Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS (SLE)

Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas


Program Internsip Dokter Indonesia
Periode November 2019 – September 2020

Oleh :
dr. Lintang Vidyaningrum

Pendamping :
dr. Sunario, MPH

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CURUP

KABUPATEN REJANG LEBONG

2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai


adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh dan ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh
auto antibodi patogen dan kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit
multisistem yang bermanifestasi sebagai “lesi kulit seperti kupu-kupu” di wajah,
perikarditis, kelainan ginjal, artritis, anemia dan gejala-gejala susunan saraf pusat1.
Penyakit ini telah dikenal 150 tahun yang lalu dengan berbagai nama yang
merupakan sinonim dari lupus, seperti yang dikemukakan oleh Hippocrates (460-
370 S.M) sebagai herpes esthiomenos dan herpes ulcerosus dari Amatus Lusitanus
(1510-1568). Hebra pada tahun 1845 telah menemukan adanya suatu seborhea
kongestif yang diyakini adalah suatu lupus eritematosus dengan gambaran seperti
kupu-kupu (butterfly rash) pada daerah pipi dan hidung. Keterlibatan
kardiovaskuler seperti adanya vaskulitis dan endokarditis mural dilaporkan oleh
Libman dan Sacks (1923), sedangkan gambaran patologi glomelurus ginjal
diperkenalkan oleh Baehr, Klemperer dan Schifrin serta Gross, Keith dan
Rowntree2.
Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah
Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi
Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien
LES atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama
20103
Manifestasi klinik dari SLE beragam tergantung organ yang terlibat, klinis
yang kompleks, sangat bervariasi dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif,
terkendali ataupun remisi. Berdasarkan berat-ringannya gejala yang muncul, SLE
dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat1.

2
Mengingat manifestasi klinis perjalanan penyakit SLE sangat beragam dan
risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya pengenalan dini serta
penatalaksanaan yang tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan.1

2.2 Etiologi
Etiologi lupus eritematosus, seperti halnya penyakit autoimun lain, adalah
tidak diketahui. Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu teori yang
pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai dari
gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi
autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies
(ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen
yang berhubungan dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan
limfosit, kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri. Teori lainnya
menyatakan autoantibodi lupus eritematosus merupakan lanjutan dari reaksi
silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA.1
Faktor-faktor seperti paparan sinar matahari, infeksi dan obat-obatan dapat
menjadi pencetus terjadinya reaksi lupus eritematosus sistemik. Apapun
etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang menunjukkan
hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) /
MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus
eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor

3
limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan
autoantibodi.1

2.3 Patofisiologi
Patogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat
banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor
genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun.
Interaksi antara faktor gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan
respons imun yang abnormal. Respons ini termasuk (1) aktivasi dari imunitas
innate (sel dendrit) oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA
dalam RNA/protein self-antigen ; (2) Ambang aktivasi sel imun adaptif yang
menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B); (3) Regularitas dan
inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnya klirens sel apoptotik
dan kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein
pada Sm, Ro, dan La; fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada
gelembung permukaan sel apoptotik, sehingga antigen, autoantibodi, dan
kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang
panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang secara lambat.
Mekanisme patogenik dari SLE diilustrasikan pada gambar berikut.

4
Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan
respons imun abnormal yang menghasilkan autoantibodi patogen dan
deposisi kompleks imun pada jaringan, komplemen aktif, menyebabkan
inflamasi dan lama kelamaan mengakibatkan kerusakan organ irreversible.
Keterangan: Ag, antigen; C1q, complement system; C3, complement
component; CNS, central nervous system; DC, dendritic cell; EBV,
Epstein-Barr virus; HLA, human leukocyte antigen; FcR, immunoglobulin
Fc-binding receptor; IL, interleukin; MBL, mannosebinding ligand; MCP,
monocyte chemotactic protein; PTPN, phosphotyrosine phosphatase; UV,
ultraviolet5

Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti
dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF)
dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B
lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL)-10. Peningkatan regulasi
gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE.
Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan

5
transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan
inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibodi yang terus menerus
dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan
target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang
menemukan sel darah yang berikatan dengan Imunoglobulin. Aktivasi dari
komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotoksin, sitokin,
kemokin, peptida vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi
kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan
kemotoksin, sitokin, kemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Selain
itu, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan
terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru,
dan jaringan lainnya.6
Faktor hormonal juga mempengaruhi patogenesis lupus.Mayoritas
penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapapenelitian menunjukkan
terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormonestrogen dengan sistem
imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonalsehingga mengakibatkan
produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES.Autoantibodi pada lupus
kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA).
Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sellainnya seperti eritrosit,
trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks
imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon
inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit danginjal.8
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah
padaself-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis
keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada
penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara
langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang
bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit.
Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan
bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat

