Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KOASISTENSI PROGRAM PROFESI DOKTER HEWAN

LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER


GELOMBANG XVIII KELOMPOK C

“EVALUASI KUALITAS DAGING DI PASAR SANGLAH DAN


PASAR BADUNG”

Nama Anggota Kelompok :

Grace Jeanette Ayu Paramitha 2009612002


Kadek Ayu Icha Shania Putri 2009612003
St. Khilofah Nor Azizati 2009612006
I Made Kerta Pratama 2009612025
Raf’atun Fitriani 2009612026

LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN


EPIDEMIOLOGI PROGRAM PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA
sehingga laporan koasistensi laboratorium kesehatan masyarakat veteriner
mengenai evaluasi kualitas daging di pasar sanglah dan pasar badung ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
materi maupun pikirannya.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan, Oleh
karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan laporan ini.

Denpasar, 08 Januari 2022

Penyusun
Kelompok 18C

ii
DAFTAR ISI

Cover/ Kulit Muka.....................................................................................i


Kata Pengantar...........................................................................................ii
Daftar Isi......................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang..................................................................................1
1.2 Tujuan...............................................................................................2
1.3 Manfaat.............................................................................................2
BAB II. TINJUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Daging................................................................................3
2.2 Parameter Spesifik Kualitas Daging.................................................4
2.3 Pemeriksaan Kualitas Produk Olahan Daging.................................10
BAB III. MATERI DAN METODE
3.1 Materi...............................................................................................11
3.2 Metode..............................................................................................12
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil...................................................................................................17
4.2 Pembahasan.......................................................................................19
BAB IV. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan............................................................................................29
5.1 Saran..................................................................................................29
Daftar Pustaka
Lampiran

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kebutuhan masyarakat akan daging semakin meningkat menuntut adanya


produksi lebih agar menjangkau banyak konsumen di berbagai daerah. Hal ini
menyebabkan produsen daging harus memperhatikan kualitas daging yang siap
dipasarkan sehingga daging menjadi aman, sehat, utuh, dan halal saat dikonsumsi.
Daging mengandung zat gizi yang tinggi terutama proteinnya dengan
komposisi asam amino yang seimbang dan bermanfaat bagi tubuh manusia. Daging
merupakan sumber gizi bagi manusia, dan juga merupakan sumber makanan bagi
mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan menyebabkan
perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya
cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuhan mikroorganisme dalam
pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan
sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikonsumsi. Kandungan gizi yang tinggi
menyebabkan daging mempunyai sifat mudah rusak (perishable) karena
mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang baik. Salah satu perhatian
masyarakat dalam hal keamanan pangan daging adalah dari segi kualitas
mikrobiologisnya.
Daging yang merupakan suatu bahan pangan asal hewan akan mudah
terkontaminasi oleh mikroba berbahaya. Daging secara normal memiliki pH asam.
pH yang asam dalam daging akan mempermudah tumbuhnya mikroba yang dapat
merusak kualitas daging (Winarno, 2004). Penurunan kualitas daging secara fisik dan
kimiawi dapat diketahui dari beberapa metode pengujian kualitas daging yang
diantaranya adalah uji organoleptik (warna, bau, konsistensi), pH, pengujian susut
masak, dan awal pembusukan (eber dan postma) (Soeparno et al., 2000).
Kualitas daging dapat dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesuadah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging
antara lain: genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, umur, pakan, aditif, dan stress.
Faktor setelah pemotongan meliputi pemotongan, pelayuan, pembersihan sampai

1
dengan pemasakan (Soeparno et al., 1998). Pengawasan terhadap kualitas daging
yang beredar di masyarakat merupakan pengawasan produk pangan asal hewan,
terutama bidang kesehatan masyarakat veteriner dalam menjamin kesehatan,
kehalalan, dan keutuhan nilai gizi sesuai dengan slogan dari peternakan yaitu produk
peternakan yang ASUH (aman, sehat, utuh, dan halal). Serta mencegah terjadinya
resiko bahaya yang berasal dari penyakit yang ditularkan oleh makanan (food bone
disease).
Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dilakukan pengujian secara
laboratorium terhadap kualitas daging baik daging sapi, daging ayam, daging babi
dan ikan serta olahan berupa sosis dan bakso yang beredar di pasar tradisional di
sekitar wilayah Denpasar.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan ini yaitu untuk mengetahui mutu serta hasil
pengujian yang dilakukan terhadap bahan asal hewan, diantaranya daging sapi,
daging babi, daging ayam dan ikan serta produk olahan asal hewan berupa bakso dan
sosis yang dijual di Pasar Sanglah dan Pasar Badung.

1.3 Manfaat
Kegiatan ini dilaksanakan agar mahasiswa PPDH Kelompok 18C mendapat
pengetahuan mengenai mutu serta hasil pengujian yang dilakukan terhadap bahan
asal hewan, diantaranya daging sapi, daging babi, daging ayam dan ikan serta produk
olahan asal hewan berupa bakso dan sosis yang dijual di Pasar Sanglah dan Pasar
Badung.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Daging

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki nilai gizi berupa
protein yang mengandung susunan asam amino yang lengkap. Daging didefinisikan
sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian
bibir, hidung, dan telinga yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu dipotong.
Perbedaan pengertian daging dan karkas terletak pada kandungan tulangnya. Daging
biasanya sudah tidak memiliki tulang, sedangkan karkas adalah daging yang belum
dipisahkan dari tulangnya (Heri Warsito, Rindiani 2015).

Daging mengandung sekitar 75% air dengan kisaran 68-80%, protein sekitar
19% (16-22%), substansi–substansi non-protein yang larut 3,5% serta lemak sekitar
2,5% (1,5-13,0%) dan nilai ini sangat bervariasi (Soeparno 2005). Nilai protein
daging yang tinggi disebabkan oleh kandungan asam amino esensialnya yang lengkap
dan seimbang. Asam amino esensial merupakan pembangun protein tubuh yang
berasal dari makanan dan tidak dapat dibentuk di dalam tubuh. Selain kaya protein,
daging juga mengandung energi sebesar 250 kkal/100 g. Jumlah energi dalam daging
ditentukan oleh kandungan lemak intraselular di dalam serabut-serabut otot yang
disebut lemak marbling. Kadar lemak pada daging berkisar antara 5-40%, tergantung
pada jenis spesies, makanan, dan umur ternak. Daging juga merupakan sumber
mineral, kalsium, fosfor, dan zat besi, serta vitamin B kompleks (niasin, riboflavin
dan tiamin), dan memiliki kadar vitamin C yang rendah (Ide 2007).

Secara umum daging yang membentuk tubuh ternak tersusun oleh tiga tipe
jaringan yaitu jaringan otot, jaringan fibrous dan jaringan lemak. Menurut SNI
3932:2008 daging adalah bagian otot skeletal yang aman, layak dan lazim dikonsumsi
oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dan diolah dan atau tidak
ditambahkan dengan bahan apapun. Daging segar dingin adalah daging yang
mengalami proses pendinginan setelah penyembelihan sehingga temperatur bagian

3
dalam daging antara 0ºC dan 4ºC. Daging beku adalah daging segar yang sudah
mengalami proses pembekuan di dalam blast freezer dengan temperatur internal
minimum 18°C. Daging yang baik adalah daging yang mempunyai warna cerah, tidak
pucat, dan mengkilat, tidak berbau asam apalagi busuk, serta konsistensinya liat dan
apabila dipegang tidak lekat di tangan, masih terasa kebasahannya (Amertaningtyas,
2013).

