Disususn Oleh :
PRODI S1 FARMASI
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS FORT DE KOCK
BUKITTINGGI
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imunohematologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari system
ilmu pada darah. Penyakit pada system imun yang sering kita kenal
antara lain: Hipersensitivitas, Autoimun, HIV/AIDS, dll. Autoimun,
seperti dengan namanya adalah keadaan abnormal dimana sistem imun
tubuh menyerang bagian ubuh itu sendiri seperti jaringan atau organ
dalam karena dianggap oleh system imun sebagai benda asing. Salah
satu penyakit autoimun adalah systemic lupus erythematosus atau yang
sering dikenal sebagai penyakit lupus.
Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing
hutan,” atau “Serigala,” memiliki ciri yaitu munculnya bercak atau
kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan hidung akan terlihat
kemerah-merahan seperti kupu-kupu. Lupus juga menyerang organ
dalam lainnya seperti ginjal, jantung, dan paru-paru. Oleh karena itu
penyakit ini dinamakan “Sistemik,” karena mengenai hampir seluruh
bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan
organ lain tidak terkena, maka disebut Lupus Kulit (lupus kutaneus)
yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus yang sistemik
(Sistemik Lupus /SLE).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi
yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang
masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti
ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena
organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan
lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat
kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat,
dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia.
Menurut hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada
tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350
orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini
disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui
sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan
kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh
penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya
kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi,
pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis
dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit,
hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata,
trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
1. Faktor Lingkungan
Berdasarkan studi epidemiologi beberapa faktor lingkungan
telah diidentifikasi, secara umum masih banyak yang belum diketahui
tentang mekanisme berbagai faktor pencetus lingkungan yang dapat
menyebabkan SLE. Faktor lingkungan memiliki peran besar dalam
memicu terjadinya SLE. Dari hasil laporan studi menjelaskan beberapa
faktor lingkungan antara lain paparan sinar matahari, infeksi mikroba
ataupun virus, serta obat-obatan dapat mencetuskan SLE. Sinar UV
memiliki banyak efek terhadap sel-sel kulit, seperti merusak rantai
DNA sehingga dapat mengubah ekspresi gen atau menyebabkan
apoptosis maupun nekrosis sel. Walaupun sel yang rusak akibat UV
tidak mengalami kematian sel, kerusakan rantai DNA dapat berperan
sebagai antigen yang menstimulasi respons imun. Radiasi UVB
menyebabkan terjadinya translokasi antigen Ro/SSA dan La/SSB dan
yang memicu terbentuknya autoantibodi. Dibuktikan bahwa pasien
SLE yang mengalami gejala fotosensitif berkorelasi dengan
autoantibodi tersebut ultraviolet menyebabkan apoptosis dan
merangsang produksi IFN yang akan mengaktifkan sistem imun
dengan memicu terbentuknya kompleks imun dan aktivasi sel imun
(Bertsias, 2017)
Radiasi ultraviolet (UV) mempunyai gelombang pendek dan
mempunyai energi yang tinggi, panjang gelombangnya sekitar 100–
400 nm dan dibagi dalam tiga komponen UV A (320–400 nm), UV
B (290–320), dan UV C 200–290 nm. Dari ketiga ultraviolet yang
memengaruhi secara biologi hanya UV B. Radiasi UV B dapat
memicu terjadinya metilasi DNA, komponen UV C diabsorsi oleh
atmosfer oleh lapisan ozon sedangkan UV A tidak diabsorsi oleh
atmosfer dan 95% radiasinya sampai pada permukaan bumi dan sangat
sedikit diabsorsi oleh protein dan asam nukleat (IARC, 2012). Sinar
ultraviolet menyebabkan perubahan susunan DNA yang disebut proses
epigenetik dalam proses epigenetik Metilasi DNA mungkin
merupakan epigenetik yang paling banyak dipelajari menambahkan
gugus metil ke posisi 5 ′ karbon sitosin dalam dinukleotida citosin-
fosfat-guanosin (CpG) mekanisme epigenetik yang sangat kuat.
Fungsinya mengontrol aksesibilitas terhadap faktor transkripsi, co-
activators transkripsi, dan RNA polimerase. Metilasi DNA dalam
patofisiologi SLE juga mempunyai peran penting dalam patogenesis
SLE (Javierre et al., 2010). Mekanisme epigenetik bersifat reversibel
dan juga diturun. Epigenetik merupakan proses yang mengatur
ekspresi gen tanpa mengubah yang Urutan DNA. Fungsinya
mengontrol aksesibilitas DNA terhadap kompleks transkripsi,
termasuk faktor transkripsi dan RNA polimerase. Epigenetik
bertanggung jawab bila DNA metilasi ini terlepas uraiannya maka
DNA ini banyak mengandung CpG, pada umumnya lebih dari 200
base pair. Polusi udara adalah salah satu faktor lingkungan yang tak
kalah pentingnya dengan sinar matahari. Bahan-bahan polutan yang
ditolerir dan menilai aktivitas polusi udara. Partikel yang kecil atau
lebih kecil 2,5 m. Polusi debu rumah dan diduga bertanggung jawab
terjadinya beberapa penyakit autoimun dan perubahan kondisi
inflamasi dan berdampak lain pada kesehatan. Diduga adanya polutan
menimbulkan ROS yang merupakan faktor terpenting pada polusi.
