Abstrak
Pendahuluan : Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit
autoimun yang kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap sel yang
melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh. LES lebih sering terjadi pada
perempuan pada usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi.
Nefritis Lupus (NL) adalah komplikasi ginjal pada Lupus Eritematosus Sistemik
(LES). Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan yang dibuktikan pada biopsy
dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien dewasa akan mengalami komplikasi
ginjal yang nyata. Pria dengan LES mempunyai insidens yang sama dengan
wanita untuk terjadinya NL Laporan Kasus: Dilaporkan satu kasus pasien 24
tahun datang dengan keluhan Sesak nafas, ruam kemerahan dan gatal di wajah
ketika terkena matahari,Oedema pada ekstremitas,riwayat sariawan berulang dan
dilakukan pemeriksaan fisik dan penunjang, sehingga didiagnosis Nefritis Lupus
dengan Rapidly Progressive Glumeluronephritis Kesimpulan : LES adalah
penyakit inflamasi autoimun dengan etiologi yang tidak jelas yang
mempengaruhi banyak organ. Diagnosis LES dapat ditegakkan berdasarkan
klinis dan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan kriteria klasifikasi
ACR/EULAR 2019. Nefritis Lupus dapat meningkatkan aktivitas LES menjadi
lebih berat. Pasien LES dianjurkan kontrol teratur untuk pemantauan perjalanan
penyakit dan efek samping dari obat yang dikonsumsi. Pemberian kortikosteroid
harus dilakukan tappering off secara hati-hati bersamaan dengan imunosupresan
dan antimalaria.
Kata Kunci : lupus eritematosus sistemik,Nefritis Lupus,Rapidly Progressive
Glumeluronephritis (RPGN), kortikosteroid
Abstract
Introduction : Systemic lupus erythematosus (SLE) is a complex autoimmune
disease characterized by the presence of autoantibodies against cells involving
many organ systems in the body. Lupus nephritis (NL) is a renal complication of
Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Renal involvement is quite common as
evidenced by renal biopsy and autopsy. As many as 60% of adult patients will
develop significant renal complications. Men with SLE have the same incidence
as women for NL Case Report: It was reported a case of a 24-year-old patient
who came with complaints of shortness of breath, red rash and itching on the face
when exposed to the sun, Edema in the extremities,history of oral ulser, physical
examination and support were carried out, so that Lupus Nephritis was diagnosed
with Rapidly Progressive Glumeluronephritis.
Conclusion: SLE is an autoimmune inflammatory disease with unclear etiology
affecting multiple organs. SLE diagnosis can be made based on clinical and
supporting examinations using the 2019 ACR/EULAR classification. Lupus
nephritis can increase SLE activity to become more severe. SLE patients are
recommended regular controls to monitor the disease and the effects of the drugs
they are taking. Corticosteroids should be administered with caution at the same
1
time as immunosuppressants and antimalarials.
Keywords: systemic lupus erythematosus, Lupus Nephritis, Rapidly Progressive
Glumeluronephritis , corticosteroid
2
PENDAHULUAN sakit meningkat sejak tahun 2014-
Lupus eritematosus sistemik 2016. Jumlah kasus LES tahun 2016
(LES) merupakan penyakit meningkat hampir dua kali lipat
autoimun yang kompleks ditandai sejak tahun 2014, yaitu sebanyak
oleh adanya autoantibodi terhadap 1.169 kasus.2,6Nefritis Lupus (NL)
sel yang melibatkan banyak sistem adalah komplikasi ginjal pada Lupus
organ dalam tubuh. Pemicu Eritematosus Sistemik (LES).
timbulnya manifestasi klinis LES Keterlibatan ginjal cukup sering
belum diketahui secara pasti, ditemukan yang dibuktikan pada
diperkirakan interaksi yang biopsy dan otopsi ginjal. Sebanyak
kompleks antara faktor genetik dan 60% pasien dewasa akan mengalami
lingkungan.1,2 komplikasi ginjal yang nyata. Pria
LES memiliki karakteristik dengan LES mempunyai insidens
adanya produksi autoantibodi yang yang sama dengan wanita untuk
bereaksi dengan antigen diri (self terjadinya NL
antigen) yang menimbulkan deposit
kompleks imun dan inflamasi Patogenesis
sehingga terjadi kerusakan organ. Lupus eritematosus sistemik
Penyakit ini merupakan penyakit bersifat multifaktorial meliputi
sistemik sehingga menimbulkan faktor genetik, hormonal serta
kelainan klinis dan laboratorium lingkungan, terutama sinar
yang sangat bervariasi.3,4 ultraviolet. Tahap awal penyakit
LES sering terjadi pada (fase preklinis) LES sering kali
perempuan dengan rasio perempuan menyerupai penyakit lain.
dibandingkan dengan laki-laki 15:1 Pembentukan dan deposisi kompleks
hingga 22:1, terdapat pada wanita imun menimbulkan peningkatan
usia reproduksi dengan angka aktivitas sel T dan sel B, sehingga
kematian yang cukup tinggi. terjadi peningkatan auto antibodi
Penyakit ini dapat ditemui di semua (DNA-anti DNA). Sebagian
usia, paling sering ditemui pada usia autoantibodi akan membentuk
21-30 tahun.1,2 komplek imun bersama nukleosom
Diperkirakan sekitar 1,5 juta (DNA-histon), kromain, C1q,
kasus terjadi di Amerika dan laminin, Ro (S5-A), dan ribosom,
setidaknya lima juta kasus di dunia. yang kemudian akan membentuk
Setiap tahun sekitar 16 ribu deposit (endapan) sehingga terjadi
perkiraan kasus baru LES. Sebagian kerusakan jaringan. Tahap akhir
besar adalah perempuan umur perjalanan penyakit LES umumnya
produktif dan setiap tahun diakibatkan komplikasi jangka
ditemukan lebih dari 100 ribu panjang LES yang menyebabkan
penderita baru.5 kerusakan organ tubuh (Gambar 1).1
Di Indonesia, jumlah Karakteristik utama LES
penderita LES secara tepat belum ditandai dengan munculnya respons
diketahui. Data Sistem Informasi imun terhadap antigen endogen
Rumah Sakit (SIRS), pada tahun nuklear. Kerusakan berbagai organ
2016 terdapat 858 rumah sakit yang tubuh pada penyakit LES terjadi
melaporkan datanya, diketahui akibat pembentukan dan deposisi
terdapat 2.166 pasien rawat inap autoantibodi dan kompleks imun.
yang didiagnosis LES, dengan 550 Sel B yang hiperaktif berasal dari
pasien diantaranya meninggal dunia. stimulasi sel T dan antigen yang
LES pada pasien rawat inap rumah akan meningkatkan produksi
3
antibodi terhadap antigen yang stimulasi sel T dan sel B yang
terpapar pada permukaan sel berkontribusi terhadap clearance sel
apoptotik.1 apoptotik yang tidak sempurna.
Antigen menyebabkan Selama proses apoptosis, ada
5
ginjal agar tidak bertambah buruk. seluler, konsentrasi kreatinin
Bila pasien tidak bersedia dibiopsi serum berkurang atau paling
atau belum memungkinkan untuk tidak menetap. Obat-obat
dibiopsi karena keadaan umumnya yang dipakai adalah:
atau tidak ada fasilitas untuk biopsi 1). Pulse glukortikoid. Pada
maka diperlukan penilaian kelainan pasien dengan lupus yang
histopatologinya. Beberapa gejala sangat aktif (Acute Kidney
klinis yang dinilai adalah jumlah Injury, Rapidly Progresive
proteinuria, adanya hematuri, Glumerulonepritis dan
adanya hipertensi, adanya sindrom kelainan ekstra renal yang
nefrotik, dan gangguan fungsi ginjal. berat) diberikan
Pengobatan umum pada metilprednisolon sebanyak
Nefritis Lupus adalah restriksi 500-1000 mg IV/hari untuk
protein 0,6-0,8 gram/kgBB/hari bila menginduksi efek
sudah terdapat gangguan fungsi antiinflamasi yang cepat.
ginjal, pemberian ACE-I atau ARB Setelah 3 hari, dilanjutkan
untuk mengurangi proteinuria, dengan dosis 0,5-1,0
dislipidemia dianjurkan pemberian mg/kgBB/hari. Prednison
statin, hipertensi, dengan ACE-i atau diberikan bersama obat
ARB sebagai pilihan utama dengan imunosupresan yang lain.
target TD< 130/80 mmHg, 2). Siklofosfamid.
hidroksiklorokuin perlu diberikan Siklofosfamid diberikan
pada seluruh pasien nefritis lupus dengan dosis 750mg/m2 tiap
kecuali ada kontraindikasi, diuretik bulan selama 6 bulan.
