Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH FARMAKOTERAPI

Sistem Lupus Erithematosus

Disususn Oleh :

1. Dandi Ananda Putra 1948201016

2. Diki Saputra 1948201018

3. Fadhil Mubarak Anasri 1948201025

PRODI S1 FARMASI
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS FORT DE KOCK
BUKITTINGGI
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Imunohematologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari system
ilmu pada darah. Penyakit pada system imun yang sering kita kenal
antara lain: Hipersensitivitas, Autoimun, HIV/AIDS, dll. Autoimun,
seperti dengan namanya adalah keadaan abnormal dimana sistem imun
tubuh menyerang bagian ubuh itu sendiri seperti jaringan atau organ
dalam karena dianggap oleh system imun sebagai benda asing. Salah
satu penyakit autoimun adalah systemic lupus erythematosus atau yang
sering dikenal sebagai penyakit lupus.
Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing
hutan,” atau “Serigala,” memiliki ciri yaitu munculnya bercak atau
kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan hidung akan terlihat
kemerah-merahan seperti kupu-kupu. Lupus juga menyerang organ
dalam lainnya seperti ginjal, jantung, dan paru-paru. Oleh karena itu
penyakit ini dinamakan “Sistemik,” karena mengenai hampir seluruh
bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan
organ lain tidak terkena, maka disebut Lupus Kulit (lupus kutaneus)
yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus yang sistemik
(Sistemik Lupus /SLE).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi
yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang
masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti
ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena
organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan
lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya akibat
kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat,
dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia.
Menurut hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada
tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350
orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini
disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui
sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan
kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh
penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya
kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi,
pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis
dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit,
hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata,
trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Pengertian Dari SLE ?

2. Bagaimana Sistem Imun pada SLE ?

3. Apa sajakah Faktor Penyebab SLE ?

4. Bagaimana Manefestasi Klinis SLE ?

5. Bgimn Ttt Lksn SLE ?

6. Bgimn Rencn Penceghn SLE ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Pengertian dari SLE

2. Untuk mengetahui sistem imun pada SLE

3. Untuk mengetahui Faktor penyebab SLE

4. Untuk mengetaui Manefestasi Klinis SLE

5. Bgimn Untuk menegethui Lksn SLE

6. Untuk mengetui Rencana Pengobatan SLE


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Systemic Lupus Erythematosus

