Anda di halaman 1dari 26

Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No.

2), Maret 2021, 139-164

TINJAUAN PUSTAKA: PATOGENESIS DAN DIAGNOSIS


SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS

May Fanny Tanzilia1*, Betty Agustina Tambunan2, Desak Nyoman Surya


Suameitria Dewi3
1
Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Ciputra
2
Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
3
Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Ciputra

Submitted: September 2020 |Accepted: December 2020 |Published: March 2021

ABSTRAK

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis dengan manifestasi klinis
yang luas. Perjalanan penyakit dan prognosis dari SLE pun beragam. Faktor lingkungan, imunologi,
hormonal, dan genetik diketahui memegang peranan dalam perkembangan SLE. Penyakit SLE lebih banyak
menyerang wanita terutama usia produktif. Patogenesis SLE dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi
faktor genetik, hormonal, dan lingkungan terutama sinar UV. Patogenesis SLE mengikutsertakan berbagai
sel dan molekul yang berperan pada proses apoptosis, respons imun innate dan adaptif. Kerusakan
multiorgan terjadi akibat deposisi autoantibodi dan kompleks imun. Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan
manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium menurut American College of Rheumatology / European
League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2019. Terapi SLE bersifat individual berdasarkan manifestasi
klinis yang dialami pasien, aktivitas penyakit dan derajat keparahan penyakit serta komorbiditas. Prognosis
SLE bervariasi mulai dari ringan hingga berkembang cepat menjadi berat disertai kegagalan multiorgan,
bahkan kematian. Studi pustaka non-sistematik ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih
mendalam mengenai patogenesis dan cara menegakkan diagnosis SLE sehingga dapat menjadi dasar dalam
pengembangan penelitian mengenai SLE di masa yang akan datang.

Kata Kunci: lupus, SLE, autoimun

ABSTRACT

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a chronic autoimmune inflammatory disease with a wide range of
clinical manifestations and disease course and also a varied prognosis. Environmental, immunological,
hormonal, and genetic factors have a role in the development of SLE. Women had higher risk to get SLE
rather than man, especially in productive age. The SLE pathogenesis influenced by various factors such as
genetical, hormonal, and environmental factor especially UV rays. SLE pathogenesis involves many
different crucial cells and molecules for apoptosis process, innate, and adaptive immune responses.
Multiorgan damage occurs due to deposition of autoantibody and immune complexes. SLE diagnosis is
based on clinical manifestations and laboratory tests based on ACR/EULAR 2019. SLE therapy is
individualized based on clinical manifestations experienced by the patient, disease activity and the severity
of the disease and co-morbid. The prognosis for SLE varies from mild to rapidly progressing into severe
with multi-organ failure and even death. The intention of this non-systematic literature study is to offer an
in-depth information about pathogenesis and ways to diagnosis SLE so it can be the foundation in future
research regarding SLE.

Keywords: lupus, SLE, autoimmune

Korespondesi: may.fanny@ciputra.ac.id

139
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

Pendahuluan SLE tidak mudah untuk dilakukan


Penyakit sistemik lupus karena perjalanan penyakit dan juga
eritematosus (SLE) adalah penyakit manifestasi klinis yang beragam serta
inflamasi autoimun kronis dengan tingkat kematian yang tinggi. SLE pada
manifestasi klinis yang tidak sempit serta tahap awal sering kali disertai penyakit
perjalanan penyakit dan prognosis yang lain seperti, anemia, dermatitis, dan
beragam.1-3 Istilah ‘lupus’ (bahasa Latin rheumatoid arthritis. Penentuan
untuk wolf) pertama kali digunakan diagnosis penyakit SLE menjadi suatu
untuk mendeskripsikan lesi kulit erosif hal yang sangat penting. Diagnosis SLE
(‘wolf’s bite). Moriz Kaposi adalah ditegakkan berdasarkan manifestasi
orang yang pertama kali klinis dan pemeriksaan laboratorium
memperkenalkan lupus sebagai penyakit seperti darah lengkap, urine lengkap, faal
sistemik dengan berbagai macam ginjal, faal hati dan pemeriksaan serologi
manifestasi klinis. Penyakit SLE untuk menentukan produksi autoantibodi
ditandai dengan self-tolerance yang yang secara umum akan meningkat pada
hilang akibat fungsi imunologik yang SLE.1
abnormal dan produksi autoantibodi Autoantibodi pada pasien SLE
berlebih, diikuti dengan terbentuknya telah berhasil ditemukan ketika
kompleks imun yang akan berdampak fenomena lupus dideskripsikan oleh
pada jaringan sehat.1,4 Mekanisme Hargraves et al pada tahun 1948. Tahun
etiologi SLE belum seluruhnya 1957, antibodi terhadap DNA berhasil
diketahui. Ada dugaan bahwa faktor diidentifikasi. Tahun 1966, Tan dan
seperti genetik, hormonal, imunologik Kunkel menemukan autoantibodi
bahkan lingkungan memiliki peran terhadap antigen yang berbeda dari DNA
dalam patogenesis SLE.5 dan dideskripsikan adanya antibodi anti-
Wanita memiliki risiko untuk Smith (Sm). Sherer et al pada tahun 2004
mengalami SLE yang lebih besar melaporkan ada 116 autoantibodi yang
dibanding pria, terutama wanita usia telah dapat dideskripsikan pada pasien
produktif. Perbandingan risiko wanita SLE. Autoantibodi terhadap komponen
dan laki-laki untuk terkena SLE adalah inti sel memegang peran yang sangat
9-14:1. Saat ini, belum ada data penting dalam menentukan diagnosis
epidemiologi SLE yang mencakup dan patogenesis SLE.4
seluruh daerah di Indonesia.1,6 Diagnosis

140
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

Tujuan pembuatan tinjauan Gen Human Leucocyte Antigen


pustaka non sistematik ini untuk (HLA) kelas II berhubungan dengan
memberikan informasi lebih mendalam beberapa autoantibodi seperti anti-Smith
mengenai patogenesis dan cara (Sm), anti Sjögren's-syndrome-related
menegakkan diagnosis SLE terutama antigen A (Anti-SSA) autoantibodi yang
berkaitan dengan pemeriksaan juga disebut anti-Ro, anti-La (SS-B), anti
laboratorium yang diperlukan. terhadap ribonucleoprotein (anti-RNP)
dan anti-double stranded DNA (anti-
Etiologi dsDNA). Gen non-HLA dilaporkan juga
Mekanisme etiologi SLE belum berhubungan dengan SLE. Gen tersebut
seluruhnya diketahui, namun antara lain mannose binding protein
berdasarkan penelitian yang dilakukan (MBP), tumor necrosis factor α, reseptor
selama beberapa dekade, diketahui sel T, dan lain-lain. Beberapa gen
bahwa terjadinya SLE ada hubungannya polimorfik memiliki risiko tertentu
dengan berbagai faktor seperti faktor terhadap pasien SLE, misal
genetik, hormonal, imunologik dan polimorfisme FcγRIIA berhubungan
lingkungan.5 Faktor genetik diduga dengan kejadian nefritis pada ras
memengaruhi kerentanan dan African, American dan Korean (Tabel
perkembangan maupun tingkat 1).7 Risiko SLE juga dipengaruhi pula
keparahan penyakit SLE. Sejumlah oleh efek epigenetik seperti metilasi
kombinasi ekspresi varian gen DNA dan modifikasi post-translational
berhubungan dengan manifestasi klinis histon yang dapat disebabkan karena
SLE, misal komponen komplemen C1q perubahan lingkungan maupun
mengeliminasi buangan sel nekrotik diturunkan (inherited).2
(bahan apoptotik) pada individu sehat, Mekanisme hormon terhadap
namun pada pasien SLE, defisiensi perkembangan SLE tidak banyak
komponen C1q menimbulkan ekspresi diketahui. Estrogen berhubungan dengan
penyakit. Contoh lain adalah STAT4 stimulasi sel T dan sel B, makrofag serta
yang merupakan faktor genetik yang sitokin (Tabel 2). Progesteron
memiliki risiko untuk terjadinya mempengaruhi produksi autoantibodi.
rheumatoid arthritis dan SLE, Kadar prolaktin yang meningkat
berhubungan dengan SLE berat.2 berhubungan dengan flares SLE.5,7
Faktor imunologik terjadi karena