2.2 Parameter Spesifik Kualitas Daging

Kualitas daging dapat ditinjau dari dua faktor, yaitu kualitas fisik dan kimia
daging. Kualitas fisik daging antara lain nilai pH, daya ikat air, susut masak dan
tekstur (Rasyad et al., 2012) sedangkan kualitas kimia daging dapat ditentukan
berdasarkan perubahan komponen komponen kimianya seperti kadar air, protein dan
lemak (Setiawan et al., 2017). Evaluasi terhadap kualitas dan kesehatan daging dapat
dilakukan secara subjektif dan objektif. Penilaian secara subjektif meliputi penilaian
terhadap warna, bau, konsistensi dan tekstur. sedangkan penilaian objektif dapat
dilakukan dengan bantuan alat-alat laboratoris atau dengan standar perbandingan
penilaian objektif meliputi penilaian terhadap pH, daya ikat air/water holding
capacity (WHC), kadar air, dan jumlah mikroba.

Menurut Suardana dan Swacita (2009) Kualitas karkas dan daging


dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah penyembelihan. Faktor sebelum
pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging yaitu genetik, spesies, bangsa,
tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan, bahan aditif dan stres. Sedangkan faktor
setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging yaitu metode pelayuan,
stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan
termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskuler,
metode penyimpanan dan preservasi, jenis otot daging, dan lokasi otot.

4
1. Pemeriksaan Parameter secara Subyektif Daging
a. Warna

Penampilan warna daging sering dihubungkan dengan kondisi


kesegarannya. Warna merupakan salah satu indikator kualitas daging
meskipun warna tidak mempengaruhi nilai gizi. Banyak faktor yang
mempengaruhi warna daging termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis
kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen (Soeparno,
1992). Beberapa ternak memberikan karakteristik khusus warna seperti daging
sapi berwarna merah terang, ikan berwarna putih abu-abu sampai merah
gelap, kuda berwarna merah gelap, babi berwarna pink kelabu dan unggas
berwarna putih abu-abu sampai merah (Suardana dan Swacita, 2009)
Pigmen merupakan faktor terpenting dalam pembentukan warna daging.
Pigmen tersebut adalah haemoglobin (pigmen darah) dan mioglobin (pigmen
jaringan), namun 80-90 % seluruh pigmen daging ditentukan oleh mioglobin.
Apabila daging kontak langsung dengan udara luar dan berlangsung lama
akan menyebabkan perubahan oksimyoglobin menjadi metmyoglobin (MMb)
sehingga menyebabkan warna daging berubah menjadi coklat. Dan apabila
metmyoglobin terkontaminasi dengan bakteri, maka daging akan berubah
warna menjadi hijau hal tersebut terjadi karena terbentuknya sulfmyoglobin
dan cholemyoglobin, akibat oksidasi dan denaturasi dengan cepat berubah
menjadi porpirrin dengan warna kuning sampai coklat atau tidak berwarna
(Arka et al, 1998).
b. Bau

Bau/aroma daging disebabkan oleh adanya fraksi yang mudah menguap


berupa inosin-5-monofosfat (merupakan hasil konversi dari adenosine-5-
trifosfat pada jaringan otot hewan semasa hidup) yang mengandung hidrogen
sulfida dan metil merkaptan. Daging yang masih segar berbau seperti darah
segar. Daging yang telah mengalami pembusukan khususnya pada daging
merah akan berbau busuk, bau daging merupakan pengaruh campuran dari

5
aktivitas enzim lipolitik triasilgliserol, ketengikan oksidatif asam lemak tak
jenuh serta produk degradasi protein yang terakumulasi dalam jaringan lemak.

Produk degradasi protein daging dapat diketahui dari pelepasan gas-


gas amonia (NH3), dan hidrogen sulfida (H2S) serta metil merkaptan yang
berbau busuk. Pelepasan gas-gas ini bersumber dari asam-asam amino
penyusun protein daging yang mengandung gugus NH, gugus S dan gugus
NH3 dalam kombinasi dengan senyawa lain. Pada daging sapi bali lebih
dominan berbau darah segar (Suardana dan Swacita, 2009).
c. Konsistensi dan Tekstur
Keempukan dan tekstur merupakan faktor yang penting terhadap
kualitas daging. Ada dua tekstur otot yaitu tekstur kasar dengan ikatan - ikatan
serabut yang besar, dan tekstur halus dengan ikatan - ikatan serabut yang
kecil. Ada dua faktor yang penting, yaitu antemortem (genetik, fisiologis,
umur, manajemen, jenis kelamin, dan stres) sedangkan faktor postmortem
adalah chilling, refrigerasi, pelayuan, pembekuan lama dan suhu
penyimpanan, termasuk pemasakan, dan pengempukan. Penentu keempukan
daging meliputi 3 komponen yaitu :
1. Status miofibril dan status kontraksi
2. Kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang
3. Daya ikat air dan jus daging
Konsistensi daging biasanya dinyatakan dengan liat (firmness), lembek
(softness), berair (juicness). Daging segar terasa liat sedangkan daging yang
mulai membusuk akan berair. Dilihat dari teksturnya daging segar mempunyai
tekstur yang halus dan daging yang mulai membusuk memiliki tekstur yang
kasar (Suardana dan Swacita, 2009).
2. Pemeriksaan Parameter secara Obyektif Daging
a. PH
Nilai pH daging akan ditentukan oleh jumlah laktat yang dihasilkan dari
glikogen selama proses glikolisis anaerob dan hal ini akan terbatas bila

6
glikogen terdeplesi karena beberapa faktor seperti lelah, kelaparan atau takut
pada hewan sebelum dipotong (Buckle et al., 1987). Menurut Lawrie (1995)
bahwa pH akhir daging yang dicapai merupakan petunjuk untuk mengetahui
mutu daging yang baik. Daging yang mempunyai pH antara 5,5-5,7 (pH
Normal) memberikan warna merah cerah. pH sangat mempengaruhi kualitas
daging, penurunan pH daging dengan cepat sampai mencapai pH akhir 5,3-5,6
telah mengalami penurunan dengan pola Pale Soft and Exudative (PSE).

Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani dengan
baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu mulai dari 7,0
dan akan mencapai nilai pH (ultimate pH value) akhir sekitar 5,4-5,8.
(Setiawan et al., 2017). Hal ini disebabkan terbentuknya asam laktat, sebagai
akibat proses terjadinya glikolisis dalam daging, yaitu proses pemecahan
molekul glikogen menjadi asam laktat. Daging dengan pH tinggi mempunyai
keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah. Kealotan
atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0. pH daging
berhubungan dengan DIA (Daya Ikat Air/ WHC/Water Holding Capacity), jus
daging, keempukan dan susut masak, juga bisa berhubungan dengan warna
dan sifat mekanik daging. Secara umum, penurunan pH akan berpengaruh
pada kualitas produk. Semakin rendah pH suatu produk umumnya akan
meningkatkan daya simpan produk karena bakteri akan sulit hidup pada pH
rendah kecuali bakteri yang tahan pada pH rendah (Achidophilic) (Soeparno,
2005).

b. Kadar Air
Penentuan kadar air dari suatu bahan pangan digunakan untuk
menentukan banyaknya zat gizi yang dikandung oleh bahan pamgan tersebut.
Dengan memanaskan suatu bahan pangan dengan suhu tertentu maka air
dalam bahan pangan tersebut akan menguap dan berat pangan tersebut akan
konstan. Berkurangnya berat bahan pangan tersebut berarti banyak air yang
terkandung dalam bahan pangan tersebut.