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun


kronik yang melibatkan banyak organ. Ciri khas SLE adalah produksi
autoantibodi antinuklear yang mana patogen pembentukan kompleks
imun dan aktivasi komplemen menimbulkan inflamasi dan kerusakan
jaringan. Pemahaman sebelumnya tentang patogenesis SLE adalah
proliferasi sel B dan terbentuknya autoantibodi. Akan tetapi, seiring
dengan berkembangnya ilmu biologi molekuler, proliferasi sel B dan
sintesis autoantibodi diakibatkan hilangnya fungsi tolerance,
abnormalitas interaksi sel T dan B, Sel T dan B yang hipereaktif, adanya
gangguan fungsi clearance autoantigen, dan pembentukan kompleks
imun. Studi-studi yang mempelajari patogenesis SLE melaporkan bahwa
patogenesis SLE sangat rumit dan sangat terkait faktor genetik,
lingkungan, serta hormonal yang menimbulkan disregulasi dan hilangnya
toleransi sel T dan Sel B yang mengakibatkan terjadi sintesis
autoantibodi. Autoantibodi tersebut membentuk kompleks imun yang
mengaktivasi komplemen sehingga terjadi inflamasi. Dari bukti-bukti
penelitian terbaru menunjukkan peningkatan pemahaman tentang
patogenesis yang sangat kompleks menyangkut faktor genetik,
epigenetik, sel efektor, kemokin sitokin, dan reseptor. Keuntungan lain
dari kemajuan pemahaman patogenesis secara molekuler adalah
peningkatan pemahaman terapi menjadi lebih spesifik secara molekuler
sehingga keberhasilan terapi dapat menurunkan mortalitas (Pathak &
Mohan, 2011).
SLE merupakan penyakit multigenik, banyak gen yang terlibat
pada patogenesis yang menyebabkan manifestasi pada masing-masing
populasi beragam. Hal ini dibuktikan pada studi famili penderita SLE,
risiko kembar monozigot menderita SLE 54–57%, sedangkan kembar
dizigot 2–5% (Crow, 2017). Risiko munculnya SLE pada individu
didasari adanya gen yang multigenik dan adanya faktor pencetus di
lingkungan. Sinar matahari, infeksi, sinar ultraviolet atau hormonal
diduga merupakan faktor lingkungan yang memicu timbulnya penyakit
SLE. Penelitian-penelitian yang dilaporkan pada beberapa dekade
terakhir makin membuka pemahaman tentang etiopatogenesis SLE.
Beberapa lokus baru yang membentuk variasi genetik telah
mengindentifikasi adanya perbedaan fenotipe, subset, dan fungsi Sel T
dan B yang mendasari patogenesisnya (Nayak et al., 2008).
B. Sistem Imun pada SLE
Sel –sel sistem imun bawaan (innate) yang terlibat dalam
patogenesis SLE, antara lain makrofag, dendritic cells (DCs), dan
netrofil sel B dan T. Sel B selanjutnya memproduksi antibodi (Neves,
2012). Sel DCs merupakan antigen presenting cells (APC), fungsinya
mengenali perubahan microenviroment lokal yang kemudian
informasinya disampaikan ke sel imun adaptif (Banchereau &
Steinman, 1998; Banchereau et al., 2000). Sel dendrit yang mature
berasal dari sel plasmactoid dendritric (pDC) yang memicu maturasi
dendritik bila sel pDC mengenali antigen. Sel dendrit yang mature
masuk dalam sirkulasi yang selanjutnya ke jaringan limfanodus dan
bermigrasi ke tempat zona sel T, kemudian sel T berdiferensiasi
menjadi sel efektor Th1, Th2, T17, sel T sitotoksik, dan Treg atas
bantuan sitokin yang ada di microenvironment (Sporri & Reis e Sousa,
2005; Diebold, 2009). Bila terjadi gangguan keseimbangan antara Th1
dan Th2, Th17, dan Treg akan memicu proses inflamasi. Inflamasi ini
bisa berlanjut terus-menerus bilDa sel dendritik banyak yang mature.
Sel T yang berdiferensiasi menjadi Th2 mensekresi sitokin untuk
memicu diferensiasi dan pada keadaan normal sel dendritik
mempertahankan hemostasis respons imun agar tidak timbul autoimun
dan pada SLE aktif ditemukan banyak sel dendrit yang mature (Neves,
2012).
Gambar 2.1 Proses sel dendritik merupakan penghubung imun bawaan
dengan imun adaptif (Neves, 2012)

