicuci menggunakan
sabun. Pemeriksaan dilakukan terhadap adanya zat devibilator yang dapat
menimbulkan kerusakan pada kulit.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Rubefasensia
Senyawa kimia Warna Bentuk Sensasi kulit
Menthol Merah Tidak ada Panas
perubahan
Kloroform Merah Tidak ada Panas, perih
perubahan
Fenol 5% dalam Putih ++ Dingin
air
Fenol 5% dalam Lebih Putih +++ Dingin
alkohol 25%
Fenol 5% dalam Tidak ada Tidak ada Lebih dingin
gliserin 25% perubahan perubahan
Fenol 5% dalam Tidak ada Tidak ada Tidak ada
minyak olivarium perubahan perubahan perubahan
Keterangan : +++ : sangat keriput, ++ : keriput sedang, + : keriput biasa

Rubefansia merupakan senyawa kimia iritansia untuk aplikasi topikal dengan


gejala utama yang ditimbulkan yaitu hiperemia arteriol hingga dermatitis eritrematosa
(Lorgue et al. 1996). Senyawa kimia rubefasensia yang digunakan untuk percobaan
dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan hasil percobaan, menthol mengakibatkan kulit
menjadi memerah dan panas. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa menthol bekerja
dengan cara meningkatkan vasolidatasi dan hanya merangsang daerah setempat serta
bersifat lemah (Sumardjo 2006).
Percobaan kloroform mengakibatkan kulit menjadi memerah dan menimbulkan
rasa panas dan perih pada kulit. Kloroform memberikan efek vasolidilatasi dan
menimbulkan rasa nyeri yang dapat diakibatkan oleh penguapan kloroform yang
terhambat oleh kapas yang ditempelkan pada kulit maupun kloroform yang diteteskan
pada kulit yang membuat penguapan lebih lama sehingga perangsangan dilatasi kapiler
berlangsung terus menerus yang mana kemudian menimbulkan rasa nyeri, panas,
terbakar (Tasmin et al. 2014).
Percobaan senyawa kimia rubefasesia selanjutnya yaitu fenol 5% dalam air,
fenol 5% dalam alkohol 25%, fenol 5% dalam gliserin 25%, fenol 5% dalam minyak
olivarium yang dilakukan dengan cara pencelupa jari ke dalam senyawa secara
bersamaan. Jari tangan yang dicelupkan dalam senyawa yaitu fenol 5% dalam air dan
fenol 5% dalam alkohol 25% berubah warna menjadi putih yang mana jari tangan
dalam senyawa fenol 5% dalam alkohol 25% bewarna lebih putih, keriput dan dengan
sensasi dingin pada kulit. Senyawa fenol 5% dalam gliserin 25% dan fenol 5% dalam
minyak olivarium tidak menimbulkan perubahan warna pada jari tangan, namun fenol
5% dalam gliserin 25% menimbulkan sensasi lebih dingin dan keriput pada jari
tangan. Jari yang dicelupkan ke dalam fenol dalam gliserin 25% tidak menunjukkan
reaksi pada kulit karena campuran tersebut tidak menyebabkan efek toksikasi. Fenol
dalam minyak olivarium juga tidak menunjukkan adanya perubahan pada kulit
menyebabkan fenol mengalami kesulitan dalam menembus lapisan kulit (Loomis dan
Ted 1978).

Tabel 2. Kausatika
Senyawa kimia Reaksi pada kulit
H2SO4 pekat Kulit menebal dan putih
HCl pekat Kulit menebal dan putih
HNO3 pekat Kulit menebal dan putih
NaOH 75% Kulit mengelupas
Kloroform Kulit sedikit memerah

Percobaan kausatika dilakukan pada kulit tikus yang telah dianestesi


sebelumnya. Hasil percobaan dapat dilihat pada tabel 2. Penetesan HNO 3 pekat, HCl
pekat, H2SO4 pekat pada kullit menyebabkan kulit menjadi menebal dan putih. Hal ini
karena asam kuat bekerja dengan merusak ikatan protein sehingga protein pada kulit
mengalami denaturasi yang menyebabkan timbulnya warna putih pada area yang
ditetesi asam kuat. Penetesan basa kuat yakninya NaOH 75% menyebabkan kulit
mengelupas. Hal ini karena basa kuat memiliki sifat melisiskan sel-sel epitel sehingga
kulit menjadi lunak dan melepuh (Lorgue et al. 1996). Pada percobaan kloroform, kulit
tikus yang ditetesi kloroform menimbulkan reaksi memerah. Hal ini karena kloroform
bersifat iritan namun tidak menimbulkan lesio akibat trauma pada kulit.