Beberapa komponen mayor dari PM25, antara lain polycyclic aromatic
hydrocarbons dan trace elements dilaporkan ada hubungan dengan
prevalensi SLE.
Infeksi juga diduga sebagai salah satu faktor lingkungan yang
terkait dengan patogenesis SLE. Suatu studi epidemiologi
menunjukkan prevalensi yang tinggi antibodi antigen virus Epstein-
Barr (EBV) pada pasien SLE dibandingkan dengan populasi sehat.
Infeksi virus ini meningkatkan kadar interferon (IFN) tipe 1 yang
memicu aktivitas sel B. Toksin-toksin yang terdapat di lingkungan
sekitar juga diduga memiliki potensi menyebabkan SLE, namun
dugaan tersebut belum dieksplorasi lebih lanjut secara komprehensif.
Saat ini, merokok secara aktif telah dianggap sebagai faktor risiko
untuk SLE karena memberikan stimulus inflamasi ke sel epitel atau
mononuklear di paru-paru dan menginduksi terjadinya modifikasi
protein atau peradangan nonspesifik. Selain faktor-faktor di atas,
faktor ekonomi terbukti berkontribusi terhadap keparahan
manifestasi klinik SLE yang kemungkinan terkait dengan akses yang
buruk terhadap pelayanan kesehatan (Jung et al., 2019.)
2. Faktor Genetik
3. Splinter haemorrhage
perdarahandibawah kuku yang berwarna merah
kecokelatan dan terletak dibawah nail plate, biasanya tampak
pada lupus yang berat.
4. Gangrene
karena vasculitis di pembuluh darah kecil yang mungkin terkait
dengan antiphospolid syndrome.
5. Eritema
pada tenar dan hipotenar warna kemerahan pada telapak
tangan atau kaki dan terkait pada lupus yang berat atau
pronosis yang buruk.
Gambar 2.5 Discoid lupus erythematosus pada wajah dan kulit kepala yang
dapat menyebabkan alopesia dan kecacatan permanen
(Dall‟era & Wofsy, 2017).
Gambar 2.6 Discoid lupus erythematosus tipe generalized pada dorsum
palmae (Dall‟era & Wofsy, 2017).
b. Alopesia
Alopesia pada SLE yaitu kerontokan rambut yang bersifat
sementara terkait dengan aktivitas penyakit biasanya bersifat difus.
Kerontokan rambut biasanya dimulai pada garis rambut depan dan
cepat diganti dengan pertumbuhan rambut baru (lupus hair). Pada
kasus SLE yang berat, kerontokan rambut pada keadaan tertentu bisa
menimbulkan alopesia yang menetap disebabkan oleh diskoid lupus
yang meninggalkan jaringan parut. Alopesia yang berat terkait pada
lupus yang sangat berat (Uva et al., 2012; Dall‟era & Wofsy, 2017).
Gambar 2.9 Pasien SLE dengan alopesia akibat rambut rontok (Koleksi
Departemen Penyakit Dalam )
c. Ulkus Mukosa
Lesi pada lapisan mukosa nasal atau oral umumnya
berkembang pada pasien dengan SLE (Nico et al, 2008). Lesi oral
dapat berupa palatal eritematus, petechiae/eritema palatum, erosi, atau
ulserasi. Lesi ini biasanya tidak nyeri. Secara umum, ulkus oral pada
lupus memiliki onset bertahap dan dapat terjadi di mana saja pada
mukosa mulut dengan lokasi paling sering yaitu palatum durum,
mukosa bukal, dan garis batas bibir. Lesi mukosa paling sering
muncul unilateral atau asimetris. Hubungan antara munculnya lesi
mukosa dan aktivitas penyakit sistemik lesi oral subakut jarang terjadi
dan ditandai dengan bercak-bercak yang tegas, bulat, dan merah. Lesi
oral bisa muncul sebagai lesi yang nyeri, berbatas tegas, bulat, merah
dengan striae hiperkeratotik putih. Mukosa bukal menjadi area yang
paling sering terkena lesi ini. Lesi ini bisa berevolusi dan tampak
seperti honeycomb appearance. Lupus oral sering melibatkan bibir
dan menyebar dari garis batas bibir ke kulit sekitarnya
(Jonsson et al, 1984). Lesi mukosa juga dapat terjadi pada konjungtiva
dan daerah genital masih belum jelas. Perlu diperhatikan bahwa
kandidiasis oral dan lichen planus oral dapat memiliki gambaran yang
mirip dengan ulkus oral SLE. Histopatologi dan imunopatologi lesi
mukosa serupa dengan perubahan pada kulit (Dall‟era & Wofsy,
2017).