7
Kandungan air dalam bahan makanan mempenaruhi daya tahan bahan
makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan Aw yaitu
jumlah
air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya
(Winarno, 2002). Penetapan kandungan air dapat dilakukan dengan beberapa
cara. Hal ini tergantung pada sifat bahannya. Pada umumnya penentuan kadar
air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 110-205ºC
selama 3 jam atau sampai didapat berat yang konstan. Menurut Sudarmadji, et
al. (1997) prinsip penentuan kadar air dengan pengeringan adalah
menguapkan air yang dalam bahan dengan pemanasan. Kemudian menimbang
bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini
relatif lebih murah dan mudah. Suatu bahan yang telah mengalami
pengeringan ternyata lebih bersifat higroskopis daripada bahan asalnya. Oleh
karena itu, selama pendinginan sebelum penimbangan, bahan selalu
ditempatkan dalam ruang tertutup yang kering, misalnya desikator.

c. Daya Ikat Air / Water Holding Capacity (WHC)


Daya ikat air atau yang dapat juga disebut Water Holding Capaity
(WHC) adalah kemampuan daging untuk mengikat airnyaatau air yang
ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan
daging, pemanasan, pendinginan dan tekanan (Soeparno, 1992). Nilai WHC
daging dipengaruhi oleh susunan jarak molekul dari protein myofibril
terutama miosin dan serabut-serabut (filamenfilamen). Jika kekuatan tarik
menarik antara molekul-molekul yang berdekatan menurun, disebabkan
kenaikan muatan netto negative diantar muatan protein atau melemahnya
ikatan hidrogen maka jaringan protein akan membesar, pembengkakan
meningkat dan lebih banyak air yang terikat oleh protein, sehingga akan
terjadi peningkatan WHC. Jika kekuatan tarik menarik ini mengalami
penurunan terus menerus maka jaringan protein akan mengalami kerusakan
dan gel akan menjadi larutan koloid. Jika kekuatan tarik menarik antara

8
molekul yang berdekatan naik, maka air yang terikat akan dilepaskan
kembali sehingga nilai WHC turun.
Daya ikat air oleh protein daging mempunyai efek langsung terhadap
penyusutan daging selama penyimpanan. Jika daya ikat air rendah maka
akan terjadi penurunan kadar air daging yang megakibatkan kehilangan berat
yang diikuti dengan penurunan nilai nutrisi selama penyimpanan. Beberapa
faktor yang mempengaruhi daya ikat air antara lain nutrisi ternak, pH
daging, ikatan aktomiosin, penyimpanan dan pengawetan, macam otot, kadar
lemak, dan protein daging (Suardana dan Swacita, 2009).
d. Mikrobiologis Daging
Daging dapat mengalami pembusukan seperti yang disebabkan oleh
aktivitas enzim-enzim dalam daging (autolisis), kimiawi (oksidasi) dan
mikroorganisme. Mekanisme pembusukan ini sangat kompleks. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging adalah: jenis
dan jumlah mikroorganisme awal (pencemar) serta penyebarannya, sifat fisik
daging, sifat kimiawi daging, ketersediaan oksigen, serta suhu. Konsentrasi
komponen tersebut dalam daging dan penggunaannya oleh jenis mikroba
tertentu yang akan menentukan waktu terjadinya (onset) dan jenis
pembusukan.
Untuk menilai kualitas daging segar adalah standar cemaran bakteri
yaitu Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB) tidak lebih dari 106 per gram
sampel, Most Probable Number (MPN) Coliform tidak lebih dari 102 per
gram sampel. Jumlah kuman yang masih dikatagorikan memenuhi syarat
untuk babi tidak antara 0,9 juta - 1,4 juta per gram, kuman coliform agak
tinggi, yaitu 38000 - 710000 per gram daging. Adanya bakteri pada daging
dapat mempercepat proses pembusukan daging dan adanya bakteri patogen
menyebabkan penyakit keracunan makanan bila tertelan oleh konsumen (Arka
et al, 1998).

9
2.3 Pemeriksaan Kualitas Produk Olahan Daging
Pangan asal hewan mudah rusak, hal tersebut dikarenakan kandungan air yang
terdapat pada daging, untuk itu dilakukan upaya untuk menahan laju pertumbuhan
mikroorganisme tersebut dengan melalukan pengelolahan terhadap daging. Banyak
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme di dalam daging seperti:
temperatur, kadar air/kelembaban, oksigen, tingkat keasaman dan kebasaan (pH), dan
kandungan gizi daging. Sebagaimana bahan mentah hasil panen lainnya, daging kalau
dibiarkan begitu saja lama kelamaan akan mengalami perubahan akibat pengaruh-
pengaruh fisiologik, mekanik, fisik,kimiawi atau mikrobiologik.

Pemakaian bahan kimia untuk pengawetan sudah umum dilakukan pada


pabrik pengolahan daging seperti abon, nugget dendeng, sosis, corned beef, lidan
asin, ham dan bakso. Bahan kimia digunakan dalam takaran sesuai tujuan pengawetan
dan menggunakan garam, gula, asam sendawa, nitrat/nitrit. Pemakaian bahan kimia
tersebut mempunyai keuntungan yaitu daging dapat disimpan pada temperatur kamar
dan tidak diperlukan sterilisasi atau pasteurisasi.

Pengolahan daging bertujuan untuk menambah keragaman pangan, sedangkan


pengawetan daging bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan
tersebut. Proses pembuatan produk olahan daging ini menggunakan teknologi
tradisional dan teknologi modern. Menurut Suardana dan Swacita (2009) dalam
pengolahan dan pengawetan daging, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut yaitu
pengaruh metode pengolahan dan pengawetan terhadap mutu produk, adanya bahan
kesehatan baik bagi pengolah maupun konsumen, kemungkinan salah penerapan dari
metode pengolahan dan pengawetan, masalah distribusi dan pemasaran, evaluasi
teknis dan ekonomis dari metode pengolahan dan pengawetan yang dipergunakan.

1
BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 Pemeriksaan Kualitas Daging


3.1.1 Materi
A. Alat
Alat yang digunakan dalam pemeriksaan kualitas daging yaitu:
 Pisau dapur
 pH Meter
 Pisau
 Gelas Ukur
 Lempeng Kaca
 Mortir
 Mikropipet
 Tabung Reaksi
 Talenan
 Rak Tabung Reaksi
 Pinset
 Cawan Petri
 Oven
 Kompor Listrik
 Kertas
 Neraca Analitik
 Inkubator
 Batang Bengkok
 Talenan
 Cawan Aluminium

B. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pemeriksaan kualitas daging yaitu:
 Daging Ayam
 Daging Sapi
 Daging babi
 Daging Ikan
 Media Nutrient Agar (NA)
 Media Eosin Methylene
Blue Agar (EMBA)
 Aquades

1
3.1.2 Metode
A. Pemeriksaan Secara Subjectif (Pancaindra)
Pemeriksaann secara subjectif adalah pemeriksaan yang dilakuan secara
indrawi. Uji subjectif meliputi pemeriksaan warna, bau, konsistensi dan tekstur
daging.
a. Warna Daging
Pemeriksaan warna daging dapat dilakukan dengan pengamatan secara
visual pada daging segar dan produk olahan daging. Standar warna daging,
yang digunakan yakni sesuai dengan standar Photographic Calour Standard
for Muscle Department of Agriculture Western Australia (1982).

b. Bau Daging
Pemeriksaan bau daging dan olahan daging dilakukan dengan cara
penciuman pada daging maupun olahan daging, Bau daging dapat di
kategorikan seperti bau darah segar, bau H2S, bau amonia, dan lain
sebagainya

c. Konsistensi
Kosistensi dan tekstur pada daging dan olahan daging dapat diamati
dengan melakukan perabaan pada sampel. Untuk konsistensi dinyatakan
dengan liat (firmness), lembek (softness), kering, atau berair (juiciness).

d. Tekstur
Pemeriksaan terhadap tekstur daging dapat di lakukan dengan cara meraba
sampel daging. Tekstur yang di dapat dinyatakan halus atau kasar. Daging
segar memiliki tekstur daging yang halus dan daging yang mulai
membusuk memiliki tekstur yang kasar.