141
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

hilangnya self-tolerance pasien SLE. pada pasien SLE menyebabkan


Ketidakseimbangan proses fagositosis clearance sel apoptotik dan kompleks
imun yang tidak sempurna. Aktivitas sel T juga akan terstimulasi
Pembentukan autoantibodi dan sehingga menambah produksi antibodi.2
kompleks imun (pada kombinasi dengan Virus Epstein-Barr (Epstein-Barr
antigen) menimbulkan inflamasi dan Virus- EBV) berkaitan dengan kejadian
kerusakan jaringan.2,7 SLE pada anak. Pasien SLE didapatkan
Faktor lingkungan meliputi obat memiliki kadar antibodi paling tinggi
demetilasi, infeksi virus, virus endogen terhadap EBV. Virus Epstein-Barr
atau elemen seperti viral serta sinar berinteraksi dengan sel B dan memicu
ultraviolet (sinar UV).2,8 Sinar UV plasmacytoid dendritic cells (pDCs)
merupakan faktor lingkungan yang untuk memproduksi interferon α (IFN-α)
paling sering menyebabkan eksaserbasi sehingga peningkatan IFN-α pada SLE
SLE. Sinar UV akan menstimulasi kemungkinan besar berhubungan dengan
keratinosit sehingga menyebabkan infeksi virus dalam jangka panjang yang
stimulasi sel B dan produksi antibodi. tidak terkontrol.2

Tabel 1. Keterlibatan Gen pada SLE7


Gen HLA
DR2, DR3 (relative risk 2–5)
DR2, DR3, DR7, DQw1, DQw2, DQA1, DQB1, B8 (anti-Ro)
DR3, DR8, DRw12 (anti-La)
DR3, DQw2, DQA1, DQB1, B8 (anti-Ro dan anti-La)
DR2, DR3, DR7, DQB1 (anti-DNA)
DR2, DR4, DQw5, DQw8, DQA1, DQB1 (anti-U1 ribonuclear protein)
DR2, DR4, DR7, DQw6, B61 (anti-Sm)
DR4, DR7, DQ6, DQ7, DQw7, DQw8, DQw9 (antikardiolipin atau lupus antikoagulan)
Gen komplemen (C2, C4, C1q)
Gen Non-HLA
Mannose binding lectin polymorphisms
TNF-α (Tumour necrosis factor α)
Reseptor sel T
IL-6 (Interleukin 6)
CR1
Imunoglobulin Gm dan Km
FcgRIIA (IgG Fc receptor)
FcgRIIIA (IgG Fc receptor)
PARP (poly-ADP ribose polymerase), Heat shock protein 70, Humhr 3005

Lebih dari 100 macam obat seperti belum diketahui mekanismenya. Hal ini
antivirus dan agen biologik dilaporkan dikenal dengan istilah drug-induced
dapat memicu penyakit SLE, namun lupus (DIL). Ada kemungkinan faktor

142
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

genetik berperan pada beberapa obat lymphocyte function-associated antigen


dengan mekanisme metabolisme secara 1 (LFA-1) dalam jumlah yang besar dan
asetilasi seperti procainamide dan kemudian akan memicu otoreaktivitas.2,5
hydralazine. Obat-obat tersebut akan Diketahui pula bahwa merokok, silika
mempengaruhi ekspresi gen pada sel T dan beberapa produk tata rias rambut
CD4+ dengan cara menghambat metilasi dapat memicu lupus.2,7
DNA dan menginduksi ekspresi

Tabel 2. Efek Hormon Estrogen terhadap Fungsi Imun7


Efek Tipe Sel Dosis
Sel B
• Meningkatkan diferensiasi sel B dan produksi Ig in vitro termasuk anti- • Fisiologik
dsDNA (pasien dengan SLE dan individu sehat)
• Menurunkan apoptosis PBMC in vitro dan menurunkan produksi TNF- • Fisiologik
α (pasien SLE)
Sel T
• Menurunkan respons proliferatif terhadap mitogen dan antigen • Tinggi
• Menurunkan ekspresi IL-2R dan produksi IL-2 pada sel T darah perifer • Tinggi
yang teraktivasi (individu sehat)
• Meningkatkan kadar calcineurin mRNA pada sel T yang dikultur • Tergantung dosis
(pasien SLE)
• Meningkatkan ekspresi CD40L sel T darah perifer (pasien SLE) • Fisiologik
Monosit
• Meningkatkan produksi IL-10 (pasien SLE dan individu sehat) • Fisiologik
• Meningkatkan pelepasan cNOS • Fisiologik
Lain-lain
• Meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada sel endotel • Tinggi
CD40L : CD40 ligand; cNOS : cytoplasmic Nitric Oxide Synthase; dsDNA : double stranded DNA; Ig :
Immunoglobulin; IL : interleukin; IL-2R : Interleukin-2 receptor; PBMC : Peripheral Blood Mononuclear
Cells; TNF-α : Tumor Necrosis Factor-α
yang cukup besar yaitu 52 kasus per
Epidemiologi 100.000 penduduk dengan angka
Kejadian SLE bervariasi di antara
kelompok etnik, lokasi geografis, jenis
kelamin dan usia. Prevalensi SLE pada kejadian sebesar 5,1 per 100.000
populasi umum berkisar antara 20-150 penduduk. Prevalensi SLE di antara
kasus per 100.000 penduduk. Ras pasien Kaukasia di Rochester,
African-Americans, Asians, Hispanics Minnesota, Amerika Serikat sekitar 40
dan Native Americans adalah kelompok kasus per 100.000 orang sedangkan pada
2
ras yang paling banyak menderita SLE. pasien Hispanik di Nogales, Arizona,
Amerika memiliki kasus prevalensi SLE Amerika Serikat adalah 100 kasus per
100.000 orang. Belum ada data

143
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

epidemiologik yang mencakup semua Penyakit SLE dapat terjadi pada


wilayah di Indonesia.1,5,6 wanita maupun laki-laki di segala usia,
Berdasarkan hasil survei di namun lebih banyak menyerang pada
masyarakat yang dilakukan oleh Kalim perempuan usia produktif. Hal ini
et al menunjukkan bahwa prevalensi mungkin berkaitan dengan adanya
SLE di Indonesia sebesar 0,5% dari hormon estrogen. Wanita dengan
seluruh total populasi.9 Tahun 2016, menarche dini atau menggunakan
Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) kontrasepsi oral maupun terapi hormon
Online melaporkan sebanyak 2.166 memiliki risiko lebih besar terjadi SLE.
pasien rawat inap di-diagnosa mengidap Sindroma Klinifelter yang ditandai
SLE, dan 550 di antaranya tidak dapat kelebihan kromosom X pada laki-laki
terselamatkan. Jumlah kasus SLE dan akan meningkatkan kejadian SLE. Hal
juga jumlah kematian akibat SLE ini mendukung pernyataan mengenai
menunjukkan peningkatan hingga dua adanya hubungan antara patogenesis
kali lipat sejak tahun 2014 hingga 2016. SLE dengan hormon.5,7
Sekitar 25% dari pasien SLE yang Laki-laki dengan SLE lebih jarang
menjalani rawat inap pada tahun 2016 mengeluhkan fotosensitif dibanding
meninggal dunia. Angka kematian yang perempuan, akan tetapi lebih banyak
cenderung makin meningkat tersebut menderita serositis.2,8 Penyakit SLE
perlu mendapat perhatian khusus.9 pada laki-laki lebih banyak terdiagnosis
Tingkat keberlangsungan hidup pada usia renta dan memiliki mortalitas
dari penderita SLE berkisar antara 85% 1 tahun lebih tinggi daripada perempuan.
dalam 10 tahun pertama dan 65% setelah Penyakit SLE menyerang usia antara 16
20 tahun menderita SLE.6 Angka dan 55 tahun sebesar 65%, 20% terjadi
mortalitas pasien akibat SLE cukup sebelum usia 16 tahun dan 15% sesudah
tinggi, yaitu hampir 5 kali lebih tinggi usia 55 tahun.2
dibandingkan populasi umum.1 Dekade
terakhir menunjukkan adanya penurunan Patogenesis
angka mortalitas SLE karena deteksi dini Penyakit SLE bersifat
yang lebih baik dan kemajuan terapi. multifaktorial karena faktor risikonya
Rerata 10-year survival rate saat ini beragam meliputi faktor genetik,
sebesar 90%, sedangkan tiga dekade lalu hormonal serta lingkungan, terutama
sebesar 76%.2 sinar UV. Tahap awal penyakit (fase