(tergantung klinis pasien), kalsium 3) Mikofenolat Mofetil.
dan vitamin D. 2,8-9 Mikofenolat mofetil dipakai
a. Nefritis Lupus Klas I untuk terapi induksi NL Klas
Tidak memerlukan pengobatan III dan IV, dengan dosis 1
spesifik. Pengobatan lebih gram 2x sehari diberikan
ditujukan pada gejala ekstra sampai 6 bulan.
renal. 4) Azatioprin. Diberikan
b. Nefritis Lupus Klas II dengan dosis 2 mg/kg/hari
Jika tidak disertai oleh selama 6 bulan.
proteinuria yang bermakna (>1 5) Rituximab, adalah anti
gr/24 jam) dan sedimen tidak CD-20 yang bekerja pada
aktif, maka tidak memerlukan limfosit B. Digunakan pada
pengobatan spesifik. Jika disertai nefritis lupus yang tidak
dengan proteinuria yang > 1 memberikan respons dengan
gram/24 jam, diberikan pemberian siklofosfamid
prednisolone 0,5-1 mg/kg.hari atau MMF.
selama 6-12 minggu. 6). Obat lain, seperti
c. Nefritis Lupus Klas III dan IV Imunoglobulin IV,
Terapi Induksi. Tujuan terapi siklosporin, Leflunomid,
induksi adalah untuk Antibodi monoclonal,
mencapai keadaan remisi inhibitor komplemen.
aktivitas lupus yang ditandai Terapi pemeliharaan. Tujuan
oleh resolusi gejala-gejala terapi pemeliharaan adalah
ekstra renal, manifestasi untuk mencegah relaps dan
serologik menjadi lebih baik, menekan aktivitas penyakit,
resolusi hematuri, kristal mencegah progresivitas ke
6
arah penyakit ginjal kronis dan bengkak pada bagian kemaluan.
dan mencegah efek samping Buang air kecil berwarna kuning
pengobatan yang lama. keruh berbusa sejak 2 minggu yang
lalu,buang air kecil seperti air
d. Nefritis Lupus Klas V cucian daging, buang air kecil
Diberikan prednisone berpasir tidak ada,riwayat buang
1mg/kg/hari selama 6-12 air kecil berdarah ada 2 minggu
minggu. Pengobatan optimal yang lalu, nyeri saat buang air kecil
untuk NL Klas V masih belum tidak ada ,Penurunan nafsu makan
jelas karena perjalanan klinis dan sejak 1 minggu lalu, pasien hanya
prognosis sangat bervariasi. makan setengah porsi biasanya,
e. Nefritis Lupus Klas VI sebanyak setengah piring. Muka
Pengobatan lebih ditujukan pada merah dan gatal saat terkena
manifestasi ekstra renal matahari ada. Ruam kemerahan
pada wajah tidak ada, gatal pada
Prognosis wajah tidak ada, ujung-ujung jari
Pada nefritis lupus klas I dan kedua tangan, dan telapak kedua
II hampir tidak terjadi penurunan kaki gatal tidak ada ,Riwayat
fungsi ginjal yang bermakna. sariawan berulang ada sejak bulan
Nefritis lupus klas III dan IV hampir yang lalu .
seluruhnya akan menimbulkan
penurunan fungsi ginjal. Nefritis Pada pemeriksaan penunjang
lupus klas V memiliki prognosis didapatkan leukositosis, neutrofilia
yang cukup baik sama dengan shift to the right, dan peningkatan
nefropati membranosa primer, LED. Selain itu pada pasien ini
sebagian kecil akan menimbulkan terdapat gangguan pada renal yaitu
sindrom nefrotik yang berat adanya proteinuria, leukosituria dan
LAPORAN KASUS eritrosit pada pemeriksaan
urinalisis. ANA profile
Sesak nafas sejak 4 hari sebelum menunjukkan adanya peningkatan
masuk Rumah sakit.sesak nafas pada RNP/Sm dan Sm. Pada
tidak disertai bunyi menciut.sesak pemeriksaan analisa cairan pleura
nafas tidak dipengaruhi didapatkan hasil cairan Pleura saat
aktifitas,cuaca ,dan makanan. Sesak ini adalah transudat.
nafas meningkat jika pasien tidur
dan membaik dengan posisi DISKUSI
duduk.riwayat pasien terbangun Dilaporkan kasus seorang
dimalam hari karena sesak tidak pasien laki laki, usia 24 tahun
ada.Nyeri sendi sejak 1 bulan yang dengan diagnosis nefritis lupus
lalu. Nyeri dirasakan pada sendi dengan Rapidly progressive
lutut, pergelangan kaki, dan Glumeluroneprhitis.,lupus
pergelangan tangan. Nyeri tidak eritematosus sistemik dengan nefritis
disertai rasa kaku pada pagi hari. lupus, efusi pleura bilateral ec
Demam dirasakan sejak 3 minggu hipoalbumin, high risk VTE,
yang sebelum masuk rumah sakit, Dislipidemia
demam Hilang timbul, tidak tinggi, Menurut American College
tidak menggigil dan tidak of Rheumatology (ACR), diagnosis
berkeringat banyak.Sembab sejak 2 lupus eritematosus sistemik bisa
minggu sebelum masuk rumah ditegakkan apabila dijumpai
sakit, sembab awalnya muncul pada minimal 4 dari 11 kriteria, yaitu
bagian wajah, kemudian tungkai ruam malar, ruam diskoid,
7
fotosensitivitas, ulkus mulut, artritis, dengan adanya keterlibatan ginjal.
serositis, pleuritis, perikarditis, Kelainan serologis seperti
gangguan renal, gangguan hipokomplementemia dan
neurologi, gangguan hematologi, autoantibodi anti-dsDNA lebih
dan gangguan imunologik. Pada banyak dilaporkan pada pasien pria.
pasien ini terdapat 5 dari 11 kriteria Selain itu, komplikasi
yang terpenuhi, yaitu kardiovaskular lebih sering terjadi
fotosensitivitas,ulkus mulut, pada pria dengan SLE. Hal ini
serositis, gangguan renal, gangguan menyebabkan bertambahnya
imunologi, sehingga mendukung akumulasi kerusakan organ pada
diagnosis ke arah Lupus pasien ini. Sementara beberapa
Eritematosus Sistemik. Menurut penelitian menemukan jenis kelamin
Perhimpunan Reumatologi laki-laki menjadi faktor risiko untuk
Indonesia, bila dijumpai 4 atau lebih gagal ginjal.
kriteria tersebut, diagnosis LES Penilaian aktivitas penyakit
memiliki sensitivitas 85% dan SLE diperlukan untuk menentukan
spesifisitas 95%. Selain itu kesesuian rencana terapi pada setiap
Lupus eritematosus sistemik individu. Penilaian ini dilakukan
(LES) merupakan penyakit inflamasi sejak awal penegakan diagnosis.
autoimun kronis dengan etiologi Sistem skor untuk menilai aktivitas
yang belum diketahui serta penyakit SLE ada beberapa, dan
manfestasi klinis, perjalanan yang paling sering digunakan adalah
penyakit dan prognosis yang SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih
beragam. Penyakit ini terutama mudah diterapkan pada pusat
menyerang wanita usia reproduksi kesehatan primer yang jauh dari
dengan angka kematian yang cukup tersedianya fasilitas laboratorium
tinggi. Faktor genetik, imunologik canggih dan skor ini lebih murah
dan hormonal serta lingkungan 30% daripada SLEDAI dan tepat
diduga berperan dalam patofisiologi digunakan pada negara berkembang
SLE. Insiden LES secara global seperti Indonesia. Pengelompokan
sekitar 1-15 per 100.000 orang aktivitas penyakit berdasarkan
pertahun. Insiden di wilayah Asia MEX-SLEDAI adalah sebagai
Pasifik sekitar 0,9-3,1. Puncak berikut: remisi (skor 0-1), ringan
insiden antara rentang usia 15-40 (skor 2-5), sedang (6-9), berat (10-
tahun. Prevalensi LES diperkirakan 13) dan sangat berat (≥ 14). Pada
sekitar 10-150 per 100.000 individu. pasien ini didapatkan skor MEX
Di wilayah Asia-Pasifik prevalensi SLEDAI sebesar 9 poin, yang
LES sekitar 4,3-45,3 per 100.000 artinya SLE pasien ini mempunyai
orang. Pada banyak penelitian aktivitas yang sedang. Hal ini terjadi
ditemukan rasio perempuan : laki- terutama karena dijumpai adanya
laki sekitar 9 : 1, namun ada juga nefritis lupus. 11-12
penelitian lain menyebutkan 12:1. Pasien ini juga didiagnosis
LES merupakan salah satu penyakit dengan Nefritis Lupus. Nefritis
autoimun terbanyak pada perempuan Lupus (NL) merupakan salah satu
usia produktif. komplikasi dari lupus eritematosus
Menurut Sepulveda et al sistemik. Lupus Nefritis ditemukan
(2019), lupus eritematosus sistemik pada 40-60% pasien LES dan dapat
pada pria berhubungan dengan meningkatkan angka kematian
manifestasi klinis dan prognosis hingga 70% setelah diagnosis awal.
yang kurang baik karena seringnya Setelah penanganan adekuat, 26%
8
pasien Lupus Nefritis tetap akan hingga 51, 9 kejadian dari 1000
berlanjut menjadi penyakit ginjal pasien per tahun, penelitian lain
tahap akhir (end stage renal disease) mengatakan bahwa insiden
yang akan menurunkan angka trombosis sebesar 36, 3 kejadia per
harapan hidup hingga 15,1-23,7 1000 pasien per tahun. Dalam
tahun. Infeksi, komplikasi sebuah penelitian 10 tahun cohort,
kardiovaskular, dan keganasan penyebab kematian pasien SLE
berperan sebagai penyebab kematian adalah SLE (26,5%), trombosis
berhubungan dengan terapi jangka (26,5%) dan infeksi (25%), dengan
panjang pasien Lupus Nefritis. 2,8-9,15 trombosis mendominasi 5 tahun
Biopsi ginjal merupakan terakhir. 19-20
pemeriksaan yang gold standard Ada beberapa faktor yang
dalam menegakkan diagnosis menyebabkan meningkatnya resiko
(klasifikasi penyakit) Nefritis Lupus, trombosis pada pasien SLE yaitu
menentukan indeks aktivitas, indeks adanya antibodi antifosfolipid,
kronisitas dan prognosis. Menurut inflamasi, faktor trombofilik, dan
Almaani, et al (2017) setelah obat-obatan. Inflamasi dapat
penggunaan terapi imunosupresif mempengaruhi beberapa langkah
selama 6-8 bulan, 20-50% jika dalam proses pembekuan darah.