1
B. Secara Secara Objektif
a. pH
Masing- masing sampel daging dilumatkan di dalam mortir sebanyak
10gram dengan ditambahkan aquades sebanyak 10ml dan dihomogenkan.
Disiapkan alat pH meter yang telah dikalibrasi dengan larutan buffer pH 4,0
dan pH 7,0. Elektroda yang sudah dikalibrasi kemudian dimasukkan ke
masing-masing ekstrak daging, kemudian dibaca setelah angkanya tetap.
Pengukuran pH diulang kembali untuk memastikan hasil yang didapatkan
konstan.

b. Daya Ikat Air


Sampel daging ditimbang masing masing sebanyak 5gram lalu diberikan
label agar tidak tertukar. Keenam sampel daging tersebut diletakkan di atas
kaca yang telah dialasi dengan kertas. Setelah daging diletakan di atas kertas,
berikan selembar kertas lagi diatas daging lalu diberikan lempengan kaca yang
lain. Pemberian kertas yang melapisi sisi atas dan bawah daging dilakukan
agar air yang keluar dapat menyerap pada kertas tersebut. Kemudian
ditambahkan beban sebesar 30 kg diatas kaca selama 11 menit. Setelah itu
daging diambil dan ditimbang kembali.

c. Kadar Air
Pertama dilakukan penimbangan cawan pada neraca analitik. Cawan
tersebut kemudian dioven dengan suhu 150°C selama beberapa menit sampai
beratnya konstan. Cawan yang sudah dipanaskan kemudian didinginkan.
Diambil masing-masing 5gram sampel daging pada setiap cawan lalu
ditimbang bersama isinya pada neraca analitik. Kemudian daging dan cawan
tersebut dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 150 °C selama 3-4 jam
atau sampai berat cawan dan daging menjadi konstan. Cawan berisi daging
yang telah dikeringkan kembali ditimbang setelah didinginkan.

1
d. Mikroba Daging

Evaluasi pemeriksaan mikroba daging dilakukan dengan menghitung


jumlah koloni yang tumbuh pada medium agar.

1. Metode Tuang
Pembuatan media: Nutrient Agar (NA) ditimbang sebanyak 4,2gram
sediaan dari NA adalah 28 gram/1 liter), kemudian campurkan dengan
aquades sebanyak 150 ml, lalu panaskan dengan terus diaduk agar tidak
terjadi penggumpalan. Setelah mendidih, diamkan beberapa saat sampai suhu
± 50°C.

Pembuatan pengenceran
Campurkan masing-masing daging sebanyak 5gram dan aquades sebanyak
5 ml lalu lumatkan menggunakan mortir, kemudian sampel di masukkan ke
dalam eppendorf tube dan diberi label masing-masing. Sampel tersebut dibuat
pengenceran 103 dengan cara diambil 0,1 ml sampel lalu dimasukan ke dalam
0,9 ml akuades steril lalu homogenkan untuk memperoleh pengenceran 10,
lalu dilanjutkan dengan mengambil 0,1 ml sampel yang homogen tersebut ke
dalam 0,9 ml aquades didapatkan pengenceran 10² lakukan hingga
pengenceran.

Penanaman kuman
Sebanyak 1 ml sampel dari pengenceran 10³ dituangkan kedalam cawan
petri kemudian tambahkan media NA sebanyak kurang lebih 20 ml.
Homogenkan dengan cara memutar cawan pada meja membentuk angka 8
beberapa kali. Kemudian cawan petri dimasukkan kedalam inkubator dengan
suhu 37°C dan diinkubasikan selama 24 jam.

Perhitungan jumlah bakteri


Jumlah bakteri = jumlah koloni x 1/ faktor pengenceran x volume ekstrak
daging.

1
2. Metode Sebar
Pembuatan media:
Eosin-Methylene Blue Agar (EMBA) ditimbang sebanyak 5,625 gram
(sediaan dari EMBA adalah 37,9 gram/1 liter), kemudian campurkan dengan
aquades sebanyak 150 ml, lalu panaskan dengan terus diaduk agar tidak
terjadi penggumpalan.

Pembuatan pengenceran
Campurkan masing-masing daging sebanyak 5gram dan aquades sebanyak
5 ml lalu lumatkan menggunakan mortir, kemudian sampel di masukkan ke
dalam eppendorf tube dan diberi label masing-masing. Sampel tersebut dibuat
pengenceran 103 dengan cara diambil 0,1 ml sampel lalu dimasukan ke dalam
0,9 ml akuades steril lalu homogenkan untuk memperoleh pengenceran 10,
lalu dilanjutkan dengan mengambil 0,1 ml sampel yang homogen tersebut ke
dalam 0,9 ml aquades didapatkan pengenceran 10² lakukan hingga
pengenceran 10³.

Penanaman kuman
Media EMBA yang sudah dipadatkan diberi sebanyak 1 ml sampel dari
pengenceran 103 yang diteteskan secara menyebar atau merata. Kemudian
cawan petri dimasukkan kedalam inkubator dengan suhu 37oC dan
diinkubasikan selama 24 jam.

Perhitungan jumlah bakteri


Jumlah bakteri = jumlah koloni x 1/ faktor pengenceran x volume ekstrak
daging

1
3.2 Pemeriksaan Kualitas Produk Olahan Daging
3.2.1 Materi
A. Alat
Alat yang digunakan pada pemeriksaan kualitas olahan daging yaitu:
 Pisau
 Talenan
 Gelas ukur
 Gelas beker
 Mortir
 Neraca analitik

B. Bahan
Bahan yang digunakan pada pemeriksaan kualitas olahan daging yaitu:
 Bakso Ayam
 Bakso Sapi
 Bakso Babi
 Bakso Ikan
 Sosis Ayam
 Sosis Sapi
 Sosis Babi
 Sosis Ikan

3.2.2 Metode
Pemeriksaan kualitas produk olahan daging dilakukan secara subjektif
(warna, bau atau aroma, konsistensi dan tekstur, serta cita rasa) dan secara
objektif (pH). Metode yang dilakukan sama seperti yang dilakukan pada
pemeriksaan kualitas daging.