Manifestasi pada oral umumnya didapatkan pada SLE adalah
oral ulcer, honeycomb plaque, raised keratotic plaque, keratotic
plaque non spesifik erythema, purpura, pethechie,dan cheilitis.
Prevalensi lesi oral dilaporkan 7–52% dari berbagai laporan studi
angka kejadian sekitar 25-41% dan umumnya ditemukan pada lupus
aktif, studi di Venezuela pada pasien SLE didapat 11% dengan
manifestasi oral ulcer. Di Saudi Arab, dilaporkan gejala oral ulcer
didapatkan 72% dari 46 penderita SLE aktif. Gejala lain yang ditemui
pada kavum oral antara lain peodontitis (Uva et al., 2012). Namun
penelitian lain melaporkan bahwa oral ulcer tidak nyeri, beberapa
studi melaporkan angka kejadian lupus sekitar 57% ulkus dimulut
nyeri, lesi discoid pada mukosa mulut dilaporkan lesinya lebih nyeri
adanya oral ulcer, rash akut kutaneus lupus, alopecia, periungual
eritema, plantar eritema menunjukkkan lupus yang aktif. Manifestasi
oral ulcer banyak ditemukan di hard palatum bentuk discoid daerah
sentral berwarna eritema dan sekitarnya white spot dan terlihat striea
dan telengektasis (Schiodt, 1984).
Gambar 3.15 Oral ulcer khas di palatum durum (Koleksi Departemen
Penyakit Dalam)
d. Artritis
Artritis dijumpai pada 70% pasien SLE aktif, namunjarang
dijumpai gambaran frank arthritis.Artritisterkadang didapatkan
menyerupai Artritis Reumatoid, bedanya pada SLE sifatnya nonerosif,
selain itu bisa juga ditemukan gejala artralgia (Edworthy, 2005).
Artritis pada SLE tidak mempunyai lokasi spesifik seperti RA dan
tidak menyebabkan deformitas. Deformitas yang terjadi pada SLE
akibat akibat kelenturan kapsul sendi dan subluksasi sendi.
Manifestasi tersebut disebut sebagai artropati yang menyerupai
Jaccoud (Jacaud’s-like arthropathy). Biopsi sinovial pasien artritis
lupus menunjukkan berbagai kelainan, seperti penumpukan fibrin,
proliferasi synovial lining cell, oklusi vaskular, infiltasi limposit,
vaskulitis, dan kerusakan lumen pembuluh darah (Dall‟era & Wofsy,
2017).
F. STRATEGI PENCEGAHAN
Konsep pencagahan pada Systemic Lupus Erythematosus
(SLE), yaitu berdasarkan penyakit sitemik autoimun yang bersifat
kronik dan progresif dengan angka kematian yang sangat tinggi,
untuk itu diperlukan diagnosis dan terapi yang tepat supaya dengan
cepat mengendalikan aktivitas penyakit. Apabila aktivitas penyakit
sudah terkendali, maka dapat mencegah pasien kambuh, mengingat
perjalanan penyakit SLE bersifat relap (kambuh) dan remisi. Pasien
SLE yang tidak respons dengan terapi konvensional sesegera
mungkin melakukan tindakan terapi yang lebih baik atau lebih
mendekati patofisiologi dengan menggunakan biologic agent yang
disebut treat to target. Tindakan ini dilakukan pada pasien yang
menderita SLE untuk dilakukan pencegahan primer, yaitu tindakan
diagnosis yang tepat. Pada pasien yang sudah terdiagnosis SLE
dilakukan pencegahan supaya tidak kambuh (secondary
prevention) dan mencegah progresivitas penyakit (tertiary
prevention) selain tindakan pencegahan maka juga dianjurkan
melakukan perawatan komorbid (Gatto, 2019).
28
BAB III
A. Kesimpulan
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut :
1. Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain
AIDS dan kanker. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit
autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan
sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
2. Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang
menyebabkannya tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah
factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-
obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit
ini ada kaitannya dengan hormon estrogen.
3. Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering
dianggap sepele tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar
terhindar dari penyebarannya sampai ke organ-organ.
B. Saran
1. Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat
ditangani dengan baik sejak awal untuk mempercepat proses
penyembuhan dan atau merawat penyakit ini untuk menghindari
penyebarannya keseluruh organ tubuh.
2. Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan
penyakit ini.
3. Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang
penyakit ini.
32
DAFTAR PUSTAKA