Tabel 3. Demulsensia
Senyawa kimia Reaksi pada kulit
H2SO4 1/10N Reaksi menarik kaki dalam 7 detik
H2SO4 1/10N + gom arab 10% Reaksi menarik kaki dalam 22 detik

Pada percobaan pencelupan kaki katak dalam larutan H 2SO4 1/10N dan H2SO4
1/10N ditambah dengan Gom arab 10% menimbulkan waktu reaksi berbeda. Hasil
percobaan dapat dilihat pada tabel 3. Katak lebih cepat menunjukkan reaksi
mengangkat kaki saat pencelupan pada larutan H 2SO4 1/10N daripada larutan H2SO4
1/10N ditambah dengan Gom arab 10% . Hal ini dapat terjadi karena H 2SO4 1/10N
merupakan jenis asam kuat yang termasuk dalam golongan iritan terhadap jaringan.
Asam sulfat memiliki daya ioisasi asam lebih kuat sehingga asam sulfat lebih banyak
dan lebih mudah untuk bereaksi dengan zat-zat di dalam kulit. Pada H2SO4 1/10N
ditambah dengan Gom arab 10%, katak menunjukkan reaksi “mengankat kaki” yang
lebih lama karena gom arab merupakan senyawa protektiva yang digunakan untuk
melindungi kulit atau mukosa terhadap daya kerja irritansia. Pemakaian lokal gom arab
dapat menghilangkan iritasi dan secara fisik melindungi sel dibawahnya terhadap zat
iritan (Ganiswara 2005).

Tabel 4. Astringensia
Senyawa Kimia Reaksi
Tanin 5% lidah menjadi kemerahan

Pada percobaan atringensia, terlihat bahwa setelah tanin diteteskan ke lidah,


lidah menjadi berwana lebih merah. Hal ini dapat terjadi karena tanin merupakan zat
hasil oksidasi senyawa polifenol (zat samak) sehingga menjadi kasat. Tanin berperan
sebagai astringensia yang dapat mempresipitasikan protein karena mempunyai afinitas
yang tinggi terhadap molekul protein untuk membentuk kompleks enzim-substrat.
Senyawa tanin juga dapat membentuk larutan garam yang tidak larut dengan logam
berat alkaloid dan glikosida sehingga dapat menurunkan efek toksisitasnya (Booth dan
McDonald 1982).
Tabel 6. Depilator
Senyawa Kimia Reaksi
NaOH ++
Veet +++
Na2S ++
Ket: +++: sangat mudah rontok, ++: mudah rontok, +: rontok biasa
Menurut Loomis (1987), Veet dapat merontokkan rambut atau bulu bila
diaplikasikan pada kulit, namun sediaan ini sedikit membuat iritasi terlihat dari pasca
penggunaan Veet permukaan kulit tikus menjadi kemerahan. Pada praktikum ini
terlihat Veet menimbulkan rekasi rontok yang paling signifikan dibandingkan yang
lain.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahw
a senyawa iritansia dapat menimbulkan kerusakan, baik iritasi ringan
maupun iritasi berat. Pada percobaan rubefasiansia, menthol, fenol, dan kloroform
dapat menimbulkan iritasi dengan derajat iritasi yang berbeda-beda. Bahan
iritansia dari kelompok kaustika yang apabila terkena kulit paling berat efek nya
adalah H2SO4.
DAFTAR PUSTAKA

Booth NH, McDonald LE. 1982. Veterinary Pharmacology and Therapeutics 5th Ed.
Ames (US): Iowa State University Press.
Fitriana AN. 2015. Forensic toxicology. Medical Jounal of Lampung University. 4(4)
: 1-5.
Ganiswarna SG. 2005. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FK-UI Press.
Loomis, Ted A. 1978. Toksikologi Dasar Edisi Ketiga. Semarang(ID): IKIP Semarang
Press.
Lorgue G, Lechenet J, Riviere A. 1996. Clinical veterinary Toxicology. London(UK):
Blackwell Science Ltd.
Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat, edisi ke-5. Bandung: ITB-Press.
Solihat MF dan Rahayu M. 2018. Toksikologi Klinik. Jakarta (ID) : Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Sumardjo D. 2006. Pengantar Kimia Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta(ID): EGC.
Tasmin N, Erwin, Kusuma IW. 2014. Isolasi, identifikasi, dan uji toksisitas senyawa
flavonoid fraksi kloroform dari daun terap (Artocarpus oforatissimus blanco).
Jurnal Kimia Mulawarman. 12(1): 45-5.

Anda mungkin juga menyukai