144
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

preklinik) SLE sering kali menyerupai dengan manifestasi klinis yang makin
penyakit lain. beragam dan bersifat multiorgan. Tahap
Pembentukan dan deposisi akhir perjalanan penyakit SLE umumnya
kompleks imun yang kian berkembang diakibatkan komplikasi jangka panjang
menyebabkan perjalanan penyakit SLE SLE yang menyebabkan kerusakan
memasuki tahap yang lebih lanjut organ tubuh (Gambar 1).7

Gambar 1. Perjalanan penyakit SLE.2 Patogenesis SLE dipengaruhi oleh faktor


genetik dan lingkungan (seperti sinar UV). Perjalanan penyakit SLE dimulai dengan
fase preklinik yang ditandai pembentukan autoantibodi, kemudian berlanjut pada fase
klinik yang lebih spesifik. Selama periode ini dapat terjadi flares dan kerusakan organ.
Kerusakan pada tahap awal berhubungan dengan penyakit sedangkan kerusakan pada
tahap yang lebih lanjut disebabkan komplikasi penyakit yang telah berlangsung kronik
serta akibat terapi imunosupresif.
Keterangan: SLICC= Systemic Lupus International Collaborating Clinics.
Antigen menyebabkan stimulasi
Karakteristik utama SLE ditandai sel T dan sel B yang berkontribusi
dengan munculnya respons imun terhadap clearance sel apoptotik yang
terhadap antigen endogen nuklear.2
Kerusakan berbagai organ tubuh pada tidak sempurna. Selama proses
penyakit SLE terjadi akibat apoptosis, ada potongan-potongan bahan
pembentukan dan deposisi autoantibodi seluler yang terbentuk pada permukaan
dan kompleks imun. Sel B yang sel yang mati. Normalnya, antigen tidak
hiperaktif berasal dari stimulasi sel T dan ada pada permukaan sel akan tetapi pada
antigen yang akan meningkatkan SLE didapatkan antigen pada permukaan
produksi antibodi terhadap antigen yang sel. Nukleosom dan fosfolipid anionik
terpapar pada permukaan sel apoptotik.5 adalah contoh antigen yang ditemukan
pada pasien SLE, antigen tersebut

145
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

berpotensi memicu respons imun. ketidakseimbangan fungsi sel fagositik


Clearance sel apoptotik yang tidak (Gambar 2).5
optimal pada pasien SLE disebabkan
Semua jalur pada SLE endositosis kompleks imun atau material
menyebabkan produksi interferon α yang mengandung asam nukleat dan
(IFN-α) yang diperantarai oleh asam terikat pada reseptor endosomal dari
nukleat endogen. Peningkatan produksi sistem imun innate seperti TLRs.
autoantigen selama apoptosis (secara Penyakit SLE pada tahap awal,
spontan maupun dipicu oleh sinar UV), autoantibodi dan kompleks imun belum
penurunan clearance dan deregulasi terbentuk, terdapat proses pelepasan
berperan penting dalam inisiasi respons peptida antimikroba oleh jaringan yang
autoimun. Nukleosom mengandung rusak seperti LL37 dan neutrophil
ligan endogen berbahaya yang dapat extracellular traps. Kedua produk yang
terikat pada reseptor pathogen- dilepas tersebut mungkin akan terikat
associated moleculer pattern, bergabung dengan asam nukleat sehingga mampu
dengan apoptotic blebs yang kemudian menghambat degradasi dan
akan mengaktivasi sel dendritik dan sel memfasilitasi endositosisnya serta
B serta produksi IFN dan autoantibodi.2 stimulasi TLR-7/9 di plasmasitoid sel
Reseptor permukaan sel seperti dendritik.2
BCR dan FcRIIa memfasilitasi

Gambar 2. Patogenesis penyakit SLE.2

146
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

Peningkatan jumlah asam nukleat autoantigen akan berinteraksi dan


endogen yang berkaitan dengan memproduksi autoantibodi.5
apoptosis menstimulasi produksi IFN
dan autoimun dengan pemecahan self- Diagnosis
tolerance melalui aktivasi dan maturasi Periode remisi dan episode
sel dendritik konvensional (mieloid). Sel serangan akut dengan manifestasi klinis
dendritik imatur menyebabkan toleransi beragam menjadi penanda dari SLE.6
sedangkan sel dendritik matur yang Diagnosis SLE terutama berdasarkan
teraktivasi menyebabkan otoreaktif. manifestasi klinis dan pemeriksaan
Produksi autoantibodi oleh sel B pada laboratorium.10 Manifestasi klinis SLE
SLE dikendalikan oleh availabilitas pada tahap awal seperti lemah badan,
antigen endogen dan sangat bergantung berat badan turun, demam
terhadap bantuan sel T yang diperantai berkepanjangan sering membuat
oleh interaksi permukaan sel diagnosis SLE tidak dapat ditegakkan
(CD40L/CD40) dan sitokin (IL21). 5 dan didiagnosis dengan penyakit lain.
Komples imun yang mengandung Setelah beberapa tahun, manifestasi
kromatin menstimulasi sel B melalui klinis menjadi lebih beragam namun
ikatan silang BCR/TLR.2 Penyakit SLE lebih spesifik dan dapat berdampak pada
berkembang ketika limfosit T teraktivasi semua organ.2
oleh antigen yang dipresentasikan oleh Diagnosis SLE mengacu pada
Antigen Presenting Cells (APC) melalui kriteria American Rheumatology
Major Histocompatibility Complex Association (ARA) 1982 yang kemudian
(MHC), kemudian limfosit T yang direvisi pada tahun 1997 dengan
teraktivasi tersebut akan melepaskan memasukkan immunological disorder
sitokin, inflamasi dan menstimulasi sel sebagai salah satu kriteria. Penegakkan
B. Stimulasi sel B dan produksi diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11
autoantibodi imunoglobulin G (IgG) kriteria (Tabel 3). Mengingat manifestasi
dapat menyebabkan kerusakan jaringan. klinis dan perjalanan penyakit SLE yang
Sel T dan sel B yang spesifik terhadap dinamis serta pada kondisi tertentu
seperti lupus nefritis, neuropsikiatrik

147
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

lupus (NPSLE) maka kriteria tersebut pengamatan klinis. Bila hasil


belum tentu dapat terpenuhi.1,2 Tahun pemeriksaan ANA negatif maka
2019, American College of kemungkinan bukan SLE. Pengamatan
Rheumatology (ACR) dan European jangka panjang diperlukan apabila tidak
League Against Rheumatism (EULAR) ada manifestasi klinis namun hasil
mengeluarkan rekomendasi diagnosis pemeriksaan ANA positif.1
terbaru untuk SLE (Gambar 3).11 Berdasarkan ACR/EULAR 2019,
Meskipun kriteria ARA dipakai entry criterion (kriteria entri)
untuk membantu menegakkan diagnosis menggunakan titer ANA ≥ 1:80 pada sel
SLE, namun memiliki beberapa HEp-2 atau tes ekuivalen lain minimal
keterbatasan. Kriteria ARA diperiksa positif satu kali memiliki
dikembangkan untuk membuat performa yang lebih baik karena
klasifikasi pasien sesuai dengan sensitivitas ANA yang tinggi (98%)
perjalanan penyakit yang kronik sebagai pemeriksaan skrining. Hal
sehingga mungkin saja mengeksklusi tersebut berarti pasien dengan ANA
pasien yang masih pada tahap awal negatif persisten tidak dapat dimasukkan
penyakit maupun yang terbatas pada dalam kriteria SLE. Apabila ANA
beberapa organ saja. Sensitivitas kriteria positif, maka diagnosis ditegakkan
ARA pada pasien yang masih berada dengan melihat kriteria tambahan
pada tahap awal penyakit sangat rendah. (additive criteria) yang mungkin
Kelemahan yang lain adalah beberapa ditemukan pada pasien. Klasifikasi SLE
sistem organ nampak terlalu banyak membutuhkan minimal satu kriteria
perwakilan kriteria, misal pada sistem klinik dan ≥10 poin. Kriteria tambahan
mukokutaneus, dipresentasikan dalam 4 tersebut meliputi demam, kelainan
kriteria (fotosensitif, malar rash, discoid hematologi (leukopenia,
rash dan ulkus oral).2 trombositopenia, hemolisis autoimun),
Sensitivitas dari kriteria diagnosis neuropsikiatrik (delirium, psikosis,
SLE sebesar 85% dengan spesifisitas kejang), kelainan mukokutaneus,
95% apabila dijumpai ≥ 4 kriteria (Tabel serosal, kelainan muskuloskeletal
3). Apabila hanya ditemui 3 kriteria dan (keterlibatan sendi), gangguan ginjal,
salah satu kriteria adalah antinuclear antibodi antifosfolipid positif, protein
antibody (ANA) positif maka diagnosis komplemen, dan antibodi spesifik SLE
SLE mungkin sangat bergantung pada