6
yang terkandungdalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh
obat jugamemberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh
obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor
lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat
ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat
mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. 6,7

2.4 Manifestasi klinis1,5


 Gejala konstitusi
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita
LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis
lainnya,kelelahan ini sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang
mennyebabkan kelelahan seperti pada anemia, meningkatya beban kerja,
konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti perdnison. Apabila
kelelahan disebabkan olehaktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan
penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat
badan ini disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40oC tanpa
adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES
biasanyatidak disertai menggigil.
 Manifestasi renal
Komplikasi ini mengancam jiwa dan terjadi pada 30% pasien dengan
SLE. Nefritis terjadi pada beberapa tahun awal SLE. Gejala awal bisa
asimtomatik, sehingga pemeriksaan urinalisis dan tekanan darah penting.
Karakteristik manifestasi renal berupa proteinuria >500 mg/urin 24 jam,

7
sedimen eritrosit. Klasifikasi glomerulonefritis akibat SLE terdiri dari
beberapa kelas.
1. Minimal mesangial lupus nefritis
2. Mesangial proliferatif lupus nefritis
3. Fokal lupus nefritis
4. Difus lupus nefritis
5. Membranosa lupus nefritis
6. Sklerosis lupus nefritis
 Manifestasi neuropsikiatrik
Terdapat 19 manifestasi lupus neuropsikiatrik yang bisa dibuktikan
hanya dengan biopsi. Gejala yang dirasakan berupa nyeri kepala, kejang,
depresi, psikosis, neuropati perifer. Manifestasi sistem saraf pusat berupa
aseptik meningitis, penyakit serebrovaskuler, sindrom demielinasi, nyeri
kepala, gangguan gerakan, mielopati, kejang, penurunan kesadaran akut,
kecemasan, disfungsi kognitif, gangguan mood, psikosis. Manifestasi
sistem saraf perifer berupa polineuropati perifer akut, gejala autonom,
mononeuropati, miastenia gravis, neuropati kranial, pleksopati.

 Manifestasi muskuloskeletal
Manifestasi yang satu ini merupakan manifestasi yang paling sering
mengungkap terjadi SLE pada pasien. Atralgia dan mialgia merupakan
gejala tersering. Keluhan ini sering kali dianggap mirip dengan artritis
reumatoid dan bisa disertai dengan faktor reumatoid positif. Perbedaannya
SLE biasanya tidak menyebabkan deformitas, durasi kejadian hanya
beberapa menit.
 Manifestasi kulit
Gejala yang terjadi berikut berupa rash malar dan diskoid. Sering
dicetuskan oleh fotosensitivitas. Bisa terjadi alopesia. Manifestasi oral
berupa terbentuknya ulkus atau kandidiasis, mata dan vagina kering.
Perhatikan gambar 2 berikut malar rash dan gambar 4 alopesia berat akibat
SLE.

8
Gambar 2. Rash malar Gambar 3. Rash diskoid

Gambar 4. Alopesia berat pada SLE

 Manifestasi hematologi
Berupa anemia normokrom normositer,trombositopenia, leukopenia.
Anemia yang terjadi bisa terjadi akibat SLE maupun akibat manifestasi
renal pada SLE sehingga mengakibatkan terjadinya anemia. Limfopenia <
1500/uL terjadi pada 80% kasus.
 Manifestasi paru
Berupa pneumositis, emboli paru, hipertensi pulmonal, perdarahan
paru, pleuritis. Pleuritis memiliki gejala nyeri dada, batuk, sesak napas.
Efusi pleura juga bisa terjadi dengan hasil cairan berupa eksudat.
Shrinking lung syndrome merupakan sistemik yang terjadi akibat
atelektasis paru basal yang terjadi akibat disfungsi diafragma.
 Manifestasi gastrointestinal

9
Gejala tersering berupa dispepsia, yang bisa terjadi baik akibat
penyakit SLE itu sendiri atau efek samping pengobatannya.
Hepatosplenomegali (+). Terjadinya vaskulitis mesenterika merupakan
komplikasi paling mengancam nyawa karena dapat menyebabkan
terjadinya perforasi sehingga memerlukan penatalaksanaan berupa
laparotomi.
 Manifestasi vaskuler
Fenomena raynaud, livedo reticularis yang merupakan abnormalitas
mikrovaskuler pada ekstremitas, vaskulitis, trombosis merupakan
komplikasi yang terjadi. Gambar berikut menunjukkan livedo reticularis.