Sel dendritik selain mempunyai Major Histocompatibility


Complex (MHC) untuk mengenali peptide antigen, juga mempunyai
reseptor untuk mengenali pathogen associated molecular patterns
(PAMP). Reseptor yang mengenali PAMP disebut Toll-like receptor
(TLR). TLR mampu mengenali komponen mikroba, antara lain protein,
lemak, karbohidrat, dan asam nukleat. Ada dua domain TLR, domain
pertama berbentuk membran glikoprotein yang banyak mengandung
ikatan leucine yang berulang dan terlibat dalam pengenalan PAMP.
Domain kedua sitoplasmik bertugas meneruskan signalling. Domain ini
homolog dengan IL-IR sering disebut TIR domain dan pada manusia ada
10 tipe TLR. Berdasarkan lokasinya ditemukan pada permukaan
membran sel dan intraseluler. TLR 1-5 terlibat dalam pengenalan struktur
kimia bakteri dan lokasinya di permukaan membran sel, sedangkan TLR
7-9 lokasinya intraseluler. Bila terjadi signalling pada TLR maka akan
menginduksi sitokin proinflamasi, interferon tipe I, kemokin, dan
kostimulator. TLR signalling melalui 2 jalur yaitu melalui MyD88 atau
TRIF dependent pathway (Neves 2012). Fungsi TLR adalah
menstimulasi signalling serta aktivasi IFN-regulatory (NF-κB) dan
mitogen-activated protein(MAP).
Interferon memegang kunci dalam proses patogenesis SLE
dengan identifikasi sitokin ini yang ke depannya dapat dipikirkan terapi
interferon pada SLE. Hal ini terbukti bahwa interferon dapat
memengaruhi perubahan signalling intraseluler (cross talk signalling).
Pada penelitian in vitro yang dilakukan oleh Yuliasih (2010), interferon I
mempunyai sifat pleotropik dan berefek pada berbagai sel, antara lain
aktivasi sel B, yang menstimulasi pembentukan autoantibodi, proliferasi
sel dendritik dan aktivasi sel T dalam hal ini memengaruhi survival serta
ekpansi sel T, juga mempercepat monosit jadi dendritik, meningkatkan
ekspresi MHC dan CD80 (Neves 2012; Klarquist et al., 2016)