dilakukan pemeriksaan histologi Inflamasi menyebabkan
ginjal akan memberikan gambaran pengeluaran tissue factors yang
proses aktif inflamasi dengan menginisiasi proses koagulasi.
proteinuria yang positif. Bahkan, Kehadiran inflamasi menurunkan
setelah beberapa tahun pengobatan aktivitas fibrinolitik melalui
dengan imunosupresi, aktivitas mekanisme upregulation dari
inflamasi ginjal masih berlangsung. produksi plasminogen activator
Indikasi biopsi ginjal adalah inhibitor (PAI). Efek antikoagulan
proteinuria > 0,5 gram dengan/tanpa dari jalur protein C akan terganggu
sedimen urine aktif. Jika karena mekanisme downregulation
memungkinkan, biopsi ginjal dari trombomodulin. 19-20
ulangan dilakukan pada kasus Penyakit autoimun seperti
perburukan atau refrakter terhadap LES akan meningkatkan insiden
imunosupresan, proteinuria persisten terjadinya infeksi paru oleh karena
> 1 tahun, dan/atau penurunan terganggunya imunitas inang.
glomerular filtration rate/GFR, dan Infeksi pada penderita LES juga
kekambuhan. 2,8-9,15 akan memperberat keadaan pasien.
Pada pasien ini ditegakkan Didapatkan bahwa pada pasien ini
hiperkoagulasi berdasarkan mengalami efusi pleura. Pada
pemeriksaan D-dimer yang pemeriksaan rontgen dan USG
meningkat. Pasien dengan SLE thorax ditemukan efusi pleura
meningkatkan faktor risiko untuk Bilateral. Berdasarkan pemeriksaan
terjadinya trombosis, baik arteri dan tersebut, pasien didiagnosa efusi
atau trombosis vena diketahui pleura ec serositis. Normalnya pada
merupakan suatu manifestasi klinis kavum visceral mengandung cairan
dari SLE, dengan prevalensi >10%. yang berfungsi sebagai pelumas.
Prevalensi ini bahkan bisa Pada kavum pleura jumlahnya < 10
meningkat 50 % pada pasien dengan cc. Dalam pembentukan cairan
risiko tinggi. Insiden terjadinya serosa tersebut berperan 3 faktor
trombosis pada pasien SLE menurut penting, yaitu: tekanan hidrostatik,
dua penelitian cohort adalah 26,8 tekanan osmotik koloid, dan
9
permeabilitas vaskuler. Efusi pleura oleh penyakit itu sendiri. Efek
pada pasien LES cukup umum kortikosteroid menjadi penting.
ditemukan, dengan angka kejadian Penggunaan kronis kortikosteroid
sekitar 63%. Efusi pleura merupakan pada SLE dikaitkan dengan
salah satu bentuk serositis mayor peningkatan kolesterol total dan
pada pasien LES. Serositis adalah fraksinya dan trigliserida yang dapat
peradangan yang melibatkan diamati setelah 1-2 bulan
membran serous pada jaringan pengobatan. Setiap peningkatan
perikardium, pleura dan peritoneum dosis prednisone 10-mg / hari,
sebagai akibat aktivasi komplemen. terjadi peningkatan kolesterol total
Serositis terjadi sebagai akibat 7,5 mg%. Selain itu, kortikosteroid
bocornya protein. Penyebab menginduksi munculnya faktor
bocornya protein dikarenakan risiko lain, seperti
peningkatan permeabilitas sirkulasi kegemukan, Sistemik Arterial
mikrovaskuler oleh inflamasi. Pada Hypertension (SAH),
pasien ini dilakukan pemeriksaan hiperinsulinemia, dan resistensi
analisa cairan pleura, dan didapatkan insulin.
hasil berdasarkan kriteria Light, Pada pasien ini terdapat
cairan Pleura saat ini adalah dislipidemia. Dislipidemia yang
transudate terjadi pada pasien bisa karena
Autoimunitas dan proses penyakit SLE itu sendiri yang
inflamasi dari SLE secara langsung menyebabkan autoimunitas dan
berhubungan dengan perubahan proses inflamasi sehingga terjadi
profil lipid dan peningkatan sitokin pro inflamasi
metabolism lipoprotein. TNF-α yang mengakibatkan
Dislipoproteinemia ditandai oleh terjadinya penurunan aktivitas enzim
kadar trigliserida dan VLDL yang lipoprotein lipase. Enzim lipoprotein
tinggi dan HDL yang rendah. Pasien lipase yang berasal dari endotel
dengan penyakit SLE aktif dan tidak berfungsi menghidrolisis trigliserida
aktif menunjukkan perubahan profil baik yang berasal dari makanan
lipid yang diperburuk dengan maupun yang berasal dari hati.
aktifitas inflamasi dari penyakit Penurunan aktivitas enzim
yang menunjukkan bahwa SLE itu lipoprotein lipase sebagai akibat dari
sendiri menyebabkan proses meningkatnya TNF-α menyebabkan
aterogenik. Penurunan aktivitas terjadinya peningkatan trigliserida
enzim lipoprotein lipase akibat dari pada pasien ini..
adanya antibodi Lipase Anti- Pengelolaan pasien LES
Lipoprotein (anti-LPL) atau Tumor memerlukan pendekatan holistik
Necrosis Factor-α (TNF-α) yang meliputi edukasi, program
bertanggung jawab dalam rehabilitasi, dan terapi
menentukan karakteristik medikamentosa. Target pengelolaan
dislipoproteinemia, karena LES adalah mencapai remisi dan
penurunan aktivitas enzim mencapai kekambuhan. Edukasi
lipoprotein lipase mengurangi kepada pasien merupakan hal yang
katabolisme lipoprotein trigliserida tidak terpisahkan dari tatalaksana
(kilomikron dan VLDL). pasien LES. Edukasi yang
Beberapa obat yang disampaikan adalah penjelasan
digunakan untuk mengobati SLE mengenai LES dan organ tubuh
dapat mempengaruhi perubahan yang terlibat, menjalani pola hidup
dalam profil lipid sebelum diubah sehat, berolahraga, memperhatikan
10
nutrisi yang sesuai, menghindari untuk fase pemeliharaan.
merokok, menghindari paparan sinar Imunosupresan yang digunakan pasa
matahari berlebih, pemantauan ke pasien ini adalah asam mikofenolat
dokter dan mengenal gejala 2x360 mg PO. Senyawa obat ini
kekambuhan seperti demam, ruam mampu menekan proliferasi limfosit,
baru, kerontokan rambut, dan lesi produksi antibodi, presentasi
oral baru. 2-14,16 antigen, migrasi sel dendritik
Terapi yang diberikan mieloid, dan adesi molekulnya. 2,10-13
kepada pasien ini dengan lupus yang Pasien ini dianjurkan untuk
sangat aktif (Rapidly Progresive kontrol secara rutin sehingga
Glumerulonepritis) adalah terapi perjalanan penyakit dan efek
induksi. Tujuan terapi induksi samping pengobatan pada pasien
adalah untuk mencapai keadaan dapat diawasi. Terapi yang efektif
remisi aktivitas lupus yang ditandai dihubungkan dengan menurunnya
oleh resolusi gejala-gejala ekstra manifestasi inflamasi, berkurangnya
renal, manifestasi serologik menjadi gejala ekstra renal, membaiknya
lebih baik, resolusi hematuri, kristal kadar C3, C4 dan titer anti-ds DNA.
seluler, konsentrasi kreatinin serum Untuk kelainan ginjalnya sendiri
berkurang atau paling tidak akan didapatkan berkurangnya
menetap. Pasien ini diberikan aktivitas sedimen urin, membaiknya
Metilprednisolon pulse dose 1x500 kadar kreatinin plasma dan
mg IV selama 3 hari. Kemudian berkurangnya proteinuria.
dianjutkan dengan metilprednisolon
3x12 mg PO. Efek samping DAFTAR PUSTAKA
pemberian kortikosteroid antara lain 1. Suarjana, I Nyoman. Imunopatog
infeksi, hipertensi, katarak, enesis lupus eritematosus
osteoporosis, dan sindrom Cushing. sistemik. Buku Ajar Ilmu
Risiko fraktur ditemukan sebesar Penyakit Dalam. 2014. Jakarta:
20% dengan dosis harian 3331 – 45.
prednisolon ≤ 5 mg dan 60% dengan 2. Perhimpunan Reumatologi Indon
dosis harian ≥ 20 mg sehingga esia. Rekomendasi diagnosis dan
disarankan agar mendapat suplemen pengelolaan lupus eritematosus
kalsium dan vitamin D.2-14,16 sistemik. Jakarta. 2019.
Pasien ini juga diberikan 3. Akib AAP, Soepriadi M,
obat antimalaria hidroksiklorokuin Setiabudiawan B. Lupus
1x200 mg PO. Obat ini memiliki eritematosus sistemik. Dalam:
efek positif bagi pasien SLE yaitu Akib AAP, Munasir Z, Kurniati
meningkatkan remisi, menurunkan N, penyunting. Buku ajar alergi-
aktivitas penyakit dan infeksi, imunologi anak. Edisi kedua.
memberi dampak positif terhadap Jakarta: Balai Penerbit IDAI;
profil lipid, mencegah trombosis dan 2008. h. 346-73.
mencegah kegagalan organ. 2,10-13 4. Arnaud L, Vollenhoven RV.