148
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

(Gambar 3). Definisi dari tiap kriteria


dapat dilihat pada Tabel 4.11

Tabel 3. Kriteria SLE Berdasarkan American Rheumatology Association (ARA) Tahun


19971
No Kriteria Batasan
1. Ruam malar (Malar rash) Eritema yang menetap, rata atau menonjol pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial
2. Ruam diskoid (Discoid rash) Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular.
SLE stadium lanjut bisa didapatkan parut atrofik
3. Fotosensitifitas Ruam kulit akibat reaksi yang tidak normal terhadap sinar matahari
4. Ulkus mulut / nasofaring Ulkus mulut atau nasofaring yang seringkali tidak menimbulkan
(Oral/nasopharyngeal ulcers) rasa nyeri
5. Artritis Artritis non erosif, melibatkan ≥ 2 sendi perifer yang ditandai
dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi
6. Serositis :
- Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub atau efusi pleura
Dapat dibuktikan dari rekaman elektrokardiografi (EKG) atau
- Perikarditis pericardial friction rub atau didapatkan efusi perikardium
7. Gangguan renal a. Proteinuria persisten > 0,5 gram/24 jam atau > 3+ bila
(Renal disorder) dilakukan pemeriksaan semikuantitatif
b. Silinder seluler/ Cellular casts (silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubuler atau campuran)
8. Gangguan neurologik a. Terdapat kejang yang tidak disebabkan karena obat-obatan atau
(Neurological disorder) gangguan metabolik seperti uremia, ketoasidosis atau
ketidakseimbangan elektrolit
b. Psikosis yang bukan disebabkan karena obat-obatan maupun
gangguan metabolik
9. Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis
(Hematological disorder) b. Leukopenia (< 4.000/mm3) pada ≥ 2 kali pemeriksaan
c. Limfopenia (< 1.500/mm3) pada ≥ 2 kali pemeriksaan
d. Trombositopenia (< 100.000mm3) yang bukan disebabkan
karena obat-obatan
10. Gangguan imunologik a. Anti-DNA : Antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
(Immunological disorder) tidak normal
b. Anti-SM : Didapatkan antibodi terhadap antigen nuklear Sm
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid berdasarkan :
1. Kadar serum antibodi antikardiolipin (IgG / IgM) tidak
normal
2. Hasil pemeriksaan lupus antikoagulan positif (metode
standard)
3. Pemeriksaan serologi sifilis memberikan hasil positif
palsu setidaknya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan
pemeriksaan imobilisasi Treponema pallidum atau
pemeriksaan fluoresensi absorpsi antibodi treponema
11. Antibodi antinuklear Titer antibodi antinuklear yang tidak normal dengan pemeriksaan
(Antinuclear antibody - ANA) imunofluoresensi atau yang sederajat pada tiap waktu perjalanan
positif penyakit tanpa ada keterlibatan obat yang berhubungan dengan
sindroma lupus yang diinduksi obat

Gejala konstitusional terjadi pada manifestasi pada kulit, 16-38 %


sebagian besar (50-100%) pasien SLE. mengalami kelainan pada ginjal, 36%
Sebanyak 73% pasien SLE mengalami pasien mengalami kelainan hematologik

149
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

yang meliputi anemia, trombositopenia, muskuloskeletal, 12-21% mengalami


leukopenia. Sebanyak 62-67% pasien manifestasi klinis pada sistem neuro
SLE bermanifestasi pada sistem (Tabel 5).10

Lesi mukokutaneus umum terjadi menunjukkan pengelompokan


pada SLE, meliputi lesi spesifik maupun autoantigen pada permukaan sel
non spesifik (Tabel 6). Ruam klasik pada keratinosit yang di-kultur dengan
SLE (malar rash/ butterfly rash) nampak perubahan apoptosis sehubungan dengan
eritematus yang muncul secara akut, lesi iradiasi sinar UV. Autoantigen tersebut
meninggi, gatal atau nyeri, terdistribusi terdiri dari dua bentuk, bagian yang lebih
di area malar, sering di-presipitasi kecil adalah Ro/SSA, kalretikulin,
paparan sinar matahari.2 Iradiasi sinar ribosom dan retikulum endoplasmik
UV juga diketahui menyebabkan sedangkan bagian yang lebih besar
pembentukan molekul oleh sel terdiri dari anti Sjögren's-syndrome-
epidermal dan dermal yang berbeda. related antigen A (Anti-SSA)
Molekul tersebut memiliki kemampuan autoantibodi yang juga disebut anti-Ro
untuk meningkatkan prostaglandin E2, (Ro/SSA), La/SSB dan nukleosom
TNF-α, reactive oxygen species (ROS), DNA. Konsentrasi autoantigen yang
IL-1, intercellular adhesion molecule-1 terlokalisir dapat menghilangkan self
dan menurunkan proses inflamasi (IL- tolerance dan menyebabkan
10, antagonis reseptor IL-1). Regulasi autoimunitas.
genetik penting dalam menginduksi
molekul-molekul tersebut, oleh karena
itu diduga polimorfisme genetik
memiliki peran penting pada
fotosensitifitas SLE.
Mekanisme fotosensitif pada SLE
juga dapat disebabkan apoptosis
keratinosit yang diinduksi sinar UV.
Casciola-Rosen et al. (1994)

150
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

Kriteria entri (entry criterion)


Titer ANA ≥ 1:80 pada sel HEp-2 atau tes ekuivalen lain minimal diperiksa positif 1 kali. Sangat
direkomendasikan pemeriksaan menggunakan metode immunofluoresens pada sel Hep-2 atau fase
padat ANA screening immunoassay dengan performa tes yang ekuivalen.

Bila tidak ada, tidak diklasifikasikan sebagai SLE


Bila ada, ditambahkan kriteria tambahan (additive criteria)

Kriteria tambahan (additive criteria)


Poin pada kriteria tidak dihitung apabila terdapat penjelasan lain yang lebih menyerupai dibanding
SLE. Munculnya kriteria minimal 1 kali dinyatakan cukup. Klasifikasi SLE membutuhkan minimal
1 kriteria klinik dan ≥ 10 poin. Kriteria tidak perlu muncul secara simultan. Dalam setiap domain,
hanya kriteria dengan bobot nilai tertinggi yang dihitung terhadap skor total.
Domain klinik dan kriteria Bobot nilai Domain imunologi dan kriteria Bobot nilai
Konstitusional Antibodi antifosfolipid
Demam 2 Antibodi anti kardiolipin atau
Hematologik Antibodi anti-β2GP1 atau
Leukopenia 3 Lupus antikoagulan 2
Trombositopenia 4 Protein komplemen
Hemolisis autoimun 4 C3 rendah atau C4 rendah 3
Neuropsikiatrik C3 rendah dan C4 rendah 4
Delirium 2 Antibodi spesifik SLE
Psikosis 3 Antibodi anti ds-DNA
Kejang 5 Antibodi anti Smith (Sm) 6
Mukokutaneus
Non scarring alopecia 2
Oral ulcers 2
Kutaneus subakut atau 4
lupus discoid
Lupus kutaneus akut 6
Serosal
Efusi pleura atau 5
pericardial
Perikarditis akut 6
Muskuloskeletal
Keterlibatan sendi 6
Ginjal
Proteinuria > 0,5 g/24 jam 4
Biopsi renal kelas II atau 8
lupus nefritis V
Biopsi renal kelas III atau 10
lupus nefritis IV
Skor total