Gambar 5. Livedo reticularis10

Gambar 6. Vaskulitis 10
 Manifestasi kardiovaskuler
SLE dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya
dapat mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina

10
pektoris, valvulitis, vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa
manifestasi lainnya.

2.5 Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of
Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut
SLE jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria
tersebut.1

No Kriteria Batasan
1 Rash malar Eritema, datar atau timbul di atas eminensia
malar dan bisa meluas ke lipatan nasolabial
2 Discoid rash Bercak kemerahan dengan keratosis bersisik
dan sumbatan folikel. Pada SLE lanjut
ditemukan parut atrofi
3 Fotosensitivitas Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap
sinar matahari
4 Ulkus oral Ulserasi oral atau nasofaring yang tidak nyeri
5 Artritis nonerosif Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer dengan
karakteristik efusi, nyeri, dan bengkak
6 Pleuritis atau a. Pleuritis: nyeri pleuritik, ditemukannya
pericarditis pleuritik rub atau efusi pleura
b. Perikarditis: EKG dan pericardial friction
rub
7 Gangguan renal a. Proteinuria persisten > 0,5 gr per hari atau
kualifikasi >+++
b. Sedimen eritrosit, granular, tubular atau
campuran
8 Gangguan a. Kejang- tidak disebabkan oleh gangguan
neurologis metabolik maupun obat-obatan seperti
uremia, ketoasidosis, ketidakseimbangan

11
elektrolit
b. Psikosis- tanpa disebabkan obat maupun
kelainan metabolik di atas
9 Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis
hematologi b. Leukopenia < 4000/uL
c. Limfopenia < 1500/uL
d. Trombositopenia< 100,000/uL
10 Gangguan a. antiDNA meningkat
imunologi b. anti Sm meningkat
c. antibodi antifosfolipid: IgG IgM
antikardiolipin meningkat, tes koagulasi
lupus (+) dengan metode standar, hasil (+)
palsu dan dibuktikan dengan pemeriksaan
imobilisasi T.pallidum 6 bulan kemudian
atau fluoresensi absorsi antibodi
11 Antibodi Titer ANA meningkat dari normal
antinuklear (ANA)

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki


sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan.3

2.5.1 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Darah Rutin dan Urin Rutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik (SLE) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE

12
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau
leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu,
hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast,
heme granular atau sel darah merah pada urin. 3

2. Pemeriksaan Imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
LES adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar
95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit
lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi
kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective
tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan
atau pada orang normal.1,3
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES
seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes
ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran
klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2
sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES
umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan. 1,3
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah
tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm,
nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal
sebagai pro il ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik
untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir
100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis

13
SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah
mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE. 1,3
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -
30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang
normal. Tes anti-Sm relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk
diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesi ik untuk SLE. Seperti
anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis. 1,3

2.6 Tatalaksana
1. Edukasi1,3
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan
dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru
terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada
penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang bertemu
secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya,
penderita LES mengalami fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu
diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka
dinasihatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari,
baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari.
Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari
jendela. Selain itu, penderita LES juga harus menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus
selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,
terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi,
obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung,
ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan
pada penderita LES yang akan menjalani prosedur genitourinarius, cabut
gigi dan prosedur invasif lainnya.

14
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama
penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang
merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau
siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES
dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan
aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu
apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau
imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak
mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat
diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan
mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi
agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan
lainnya.
2. Terapi konservatif
a) Arthritis, athralgia dan myalgia1
Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat
diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang
harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek
sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek
samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus
diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara
berkala. 3
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak
memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat
antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam
waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera
dihentikan. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau
hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi
oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina. 3

15
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat
dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat
antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis
rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat
dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk
mengatasi arthritis pada penderita LES. 3
b) Lupus Kutaneus
Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas.
Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar
ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar
fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung terhadap
paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca
jendela yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan
menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal berupa
krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,
benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar
ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah
mandi atau berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat
dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal
harus hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat
dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis dan
fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaaan preparat steroid
lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison.
Untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan steroid topikal
berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon
asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar
pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi,
misalnya betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid
berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian
diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah.