Obat imunosupresan Epidemiology in Advanced
digunakan dalam tatalaksana SLE handbook of systemic lupus
karena efek imunosupresi dan erythematosus. Springer
imunomodulasi yang dimilikinya. international publishing
Obat imunosupresan juga dapat Switzerland 2018
mengurangi inflamasi, mencegah 5. Suntoko B. Gambaran Klinis dan
perburukan keterlibatan organ dan Diagnosis Lupus Eritematosus
agar dosis steroid dapat dikurangi Sistemik. Dalam Sudoso AW,
11
Seri Yohadi , Alwi I, Simadibrata Alarcon, GS. The Systemic
M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Lupus Activity Measure-Revised,
Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta the Mexican Systemic Lupus
Internal Publishing;2014, 3351- Erythematosus Disease Activity
59 Index (SLEDAI), and a Modified
6. Suarjana IN. Imunopatogenesis SLEDAI-2K Are Adequate
lupus eritematosus sistemik. Instruments to Measure Disease
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Activity in Systemic Lupus
Jakarta: Interna Publishing, 2014: Erythematosus. The Journal of
hal 3331-3345. Rheumatology 2004; 31:10.
7. Suntoko, Bantar. Gambaran 14. Sepulveda JI, Bolin K,
klinik dan diagnosis lupus Mofor J. Sex differences in
eritematosus sistemik. Buku Ajar clinical presentation of systemic
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: lupus erythematosus. Karolinska
Interna Publishing, 2014: hal Instituet. Sweden.2019.
3351-3359. 15. Yung S, Chan TM.
8. Dharmeizar, Bawazier LA. Mechanisms of kidney injury in
Diagnosis dan penatalaksanaan lupus nephritis – the role of anti-
nefritis lupus. Dalam Sudoso dsDNA antibodies. University of
AW, Seri Yohadi , Alwi I, Hong Kong. China. 2015.
Simadibrata M, Setiati S. Buku 16. Shin JI, Park SJ, Suh CH.
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Hyponatremia in patients with
VI. Jakarta Internal Publishing. systemic lupus erythematosus.
2014: hal 3378-3383. Scientific Report. Yonsei
9. Almaani S, Meara A, Rovin BH. University College of Medicine.
Update on lupus nephritis. Korea. 2016.
Clinical journal of the American 17. Djoerban Z. Kelainan
society of nephrology. Ohio. Hematologi pada Lupus
2017:825-835 eritematosus sistemik. Buku Ajar
10. Kasjmir YI, Handono K, Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Wijaya LK, Hamijoyo L, Albar Interna Publishing, 2014: hal
Z, Kalim H, et al. Diagnosis dan 3392-3397.
pengelolaan Lupus Eritematosus 18. Janoudi N, Bardisi ES.
Sistemik dalam Buku Ajar ilmu Haematological manifestation in
penyakit dalam. 2014. Jakarta: sistemic lupus erytematosus.
3360-77. Croatia. InTech. 2012: 363-93
11. Lahita RG. The clinical 19. Bazzan, Mario. Systemic
presentation of systemic lupus lupus erythematosus and
erythematosus. In:Lahita RG, trombosis. Italy. Trombosis
Tsokos G, Buyon J, Koike T. Journal. 2015.
Editors. Systemic Lupus 20. Al-Homood, IA. Trombosis
erythematosus, 5th ed. San in systemic lupus erythematosus:
Diego. Elsevier; 2011: 525-540 A review article. In: Daniel MG,
12. Radic M. Vascular Joannou J, Murdaca G. Editors.
manifestations of systemic lupus ISRN Rheumatology. Saudi
erythematosus. The Journal of Arabia. 2012.
Medicine Netherlands. 2013;71 : 21. Metlay JP, Waterer GW,
10-14. Long AC. Diagnosis and
13. Uribe AG, Vila LM, Treatment of Adults with
Sanchez ML, Reveille JD, Community-acquired Pneumonia.
12
American Thoracic Society.
United State. 2019.
22. Narata, R, Wangkaew, S,
Kasitanon Nuntana, L, Worawit.
Community acquired pneumonia
in Thai patient with systemic
lupus erythematosus
13
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan suatu penyakit autoimun yang kompleks
ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam
tubuh. LES merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang beragam. Penyakit
ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi
Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi
LES.1,2
Karakteristik utama dari penyakit ini adalah adanya produksi autoantibodi yang bereaksi
dengan antigen diri (self antigen) sehingga menimbulkan deposit kompleks imun dan inflamasi
dengan hasil akhirnya terjadi kerusakan organ yang permanen. Penyakit ini merupakan penyakit
sistemik sehingga menimbulkan kelainan klinis dan laboratorium yang sangat bervariasi.
Penyakit LES pada anak biasanya melibatkan lebih dari satu macam organ, sehingga
manifestasi dan prognosisnya lebih buruk bila dibandingkan dengan dewasa.3,4
1.2 Epidemiologi
Insiden LES secara global sekitar 1-15 per 100.000 orang pertahun. Insiden di wilayah
Asia Pasifik sekitar 0,9-3,1. Puncak insiden antara rentang usia 15-40 tahun. Prevalensi LES
diperkirakan sekitar 10-150 per 100.000 individu. Di wilayah Asia-Pasifik prevalensi LES
sekitar 4,3-45,3 per 100.000 orang. Pada banyak penelitian ditemukan rasio perempuan : laki-
laki sekitar 9 : 1, namun ada juga penelitian lain menyebutkan 12:1. LES merupakan salah satu
penyakit autoimun terbanyak pada perempuan usia produktif. 5
Di Indonesia, prevalensi LES di Indonesia tahun 2010 mencapai 10.314 kasus. Data
tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta didapatkan 1,4 % kasus LES dari
total kunjungan di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin
Bandung terdapat 291 pasien LES atau 10,5% dari total pasien berobat ke poliklinik
Reumatologi selama tahun 2010.2-6
1.3 Patogenesis
Patogenesis timbulnya LES diawali adanya interaksi antara faktor predisposisi genetik
dengan faktor lingkungan, faktor hormon seks, dan faktor sistem neuroendokrin. Interaksi
faktor-faktor ini akan mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respon imun yang
14
menimbulkan peningkatan aktivitas sel T dan sel B, sehingga terjadi peningkatan auto antibodi
(DNA-anti DNA). Sebagian autoantibodi ini akan membentuk komplek imun bersama
nukleosom (DNA-histon), kromain, C1q, laminin, Ro (S5-A), dan ribosom, yang kemudian
akan membentuk deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakan jaringan. Tahap akhir
perjalanan penyakit LES umumnya diakibatkan komplikasi jangka panjang LES yang
menyebabkan kerusakan organ tubuh.(Gambar 1).
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitivitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif, dan manifestasi klinis lain
tidak ada, maka belum tentu LES dan observasi jangka panjang diperlukan. 1-2
Kriteria untuk klasifikasi LES menurut SLICC (Systemic Lupus International
Collaborating Clinics), diantaranya :
Kriteria Klinis
16
1. Lupus kutaneus akut Meliputi ruam malar lupus (jangan dimasukkan bila
diskoid malar);lupus bula; varian nekrolisis
epidermal toksik dari SLE; ruam lupus
makulopapular; ruam lupus fotosensitif tanpa
deramtomiositis; atau lupus kutan subakut
(nonindurated psoriaform dan/atau lesi polisklik
anular yang sembuh tanpa jaringan parut, walaupun
kadang-kadang disertai depigmentasi atau
telengiektasis postinflamasi).
2. Lupus kutaneus kronik Meliputi ruam diskoid klasik; terlokalisir (di atas
leher); generalisata (di atas dan di bawah leher);
lupus hipertrofik (verukous); lupus panniculitis
(profundus); lupus mukosa; lupus eritematous
tumidus; lupus chilblains; lupus discoid/overlap
dari liken planus.
5. Sinovitis > 2 sendi Nyeri 2 sendi atau lebih disertai dengan edema atau
efusi disertai dengan kekakuan sendi pagi hari.
17
7. Manifestasi ginjal Protein urin/ kreatinin atau protein urin 24 jam (500
mg atau lebih) atau ada cast eritrosit.
Kriteria Imunologi
13. Anti DS DNA Diatas nilai normal kecuali ELISA : dua kali diatas
nilai normal
14. Anti Sm
19
Sebanyak 60% pasien dewasa akan mengalami komplikasi ginjal yang nyata. Pria dengan LES
mempunyai insidens yang sama dengan wanita untuk terjadinya NL. 8-9
2. Patogenesis
Gambaran klinis kerusakan glomerulus dihubungkan dengan lokasi terbentuknya
deposit kompleks imun. Deposit pada mesangium dan subendotel letaknya proksimal terhadap
membran basalis glomerulus sehingga mempunyai akses pembuluh darah. Deposit pada daerah
ini akan mengaktifkan komplemen yang selanjutkan akan membentuk kemoaktraktan C3a dan
C5a yang menyebabkan terjadinya influks sel neutrofil dan mononuklear. Deposit pada daerah
ini secara histopatologis memberikan gambaran mesangial, proliferatif fokal dan proliferatif
difus yang secara klinis memberikan gambaran sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit,
leukosit, silinder sel dan granular), proteinuria, dan sering disertai dengan penurunan fungsi
ginjal. 2,8-9
Deposit pada subepitelial juga akan mengaktifkan komplemen, tetapi tidak terjadi
influks sel-sel inflamsi. Hal ini dikarenakan kemoaktraktan dipisahkan oleh membrane basalis
glomerulus dari sirkulasi sehingga jejas hanya sebatas sel-sel epitel glomerulus. Secara
histopatologi memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara klinis hanya didapatkan
proteinuria. 2,8-9
3. Gejala Klinis
Nefritis Lupus adalah komplikasi ginjal pada LES. Diagnosis LES ditegakkan
berdasarkan kriteria American Rheumatism Association yang telah dimodifikasi tahun 1997.