1
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pemeriksaan kualitas daging


Pemeriksaan kualitas daging segar dilakukan dengan uji subjektif
(warna, bau/aroma, konsistensi dan tekstur) dan uji objektif (pH, daya ikat air,
kadar air dan penetapan jumlah mikroba). Sampel daging yang digunakan
adalah daging ayam, daging babi, daging sapi, dan daging ikan. Sampel daging
yang digunakan diambil dari dua pasar tradisional yaitu pasar Sanglah dan pasar
Badung. Hasil evaluasi kualitas daging segar dimuat dalam Tabel 4.1 dan Tabel
4.2.
Tabel 4.1. Hasil uji subjektif daging segar pasar Sanglah dan pasar Badung
Macam Daging Ayam Daging Babi Daging Sapi Daging Ikan
Uji
1 2 1 2 1 2 1
Warn Putih Putih Merah Merah Coklat Merah Putih
a kekunin Kemera Pucat Kecokl kemera kecokla segar
gan han atan han tan
Bau busuk darah Busuk Darah Darah Darah Amis
segar segar segar segar khas

Konsi Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Keny


stensi al

Tekst Halus halus Halus Kasar Kasar Kasar Kasar


ur

1
Tabel 4.2. Hasil uji objektif daging segar pasar Sanglah dan pasar Badung

Macam Uji Daging Ayam Daging Babi Daging Sapi Daging Ikan
1 2 1 2 1 2 1

pH 5,6 5,8 5,5 6 5,7 5,6 5,4

Kadar 87% 82% 71% 84,2% 65,1% 70% 56%


air

Daya 74% 68% 78% 73% 62% 81% 80%


ikat air

Coliform 5,8x 1,6 x 102 3,7x102 1,7x102 2,4x102 1,8x10 0,9x


2
(CFU/g) 102 102

ALTB 1,9x 3,1x 3,1x 1,8x 2,8x 3,6x 2,4x


(CFU/g) 105 105 105 105 105 105 105

Keterangan: Kode 1 (Pasar Sanglah) dan kode 2 (Pasar Badung)


Evaluasi produk olahan daging menggunakan dua uji yaitu uji subjektif
(warna, bau/aroma, konsistensi, dan tekstur) dan uji objektif (pH). Sampel yang
digunakan pada pemeriksaan produk olahan daging adalah sosis dan bakso yang
terbuat dari daging ayam, babi dan sapi. Sampel yang digunakan diambil dari pasar
modern Tiara Dewata. Hasil evaluasi produk olahan daging disajikan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Hasil pemeriksaan sampel produk olahan daging


Macam Sosis Bakso
Uji 1 2 3 4 1 2 3 4

Warna Putih Coklat kecoklatan Putih Putih Putih kecoklatan Putih


kecoklatan kemerahan segar susu krem krem

Bau Daging Daging Daging Amis Daging Daging Daging Amis


ayam babi sapi khas ayam babi sapi khas

Konsis Kenyal Keras Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal Kenyal kenyal


tensi

Tekstur Halus Kasar Kasar Kasar Halus Halus Kasar Kasar

pH 7 6 6 6 7 6 6 6

1
Keterangan: Kode 1 (olahan daging ayam), kode 2 (olahan daging babi) dan
kode 3 (olahan daging sapi), Kode 4 (olahan daging ikan).

4.2 Pembahasan Kualitas Daging dan Olahan Daging


Pemeriksaan kualitas daging dan produk olahan daging dilakukan pada hari
Kamis tanggal 16 Desember 2021 di Laboratorium Kesmavet dan Epidemiologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Pemeriksaan kualitas daging
menggunakan tiga sampel daging yaitu daging ayam, babi, dan sapi yang diambil
dari dua pasar tradisional yaitu pasar Sanglah dan pasar Badung. Pemeriksaan
kualitas daging dilakukan secara subjektif dan objektif. Pemeriksaan subjektif yang
dilakukan meliputi warna, bau/aroma, konsistensi dan tekstur, sedangkan
pemeriksaan objektif yang dilakukan meliputi derajat pH, kadar air, daya ikat air
dan perhitungan jumlah cemaran mikroba dengan metode sebar pada media EMBA
(Eosin Methyline Blue Agar) dan metode tuang pada media NA (Nutrient Agar).
A. Pemeriksaan Kulitas Daging Segar
1. Uji Subjektif
a Pemeriksaan Warna
Pemeriksaan warna pada daging babi yang berasal dari pasar Sanglah
memiliki warna merah pucat sedangkan daging babi dari pasar Badung
memiliki warna merah kecokelatan. Warna daging babi segar umumnya
berwarna pucat hingga merah muda (Nugraheni, 2009) sehingga daging babi
dari pasar Sanglah masih dalam keadaan yang segar. Adanya warna
kecokelatan pada daging babi yang berasal dari pasar Badung disebabkan
karena kontak langsung antara mioglobin dengan oksigen dalam jangka waktu
yang lama, sehingga terjadi oksidasi membentuk ferricmetmyoglobin (MetMb)
sehingga daging berwarna coklat (Aberle et al., 2001; Dangur et al, 2020).
Pemeriksaan terhadap warna daging ayam yang berasal dari pasar
Badung Putih kemerahan dan pasar Sanglah memiliki warna yang sama yaitu
putih Kekuningan. Warna daging ayam segar adalah putih kekuningan, hal ini
sesuai dengan pernyataan Cross (1988), meenandakan bahwa daging di pasar

1
sanglah memimiliki kwalitas yang bagus. warna daging ayam disebabkan oleh
provitamin A yang terdapat pada lemak daging dan pigmen oksimioglobin.
Lawrie (2003), menyebutkan bahwa pigmen oksimioglobin adalah pigmen
penting pada daging segar, pigmen ini hanya terdapat di permukaan saja dan
menggambarkan warna daging yang diinginkan konsumen. Warna kemerahan
pada daging ayam disebabkan karena adanya pigmen hemoglobin (Lawrie,
2003). Hal ini disebabkan karena pengeluaran darah yang tidak sempurna saat
proses penyembelihan memyebabkan darah masih tertinggal pada jaringan otot
sehingga warna daging menjadi kemerahan.
Pemeriksaan warna pada daging sapi yang berasal dari pasar sanglah
memiliki warna cokelat kemerahan sedangkan daging sapi dari pasar Badung
memiliki warna coklat merah cerah. Menurut Merthayasa et al. (2015) daging
sapi cenderung memiliki warna merah cerah. Adanya pigmen daging berupa
myoglobin yang menyebabkan daging berwarnah merah. Myoglobin
merupakan struktur kimianya mengandung inti Fe 2+ yang akan mengalami
oksigenasi menjadi oksimyoglobin yang berwarna merah cerah. Ketika daging
kontak dengan udara luar yang berlangsung lama akan menyebabkan
perubahan oksimyoglobin menjadi metmyoglobin (MMb) dan warna daging
berubah cokelat. Jika metmyoglobin terkontaminasi dengan bakteri, maka
daging akan berubah warna menjadi hijau karena terbentuknya sufimyoglobin
dan cholemyoglobin. Ada banyak faktor yang mempengaruhi warna daging
termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, keadaan stres (tingkat
aktivitas dan tipe otot), pH dan oksigen (Soeparno, 1992).
b. Pemeriksaan Bau/Aroma
Pada pemeriksaan subjektif terhadap bau daging, didapatkan bau dari
masing-masing daging (Ayam, Babi, dan Sapi, ikan) dari Pasar Tradisional
Sanglah yaitu berbabu busuk dan darah segar dan Pasar Tradisional Badung
berbau khas darah segar. Bau daging disebabkan oleh fraksi yang mudah
menguap dimana pada jaringan otot yang masih hidup mengandung adenosin-
5trifosfat yang dikonversi setelah penyembelihan menjadi inosin-5monofosfat.