16
c) Kelelahan dan keluhan sistemik
Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada
penderita LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam.
Kelelahan juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan
penurunan berat badan dan demam dapat juga diakibatkan oleh
pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam mengatasi
masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup
menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang
berat dapat menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit LES dan
pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan. 3
d) Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat
merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat
diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau
glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang berat,
harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol
penyakitnya.3

3. Terapi agresif
a) Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan LES. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan
efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak
dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid
yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah
interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi
berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya. 3
Tabel 1. Terminologi pembagian kortikosteroid
Dosis rendah < 7.5 mg prednison atau setara perhari
Dosis sedang >7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison
atau setara perhari
Dosis tinggi >30 mg, tetapi < 100 mg prednison

17
atau setara perhari
Dosis sangat tinggi >100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse >250 mg prednison atau setara
perhari untuk 1 hari atau beberapa hari
Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam menatalaksana
kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang
relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang
aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut
yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.3
Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang
mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini
biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon
diberikan selama 3 hari berturut-turut. 3
b) Sparing Agen Kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan
menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi juga mengontrol
penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agent
ini adalah siklofosfamid azatioprin, siklosporin dan metrotrexate. 3
1) Siklofosfamid
Indikasi siklofosfamid pada LES :
o Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid
sparing agent).
o Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis
tinggi. 1.3) Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan
steroid jangka lama atau berulang.
o Glomerulonefritis difus awal.
o LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
o Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin
serum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
o LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.

18
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl
0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24
jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada
terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan
interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama
pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap
dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan
penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid
diturunkan sampai 500-750 mg/m2. 3
2) Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai
alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3
mg/kgBB/haridan diberikan secara per oral. Obat ini dapat
diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE, setelah
penyakitnya dapat dikontrol dandosis steroid sudah seminimal
mungkin, maka dosis azatioprin jugadapat diturunkan perlahan dan
dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik,
peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan. 3
3) Siklosporin
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan SLE
adalah Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini
dapat digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun
dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus
diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah.
Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin
darah sebelum pemberian siklosporin, maka dosisnya harus
diturunkan. 3

19
Algoritma penatalaksaan SLE

Keterangan; TR: tidak respon, RS: respon sebagian, RP: respon penuh, OAINS:
obat anti inflamasi non steroid CYC: siklofosfamid, NPSLE: neuropsikiatri SLE,
KS: kortikosteroid setara prednison, AZA: azatioprin, MP: metilprednisolon

20
BAB III
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Ny. Pal
Umur : 51 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Petani
Alamat : Cawang Lama
Agama : Islam
Masuk RS : 28 Juli 2020

2.2 Data Subjektif (Autoanamnesis dan Alloanamnesis)


2.2.1 Keluhan Utama
Perut membesar dan badan terasa lemas sejak 3 hari SMRS
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang (Autoanamnesis dan Alloanamnesis)
± 6 bulan yang lalu, pasien mengeluhkan demam. Demam
dirasakan terus menerus. Demam turun dengan minum obat penurun
panas, namun keluhan kembali berulang. Demam yang dirasakan tidak
terlalu panas, demam disertai menggigil. Demam juga disertai sakit
kepala. Nyeri tenggorokan, mimisan atau gusi berdarah tidak ada.
Keluhan juga disertai dengan mual dan nyeri ulu hati. Muntah tidak
ada. Pasien juga mengeluhkan badan sering terasa lemas dan muncul
keluhan nyeri pada sendi-sendi pergelangan kaki dan tangan. Pasien
juga mengeluhkan gatal-gatal pada tangan dan kaki. Gatal yang
dirasakan terus menerus, tidak dipengaruhi alergi terhadap cuaca
ataupun zat iritan. Pasien mengeluhkan sering mengalami sariawan.
Sariawan hilang dengan minum obat racikan herbal yang dibuat sendiri,
namun sariawan yang dialami pasien masih sering berulang. Pasien
mengatakan sering muncul bercak-bercak kemerahan di pipi jika
terkena sinar matahari. Bercak tidak terasa gatal ataupun nyeri. Pasien
juga mengeluhkan rambutnya menjadi mudah rontok. Berat badan