Ditemukannya 4 dari 11 kriteria mempunyai sensitivitas dan spesifitas 96% untuk LES.
Manifestasi kelainan ginjal berupa proteinuria yang didapatkan pada semua pasien, sindrom
nefrotik pada 45-65% pasien, hematuria mikroskopik pada 80% pasien, hipertensi pada 15-
50%, gangguan tubular 60-80%, penurunan fungsi ginjal pada 40-80% pasien dan penurunan
fungsi ginjal yang cepat pada 30% pasien. Gambaran klinis yang ringan bisa berubah menjadi
bentuk yang berat dengan perburukan fungsi ginjal tergantung pada beberapa indikator,
diantaranya ras kulit hitam dan Hispanik, hematokrit <26%, kreatinin serum > 2,4 mg/dl, kadar
C3 < 76 mg/dl, adanya serebritis dan NL klas IV. 2,8,9
4. Diagnosis
Diagnosis klinis NL ditegakkan bila pasien LES didapatkan proteinuria ≥ 500 mg/24
jam atau > 3+ pada pemeriksaan dipstick, dan atau silinder selular termasuk eritrosit,
haemoglobin, granular, tubular atau kombinasinya. Proteinuria umumnya diukur dengan cara
mengukur jumlah protein secara kuantitatif dengan mengumpulkan urin selama 24 jam. Rasio
protein/kreatinin urine sewaktu > 500 mg/g (setara dengan rasio albumin/kreatinin urine > 300
20
mg/g) dapat menggantikan proteinuria > 0,5 g/24 jam. Sedimen urin aktif (eritrosit > 5/lpm atau
leukosit > 5/lpm tanpa adanya infeksi) dapat menggantikan pemeriksaan silinder seluler. 2,8
Beberapa tes serologik yang biasa diperiksa pada pasien NL adalah:
a) Tes ANA: tes ini sangat sensitive untuk LES, tapi tidak spesifik. ANA juga ditemukan pada
pasien dengan artritis rematoid, scleroderma, sindrom Syogren, polimiositis dan infeksi
HIV.
b) Tes anti ds DNA, lebih spesifik tapi kurang sensitive untuk LES. Tes ini positif pada kira-
kira 75% pasien LES aktif yang belum diobati. Anti ds DNA mempunyai korelasi yang baik
dengan adanya kelainan ginjal.
c) Antibodi anti-ribonuklear seperti anti-sm dan anti-nRNP. Antibodi-anti Sm mempunyai
hubungan dengan penyakit ginjal dan susunan saraf pusat. Antibodi anti-nRNP ditemukan
35% pasien LES.
d) Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif LES, terutama pada NL tipe
proliferatif. Kadar C3 dan C4 serum sering sudah dibawah normal sebelum gejala lupus
bermanifestasi.
5. Gambaran Histopatologi
Biopsi ginjal sebaiknya dilakukan pada pasien dengan dugaan keterlibatan ginjal karena
parameter klinis dangan laboratoris tidak dapat memprediksi gambaran histopatologi secara
akurat. Indikasi biopsi ginjal adalah proteinuria > 0,5 gram dengan/tanpa sedimen urine aktif.
Jika memungkinkan, biopsi ginjal ulangan dilakukan pada kasus perburukan atau refrakter
terhadap imunosupresan, proteinuria persisten > 1 tahun, dan/atau penurunan glomerular
filtration rate/GFR, dan kekambuhan. 2,8-9
Tujuan pemeriksaan histopatologi adalah menegakkan diagnosis (klasifikasi penyakit)
serta menentukan indeks aktivitas, indeks kronisitas dan prognosis. Klasifikasi nefritis lupus
dapat ditentukan menurut International Society of Nephrology/Renal Pathology Society
(ISN/RPS) 2003 dan WHO. Klasifikasi ISN/RPS dapat digunakan untuk penentuan terapi.
Dibawah ini merupakan tabel klasifikasi nefritis lupus menurut WHO. 2,8-9
Tabel 2. Klasifikasi nefritis lupus menurut WHO
Kelas Pola Tempat deposit Sedimen Proteinuria Kreatinin serum Tekanan Anti-ds C3/C4
kompleks imun (24 jam) darah DNA
I Normal Tidak ada Tidak ada < 200 mg Normal Normal Negatif Normal
II Mesangial Mesangial saja Eritrosit 200-500 mg Normal Normal Negatif Normal
/tidak ada
III Fokal dan Mesangial Eritrosit, 500-3500 mg Normal sampai Normal Positif Menurun
segmental subendotelial, leukosit meningkat sampai
proliferatif subepitelial ringan meningkat
sedikit
IV Difus Mesangial, Eritrosit, 1000-3500 Normal sampai Tinggi Positif Menurun
proliferative subendotelial, leukosit, mg tergantung saat sampai
subepiteal silinder dialysis titer
21
tinggi
V Membra- Mesangial, Tidak ada >3000 mg Normal sampai Normal Negatif Normal
nosa subepitelial meningkat sampai
sedikit titer
sedang
6. Pengobatan
Sebaiknya pengobatan diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan histopatologi dan
biopsi ginjal. Prinsip dasar pengobatan ialah menekan reaksi inflamasi lupus, memperbaiki
fungsi ginjal, atau mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk. Bila pasien tidak
bersedia dibiopsi atau belum memungkinkan untuk dibiopsi karena keadaan umumnya atau
tidak ada fasilitas untuk biopsi maka diperlukan penilaian kelainan histopatologinya. Beberapa
gejala klinis yang dinilai adalah jumlah proteinuria, adanya hematuri, adanya hipertensi, adanya
sindrom nefrotik, dan gangguan fungsi ginjal. Hubungan tersebut dapat dilihat pada tabel 3 di
bawah ini. 2,8-9
Tabel 3. Manifestasi Klinis
Nefritis Proteinuria Hematuria Hipertensi Sindrom Gangguan Fungsi
Lupus Nefrotik Ginjal
Klas I 1 gr/ 24 jam Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal
Klas II 1-3 gr/ 24 jam Tidak ada Tidak ada Tidak ada Normal
Klas III >3 gr/ 24 jam pada 25- Ada Ada Ada ↑ Kreatinin pada
35% pasien 25% pasien
Klas IV >3 gr/ 24 jam pada 50% Sering Sering Sering ↑ Kreatinin
pasien
KlasV >3 gr/ 24 jam Ya/Tidak Ya/Tidak Sering N atau ↓
Klas VI 1 gr/ 24 jam Ya/Tidak Ya/Tidak Ya/Tidak ↓ lambat
Pengobatan umum pada Nefritis Lupus adalah restriksi protein 0,6-0,8 gram/kgBB/hari
bila sudah terdapat gangguan fungsi ginjal, pemberian ACE-I atau ARB untuk mengurangi
proteinuria, dislipidemia dianjurkan pemberian statin, hipertensi, dengan ACE-i atau ARB
sebagai pilihan utama dengan target TD< 130/80 mmHg, hidroksiklorokuin perlu diberikan
pada seluruh pasien nefritis lupus kecuali ada kontraindikasi, diuretik (tergantung klinis pasien),
kalsium dan vitamin D. 2,8-9
a. Nefritis Lupus Klas I
Tidak memerlukan pengobatan spesifik. Pengobatan lebih ditujukan pada gejala ekstra
renal.
b. Nefritis Lupus Klas II
Jika tidak disertai oleh proteinuria yang bermakna (>1 gr/24 jam) dan sedimen tidak aktif,
maka tidak memerlukan pengobatan spesifik. Jika disertai dengan proteinuria yang > 1
gram/24 jam, diberikan prednisolone 0,5-1 mg/kg.hari selama 6-12 minggu.
c. Nefritis Lupus Klas III dan IV
22
Terapi Induksi. Tujuan terapi induksi adalah untuk mencapai keadaan remisi aktivitas
lupus yang ditandai oleh resolusi gejala-gejala ekstra renal, manifestasi serologik
menjadi lebih baik, resolusi hematuri, kristal seluler, konsentrasi kreatinin serum
berkurang atau paling tidak menetap. Obat-obat yang dipakai adalah:
1). Pulse glukortikoid. Pada pasien dengan lupus yang sangat aktif (Acute Kidney Injury,
Rapidly Progresive Glumerulonepritis dan kelainan ekstra renal yang berat) diberikan
metilprednisolon sebanyak 500-1000 mg IV/hari untuk menginduksi efek antiinflamasi
yang cepat. Setelah 3 hari, dilanjutkan dengan dosis 0,5-1,0 mg/kgBB/hari. Prednison
diberikan bersama obat imunosupresan yang lain.
2). Siklofosfamid. Siklofosfamid diberikan dengan dosis 750mg/m2 tiap bulan selama 6
bulan.
3) Mikofenolat Mofetil. Mikofenolat mofetil dipakai untuk terapi induksi NL Klas III
dan IV, dengan dosis 1 gram 2x sehari diberikan sampai 6 bulan.
4) Azatioprin. Diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari selama 6 bulan.
5) Rituximab, adalah anti CD-20 yang bekerja pada limfosit B. Digunakan pada nefritis
lupus yang tidak memberikan respons dengan pemberian siklofosfamid atau MMF.
6). Obat lain, seperti Imunoglobulin IV, siklosporin, Leflunomid, Antibodi monoclonal,
inhibitor komplemen.