Klasifikasi SLE dengan skor total ≥10 apabila kriteria entri (entry criterion) terpenuhi
Gambar 3. Kriteria SLE berdasarkan ACR / EULAR 201911
151
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

Tabel 4. Definisi kriteria SLE berdasarkan ACR / EULAR 201911

Kriteria Definisi
Antibodi antinuklear (ANA) Titer ANA ≥ 1:80 pada sel HEp-2 atau tes ekuivalen lain
minimal diperiksa positif 1 kali. Sangat direkomendasikan
pemeriksaan menggunakan metode immunofluoresens
pada sel Hep-2 atau fase padat ANA screening
immunoassay dengan performa tes yang ekuivalen
Demam Suhu > 38,3°C
Leukopenia Jumlah sel darah putih < 4.000 / mm3
Trombositopenia Jumlah trombosit < 100.000 / mm3
Hemolitik autoimun Adanya tanda hemolisis, seperti retikulositosis,
haptoglobin rendah, peningkatan bilirubin indirek,
peningkatan kadar LDH, dan tes antiglobulin direk (Direct
Coombs test) positif
Delirium Ditandai dengan:
1. Perubahan kesadaran atau derajat bangun dengan
berkurangnya kemampuan untuk fokus,
2. Perkembangan gejala dalam hitungan jam sampai
<2 hari,
3. Gejala berfluktuasi seiring hari,
4. satu diantara:
o Perubahan akut / subakut pada kognisi
(contoh defisit memori atau disorientasi), atau
o Perubahan perilaku, mood, atau afek (misal
gelisah, terbalik siklus tidur/bangun)
Psikosis Ditandai oleh:
1. Delusi dan / atau halusinasi tanpa tilikan, dan
2. Tidak adanya delirium
Kejang Kejang umum primer atau parsial/demam fokal
Non scarring alopecia Tampak oleh pemeriksa adanya kerontokan rambut namun
tidak disertai adanya jaringan parut di kulit
Oral ulcers Tampak adanya ulkus mulut yang terobservasi oleh
pemeriksa
Kutaneus subakut atau lupus diskoid • Adanya lupus kutaneus subakut:
o Erupsi kulit annular atau papukoskuamosa
(psoriasiformis), biasanya sesuai di tempat pajanan
sinar matahari
o Jika dilakukan biopsi perubahan yang harus tampak
yaitu dematitis vakuolar interfase yang disertai
dengan infiltrasi limfohistiosit perivaskular, sering
kali ada disertai dermal mucin
• ATAU
• Adanya lupus diskoid:
o Lesi kulit eritematosa-violaceous (merah
keunguan) dengan perubahan sekunder berupa
parut atrofi, dispigmentasi, sering kali dengan
hiperkeratosis folikuler sehingga menyebabkan
kebotakan akibat adanya jaringan parut
o Jika dilakukan biopsi kulit perubahan yang harus
tampak berupa dermatitis vakuolar yang terdiri dari
infiltrat limfohistiosit perivaskular atau
periapendik. Tampak pada kulit kepala adanya
sumbatan keratin folikuler. Pada lesi lama, tampak
deposit mucin
Lupus kutaneus akut • Malar rash atau lesi mukopapular generalisata

152
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

• Jika dilakukan biopsi kulit perubahan yang harus


tamak adalah dematitis vakuolar interfase yang disertai
dengan infiltrasi limfohistiosit perivaskular, sering kali
ada disertai dermal mucin. Dapat ditemukan adanya
infiltrat neutrofil perivaskuler pada lesi yang baru
Efusi pleura atau perikardial Bukti radiologis (USG, sinar-X, CT-scan, atau MRI) baik
pleura, perikardial, atau keduanya
Perikarditis akut ≥ 2 dari:
• Nyeri perikadia (umunya nyeri tajam, diperburuk
dengan inspirasi, membaik dengan sedikit
membungkuk ke depan)
• Pericardial rub
• EKG dengan elevasi segmen ST yang luas atau
depresi PR
• Efusi yang baru atau perburukan pada
pemeriksaan radiologis
Keterlibatan sendi Salah satu dari:
• Sinovitis yang melibatkan setidaknya dua sendi
dengan ciri bengkak atau adanya efusi
• Nyeri tekan pada dua atau lebih sendi dan
ditambah adanya kekakuan pagi hari minimal 30
menit
Proteinuria > 0,5 g/24 jam Proteinuria > 0,5 g dalam 24 jam atau pemeriksaan rasio
protein urin terhadap kreatinin urin sewaktu yang
ekuivalen
Biopsi renal kelas II atau lupus nefritis V • Kelas II:
berdasarkan klasifikasi ISN / RPS 2003 Nefritis lupus mesangial proliferatif : hiperseluler yang
murni mesangial dengan derajat apapun atau ekspansi
matriks mesangeal pada pemeriksaan mikroskop
cahaya, dengan deposit imun mesangeal. Beberapa
deposit subendotelial atau subepitel terisolasi dapat
ditemukan pada pemeriksaan immunofluoresens
namun tidak dengan mikroskop cahaya
• Kelas V:
Nefritis lupus membranosa: deposit imun subepitelial
global atau segmental atau sekuelnya pada
pemeriksaan mikroskop cahaya dan oleh mikroskop
imunofluoresens tanpa adanya perubahan mesangial
Biopsi renal kelas III atau lupus nefritis IV • Kelas III:
berdasarkan klasifikasi ISN / RPS 2003 Nefritis lupus fokal, adanya keterlibatan aktif atau
inaktif fokal, segmental, atau global glomerulonefritis
endokapiler atau ekstrakapiler terhadap <50%
glomeruli, tipikal dengan deposit imun subendotelial,
dengan atau tanpa adanya perubahan mesangial
• Kelas IV:
Nefritis lupus difus, adanya keterlibatan aktif atau
inaktif fokal, segmental, atau global glomerulonefritis
endokapiler atau ekstrakapiler terhadap ≥50%
glomeruli, tipikal dengan deposit imun subendotelial,
dengan atau tanpa adanya perubahan mesangeal. Kelas
ini termasuk ke dalamnya deposit wire loop difus tetapi
tanpa adanya atau hanya minimal adanya proliferasi
glomerular
Antibodi antifosfolipid Antibodi antikardiolipin (IgA, IgG, atau IgM) titer medium
atau tinggi (>40 APL, GPL, atau MPL, atau > persentil ke-
99) atau positif dari antibodi anti-β2GPI (IgA, IgG, atau
IgM), atau lupus antikoagulan positif
C3 rendah atau C4 rendah C3 atau C4 dibawah batas nilai normal

153
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

C3 rendah dan C4 rendah C3 dan C4 keduanya dibawah batas nilai normal


Antibodi anti ds-DNA atau antibodi anti Antibodi anti ds-DNA positif dengan pemeriksaan
Smith (Sm) immunoassay yang mencapai spesifisitas ≥ 90% untuk SLE
dibandingkan penyakit relevan ATAU antibodi anti Smith
(Sm) positif

Penyakit SLE dapat bermanifestasi mononuklear, ekspresi sitokin yang


pada sistem pernafasan mulai dari berlebih dan inflamasi, yang pada
saluran nafas, parenkim paru, pembuluh perjalanan penyakit lebih lanjut dapat
darah paru, pleura dan diafragma.10-14 menyebabkan gagal ginjal. Morfologi
Komplikasi yang terjadi pada sistem dan manifestasi klinis penyakit
pernafasan diakibatkan pula oleh deposit berhubungan erat dengan lokasi deposit
kompleks imun.12 Sulit untuk kompleks imun. Pembentukan deposit
membedakan gangguan pada sistem kompleks imun pada glomerular
pernafasan tersebut diakibatkan merupakan awal proses inflamasi pada
komplikasi SLE atau murni karena lupus nefritis.15,16
infeksi.13 Produksi antibodi berperan
Pleuritis adalah manifestasi pada penting dalam patogenesis lupus nefritis.
sistem pernafasan terbanyak yang Ada antibodi yang bersifat nefritogenik
ditimbulkan SLE.13,14 Sekitar 45 – 60% dan ada yang tidak. Antibodi anti-double
pasien SLE memiliki gejala pleuritis dan stranded DNA (dsDNA) memiliki
berhubungan dengan efusi pleura yang implikasi pada patogenesis lupus
terjadi. Penyebab lain perlu nefritis, meskipun belum diketahui
disingkirkan. Pasien mengeluhkan nyeri mekanisme yang menyebabkan antibodi
pleuritik (nyeri dada yang meningkat anti-dsDNA berlokasi pada ginjal. Data
dengan inspirasi), sesak nafas dan yang ada menunjukkan bahwa
demam. Didapatkan pleural friction rub nukleosom adalah target dan mediator
dan tanda efusi pleura pada pemeriksaan antibodi sehubungan dengan deposit
fisik. Gambaran radiologi thoraks kompleks imun pada glomerular.
nampak sudut kostophrenik tumpul. Antibodi reaktif terhadap nukleosom
Nefritis pada SLE diperantarai telah terdeteksi pada pasien lupus
oleh kompleks imun, merupakan maupun murine models sebelum
komplikasi yang umum terjadi pada antibodi anti-dsDNA dan anti-histon
pasien SLE. Dapat ditemukan deposit berkembang. Antibodi tersebut adalah
autoantibodi glomerular, infiltrasi sel isotipe IgG, terutama IgG2a dan IgG2b