C. Faktor Penyebab SLE

1. Faktor Lingkungan
Berdasarkan studi epidemiologi beberapa faktor lingkungan
telah diidentifikasi, secara umum masih banyak yang belum diketahui
tentang mekanisme berbagai faktor pencetus lingkungan yang dapat
menyebabkan SLE. Faktor lingkungan memiliki peran besar dalam
memicu terjadinya SLE. Dari hasil laporan studi menjelaskan beberapa
faktor lingkungan antara lain paparan sinar matahari, infeksi mikroba
ataupun virus, serta obat-obatan dapat mencetuskan SLE. Sinar UV
memiliki banyak efek terhadap sel-sel kulit, seperti merusak rantai
DNA sehingga dapat mengubah ekspresi gen atau menyebabkan
apoptosis maupun nekrosis sel. Walaupun sel yang rusak akibat UV
tidak mengalami kematian sel, kerusakan rantai DNA dapat berperan
sebagai antigen yang menstimulasi respons imun. Radiasi UVB
menyebabkan terjadinya translokasi antigen Ro/SSA dan La/SSB dan
yang memicu terbentuknya autoantibodi. Dibuktikan bahwa pasien
SLE yang mengalami gejala fotosensitif berkorelasi dengan
autoantibodi tersebut ultraviolet menyebabkan apoptosis dan
merangsang produksi IFN yang akan mengaktifkan sistem imun
dengan memicu terbentuknya kompleks imun dan aktivasi sel imun
(Bertsias, 2017)
Radiasi ultraviolet (UV) mempunyai gelombang pendek dan
mempunyai energi yang tinggi, panjang gelombangnya sekitar 100–
400 nm dan dibagi dalam tiga komponen UV A (320–400 nm), UV
B (290–320), dan UV C 200–290 nm. Dari ketiga ultraviolet yang
memengaruhi secara biologi hanya UV B. Radiasi UV B dapat
memicu terjadinya metilasi DNA, komponen UV C diabsorsi oleh
atmosfer oleh lapisan ozon sedangkan UV A tidak diabsorsi oleh
atmosfer dan 95% radiasinya sampai pada permukaan bumi dan sangat
sedikit diabsorsi oleh protein dan asam nukleat (IARC, 2012). Sinar
ultraviolet menyebabkan perubahan susunan DNA yang disebut proses
epigenetik dalam proses epigenetik Metilasi DNA mungkin
merupakan epigenetik yang paling banyak dipelajari menambahkan
gugus metil ke posisi 5 ′ karbon sitosin dalam dinukleotida citosin-
fosfat-guanosin (CpG) mekanisme epigenetik yang sangat kuat.
Fungsinya mengontrol aksesibilitas terhadap faktor transkripsi, co-
activators transkripsi, dan RNA polimerase. Metilasi DNA dalam
patofisiologi SLE juga mempunyai peran penting dalam patogenesis
SLE (Javierre et al., 2010). Mekanisme epigenetik bersifat reversibel
dan juga diturun. Epigenetik merupakan proses yang mengatur
ekspresi gen tanpa mengubah yang Urutan DNA. Fungsinya
mengontrol aksesibilitas DNA terhadap kompleks transkripsi,
termasuk faktor transkripsi dan RNA polimerase. Epigenetik
bertanggung jawab bila DNA metilasi ini terlepas uraiannya maka
DNA ini banyak mengandung CpG, pada umumnya lebih dari 200
base pair. Polusi udara adalah salah satu faktor lingkungan yang tak
kalah pentingnya dengan sinar matahari. Bahan-bahan polutan yang
ditolerir dan menilai aktivitas polusi udara. Partikel yang kecil atau
lebih kecil 2,5 m. Polusi debu rumah dan diduga bertanggung jawab
terjadinya beberapa penyakit autoimun dan perubahan kondisi
inflamasi dan berdampak lain pada kesehatan. Diduga adanya polutan
menimbulkan ROS yang merupakan faktor terpenting pada polusi.
Beberapa komponen mayor dari PM25, antara lain polycyclic aromatic
hydrocarbons dan trace elements dilaporkan ada hubungan dengan
prevalensi SLE.
Infeksi juga diduga sebagai salah satu faktor lingkungan yang
terkait dengan patogenesis SLE. Suatu studi epidemiologi
menunjukkan prevalensi yang tinggi antibodi antigen virus Epstein-
Barr (EBV) pada pasien SLE dibandingkan dengan populasi sehat.
Infeksi virus ini meningkatkan kadar interferon (IFN) tipe 1 yang
memicu aktivitas sel B. Toksin-toksin yang terdapat di lingkungan
sekitar juga diduga memiliki potensi menyebabkan SLE, namun
dugaan tersebut belum dieksplorasi lebih lanjut secara komprehensif.
Saat ini, merokok secara aktif telah dianggap sebagai faktor risiko
untuk SLE karena memberikan stimulus inflamasi ke sel epitel atau
mononuklear di paru-paru dan menginduksi terjadinya modifikasi
protein atau peradangan nonspesifik. Selain faktor-faktor di atas,
faktor ekonomi terbukti berkontribusi terhadap keparahan
manifestasi klinik SLE yang kemungkinan terkait dengan akses yang
buruk terhadap pelayanan kesehatan (Jung et al., 2019.)

2. Faktor Genetik

Peran gen merupakan faktor yang sangat penting dalam mendasari


patogenesis SLE. Major histocompatibility complex (MHC) merupakan
gen yang pertama dikenali sebagai faktor risiko MHC ini merupakan gen
yang padat aktif melakukan transkripsi terletak di kromosom
chromosome 6p21.3 (Ramos et al., 2010). MHC ini terdiri dari klas I dan
Klas II yang terlibat dalam penyajian antigen MHC klas II dengan alel
tertentu HLA-DR2 (DRB1*1501) dan HLA-DR3 (DRB1*0301)
merupakan gen yang konsisten sebagai faktor risiko terhadap penyakit
SLE terutama pada populasi kaukasian. Pada alel ini, seseorang berisiko
SLE sebanyak 2–3 kali lipat (Tsao & Wu, 2007). Sedangkan allele HLA-
DQ dan –DR diduga kuat berhubungan dengan sintesis autoantibodi
(Fernando et al, 2007). Meskipun telah dilaporkan bahwa suku African –
American mempunyai aktivitas penyakit yang tinggi, namun HLA klas II
tidak konsisten sebagai risiko terhadap lupus pada populasi tersebut
(Tsao & Wu, 2007). Penyebab SLE bukan gen tunggal namun suatu
penyakit yang didasari dengan multi genetik antara lain tumor necrosis
factor α (TNF or TNFA), PTPN22, interferon, sitokin, gen superkiller
viralicidic activity 2 (SKIV2L) sangat banyak terekspresi di Sel T, B, dan
dendritik. Gen G-protein-coupled receptor olfactory receptor 2
(OR2H2), c-AMP responsive element binding protein-like 1 (CREBL1)
MHC class I polypeptide-related sequence B (MICB) (Ramos et al.,
2010).