Terapi pemeliharaan. Tujuan terapi pemeliharaan adalah untuk mencegah relaps dan
menekan aktivitas penyakit, mencegah progresivitas ke arah penyakit ginjal kronis dan
mencegah efek samping pengobatan yang lama.
23
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat seorang pasien Laki laki usia 24 tahun di bagian Penyakit Dalam RSUP DR
M Djamil Padang sejak tanggal 16 Februari 2022 pukul 14.00 WIB dengan
Keluhan Utama :
Sesak nafas sejak 4 hari sebelum masuk Rumah sakit
Sembab sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, sembab awalnya muncul
pada bagian wajah, kemudian tungkai dan bengkak pada bagian kemaluan.
Buang air kecil berwarna kuning keruh berbusa sejak 2 minggu yang lalu,buang
air kecil seperti air cucian daging, buang air kecil berpasir tidak ada,riwayat
buang air kecil berdarah ada 2 minggu yang lalu, nyeri saat buang air kecil tidak
ada
Penurunan nafsu makan sejak 1 minggu lalu, pasien hanya makan setengah porsi
biasanya, sebanyak setengah piring.
Muka merah dan gatal saat terkena matahari ada. Ruam kemerahan pada wajah tidak
ada, gatal pada wajah tidak ada, ujung-ujung jari kedua tangan, dan telapak kedua
kaki gatal tidak ada Riwayat sariawan berulang ada sejak 6 bulan yang lalu.
Batuk berdahak tidak ada
Buang air besar berwarna kuning kecoklatan, konsistensi padat, frekuensi 1-2x/
hari. Buang air besar berwarna hitam tidak ada.
Rambut mudah rontok tidak ada
24
Riwayat perdarahan gusi ,mimisan ,perdarahan kulit tidak ada
Nyeri perut tidak ada
Nyeri kepala tidak ada
Nyeri dada tidak ada
Kelemahan anggota gerak tidak ada
Penciuman hilang atau berkurang tidak ada
Nyeri menelan tidak ada
Suara serak tidak ada
Riwayat bepergian keluar kota tidak ada
Riwayat kontak dengan pasien Covid-19 tidak ada
Riwayat kejang tidak ada
Riwayat kebingungan atau berhalusinasi tidak ada
Pasien sebelumnya dirawat di RSUD Daerah, dan dirujuk untuk diagnosis dan
penatalaksanaan selanjutnya.
Riwayat Pengobatan :
Riwayat konsumsi obat paracetamol saat berobat di puskesmas.
Riwayat minum jamu jamuan atau obat obatan yang dibeli sendiri tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat tuberkulosis tidak ada
25
Riwayat asma tidak ada
Riwayat penyakit jantung tidak ada
Riwayat alergi tidak ada
Riwayat diabetes tidak ada
Riwayat penyakit autoimun tidak ada
Riwayat hipertensi tidak ada
Riwayat sakit ginjal sebelumnya tidak ada
Riwayat keganasan tidak ada
Pasien bekerja sebagai pedagang di sebuah SMP dan pasien belum menikah
Pasien tinggal di rumah permanen bersama orang tua dan saudara kandung, Pasien
tinggal di rumah permanen dengan ventilasi baik.
Pemeriksaan Fisik :
Kesadaraan : Kompos mentis kooperatif
Keadaan Umum : Sakit sedang
Tekanan Darah : 150/80 mmHg.
Frekuensi Nadi : 92 x/menit, denyut teratur, pengisian cukup
Frekuensi Nafas : 24 x/menit,
Suhu : 36, 9 0C
BB : 58 Kg
58 kg – 6kg (Oedema sedang) = 52 kg
TB : 159 cm
BMI : 52 : 1,592 = 20,5 kg/m2 (Normoweight)
Kepala : Normocephali
Wajah : Malar rash (-), udem periorbital(-)
Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
26
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), reflek
pupil (+/+), diameter 3 mm/3mm
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Gigi dan Mulut : Caries (-),erosi dan ekskoriasi bibir dan mulut (-),
kandidiasis oral (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, kelenjar tiroid tidak membesar
Paru
Paru depan
Inspeksi : Statis normochest,
dinamis simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus paru kanan menurun setinggi RIC IV disbanding kiri
Perkusi : Paru kanan redup setinggi RIC I V,dan paru kiri redup
setinggi RIC VI ,batas pekak hepar sulit dinilai
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-/-) , wheezing -/-, suara nafas
menghilang setinggi RIC VI pada paru kiri
Paru belakang
Inspeksi : Statis normochest,
dinamis simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus paru sama kanan menurun setinggi RIC IV di
banding kiri
Perkusi : Paru kanan redup setinggi RIC IV,dan paru kiri redup
setinggi RIC VI,peranjakan paru sulit di nilai
Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-/-) wheezing (-/-) , suara nafas
menghilang setinggi RIC VI pada paru kiri
27
Jantung
Inspeksi : Iktus tidak terlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V, luas 1 jari tidak
melebar, tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kanan : LSD, Atas : RIC II,
Batas jantung kiri 1 jari medial LMCS RIC V
Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak membuncit
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium(-)
nyeri lepas (-) defans muscular (-)
Perkusi : Timpani.
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Punggung : Nyeri tekan dan nyeri ketok pada sudut CVA (-/-)
Alat kelamin : Oedema scrotum (+)
Anus : Tidak ada kelainan
Anggota Gerak : Oedema +/+, reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-
Kulit : Ruam dan bintik kemerahan pada wajah, kedua telapak tangan
dan kaki tidak ada.
28
Pemeriksaan sendi :
Sendi Inspeksi Palpasi ROM
Shoulder Bengkak (-), kemerahan (-), nyeri tekan (-) Bebas
joint bilateral kaku (-), deformitas (-)
Elbow Bengkak (-) kemerahan (-), nyeri tekan (-) Bebas
joint bilateral kaku (-), deformitas (-)
Genue bilateral Bengkak (-), kemerahan (-), nyeri tekan (-) Bebas
kaku (-), deformitas (-)
MCP bilateral Bengkak (-), kemerahan (-), nyeri tekan (-) Bebas
kaku (-), deformitas (-),
ulnar deviation (-)
PIP bilateral Bengkak (-), kemerahan (-), nyeri tekan (-) Bebas
kaku (-), deformitas (-),
swan neck (-)
MTP II-V Bengkak (-), kemerahan (-), nyeri tekan (-) Bebas
kaku (-), deformitas (-)
IP ibu jari Bengkak (-), kemerahan (-), nyeri tekan (-) Bebas
kaku (-), deformitas (-),
boutuniere deformitas (-)
Pergelangan Bengkak (-), kemerahan (-), nyeri tekan (-) Bebas
Tangan kaku (-), deformitas (-)
Pergelangan Bengkak (-), kemerahan (-), nyeri tekan (-) Bebas
Kaki kaku (-), deformitas (-)
Laboratorium
Hemoglobin 13,4 g/dl
Hematokrit 40 %
Leukosit 24.530 mm3
Trombosit 178.000/mm3
Diffcount 0/0/1/87/5/7
LED 35 mm/jam
Kesan: Leukositosis, neutrofilia shift to the right, Peningkatan LED
29
Gambaran darah tepi
Eritrosit Normositik normokrom
Leukosit Jumlah meningkat,neutrofilia shift to the
right.
Trombosit Jumlah cukup, morfologi normal
Kesan: Leukositosis, neutrofilia shift to the right.