154
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

sesuai dengan respons antigen yang


diperantarai sel T.15,17

Tabel 5. Angka Kejadian Manifestasi Klinis SLE10


Sistem Organ Persentase Gejala dan Tanda
Pasien
Konstitusional 50 – 100 Lemah, demam (bukan disebabkan karena infeksi),
berat badan turun
Kulit 73 Butterfly rash, fotosensitif, lesi membran mukosa,
alopecia, Raynaud’s phenomenon, purpura, urtikaria,
vaskulitis
Muskuloskeletal 62 – 67 Arthritis, arthralgia, miositis
Renal 16 – 38 Hematuria, proteinuria, cellular cast, sindroma nefrotik
Hematologik 36 Anemia, trombositopenia, leukopenia
Retikuloendotelial 7 - 23 Limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
Neuropsikiatrik 12 - 21 Psikosis, kejang, peripheral neuropathies, organic
brain syndrome, transverse myelitis, cranial
neuropathies
Gastrointestinal 18 Mual, muntah, miokarditis
Kardiak 15 Perikarditis, endokarditis, miokarditis
Sistem pernafasan 2 - 12 Pleuritis, hipertensi pulmonal, penyakit paru parenkimal

Sistem saraf seringkali terlibat kemungkinan terjadinya


dalam manifestasi klinis SLE. Sekitar mikrovaskulopati karena aktivasi
28-40% neuropsikiatrik lupus (NPSLE) komplemen.
terjadi sebelum atau saat diagnosis SLE Gangguan hematologik pada
ditegakkan. Prevalensi NPSLE pada SLE sering terjadi. Manifestasi klinis
dewasa berkisar antara 14-80% yang muncul meliputi anemia,
sedangkan pada anak berkisar antara 22- trombositopenia, leukopenia, dan
95%. Penyebab NPSLE adalah sindrom antifosfolipid. Pasien SLE
multifaktorial meliputi produksi sering mengalami anemia yang
autoantibodi, mikroangiopati, produksi disebabkan antara lain oleh anemia
sitokin proinflamatori intrathekal, penyakit kronik, hemolisis (autoimun
atherosklerosis prematur. atau mikroangiopati), perdarahan,
Mikrovaskulopati paling banyak insufisiensi renal, obat-obatan, infeksi,
didapatkan pada pemeriksaan jaringan hipersplenisme, mielodisplasia,
otak yang dilakukan secara mikroskopik. mielofibrosis dan anemia aplastik.
Mikrovaskulopati yang terjadi Penyebab terbanyak adalah eritropoeisis
berhubungan dengan deposit kompleks yang tersupresi akibat inflamasi kronik.
imun pada otak. Saat ini banyak diyakini Perdarahan yang terjadi pada SLE dapat

155
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

disebabkan perdarahan saluran cerna, dan lain-lain yang mana dapat


akibat terapi Obat Anti Inflamasi Non menyebabkan anemia defisiensi besi.2
Steroid (OAINS), menstruasi berlebihan,

Tabel 6. Klasifikasi Lesi Kulit pada SLE2


Lesi Kulit Spesifik Lesi Kulit Non Spesifik
Acute cutaneous LE Cutaneous vascular disease
Localised Vasculitis
Generalised Leucocytoclastic
Subacute cutaneous LE Palpable purpura
Urticarial vasculitis
Annular Polyarteritis nodosa-like
Papulosquamous (psoriasiform) Papulonodular mucinosis
Dego’s disease-like
Chronic cutaneous LE Atrophy blanche-like
‘Classical’ LE (DLE) Livedo reticularis
Localised Thrombophlebitis
Generalised Raynaud’s phenomenon
Hypertrophic (verrucous) DLE Erythromelalgia
Lupus panniculitis (profundus) LE non-specifi c bullous lesions
Mucosal LE Epidermolysis bullosa acquisita
Lupus tumidus Dermatitis herpetiformis-like bullous LE
Chilblains lupus Pemphigus erythematosus
Porphyria cutanea tarda
Urticaria
Vasculopathy
Anetoderma/cutis laxa
Acanthosis nigricans (type B insulin
resistance)
Periungal telangiectasia
Erythema multiforme
Leg ulcers
Lichen planus
Alopecia (non-scarring)
‘Lupus hair’
Telogen effl uvium
Alopecia areata
Sclerodactyly
Rheumatoid nodules
Calcinosis cutis

Diagnosis SLE ditegakkan tidak diagnosis SLE sekaligus memantau


hanya berdasarkan manifestasi klinis perjalanan penyakit (monitoring).
saja, namun juga didukung dengan Pemeriksaan yang diperlukan meliputi
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap, laju endap darah, urine
laboratorium berperan dalam menunjang lengkap, protein kuantitatif, kimia darah

156
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

(fungsi ginjal dan fungsi hati, dan lain- aminotransferase (ALT), aspartate
lain), faal hemostasis, seperti activated aminotransferase (AST) dan alkaline
partial thromboplastin time (APTT) dan phosphatase (ALP) didapatkan pada
partial thromboplastin time (PTT) pada pasien dengan SLE aktif.21 Proteinuria
sindroma antifosfolipid, pemeriksaan atau cellular casts (terutama red blood
serologi.1-3,19-34 cell casts) dan hematuria berhubungan
Leukopenia juga sering terjadi dengan lupus nefritis.25,29 Penentuan
pada SLE dan berhubungan pula dengan kadar proteinuria membantu menilai
aktivitas penyakit. Sebanyak 30-40% derajat keparahan penyakit glomerular.20
kasus didapatkan jumlah sel darah putih Pemeriksaan ANA umum dipakai
<4500/mm3, terutama pada SLE yang untuk skrining pasien SLE.17,22 Pasien
aktif. Trombositopenia ringan (100.000- dengan ANA positif belum tentu pasien
150.000/mm3) dilaporkan pada 20-25% SLE, tetapi pasien SLE memiliki ANA
pasien, sedangkan tombosit positif. Pemeriksaan ANA didapatkan
<50.000/mm3 hanya nampak pada 10% positif pada penyakit selain SLE, seperti
pasien. Penyebab trombositopenia Sjorgen’s syndrome (68%), skleroderma
terbanyak pada SLE adalah destruksi (40-75%), rheumatoid arthritis (25-
trombosit yang dimediasi imun. 50%), juvenile rheumatoid arthritis
Trombositopenia pada SLE dapat (16%), dan fibromialgia. Titer ANA
disebabkan juga karena konsumsi pada penyakit selain SLE pada
trombosit yang meningkat seperti pada umumnya rendah dan menunjukkan pola
anemia hemolitik mikroangiopati atau immunofluorescent yang berbeda. Pola
hipersplenisme, akibat obat-obatan yang homogen, speckled dan peripheral (rim)
mengganggu produksi trombosit.2 umumnya berhubungan dengan SLE.
Umumnya, pemeriksaan laju endap Pemeriksaan antibodi anti-dsDNA dapat
darah (LED) adalah indikator inflamasi membantu menegakkan diagnosis SLE
dan aktivitas SLE yang sensitif tetapi pada pasien yang tidak menunjukkan
tidak spesifik dan lambat merefleksikan manifestasi klinis namun hasil
perubahan aktivitas penyakit.21,23,29 pemeriksaan ANA positif.10 Antibodi
Serum kreatinin dan estimasi laju anti-dsDNA memiliki spesifisitas yang
filtrasi glomerulus yang meningkat tinggi dan berkorelasi baik dengan SLE
merefleksikan lupus nefritis.23,16 maupun aktivitas penyakit SLE sehingga
Peningkatan kadar alanin digunakan secara universal untuk