39
pasien dirasakan menurun, namun pasien tidak tahu persis berapa
jumlah penurunan berat badan karena pasien tidak pernah menimbang.
Pasien kemudian berobat ke RSUD Curup dan dirawat selama 1 hari,
pasien pulang atas permintaan sendiri dikarenakan tidak memiliki
biaya. Setelah itu pasien tidak pernah kontrol dan tidak minum obat
rutin.
± 1 minggu yang lalu, pasien kembali dirawat dengan keluhan
BAB cair dan badan terasa lemas sejak 3 hari SMRS. BAB tidak
berlendir, tidak berbusa dan tidak disertai darah. Pasien juga
mengeluhkan nyeri dan tidak nyaman pada seluruh bagian perut.
Keluhan demam tidak ada. Keluhan juga disertai dengan mual dan
muntah, muntah apa yang dimakan, muntah darah tidak ada. BAK
normal.
Sejak 3 hari SMRS, pasien mengeluhkan perut membesar dan
terasa nyeri. Pasien juga mengeluh badan terasa lemas. Selain itu Pasien
juga mengeluhkan mual dan muntah. Muntah apa yang dimakan.
Muntah darah tidak ada. Nafsu makan menurun. BAK sedikit, berwarna
kuning keruh, BAK berdarah tidak ada, nyeri saat BAK tidak ada. BAB
cair, dengan frekuensi 5-6 kali perhari, tidak disertai lendir dan busa.
BAB disertai darah tidak ada.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat nyeri sendi (+)
• Riwayat diabetes mellitus (-)
• Riwayat penyakit jantung (-)
• Riwayat penyakit ginjal (-)
• Riwayat hipertensi (-)
• Riwayat alergi obat (-)
• Riwayat merokok dan minum alkohol (-)
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit yang sama seperti pasien.
2.2.5 Riwayat Sosial dan Kebiasaan

39
Sehari-hari pasien aktif bergerak, pasien bekerja sebagai petani.
Pasien memiliki 6 orang anak dan 5 orang cucu.
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Status Present
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 112 x/menit, reguler, isi cukup
Pernafasan : 18 x/menit, torako-abdominal
Suhu : 36,4 °C
Status Gizi
Berat badan : 40 Kg
Tinggi badan : 150 cm
RBW : 80 % (underweight)

2.3.2 Status Generalis


Kepala Normocefali, deformitas (-), bentuk muka simetris, Butterfly rash
(-), rambut hitam dan putih, tidak tersebar merata, mudah dicabut,
nyeri tekan (-), alopesia (+)
Mata Konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra
(-/-)
Hidung Deformitas tidak ada, nyeri tekan (-)
Telinga Tidak ada sekret, nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
Mulut Bibir sianosis (-), bibir pucat (-), mukosa bibir kering, tampak
stomatitis (sariawan), faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1, tidak
hiperemis.
Leher Pembesaran KGB (-),Pembesaran tiroid (-), JVP 5-2 cmH2O
Thorax Bentuk normochest, tidak terdapat scar
Pulmo I Gerakan dinding dada statis dinamis, simetris kiri
kanan. Retraksi dinding dada(-)
P Stem fremitus kiri = kanan simetris

39
P Sonor kedua lapang paru
A Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-), wheezing (-).
Cor I Iktus kordis tidak terlihat
P Iktus kordis tidak teraba, thril (-)
P Batas atas jantung SIC II sinistra;
Batas kanan jantung linea sternalis dekstra;
Batas kiri jantung SIC V linea midklavikula
sinistra.
A Bunyi jantung I dan II normal, reguler, murmur (-),
gallop (-), frekuensi jantung 112 x/menit.
Abdomen I cembung, scar tidak ada, benjolan tidak ada,
P nyeri tekan (+) di seluruh regio abdomen, hepar dan
lien tidak teraba, ballotement (-).

P Redup, nyeri ketok CVA (-/-) .


A Bising usus (+) normal.
Ekstremitas Superior Inferior
Inspeksi Kulit kering Kulit kering
Akral hangat +/+ +/+
Edema -/- -/-
CRT < 2” <2”

2.3.4 Kriteria ARA


No Kriteria Hasil
1 Rash malar (-)
2 Discoid rash (+)
3 Fotosensitivitas (-)
4 Ulkus oral (+)
5 Artritis nonerosif (+)
6 Pleuritis atau perikarditis (-)
7 Gangguan renal (+)
8 Gangguan neurologis (-)
9 Gangguan hematologi (-)
10 Gangguan imunologi (-)
11 Antibodi antinuklear (ANA) Belum dilakukan

39
Interpretasi Hasil:
 Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki
sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%.
 Bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin
LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinik.
 Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya
tes ANA positif dan manifestasi klinik lain tidak ada, maka belum tentu
LES, dan diperlukan observasi jangka panjang.
Pada pasien didapatkan 4 kriteria ARA yang positif yang berarti pasien
positif mengalami SLE.