EKG
Irama Sinus
Frekuensi 92 x/ menit
Axis Normal
Gelombang P P mitral dan p pulmonal tidak ada
PR interval 0,12 detik
QRS kompleks 0,04 detik, Q patologis tidak ada
Gelombang T T inverted tidak ada
S V1 + RV6 <35mm
R/S di V1 <1
Kesan Irama sinus, HR 92 x/m
Urinalisis:
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna Kuning Leukosit 6-7 /LPB Protein Positif (+++)
Feses Rutin
Makroskopik Mikroskopik
Warna Kuning Leukosit 2-3/ LPB
Konsistensi Lunak Eritrosit 0-1/ LPB
Darah Negatif Amuba Negatif
Lendir Negatif Telur cacing Negatif
Kesimpulan: Hasil dalam batas normal
30
Kriteria diagnosis LES berdasarkan ACR 1997
Kriteria Pasien
Ruam malar -
Ruam diskoid -
Fotosensitifitas +
Ulkus mulut +
Artritis nonerosif -
Serositis +
Gangguan ginjal +
Gangguan neurologi -
Gangguan hematologi -
Gangguan imunologi Belum di periksa
Antibodi antinuklear positif (ANA)
Total skor 4
Daftar Masalah
Dyspnea
Oedema
Leukositosis
Proteinuria
Leukosituria
Diagnosis Kerja :
Primer : Lupus Eritematosus Sistemik
Sekunder :
Nefritis Lupus
Efusi Pleura ec Serositis
High risk VTE
Diagnosis Banding :
Sindroma Nefrotik
Efusi pleura ec Hipoalbumin
Glumeruloneprhitis
32
Pemeriksaan anjuran
Analisa Gas Darah
Elektrolit (Na/K/Cl)
Faal hemostasis (PT, APTT, INR, D-dimer)
Fungsi ginjal (Ureum /Creatinin)
Faal hepar (SGOT, SGPT, Albumin/globulin)
Profil lipid (Kolesterol total, LDL, HDL, Trigliserida)
Expertise Chest X-Ray
Analisa cairan pleura
USG Ginjal
USG Thoraks
Pemeriksaan Ana Profile
Biopsi Ginjal
Terapi
Istirahat/Makan lunak diet rendah protein 38 gr, 1600 kkal (960 k kal
karbohidrat, 152 kkal protein, 488 kkal lemak)
FOLLOW UP
S/ Sesak nafas ada, Kaki tampak sembab, demam tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada
O/
KU Kesadaran TD Nd Nf T
Sedang CMC 145/94 90 x/i 22 x/i 37,6 ° C
mmHg
33
Keluar nilai kritis hasil Laboratorium
Kesan:
Efusi Pleura ec serositis
Advis:
Thoracosintesis
Analisis cairan Pleura
USG thorax
Advis :
Drip Metil prednisolone 1x500 mg IV (dalam 100 cc Nacl 0,9 % habis dalam 1 jam
selama 3 hari) - dilanjutkan metil prednisolone 3x12 mg PO
34
A/
Lupus Eritematosus Sistemik dengan Nefritis lupus
Efusi Pleura ec Serositis
High Risk VTE
Diagnosis Banding :
Sindrom Nefrotik
Efusi Pleura ec Hipoalbumin
Glumeluronephritis
Terapi:
Istirahat/Makan biasa diet rendah protein 38 gr, 1600 kkal (960 k kalkarbohidrat,
152 kkal protein, 488 kkal lemak)
Inject Pump
Drip Metil prednisolone 1x500 mg IV (dalam 100 cc Nacl 0,9 % habis dalam 1 jam
selama 3 hari) - dilanjutkan metil prednisolone 3x12 mg PO
FOLLOW UP
S/ Sesak nafas ada, Kaki tampak sembab, demam tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada
O/
KU Kesadaran TD Nd Nf T
Sedang CMC 136/86 90 x/i 22 x/i 36,5 ° C
mmHg
35
Keluar hasil laboratorium
SGOT 35 u/l Natrium 132 mmol/L
SGPT 33 u/l Kalium 5,6 mmol/L
PT 10,5 detik Clorida 110 mmol/L
APTT 27,7 detik Globulin 2,2
INR 0,95 Albumin 1,7
Kolesterol total 430 mg/dl Trigliserida 517 mg/dl
HDL kolesterol 33 mg/dl D-dimer 1888 ng/ml
LDL Kolesterol 294 mg/dl
Kesan: D-Dimer hipoalbuminemia, Dislipidemia
Meningkat,
Kesimpulan : Berdasarkan kriteria Light, cairan Pleura saat ini adalah transudat
37
Sindrom nefrotik
Advis :
Drip Metil prednisolone 1x500 mg dalam 100 cc Nacl 0,9 % habis dalam 1 jam
selama 3 hari.--dilanjutkan Metil prednisone 3x12 mg (po)
Tranfusi Human Albumin 25 % 100 ml (iv) extra
Ca Carbonate 1 x 1000 mg (po)
Inj Lanzoprazole 1x30 mg (iv)
Pemeriksaan protein urin 24 jam
USG Ginjal
Biopsi Ginjal
Kesan:
Efusi Pleura bilateral ec Hipoalbumin
Advis:
USG Thoraks
Konsul Konsultan Alergi Imunologi
Advis:
Advis:
38
Konsul Konsultan Hemato Onkologi Medik
Kesan :
High risk VTE
Advis :
Injeksi heparin 2x5000 ui (sc)
Awasi perdarahan
A/
Sistemik Lupus Eritematosus dengan nefritis lupus
Efusi Pleura Bilateral ec Hipoalbumin
Dislipidemia
High Risk VTE
Diagnosis Banding :
Sindrom Nefrotik
Glumeruloneprhitis
Terapi:
Istirahat/Makan biasa diet rendah protein 38 gr, 1600 kkal (960 k kalkarbohidrat,
152 kkal protein, 488 kkal lemak)
Inject Pump
Drip Metil prednisolone 1x500 mg IV (dalam 100 cc Nacl 0,9 % habis dalam 1 jam
selama 3 hari) - dilanjutkan metil prednisolone 3x12 mg PO
39
FOLLOW UP
S/ Sesak Nafas ada ,Sembab pada kaki berkurang , Demam tidak ada, Batuk tidak ada.
O/
KU Kesadaran TD Nd Nf T SatO2
Sedang CMC 132/70 78 x/i 22 x/i 36,8 ° C 99%
mmHg
40
Batu, kista : tidak ada
Vesika Urinaria
Bentuk : normal
Mukosa : reguler
Batu : tidak ada
Kesimpulan : Sonografi kedua ginjal sesuai gambaran gangguan ginjal akut (AKI)
dengan asites ( Nefritis Akut)
Diagnosis Banding :
Sindrom Nefrotik
Terapi:
Istirahat/Makan biasa diet rendah protein 38 gr, 1600 kkal (960 k kalkarbohidrat,
152 kkal protein, 488 kkal lemak)
Inject pump
Drip Metil prednisolone 1x500 mg IV (dalam 100 cc Nacl 0,9 % habis dalam 1 jam
41
selama 3 hari) - dilanjutkan metil prednisolone 3x12 mg PO
FOLLOW UP
S/ Sesak Nafas ada,Sembab pada kaki berkurang , Demam tidak ada, Batuk tidak ada
O/
KU Kesadaran TD Nd Nf T SatO2
Sedang CMC 132/70 84 x/i 20 x/i 36,8 ° C 99%
mmHg
Advis :
Metil prednisolone 3x12 mg (po)
Ca Carbonate 1 x 1000 mg (po)
42
Inj Lanzoprazole 1x30 mg (iv)
Tranfusi human albumin 25 % 100 ml (iv) extra
Pemeriksaan urinalisa ulang /3hari
Biopsi ginjal
A/
Nefritis lupus dengan Rapidly progressive glomerulonephritis
Sistemik Lupus Eritematosus dengan nefritis lupus
Efusi Pleura Bilateral ec Hipoalbumin
Dislipidemia
High Risk VTE
Diagnosis Banding :
Sindrom Nefrotik
Terapi:
Istirahat/Makan biasa diet rendah protein 38 gr, 1600 kkal (960 k kalkarbohidrat,
152 kkal protein, 488 kkal lemak)
Inject Pump
Inj Furosemid 2 x 20 mg (iv)
Inj Lanzoprazole 1x30 mg ( iv)
Inj Heparin 2x5000 Iu (SC)
Metil prednisolone 3x12mg (po)
Ramipril 1x2,5 mg (po)
Ca Carbonate 1 x 1000 mg (po)
Fenofibrat 1x300 mg (po)
Tranfusi human albumin 25 % 100 ml (iv) extra
FOLLOW UP
Tanggal 21 Februari 2022
S/ Sembab pada kaki berkurang, sesak nafas berkurang, demam tidak ada,batuk tidak
ada
43
O/
KU Kesadaran TD Nd Nf T
Sedang CMC 124/79 80 x/i 20 x/i 37,3 ° C
mmHg
Urinalisis:
Makroskopis Mikroskopis Kimia
Warna Kuning Leukosit 2-3 /LPB Protein Positif (++)
ANA Profile
RNP/Sm (RNP/Sm) (+)
Sm (Sm) (+)
SS-A native (60kDa) (SSA) (-)
Ro-52 recombinant (52) (-)
SS-B (SSB) (-)
44
Scl-70 (Scl) (-)
PM-Scl 100 (PM100) (-)
Jo-1 (Jo) (-)
Centromere B (CB) (-)
PCNA (PCNA) (-)
DsDNA (DNA) (-)
Nucleosome (NUC) (-)
Histone (HI) (-)
Ribosomal-P-protein (RIB) (-)
AMA-M2 (M2) (-)
DFS70 (-)
Kesan: Sistemik Lupus Eritematosus
Konsul Konsultan Alergi Imunologi
Kesan :
Sistemik Lupus Eritematosus dengan nefritis
lupus
Advis :
Metilprednison 3 x 12 mg (po)
Hydroxichloroquine 1x200 mg (po)
Mycophenolate Sodium 2 x 360 mg (po)
Lansoprazole 1 x 30 mg (iv)
Ca Carbonate 1x 1000 mg (po)
Asam Folat 1x1 mg (po)
A/
Nefritis lupus dengan Rapidly Progressive Glumeluronephritis
Sistemik Lupus Eritematosus dengan nefritis lupus
Efusi Pleura Bilateral ec Hipoalbumin
Dislipidemia
High Risk VTE
P/
Istirahat/Makan biasa diet rendah protein 38 gr, 1600 kkal (960 k kal
karbohidrat, 152 kkal protein, 488 kkal lemak)
Inject Pump
Inj Furosemid 2 x 20 mg (iv)
Inj Lanzoprazole 1x30 mg ( iv)
Inj Heparin 2x5000 Iu (SC)
Metilprednison 3 x 12 mg (po)
Ramipril 1x2,5 mg (po)
Mycophenolate Sodium 2 x 360 mg (po)
Ca Carbonate 1 x 1000 mg (po)
Hydroxichloroquine 1x200 mg (po)
Fenofibrat 1x 300 mg (po)
Asam folat 1 x1 mg (Po)
FOLLOW UP
S/ Sembab pada kaki berkurang, sesak nafas tidak ada, demam tidak ada, batuk
tidak ada,
46
O/
KU Kesadaran TD Nd Nf T
Sedang CMC 110/70 75 x/i 18 x/i 36,7 ° C
mmHg
47
Asam folat 1x1 mg (po)
Rencana rawat jalan
A/
Nefritis lupus dengan Rapidly Progressive Glumerulonephritis
Sistemik Lupus Eritematosus dengan nefritis lupus
Efusi Pleura Bilateral ec Hipoalbumin
Dislipidemia
High Risk VTE
P/
Istirahat/Makan biasa diet rendah protein 38 gr, 1600 kkal (960 k kal
karbohidrat, 152 kkal protein, 488 kkal lemak)
Inject pump