2
Daging yang masih segar berbau seperti darah segar (Arka, 1998). Ciri-ciri bau
daging yang baik secara spesifik yaitu tidak berbau amis, tidak menyengat,dan
tidak berbau busuk. Sedangkan bau busuk pada daging disebabkan karena
adanya aktivitas bakteri dalam proses pembusukan pada daging.
c. Pemeriksaan Konsistensi dan Tekstur
Pada pemeriksaan konsistensi dan tekstur pada daging ayam dan babi
dari kedua pasar memiliki konsistensi daging liat dan bertekstur halus
sedangkan pada daging sapi memiliki konsistensi daging liat dan bertekstur
kasar pada kedua pasar. Pada dasarnya terdapat dua tekstur otot yaitu tekstur
kasar dengan ikatanikatan serabut yang besar, dan tekstur halus dengan ikatan
- ikatan serabut yang kecil (Soeparno, 1992). Konsistensi daging biasanya
dinyatakan dengan: liat (firmness), lembek (softness) dan berair (juiciness).
Konsistensi daging ditentukan oleh banyak sedikitnya jaringan ikat yang
menyusun otot tersebut. Daging yang segar terasa liat sedangkan yang mulai
membusuk terasa berair. Konsistensi dan tekstur adalah faktor yang penting
terhadap kualitas daging. Konsistensi merupakan faktor yang penting terhadap
kualitas daging. Ada dua faktor yang penting, yaitu ante-mortem (genetik,
fisiologis, umur, manajemen, jenis kelamin, dan stress) sedang faktor post-
mortem adalah chilling, refrigerasi, pelayuan, pembekuan lama dan suhu
penyimpanan, termasuk pemasakan dan pengempukan. Penentu konsistensi
dari daging yaitu (a) status miofibril dan status kontraksi, (b) kandungan
jaringan ikat dan tingkat ikat silang, dan (c) daya ikat air dan jus daging.
Pengaruh spesies terhadap keempukan berbeda - beda karena adanya pengaruh
tekstur kasar atau halus, otot besar atau kecil. Umur juga berpengaruh terhadap
konsistensi selain itu pemasakan juga meningkatkan konsistensi tetapi dapat
juga menurunkan konsistensi, tergantung dari waktu dan temperatur.
1. Pemeriksaan secara Objektif
a. pH
Berdasarkan hasil uji pH menggunakan pH meter sampel daging yang
dibeli di pasar Sanglah memiliki pH masing-masing yaitu daging sapi 5.7,

2
daging ayam 5.6, dan daging babi 5.5 dan daging ikan 5,4 dan nilai pH dari
sampel daging yang dibeli di pasar Badung diperoleh daging sapi 5.6,
daging ayam 5.8, dan daging babi 6.0. dan daging ikan 5,5 Berdasarkan
standar SNI nilai pH daging yang normal berkisar antara 5,4-5,8. Sehingga
berdasarkan hasil pengujian pH pada keenam sampel diatas menunjukan
bahwa daging ayam, daging babi dan daging sapi dan daging ikan yang
dibeli dikedua pasar yaitu pasar Sanglah dan pasar Badung memiliki
kualitas yang baik dan layak di konsumsi. Menurut Lawrie (2003).
Perubahan pH terjadi karena adanya proses biokimia dalam daging
setelah pemotongan. Proses perubahan pH terjadi setelah pemotongan, pada
saat pemotongan hewan akan kehilangan banyak darah sehingga suplai
oksigen juga berhenti sehingga metabolisme sel secara berangsur-angsur
berubah dari metabolisme aerobik menjadi anaerobik. Metabolisme aerobik
dan anaerobik berjalan lambat karena menggunakan energi cadangan
sehingga metabolisme anaerobik kurang efisien, hal ini menyebabkan
suplai ATP menurun dan dihasilkan asam laktat seiring dengan
meningkatnya aktifitas anaerobik. Pemecahan glikogen ini (glikolisis)
adalah dibawa oleh aksi enzim yang terjadi dalam sarkoplasma terlarut
pada otot dan menghasilkan asam laktat dan terjadi perubahan pH otot post-
mortem yaitu dari 7,2-7,4 menjadi pH ultimat 5,6-5,8 (Anggraeni, 2005;
Irmayani et al., 2019).
b. Pemeriksaan Kadar Air
Kadar air dalam bahan makanan sangat mempengaruhi kualitas,
cemaran mikroba dan daya simpan dari pangan tersebut. Oleh sebab itu,
penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat penting agar dalam
proses pengolahan maupun pendistribusian mendapat penanganan yang
tepat. Kadar air daging sapi ini dapat dilihat pada Tabel . Hasil dari
pengamatan ini menunjukkan bahwa nilai rata-rata keseluruhan kadar air
daging yang diambil dari pasar sanglah dan pemogan yaitu berkisar antara
68-75 %. Semakin tinggi daya ikat air dan semakin rendah kadar air daging

2
sapi, maka persentase susut masak daging sapi akan menurun. Daging yang
mempunyai angka susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik karena
kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah
(Suryati et al., 2008). Menurut Soeparno (2009) kadar air daging
dipengaruhi oleh jenis ternak, umur, kelamin, pakan serta lokasi dan fungsi
bagian-bagian otot dalam tubuh. Kadar air yang tinggi disebabkan umur
ternak yang muda, karena pembentukan protein dan lemak daging belum
sempurna (Rosyidi et al., 2000).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Kasmadiharja (2008) bahwa kadar
air yang meningkat dipengaruhi oleh jumlah air bebas yang terbentuk
sebagai hasil samping dari aktivitas mikroba. Puspitasari et al. (2013)
menyatakan bahwa pada saat mikroba mencapai fase pertumbuhan konstan,
maka akan dihasilkan senyawa bermolekul kecil yang mengandung air.
Sedangkan kadar air yang rendah pada daging daging mengalami
penyesuaian dengan lingkungannya. Proses yang berlangsung selama
penyimpanan yaitu penguapan untuk mencapai kesetimbangan air.
Penguapan ini terjadi karena tekanan uap dalam daging tidak sama dengan
tekanan uap di sekitarnya. Penguapan akan terus berlangsung selama
sampai tercapainya kesetimbangan air yaitu pada saat tekanan uap dalam
daging sama dengan tekanan uap lingkungan sekitarnya (Effendi, 2009;
Wala et al., 2016).
c. Pemeriksaan Daya Ikat Air
Berdasarkan data tersebut daya ikat air dari pasar tradisional cukup
rendah dan bervariasi, hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005),
bahwa kisaran normal daya ikat air antara 20% sampai 60%. Perbedaan
daya ikat air ini antara lain disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat
yang dihasilkan, sehingga pH diantara dan di dalam otot berbeda. Menurut
Jamhari (2000), terdapat beberapa faktor yang bisa menyebabkan variasi
pada daya ikat air oleh daging, diantaranya: faktor pH, faktor perlakuan
maturasi, pemasakan atau pemanasan. Faktor biologik seperti jenis otot,

2
jenis ternak, jenis kelamin, dan umur ternak. Demikian pula faktor pakan,
transportasi, suhu, kelembapan, penyimpanan, preservasi, kesehatan,
perlakuan sebelum pemotongan, dan lemak intramuskuler.
Pada pengamatan ini daya ikat air paling tinggi adalah 29 %. Daya
ikat air yang tinggi ini disebabkan oleh pH daging yang tinggi pula yaitu
6,0. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Riyanto (2004), bahwa daya ikat
air akan meningkat jika nilai pH daging meningkat. Hal ini disebabkan pada
pH daging yang rendah maka struktur daging terbuka sehingga menurunkan
daya ikat air, dan tingginya nilai pH daging mengakibatkan struktur daging
tertutup sehingga daya ikat air tinggi. Nilai daya ikat air sangat dipengaruhi
oleh pH.
d. Pemeriksaan Cemaran Mikroba
Untuk menilai kualitas daging segar menurut Badan Standardisasi
Nasional (BSNi) bahwa standardisasi nasional Indonesia (SNI 7388:2009)
untuk batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan untuk jenis
cemaran mikroba ALTB (Angka Lempeng Total Bakteri) pada daging segar
tidak lebih dari 10 CFU/gram. Dimana ALTB untuk melihat jumlah
mikroba mesofilik negative dan positif pergramnya. Pada daging ayam dan
babi yang dibeli dari kedua pasar yang berbeda yaitu Pasar Tradisional
Pemogan dan Pasar Tradisional Sanglah tidak melebihi batas standar mutu
dari tingkat cemaran mikroba yang dikeluarkan oleh BSNi sehingga
daging-daging tersebut masih dikategorikan layak untuk dikonsumsi oleh
masyarakat tetapi dengan tetap memperhatikan cara memasak yang baik
dan benar agar terbebas dari kuman.
1. Pemeriksaan Bakteri Coliform
Perhitungan koloni bakteri yang tumbuh pada media EMBA
didapatkan hasil daging dari pasar Sanglah dan pasar Badung yaitu daging
ayam sebanyak 5,8 x 102 CFU/g dan 1 x 102 CFU/g dan 1,6 x 10 CFU/g,
daging babi sebanyak 3,7 x 102 CFU/g dan 1,7 x 102 CFU/g, serta pada
daging sapi sebanyak 2,4 x 102 CFU/g dan 1,8 x 102 CFU/g. serta pada