157
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

mendiagnosis maupun memantau maupun non farmakologik serta


perkembangan hasil terapi SLE.22 mencapai tujuan terapi.1,35
OAINS dipakai sebagai analgesik
Penatalaksanaan dan anti inflamasi serta antikoagulan.
Tata laksana SLE tidak hanya Obat antimalaria efektif untuk
sebatas pemberian obat saja namun juga mengobati berbagai gejala dan tanda
meliputi pendekatan holistik yang SLE dan mencegah flares.
berdasarkan pendekatan bio-psiko- Mekanismenya belum jelas,
sosial. Tujuan utama penatalaksanaan kemungkinan obat antimalaria
SLE adalah meningkatkan kualitas hidup mengganggu aktivasi sel T, menghambat
pasien SLE. Tujuan khusus aktivitas sitokin dan toll-like receptors
penatalaksanaan SLE antara lain mampu intraseluler. Obat antimalaria dapat
menurunkan aktivitas penyakit hingga mengenali dan mengikat bahan asing
pada level yang rendah, mencapai masa yang kemudian berkontribusi dalam
remisi yang panjang, mengurangi rasa mengaktivasi sistem imun. Obat
nyeri dan memelihara fungsi organ agar imunosupresan (misal
aktivitas hidup sehari-hari tetap baik cyclophosphamide, azathioprine) biasa
sehingga kualitas hidup yang optimal dipakai pada kasus berat apabila
dapat tercapai.1,19,35 kortikosteroid dosis tinggi dan
Terapi SLE bersifat individual antimalaria gagal mengontrol gejala dan
berdasarkan manifestasi klinis yang tanda eksaserbasi. Selain itu, dapat
dialami pasien, aktivitas penyakit dan dipakai juga untuk menginduksi dan
derajat keparahan penyakit serta mempertahankan remisi serta
komorbiditas. Strategi terapi atau disebut mengurangi flares atau kekambuhan.1
dengan pilar terapi SLE meliputi antara Food and Drug Administration
lain, 1) edukasi dan konseling, 2) (FDA) pada bulan Maret 2011
program rehabilitasi, 3) terapi menyetujui antibodi monoklonal
medikamentosa (OAINS, antimalaria, manusia pertama untuk terapi SLE.
steroid, imunosupresan / sitotoksik, dan Antibodi monoklonal tersebut
terapi lain). Pasien yang mendapatkan dinamakan Belimumab. Belimumab
terapi perlu dilakukan monitoring secara adalah human antibody monoclonal
reguler oleh ahli rematologi untuk yang menghambat pembentukan B cell
mengoptimalkan terapi farmakologik survival factor (BLyS atau BAFF). Kadar

158
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

BLyS meningkat pada beberapa pasien antigen CD 20 yang disebut Rituximab.


SLE dan memegang peran dalam Mekanisme kerja rituximab adalah
patogenesis lupus melalui pembentukan mengurangi substansi yang memediasi
dan ketahanan sel memori B dan sistem imun yang berhubungan dengan
plasmablast membentuk SLE.36
autoantibodi.1,19,35,36 Belimumab Sejumlah besar pendekatan terapi
menghambat aktivasi limfosit B dengan untuk SLE masih dalam penelitian,
cara mempengaruhi protein yang antara lain anti-interleukin (IL)-10, B-
diperlukan untuk aktivitas sel B (BLys). cell-targeted therapy (Atacicept dan
Belimumab direkomendasikan bagi blisibimod), anti-Jak/stat atau tirosin
pasien SLE aktif yang menerima terapi kinase, reseptor anti-IL-6, inhibitor
standar dengan OAINS, antimalaria, interferon α dan γ seperti sifalimumab,
kortikosteroid dan atau T-cell costimulation blocker
imunosupresan.1,5 Terdapat pula (Abatacept), inhibitor proteosom
antibodi monoklonal chimeric terhadap (Bortezomib) (Gambar 4) .19,35,36

Gambar 4. Target terapi sel B pada SLE.36

159
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

Prognosis berhubungan dengan imunosupresi.


Prognosis SLE bervariasi mulai Penyebab kematian di tahun-tahun
dari ringan hingga berkembang cepat selanjutnya adalah akibat komplikasi
menjadi berat disertai kegagalan SLE (misal penyakit ginjal stadium
multiorgan bahkan kematian. Rerata five akhir), komplikasi terapi, penyakit
year survival pada SLE telah meningkat kardiovaskuler. Pasien SLE memiliki
secara signifikan sejak pertengahan abad risiko kematian 3 kali lipat lebih besar
ke-20, dari sekitar 40% pada tahun 1950 dibanding populasi umum.
menjadi lebih dari 90% pada tahun 1980. Risiko morbiditas pada pasien SLE
Hal ini berkaitan dengan berbagai faktor juga menunjukkan peningkatan
yang meliputi pengenalan lebih dini dan sehubungan dengan penyakit yang aktif
pemeriksaan yang lebih sensitif untuk dan efek samping obat seperti
menegakkan diagnosis SLE, terapi yang glukokortikoid dan obat sitotoksik.
lebih baik. Glukokortikoid dapat menginduksi
Sekalipun berbagai perkembangan nekrosis panggul dan lutut, osteoporosis,
diagnosis maupun terapi telah menjadi fatique serta disfungsi kognitif.1,35
lebih baik, pasien SLE tetap memiliki
rerata mortalitas 2 -5 kali lipat lebih Simpulan dan Saran
tinggi daripada populasi umum. Faktor genetik, hormonal,
Prognosis pasien dengan SLE lebih imunologik dan lingkungan diduga
buruk apabila disertai dengan atau pada memegang peranan dalam
keadaan penyakit renal (terutama perkembangan patogenesis SLE.
glomerulonefritis proliferatif difus), Patogenesis SLE melibatkan berbagai
hipertensi, jenis kelamin laki-laki, usia sel dan molekul yang berperan pada
muda, usia yang lebih tua saat muncul proses apoptosis, respons imun innate
gejala, status sosioekonomi rendah, ras dan adaptif. Kerusakan multiorgan
kulit hitam, antibodi anti fosfolipid terjadi akibat deposisi autoantibodi dan
positif, aktivitas penyakit yang tinggi. kompleks imun. Antigen yang berasal
Penyebab mortalitas pada dari bahan apoptotik dipresentasikan
beberapa tahun pertama adalah penyakit oleh APC melalui MHC sehingga
yang aktif (misal penyakit sistem saraf limfosit T akan teraktivasi dan
pusat atau ginjal) atau infeksi yang melepaskan sitokin serta menstimulasi

160
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

sel B. Stimulasi sel B dan produksi eritematosus sistemik.