Inj Furosemid 2 x 20 mg (iv)
Inj Lanzoprazole 1x30 mg ( iv)
Inj Heparin 2x5000 Iu (SC)
Metilprednison 3 x 12 mg (po)
Ramipril 1x2,5 mg (po)
Mycophenolate Sodium 2 x 360 mg (po)
Fenofibrat 1x 300 mg (po)
Ca Carbonate 1 x 1000 mg (po)
Hydroxichloroquine 1x200 mg (po)
Asam folat 1x1 mg
48
Tanggal 23 Februari 2022 (08.00 WIB)
S/ Sesak nafas tidak ada, Kaki sembab tidak, demam tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak
ada
O/
KU Kesadaran TD Nd Nf T
Sedang CMC 128/80 78 x/i 18 x/i 36,5 ° C
mmHg
Advis:
49
Advis:
Terapi sesuai DPJP utama
Rawat jalan
Advis:
Rawat jalan
Konsul Konsultan Endokrin Metabolik Diabetes
Kesan : Dislipidemia
Advis:
Fenofibrat 1x 300 mg (po)
Rawat Jalan
Kesan :
Advis :
Terapi Sesuai DPJP utama
Rawat jalan
A/
Dislipidemia
50
Furosemid 1 x 40 mg (po)
Metilprednison 3 x 12 mg (po)
Rawat jalan
51
BAB III
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki-laki, usia 24 tahun dirawat di bangsal Penyakit
Dalam RSUP dr. M. Djamil sejak tanggal 16 Februari 2022 pukul 14.00 WIB dengan
52
sistemik bisa ditegakkan apabila dijumpai minimal 4 dari 11 kriteria, yaitu ruam malar, ruam
diskoid, fotosensitivitas, ulkus mulut, artritis, serositis, pleuritis, perikarditis, gangguan renal,
gangguan neurologi, gangguan hematologi, dan gangguan imunologik. Pada pasien ini
terdapat 5 dari 11 kriteria yang terpenuhi, yaitu fotosensitivitas,ulkus oral, serositis,
gangguan renal, gangguan imunologi, sehingga mendukung diagnosis ke arah Lupus
Eritematosus Sistemik. Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia, bila dijumpai 4 atau
lebih kriteria tersebut, diagnosis LES memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. Selain
itu
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis
dengan etiologi yang belum diketahui serta manfestasi klinis, perjalanan penyakit dan
prognosis yang beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan
angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE. Insiden LES secara global sekitar 1-15
per 100.000 orang pertahun. Insiden di wilayah Asia Pasifik sekitar 0,9-3,1. Puncak insiden
antara rentang usia 15-40 tahun. Prevalensi LES diperkirakan sekitar 10-150 per 100.000
individu. Di wilayah Asia-Pasifik prevalensi LES sekitar 4,3-45,3 per 100.000 orang. Pada
banyak penelitian ditemukan rasio perempuan : laki-laki sekitar 9 : 1, namun ada juga
penelitian lain menyebutkan 12:1. LES merupakan salah satu penyakit autoimun terbanyak
pada perempuan usia produktif.
Menurut Sepulveda et al (2019), lupus eritematosus sistemik pada pria berhubungan
dengan manifestasi klinis dan prognosis yang kurang baik karena seringnya dengan adanya
keterlibatan ginjal. Kelainan serologis seperti hipokomplementemia dan autoantibodi anti-
dsDNA lebih banyak dilaporkan pada pasien pria. Selain itu, komplikasi kardiovaskular lebih
sering terjadi pada pria dengan SLE. Hal ini menyebabkan bertambahnya akumulasi
kerusakan organ pada pasien ini. Sementara beberapa penelitian menemukan jenis kelamin
laki-laki menjadi faktor risiko untuk gagal ginjal.
Penilaian aktivitas penyakit SLE diperlukan untuk menentukan kesesuian rencana
terapi pada setiap individu. Penilaian ini dilakukan sejak awal penegakan diagnosis. Sistem
skor untuk menilai aktivitas penyakit SLE ada beberapa, dan yang paling sering digunakan
adalah SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih mudah diterapkan pada pusat kesehatan primer yang
jauh dari tersedianya fasilitas laboratorium canggih dan skor ini lebih murah 30% daripada
SLEDAI dan tepat digunakan pada negara berkembang seperti Indonesia. Pengelompokan
aktivitas penyakit berdasarkan MEX-SLEDAI adalah sebagai berikut: remisi (skor 0-1),
ringan (skor 2-5), sedang (6-9), berat (10-13) dan sangat berat (≥ 14). Pada pasien ini
53
didapatkan skor MEX SLEDAI sebesar 9 poin, yang artinya SLE pasien ini mempunyai
aktivitas yang sedang. Hal ini terjadi terutama karena dijumpai adanya nefritis lupus. 11-12
Pasien ini juga didiagnosis dengan Nefritis Lupus. Nefritis Lupus (NL) merupakan
salah satu komplikasi dari lupus eritematosus sistemik. Lupus Nefritis ditemukan pada 40-
60% pasien LES dan dapat meningkatkan angka kematian hingga 70% setelah diagnosis
awal. Setelah penanganan adekuat, 26% pasien Lupus Nefritis tetap akan berlanjut menjadi
penyakit ginjal tahap akhir (end stage renal disease) yang akan menurunkan angka harapan
hidup hingga 15,1-23,7 tahun. Infeksi, komplikasi kardiovaskular, dan keganasan berperan
sebagai penyebab kematian berhubungan dengan terapi jangka panjang pasien Lupus Nefritis.
2,8-9,15
55
Pada pasien ini terdapat dislipidemia. Dislipidemia yang terjadi pada pasien bisa
karena penyakit SLE itu sendiri yang menyebabkan autoimunitas dan proses inflamasi
sehingga terjadi peningkatan sitokin pro inflamasi TNF-α yang mengakibatkan terjadinya
penurunan aktivitas enzim lipoprotein lipase. Enzim lipoprotein lipase yang berasal dari
endotel berfungsi menghidrolisis trigliserida baik yang berasal dari makanan maupun yang
berasal dari hati. Penurunan aktivitas enzim lipoprotein lipase sebagai akibat dari
meningkatnya TNF-α menyebabkan terjadinya peningkatan trigliserida pada pasien ini.
Pengelolaan pasien LES memerlukan pendekatan holistik yang meliputi edukasi,
program rehabilitasi, dan terapi medikamentosa. Target pengelolaan LES adalah mencapai
remisi dan mencapai kekambuhan. Edukasi kepada pasien merupakan hal yang tidak
terpisahkan dari tatalaksana pasien LES. Edukasi yang disampaikan adalah penjelasan
mengenai LES dan organ tubuh yang terlibat, menjalani pola hidup sehat, berolahraga,
memperhatikan nutrisi yang sesuai, menghindari merokok, menghindari paparan sinar
matahari berlebih, pemantauan ke dokter dan mengenal gejala kekambuhan seperti demam,
ruam baru, kerontokan rambut, dan lesi oral baru. 2-14,16
Terapi yang diberikan kepada pasien ini dengan lupus yang sangat aktif (Rapidly
Progresive Glumerulonepritis) adalah terapi induksi. Tujuan terapi induksi adalah untuk
mencapai keadaan remisi aktivitas lupus yang ditandai oleh resolusi gejala-gejala ekstra
renal, manifestasi serologik menjadi lebih baik, resolusi hematuri, kristal seluler, konsentrasi
kreatinin serum berkurang atau paling tidak menetap. Pasien ini diberikan Metilprednisolon
pulse dose 1x500 mg IV selama 3 hari. Kemudian dianjutkan dengan metilprednisolon 3x12
mg PO. Efek samping pemberian kortikosteroid antara lain infeksi, hipertensi, katarak,
osteoporosis, dan sindrom Cushing. Risiko fraktur ditemukan sebesar 20% dengan dosis
harian prednisolon ≤ 5 mg dan 60% dengan dosis harian ≥ 20 mg sehingga disarankan agar
mendapat suplemen kalsium dan vitamin D.2-14,16
Pasien ini juga diberikan obat antimalaria hidroksiklorokuin 1x200 mg PO. Obat ini
memiliki efek positif bagi pasien SLE yaitu meningkatkan remisi, menurunkan aktivitas
penyakit dan infeksi, memberi dampak positif terhadap profil lipid, mencegah trombosis dan
mencegah kegagalan organ. 2,10-13
Obat imunosupresan digunakan dalam tatalaksana SLE karena efek imunosupresi dan
imunomodulasi yang dimilikinya. Obat imunosupresan juga dapat mengurangi inflamasi,
mencegah perburukan keterlibatan organ dan agar dosis steroid dapat dikurangi untuk fase
pemeliharaan. Imunosupresan yang digunakan pasa pasien ini adalah asam mikofenolat
56
2x360 mg PO. Senyawa obat ini mampu menekan proliferasi limfosit, produksi antibodi,
presentasi antigen, migrasi sel dendritik mieloid, dan adesi molekulnya. 2,10-13
Pasien ini dianjurkan untuk kontrol secara rutin sehingga perjalanan penyakit dan efek
samping pengobatan pada pasien dapat diawasi. Terapi yang efektif dihubungkan dengan
menurunnya manifestasi inflamasi, berkurangnya gejala ekstra renal, membaiknya kadar C3,
C4 dan titer anti-ds DNA. Untuk kelainan ginjalnya sendiri akan didapatkan berkurangnya
aktivitas sedimen urin, membaiknya kadar kreatinin plasma dan berkurangnya proteinuria.
57
DAFTAR PUSTAKA
59
60
61
62