2
ikan sebanyak 0,9 x 102 CFU/g dan 1,3x 102 CFU/g Daging merupakan
media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri Coliform. Bakteri yang
termasuk dalam kelompok bakteri coliform adalah Escherichia coli,
Enterobacter dan Klebsiella yang merupakan indikator dalam sanitasi
daging. Bakteri coliform merupakan bakteri yang berasal dari saluran
pencernaan manusia ataupun hewan. Sehingga, bakteri coliform dalam
jumlah tertentu dapat menjadi indikator suatu kondisi yang bahaya dan
adanya kontaminasi bakteri patogen pada pangan (Balia et al., 2013; Sahani
dan Nasir, 2019). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No.7388
Tahun 2009 tentang batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan
untuk bakteri Coliform adalah 1×102 CFU/g. Jumlah bakteri coliform pada
daging ayam dari pasar Kreneng dan pasar Badung serta daging babi dan
sapi dari pasar Kreneng melebihi batas maksimum. Daging babi dan sapi
yang berasal dari pasar Badung memiliki jumlah bakteri coliform yang
masih dalam batas aman untuk dikonsumsi.
Jumlah bakteri coliform pada sampel yang melebihi batas
maksimum dikarenakan penjualan daging di pasar tradisional kurang
memperhatika aspek sanitasi dan higienis, penjualan daging dilakukan
dalam keadaan terbuka, dan daging disimpan dalam suhu yang tidak dingin
akibatnya akan berdampak pada perkembangan bakteri secara cepat, serta
peralatan yang tidak steril juga menambah kontaminasi pada daging yang
dijual di pasar tradisional. Penjualan daging secara terbuka dapat
menyebabkan konsumen memilih daging dengan memegang secara
langsung sehingga dapat berkontribusi terhadap kontaminasi daging dengan
daging lainnya (Jasmadi et al., 2014)
2. Pemeriksaan Angka Lempeng Bakteri Total (ALTB)
Perhitungan koloni bakteri yang tumbuh pada media NA didapatkan
hasil daging dari pasar Sanglah dan pasar Badung yaitu daging ayam
sebanyak 1,9 x105 CFU/g dan 3,1 x 105 CFU/g daging babi sebanyak 3,1 x
105 CFU/g dan 1,8 x 105 CFU/g, serta pada daging sapi sebanyak 2,8 x 105

2
CFU/g dan 3,6 x 105 CFU/g dan pada daging ikan 2,4 x 10 5 CFU/g dan
1,3 x 105 CFU/g. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) No.7388
Tahun 2009 tentang batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan
untuk Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB) adalah 1 x 10 CFU/g.
Sehingga seluruh sampel daging dari pasar Kreneng dan pasar Badung
sudah sesuai dengan standar dengan memiliki jumlah ALTB di bawah batas
maksimum. Jumlah ALTB dipengaruhi oleh lama penyimpanan daging
sehingga sampel daging yang berasal dari pasar Kreneng dan pasar Badung
termasuk daging segar, hal ini sejalan dengan penelitian dari Besung et al.
(2013) yang mnyatakan bahwa daging yang disimpan selama 0-3 hari
memiliki jumlah ALTB di bawah 1 x 106 CFU/g. Meningkatnya jumlah
ALTB seiring dengan lama penyimpanan, hal ini disebabkan karena bakteri
dalam daging mampu mengadakan pembelahan sel atau berkembang biak.
Perkembangbiakan sel bakteri ini akan meningkat seiring berjalannya
waktu (Al-Qadiri et al., 2008). Makin lama disimpan, maka jumlah bakteri
makin meningkat. Bakteri – bakteri akan membutuhkan waktu yang cukup
untuk tumbuh dan berkembang biak, apabila komponen yang dibutuhkan
cukup tersedia maka bakteri akan berkembang dengan pesat (Al-Qadiri et
al., 2008).

B. Pemeriksaan Kwalitas Produk Olahan Daging


Pemeriksaan daging olahan menggunakan dua sampel yaitu bakso
dan sosis, masing-masing berupa olahan daging ayam, sapi dan babi.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan uji subjektif (warna,bau
dan konsistensi) dan
uji subjektif (pH).
1. Uji Subjetif
Pemeriksaan subjektif produk olahan daging menunjukan bahwa tidak
ditemukan adanya bau amis maupun busuk. Dari hasil pemeriksaan bau
yang didapatkan dari produk olahan tersebut adalah bau khas dari bahan

2
dasarnya yang merupakan daging ayam, sapi an babi, ikan. Terdapat bau
tambahan yang merupakan bau bahan penyedap yang dapat meningkatkan
cita rasa sampel. Pemeriksaan cita rasa juga menunjukan hasil yang berbeda
antara satu produk olahan dan produk lainnya, rasa yang dihasilkan berbeda
sesuai dari bahan tambahan yang terkandung dalam produk tersebut seperti
perasa, bumbu. Warna produk olahan daging juga terlihat berbeda
dikarenakan pemakaian bahan pewarna yang berbeda-beda. Pewarna yang
digunakan bermacam macam seperti pewarna dengan bahan kimia dan
bahan alami yang melalui proses ekstrasi secara kimiawi. Secara umum
hasil dari pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan seluruh produk dalam
keadaan yang baik dan layak untuk dikonsumsi namun perlunya
pengolahan lebih lanjut seperti penggorengan untuk dapat dikonsumsi lebih
layak.
2. Uji Objektif
Pemeriksaan objektif pada produk dilakukan dengan menentukan nilai
pH pada bakso dan sosis yang terbuat dari daging ayam, sapi dan babi. nilai
pH merupakan faktor penting yang harus diketahui dalam pemeriksaan
semua produk pangan olahan khususnya olahan daging. hasil dari
pemeriksaan pH produk olahan daging berkisar antara 6,3 -6,7. pH sosis
babi memiliki nilai terendah yaitu 6,2 sedangkan pada sosis sapi dan ayam
ditemukan pH yang sama yaitu 6,8. Untuk produk olahan bakso pH babi
dan ayam memiliki nilai yang paling rendah yaitu 6,5 sedangkan pH sapi di
angka 6,6. nilai pH pangan menurut SNI (1995) adalah 6-7. sedangkan pH
bakso berkisar antara 5,5 – 7,4 (Bourne 2002). Hal ini menunjukan bahwa
semua sampel masih memenuhi kreteria batasan pH normal. Nilai pH
produk olahan juga dipengaruhi oleh bahan tambahan seperti tepung, nilai
pH dapat turun akibat peningkatan pertumbuhan tepung tapioka, karena
sifat tepung tapioka antara lain adalah dapat meningkatkan daya ikat air.
dimana semakin meningkat penggunaan tapioka maka air yang diikat
produk semakin meningkat, sehingga akan menurunkan kandungan air dari