2.3.5 Kriteria Systemic Lupus Erythematosus Diseases Activity


Index(SLEDAI)
Nilai Deskripsi Hasil
8 Kejang (-)
8 Psikosis (-)
8 Organic brain syndrome (-)
8 Gangguan visual (-)
8 Gangguan SSP (-)
8 Lupus headache (-)
8 CVA (-)
8 Vaskulitis (-)
4 Artritis (-)
4 Miositis (-)
4 Urinary cast (-)
4 Hematuria (-)
4 Proteinuria (+)
4 Piuria (-)
2 Ras baru (-)
2 Alopesia (+)
2 Ulkus mukosa (+)
2 Pleuritis (-)
2 Perikarditis (-)
2 Kadar komplemen darah (-)
2 DNA binding meningkat (-)
1 Panas (-)
1 Trombositopenia/Leukopenia (-)

39
Interpretasi hasil:
 Skor < 2 memiliki aktifitas penyakit SLE ringan
 Skor 2-5 memiliki aktifitas penyakit SLE sedang
 Skor > 5 memiliki aktifitas penyakit SLE berat
Pada pasien didapatkan skor SLEDAI adalah 8, yang berarti pasien
memiliki aktifitas SLE berat (Severe Flare).

2.4 Pemeriksaan Penunjang


GDS : 69 mg/dl
Ureum : 102 mg/dl
Creatinin : 2,0 mg/dl
Albumin : 1,4 gr/dl
Globilin : 4,2 gr/dl
Protein total : 5,6 gr/dl
SGOT : 52 U/L
SGPT : 22 U/L
Natrium : 131 mmol/l
Kalium : 4,9 mmol/l
Clorida : 110 mmol/l
Hemoglobin : 11,6 gr/dl
Hematokrit : 33 %
Leukosit : 6.700 mm3
Trombosit : 130.000 sel/mm3
HbsAG : (-) negatif
HIV : nonreaktif
Pemeriksaan urin
Warna dan kejernihan : kuning keruh
Protein : +3
Leukosit : Banyak
Eritrosit : Banyak

39
Bakteri : - (negatif)

2.5 Diagnosis
- Sistemik Lupus Eritematous dengan hipoalbuminemia

2.6 Diagnosis Banding


- Sindrom Sjorgen
- Mixed Connective Tissue Disease (MCTD)
- Skleroderma

2.7 Tatalaksana
Nonfarmakologis
- Tirah baring
Farmakologis
- IVFD D5% X gtt/m (makro)
- Inj. Ceftriaxone 2x1 (iv)
- Inj. Omeprazole 1x1 (iv)
- Metil prednisolon tab 3-3-2
- Biodiar 3x2 tab
- Domperidone 3x1 tab
- Curcuma 1x1 tab

39
Follow Up

No Rabu, 29/07/2020 Follow Up


1. S: Perut terasa semakin membesar & tidak nyaman,
diare (+) dgn frekuensi lebih dari 6 kali sehari, mual
(+), muntah (-), demam hilang timbul.
O: KU/Kesadaran Tampak sakit sedang/Compos Mentis
Tekanan Darah 120/80 mmHg
Nadi 100 x/m
Pernapasan 24 x/m
Suhu 36,5oC

Keadaan spesifik Normochepali,CA (-/-), SI (-/-)


Kepala Pemb.KGB (-), struma (-)
Leher Pulmo: Vesikuler (+/+) normal, wheezing (-),
Thorak rhonki (-/-)
Cor: BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen cembung, tegang, Nyeri tekan (+) , BU meningkat
Ekstemitas akral hangat, edema pitting (+/+) tungkai, CRT <2”
A: SLE
Hipoalbuminemia
GEA
P:
Tatalaksana - Diet lambung III
- IVFD Dextrose 5% X gtt/m (makro)
- inj. Ceftriaxone 2x1 mg (iv)
- inj. Omeprazole 1 x 40 mg (iv)
- Metil prednisolon 3-3-3
- curcuma 3x1 tab mg
- Biodiar 3x2 tab
- paracetamol 3x1 tab (k.p)
- transfusi albumin 20% 100cc