www.reumatologi.or.id. [diakses
autoantibodi IgG dapat menyebabkan
tanggal 15 Juni 2016].
kerusakan jaringan. 2. Bertias G, Cervera R, Boumpas
DT. (Online) 2012. Systemic
Pada tahun 2019, ACR dan
lupus erythematosus:
EULAR mengeluarkan rekomendasi pathogenesis and clinical
features. Eular. 20:476-505;
diagnosis terbaru untuk SLE yang
https://www.eular.org/myupload
dipakai hingga sekarang. Klasifikasi data/files/sample%20chapter20_
mod%2017.pdf [diakses tanggal
SLE membutuhkan minimal satu kriteria
15 Juli 2016].
klinik dan ≥10 poin. 3. Souirti Z, Lahlou M, Ouali OE,
Chtaou N, Aarab C, Ghazouani
Pemeriksaan ANA umum dipakai
FE, et al. 2013. Neuropsychiatric
untuk skrining. Metode yang dipakai systemic lupus erythematosus.
Open Journal of Rheumatology
untuk mendeteksi adalah indirect
and Autoimmune Diseases. 3:86-
immunofluorescence (IIF), enzyme- 91.
4. Cozzani E, Drosera M, Gasparini
linked immunosorbent assay (ELISA)
G, Parodi A. 2014. Serology of
dan radioimmunoassay (RIA). Pola yang lupus erythematosus: correlation
between immunopathological
berbeda memiliki makna klinis yang
features and clinical aspects.
berbeda pula. Autoimmune Diseases. 2014:
321359.
Studi pustaka ini diharapkan dapat
5. Maidhof W dan Hilas O. 2012.
memberikan informasi lebih mendalam Lupus: an overview of the
disease and management options.
mengenai patogenesis dan cara
P&T: A Peer-Reviewed Journal
menegakkan diagnosis SLE sehingga for Formulary Management.
37(4):240-246, 249.
dapat menjadi dasar dalam melakukan
6. Anggraini NS. 2016. Lupus
penelitian di masa depan. eritematosus sistemik. Jurnal
Medula Unila. 4(4):124-131.
7. Mok CC dan Lau SC. 2003.
Ucapan Terima Kasih Pathogenesis of systemic lupus
erythematosus. Journal of
Peneliti mengucapkan terima kasih
Clinical Pathology. 56(7):481-
kepada Rektorat Universitas Ciputra, 490.
8. Lehmann P dan Kuhn A. 2005.
Surabaya yang telah memberikan
Photosensitivity in lupus
dukungan dan juga bantuan dana. erythematosus. In: Kuhn A.,
Lehmann P., Ruzicka T. (eds)
Cutaneous Lupus
Daftar Pustaka Erythematosus. Berlin: Springer.
Chapter 12:161-175.
1. Perhimpunan Reumatologi
9. Kementerian Kesehatan RI
Indonesia. (Online) 2011.
(InfoDATIN: Pusat Data dan
Diagnosis dan pengelolaan lupus

161
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

Informasi Kementerian 15. Agrawal S. 2004. Lupus


Kesehatan). (Online) 2017. nephritis: an update on
Situasi Lupus di Indonesia. pathogenesis. Journal of Indian
Jakarta: PUSDATIN. Rheumatology Association.
www.pusdatin.kemkes.go.id. 12:11-15.
[diakses 18 Agustus 2020]. 16. Liu Y dan Anders HJ. 2014.
10. Gill JM, Quisel AM, Rocca PV, Lupus nephritis: from
Walters DT. 2003. Diagnosis of pathogenesis to targets for
systemic lupus erythematosus. biologic treatment. Nephron
American Family Physician. Clininical Practice. 128(3-
68(11):2179-2186. 4):224-231.
11. Aringer M, Costenbader K, 17. Gibson K, Goodemote P,
Daikh D, Brinks R, Mosca M, Johnson S. 2011. FPIN’s clinical
Ramsey-Goldman RR, et al. inquiries: antibody testing for
2019. 2019 European league systemic lupus erythematosus.
against rheumatism/American American Family Physician.
college of rheumatology 84(12):1407-1409.
classification criteria for 18. Muscal E dan Brey RL. 2010.
systemic lupus erythematosus. Neurological manifestations of
Arthritis and Rheumatology systemic lupus erythematosus in
(Hoboken, N.J.). 71(9):1400- children and adults. Neurologic
1412 Clinics. 28(1):61-73.
12. Rai DK, Upadhyaya SK, Sharma 19. Shankar S dan Behera V. 2014.
A, Kuldeep K. 2012. A case of Advances in management of
lupus pneumonitis mimicking as systemic lupus erythematosus.
infective pneumonia. IOSR Journal of Mahatma Gandhi
Journal of Pharmacy. 2(5):11- Institute of Medical Sciences.
14. 19:28-36.
13. Gari AG, Telmesani A, 20. Johns Hopkins Lupus Center.
Alwithenani R. (Online) 2012. (Online) 2020. Urinalysis.
Pulmonary manifestations of Baltimore: John Hopkins Lupus
systemic lupus erythematosus. Center. www.hopkinslupus.org.
In: Almoallim H. Systemic [diakses tanggal 11 Agustus
Lupus Erythematosus. Shanghai: 2020].
IntechOpen. Chapter 14;313- 21. Bessone F, Poles N, Roma MG.
336. 2014. Challenge of liver disease
https://www.intechopen.com/bo in systemic lupus erythematosus:
oks/systemic-lupus- clues for diagnosis and hints for
erythematosus/pulmonary- pathogenesis. World Journal of
manifestations-of-systemic- Hepatology. 6(6):394-409.
lupus-erythematosus [diakses 22. Euroimun a PerkinElmer
tanggal 30 Juni 2016]. company insert kit. (Online)
14. Yip YF dan Chan WKY. 2006. 2020. ANA diagnostics using
Acute respiratory failure in indirect immunofluorescence.
systemic lupus erythematosus. Lübeck: Euroimmun.
Hong Kong Journal of www.euroimmun.com. [diakses
Paediatrics (New Series). tanggal 7 Agustus 2020].
11:147-152. 23. Richey Monica. (Online) 2019.
Understanding laboratory test

162
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

and results for systemic lupus nts/measurement-and-clinical-


erythematosus (SLE). New York: significance-of-antinuclear-
SLE Workshop at Hospital for antibodies. [diakses tanggal 21
Special Surgery. Juni 2020].
https://www.hss.edu/conditions_ 30. Bloch DB. (Online) 2020.
understanding-laboratory-tests- Clinical significance of
and-results-for-systemic-lupus- antinuclear antibody staining
erythematosus.asp. [diakses patterns and associated
tanggal 11 Agustus 2016]. autoantibodies.
24. Bloch DB. (Online) 2019. The https://www.uptodate.com/conte
anti-Ro/SSA and ant-La/SSB nts/clinical-significance-of-
Antigen – antibody Systems. antinuclear-antibody-staining-
https://www.uptodate.com/conte patterns-and-associated-
nts/the-anti-ro-ssa-and-anti-la- autoantibodies. [diakses tanggal
ssb-antigen-antibody-systems. 15 Juli 2020].
[diakses tanggal 21 Juni 2020]. 31. Kavanaugh AF, Solomon DH,
25. O’Sullivan M, McLean-Tooke A, American College of
Loh RKS. 2013. Antinuclear Rheumatology Ad Hoc
antibody test. Australian Family Committee on Immunologic
Physician. 42(10):718-721. Testing Guidelines. 2002.
26. Lab Tests Online. (Online) 2017. Guidelines for immunologic
Extractable nuclear antigen laboratory testing in the
antibodies (ENA) Panel. rheumatic diseases: anti-DNA
Washington DC: Lab Test Online antibody tests. Arthritis &
AACC. www.labtestonline.org. Rheumatology. 47(5):546-555.
[diakses tanggal 7 Agustus 32. Liu CC, Manzi S, Ahearn JM.
2017]. 2005. Biomarkers for systemic
27. Mayo Foundation for Medical lupus erythematosus: a review
Education and Research. and perspective. Current Opinion
(Online) 2017. Antibody to in Rheumatology. 17(5):543-549.
extractable nuclear antigen 33. Kumar Y, Bhatia A, Minz RW.
evaluation serum. Rochester: 2009. Antinuclear antibodies and
Mayo Clinic Laboratories. their detection methods in
www.mayomedicallaboratories.c diagnostics connective tissue
om. [diakses tanggal 11 Agustus diseases: a journey revisited.
2016]. Diagnostic Pathology. 4: 1.
28. Euroimun a PerkinElmer 34. Migliorini P, Baldini C, Rocchi
company insert kit. (Online) V, Bombardieri S. 2005. Anti-Sm
2017. Anti-dsDNA and anti-RNP antibodies.
radioimmunoassay Autoimmunity. 38(1):47-54.
(IgA/IGG/IgM). Lübeck: 35. Wallace JD. (Online) 2020.
Euroimmun. Overview the management and
www.euroimmun.com [diakses prognosis of systemic lupus
tanggal 7 Agustus 2016]. erythematosus.
29. Bloch DB. (Online) 2019. https://www.uptodate.com/conte
Measurement and clinical nts/overview-of-the-
significance of antinuclear management-and-prognosis-of-
antibodies. systemic-lupus-erythematosus-
https://www.uptodate.com/conte

163
Syifa’ MEDIKA, Vol.11 (No. 2), Maret 2021, 139-164

in-adults. [diakses tanggal 15 Juli


2020].
36. Lee WS dan Amengual O. 2020.
B cells targeting therapy in the
management of systemic lupus
erythematosus. Immunological
Medicine. 43(1):16-35.

164

Anda mungkin juga menyukai