2
produk tersebut sehingga terjadinya penurunan pH. Selain itu penambahan
bahan pengenyal juga akan menyebabkan pH tinggi hal ini disebabkan
karena NaHCO3 yang ada dalam bahan pengenyal pada saat pengolahan
akan menghasilkan garam NaCO3, air, dan gas CO2 yang pH nya lebih
tinggi (Saigian, 2002). Nilai pH produk olahan juga dipengaruhi oleh
perlakuan yang diberikan selama proses pengolahan. metode pemasakan
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan pH. temperature
pemasakan yang lebih tinggi menyebabkan nilai pH sosis lebih rendah
(Suarjawanta et al., 2016) . Hal tersebut dikarenakan temperature tinggi
menyebabkan berkurangnya konsentrasi hydrogen didalam sosis sehingga
pH sosis menurun. menurut Amany et al (2012), proses pemasakan terjadi
oksidasi minyak atau lemak menjadi hidroperoksida, alcohol, keton, aldehid
dan asam lemak bebas. diantara produk oksidasi tersebut diduga ada yang
bersifat asam yang dapat menyebabkan nilai pH menurun. nilai pH dapat
mempengaruhi lama waktu simpan produk olahan peternakan karena nilai
pH berhubungan terhadap tingkat pertumbuhan mikroorganisme yang dapat
merusak berhubungan terhadap tingkat pertumbuhan mikroorganisme yang
dapat merusak produk.

2
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan kualitas daging dan olahan dagimg dapat


disimpulkan bahwa :
a. Hasil pemeriksaan subjektif pada daging menunjukkan bahwa daging babi
dan ayam yang dibeli dipasar sanglah tidak layak konsumsi karena sudah
berbau busuk sedangkan daging dari pasar badung layak dikonsumsi
b. Hasil pemeriksaan objektif pada daging menunjukkan bahwa daging yang
dibeli dipasar sanglah dan pasar badung layak dikonsumsi
c. Hasil pemeriksaan subjektif dan objektif produk olahan daging yang berasal
dari pasar sanglah dan pasar badung layak untuk dikonsumsi.

5.2 Saran
Saran pada praktikum evaluasi kualitas daging dan produk olahan daging
yaitu agar melakukan sterilisasi alat yang akan digunakan saat uji cemaran mikroba
sehingga hasil yang diperoleh tepat untuk menentukan kelayakan dari sampel daging
dan olahan daging yang diperiksa.

2
DAFTRA PUSTAKA

Agustina, K.K., Sari, P.H., Suada, I.K. 2017. Pengaruh Perendaman pada Infusa
Daun Salam terhadap Kualitas dan Daya Tahan Daging Babi. Universitas
Udayana. Buletin Veteriner Udayana. 9(1):34-41
Al-Qadiri, H.M., Al-Alami, N.I., Lin, M., Al-Holy, M., Cavinato, A.G., dan Rasco,
B.A. 2008. Studying Of The Bacterial Growth Phases Using Fourier
Transform Infrared Spectroscopy And Multivariate Analysis. Department
of Nutrition and Food Technology Faculty of Agriculture, The University
of Jordan Amman 11942, Jordan. Journal of Rapid Methods and
Automation in Microbiology. Vol. 16: 73–89.
Amertaningtyas, D. 2012. Kualitas Daging Sapi Segar di Pasar Tradisional
Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Universitas Brawijaya.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 7(1):42-47
Amertaningtyas, D. 2013. Kualitas Daging Sapi Segar Di Pasar Tradisional
Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Jurnal Ilmu Dan Teknologi
Hasil Ternak. Vol 8(2): 27-31.
Arka, I.B., Wisna, W.B., Okarini, I.A., Swacita, I.B.N, Suada, K. 1998. Penunutun
Praktikum Ilmu Kesehatan daging. Laboratorium Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Denpasar
Arka, I.B., Wisna, W.B., Okarini, I.A., Swacita, I.B.N., dan Suada, K. 1998.
Penuntun Praktikum Ilmu Kesehatan daging. Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Denpasar.
Atma, Yoni. 2016. Angka Lempeng Total (ALT), Angka Paling Mungkin (APM)
Dan Total Kapang Khamir Sebagai Metode Analisis Sederhana Untuk
Menentukan Standar Mikrobiologi Pangan Olahan Posdaya. Jurnal
Teknologi. Vol. 8 (2) : 1-6.
Bahar, B. 2003. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. PT. Gramedia:
Jakarta. Besung, I.N.K., Wulandari, N.M.D.A., dan Swacita, I.B.N. 2013.
Pengaruh Rempah-Rempah dan Lama Penyimpanan Daging Babi
terhadap Angka Lempeng Total Bakteri. Buletin Veteriner Udayana. Vol.
6 (1): 29-34
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan: Hari Purnomo Adiono. UI Press. Jakarta.
Dewi, Anjelina Martine., Swacita, Ida Bagus Ngurah., dan Ni Ketut Suwiti. 2016.
Pengaruh Perbedaan Jenis Otot Dan Lama Penyimpanan Terhadap Nilai
Nutrisi Daging Sapi Bali. Buletin Veteriner Udayana. Vol. 8 (2) : 135-

3
144.
Effendi, S. 2012. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Bandung:
Alfabeta.
Gustia ni, E. 2009. Pengenda lia n Cemara n Mikroba pada Bahan Pangan Asal
Ternak (Daging Dan Susu) Mulai Dari Peternakan sampai dihidangkan.
Jurnal Litbang Pertanian, 28 (3): 96-100.
Haq, A.N., Dian, S., Purnama, E.S. 2015. Kualitas Fisik Daging dari Pasar
Tradisional di Bandar Lampung. Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah
Peternakan Terpadu. 3(3):98-103
Heri Warsito, Rindiani, F.N., 2015. Ilmu Bahan Makanan dasar I., Yogyakarta: Nuha
Medika.
Ide, P., 2007. Seri Diet Korektif Diet Atkins, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Lawrie, R. A., 1995. Ilmu Daging. Penerbit Universitas Indonesia. UI-Press. Jakarta
Setiawan, S.Y., Swacita, I.B.N., Suada, I.K. 2017. Kualitas Daging Sapi di Rumah
Potong Hewan Pesanggaran Ditinjau dari Uji pH dan Daya Ikat Air. Buletin
Veteriner Udayana. Vol 9 (1): 16-21.
Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging IV., Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Soeparno. 1992. Teknologi Pengawasan Daging. Fakultas Teknologi Pertanian
bogor, Bogor
Soeparno. Indratiningsih, S. dan Rahastuti. 1998. Dasar Teknologi Hasil Ternak.
Jurusan Teknologi hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Uniersitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Soeparno. Indratiningsih, S. dan Rahastuti. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. UGM-
Press, Yogyakarta.
Suardana, I. W. dan Swacita, I. B. N. 2009. Higiene Makanan. Denpasar: Udayana
University Press.
Winarno, F.G 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Greamedia Pustaka Utama.

3
LAMPIRAN

Lampiran 1 : Pemeriksaan Subjektif (Pancaindra)

Lampiran 2: Penanaman pada media EMBA

3
Lampiran 3: Penanaman pada media NA

Lampiran 4 : Pemeriksaan pH daging

Anda mungkin juga menyukai