Rencana pemeriksaan Cek albumin post transfusi


Urin lengkap

Hasil Laboratorium Albumin : 1,7 gr/dl

39
No Kamis, 30/07/2020 Follow Up
2. S: Os mengeluh perut tidak nyaman & terasa nyeri.
Diare dengan frekuensi 5 kali. Lemas (+)
O: KU/Kesadaran Tampak sakit sedang/Compos Mentis
Tekanan Darah 130/90 mmHg
Nadi 100 x/m
Pernapasan 24 x/m
Suhu 36,3 oC

Keadaan spesifik
Kepala Normochepali,CA (-/-), SI (-/-)
Leher Pemb.KGB (-), struma (-)
Thorak Pulmo: Vesikuler (+/+) normal, wheezing (-),
rhonki (-/-)
Cor: BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen cembung, tegang, Nyeri tekan (+) di seluruh regio
abdomen, BU meningkat
Ekstemitas akral hangat, edema pitting (-/-) inferior, CRT <2”
A: SLE
Hipoalbuminemia
AKI Riffle I
GEA

P: - Diet lambung III


Tatalaksana - pasang kateter urin
- IVFD Dextrose 5% X gtt/m (makro)
- inj. Ceftriaxone 2x1 mg (iv)
- inj. Omeprazole 1 x 40 mg (iv)
- Metil prednisolon 3-3-3
- curcuma 3x1 tab mg
- Biodiar 3x2 tab
- paracetamol 3x1 tab (k.p)

Hasil Laboratorium Urin rutin:


Warna dan kejernihan : kuning keruh
Protein : +3
Urobilin : negatif
Bilirubin : negatif
Benda keton : negatif
Leukosit : banyak
Eritrosit : banyak
Bakteri : negatif

39
No Jum’at, 31/07/2020 Follow Up
3. S: Os mengeluh perut tidak nyaman & terasa nyeri.
Diare dengan frekuensi 3 kali. BAK sedikit.
O: KU/Kesadaran Tampak sakit sedang/Compos Mentis
Tekanan Darah 130/90 mmHg
Nadi 120 x/m
Pernapasan 24 x/m
Suhu 36,6 oC

Keadaan spesifik
Kepala Normochepali,CA (-/-), SI (-/-)
Leher Pemb.KGB (-), struma (-)
Thorak Pulmo: Vesikuler (+/+) normal, wheezing (-),
rhonki (-/-)
Cor: BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen cembung, tegang, Nyeri tekan (+) di seluruh regio
abdomen, BU meningkat
Ekstemitas akral hangat, edema pitting (-/-) inferior, CRT <2”
A: SLE
AKI Riffle I
Hipoalbuminemia
GEA
P:
Tatalaksana - Diet makanan tinggi albumin
- IVFD Dextrose 5% X gtt/m (makro)
- inj. Ceftriaxone 2x1 mg (iv)
- inj. Omeprazole 1 x 40 mg (iv)
- Metil prednisolon 3-3-3
- curcuma 3x1 tab mg
- Biodiar 3x2 tab
- Domperidone 3x1 tab

39
Sabtu, 01/08/2020 Follow Up
No
4. S: Mual (+), muntah (+) makanan, diare frekuensi 3x,
BAK sedikit
O: KU/Kesadaran Tampak sakit sedang/Compos Mentis
Tekanan Darah 130/80 mmHg
Nadi 120 x/m
Pernapasan 20 x/m
Suhu 36,5 oC

Keadaan spesifik
Kepala Normochepali,CA (-/-), SI (-/-)
Leher Pemb.KGB (-), struma (-)
Thorak Pulmo: Vesikuler (+/+) normal, wheezing (-),
rhonki (-/-)
Cor: BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen cembung, Nyeri tekan (+) di seluruh regio
abdomen, BU (+) Normal
Ekstemitas akral hangat, edema pitting (-/-) inferior, CRT <2”
A: SLE
Hipoalbuminemia
AKI Riffle I
GEA
P:
Tatalaksana - Diet makanan tinggi albumin
- IVFD Dextrose 5% X gtt/m (makro)
- inj. Ceftriaxone 2x1 mg (iv)
- inj. Omeprazole 1 x 40 mg (iv)
- Metil prednisolon 3-3-2
- curcuma 3x1 tab mg
- Biodiar 3x2 tab
- Domperidone 3x1 tab

39
No Senin, 02/08/2020 Follow Up
5. S: Lemas (+), Mual (-), muntah, diare (-)
O: KU/Kesadaran Tampak sakit sedang/Compos Mentis
Tekanan Darah 130/70 mmHg
Nadi 112 x/m
Pernapasan 18 x/m
Suhu 36,4 oC

Keadaan spesifik
Kepala Normochepali,CA (-/-), SI (-/-)
Leher Pemb.KGB (-), struma (-)
Thorak Pulmo: Vesikuler (+/+) normal, wheezing (-),
rhonki (-/-)
Cor: BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen cembung, Nyeri tekan (+) di seluruh regio
abdomen, BU (+) Normal
Ekstemitas akral hangat, edema pitting (-/-) inferior, CRT <2”
A: SLE
Hipoalbuminemia
AKI Riffle I
P:
Tatalaksana - Pasien boleh pulang dan kontrol ke poli
- metylprednisolon 3-3-2
- lansoprazole 1x30 mg
- curcuma 3x1 tab mg
- Neurodex 2x1 tab

39
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari anamnesis, pasien ini mengeluhkan badan terasa lemas yang


muncul terus menerus. Lemas awalnya dirasakan apabila setelah
beraktivitas namun semakin lama lemas dirasakan semakin memberat.
Lemas dirasakan terus menerus meskipun tidak beraktivitas. Selain itu,
pasien mengeluhkan sariawan yang sering berulang. ± 6 bulan yll pasien
juga mengaku adanya bercak-bercak kemerahan di pipi jika terkena sinar
matahari, bercak tidak terasa gatal ataupun nyeri. Pasien juga
mengeluhkan rambutnya hampir botak dan sisa rambutnya mudah rontok
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan darah dan urin. Dari pemeriksaan
tersebut didapatkan kondisi hipoalbumin dan proteinuria.
Dari keluhan tersebut pasien dicurigai dengan lupus eritematosus
sistemik. American College of Rheumatology telah menetapkan 11 kriteria
kelainan yang terjadi dalam mendiagnosis lupus eritematosus antara lain
adanya ruam malar, ruam diskoid, fotosensitifitas, ulser pada rongga
mulut, artritis, serositis, gangguan pada ginjal, gangguan pada sistem saraf,
gangguan perdarahan, gangguan imunologis, antibodi antinuclear yang
positif. Diagnosis SLE ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 kriteria
tersebut. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki
sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan.

39
Rencana Penegakkan diagnosik
 Pemeriksaan anti ds-DNA (tidak mampu laksana)
 Tes komplemen C3, C4 (tidak mampu laksana)
Rencana Terapi
 IVFD RL X gtt/m (makro)
 Inj. Omperazole 1x1
 Inj. Metil prednisolon 1x125 mg (iv)
 Mycophenolate mofetil (cellcept) tab 3x500 mg
 Biodiar 3x2 tab
 Neurodex 1x1 / curcuma 1x1 tab
 Transfusi albumin
Rencana Edukasi
 Edukasi penyakit dan konseling keluarga menyeluruh mengenai
penyakit SLE, termasuk penyebab, terapi, beserta komplikasi yang
mungkin timbul.
 Kurangi asupan garam bila terdapat hipertensi, asupan lemak bila
ada dislipidemia dan asupan protein bila fungsi ginjal mulai
terganggu.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Isbagio H, Kasjmir YI, Setyohadi B, Suarjana N. Lupus eritematosus


sistemik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setyohadi B,
Syam AF, Penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI, Jilid III.
Jakarta: Interna Publishing; 2014.
2. Rosani S, Isbagio H. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Tanto C, Liwang
F, Hanifati S, Pradipta EA, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV, Jilid
II. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
3. Kasjmir YI, Handono K, Wijaya LK, Hamijoyo L. Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan
Reumatologi Indonesia; 2011.
4. Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30.
5. Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL.
Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill;2005.
6. Mok CC, Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Page
J Clin Pathol; 481-490.
7. McMurry RW, May W . 2003. Sex hormones and systemic
lupuserythematosus. Arthritis Rheum; 2100-2110
8. American College of Rheumatology. Systemic lupus erythematosus research.
Education. Atlanta:Rheumatology; 2012.
9. Rheumatology Image Bank. Atlanta: American College of Rheumatology;
Rheumatology.2012. Available
from:http://images.rheumatology.org/viewphoto.php?
imageId=2861621&albumId=75674[ Diakses pada 7 agustus 2016).
10. American College of Rheumatology. 2000. Systemic Lupus Erythematosus
Disease Activity Index SELENA Modification.
https://www.rheumatology.org/practice/clinical/indexes/sledai.asp [Diakses
pada 7 agustus 2016].

39

Anda mungkin juga menyukai