Meskipun banyak studi menyimpulkan bahwa gen yang mendasari


penyakit ini adalah multigenik namun ada beberapa studi yang
melaporkan SLE bisa ditimbulkan oleh gen tunggal misalnya, antara lain
complement component 1q (C1q) subcomponent A (C1QA), C1QB,
C1QC, three-prime repair exonuclease 1 (TREX1), atau
deoxyribonuclease 1-like 3 (DNASE1L3), masing-masing gen ini
berperan sendiri-sendiri dalam menimbulkan disregulasi sistem imun dan
setiap individu mempunyai variasi genetik yang menyebabkan perbedaan
dalam manifestasi klinik, aktivitas penyakit, morbiditas, mortalitas dan
prevalensi (Lahita, 2004; Rus et al., 2007). Badai sitokin tampaknya
lebih penting dalam memicu disregulasi sistem imun sebelum
terbentuknya autoantibodi, diduga tidak mutlak adanya autoantibodi dan
kompleks imun saja yang mendasari patogenesis SLE. Oleh karena itu,
masih banyak peluang riset untuk membuka lagi wawasan para klinisi
dalam mendiagnosis maupun terapi SLE (Nayak et al., 2008; Guerra et
al., 2012).

Berkembangnya penelitian tentang single nucleotide


polymorphisms (SNPs) membuat penemuan varian-varian genetik pada
SLE semakin pesat. Data dari studi asosiasi genome menunjukkan bahwa
polimorfisme dalam sebanyak 50 gen berkontribusi terhadap kerentanan
SLE (Crow, 2017). Penelitian terbaru berfokus pada gen yang terkait
dengan reseptor Toll- like (TLRs), interferon tipe I, jalur regulasi imun,
dan pembersihan kompleks imun yang berhubungan dengan SLE.
Berbagai macam varian gen tersebut memproduksi jenis protein tertentu
yang dapat memengaruhi dan mengubah fungsi sistem imun. Hal ini
membuktikan bahwa sistem imun berkontribusi signifkan terhadap
terjadinya inflamasi dan kerusakan organ luas pada penyakit SLE.
Seperti halnya dengan aktivasi sistem imun oleh suatu antigen asing, gen
yang terkait SLE dapat memproduksi suatu protein tertentu yang
bertindak sebagai self-antigen dan mengaktifkan respons imunitas
bawaan maupun adaptif (De Azevêdo et al., 2014).

Dalam memahami fungsi gen maka dikelompokkan berdasarkan


fungsinya dibagi menjadi gen regulator dan gen struktural. Gen regulator
terdiri dari promoter, silencer, dan enhancer sedangkan gen struktural
terdiri atas daerah urutan nukleotida baik yang mengkode informasi
genetik yaitu ekson (coding-gene region), dan juga daerah yang tidak
mengkode informasi genetik yaitu intron (Becker et al., 2006). Pada
prinsipnya bahwa gen yang akan tertranskripsi diregulasi oleh sebuah
protein yang melekat pada sekuen spesifik DNA, protein tersebut dikenal
sebagai faktor transkripsi dan sering disebut transacting factor. Protein
ini melekat pada binding site DNA yang merupakan elemen regulator
atau CIS-acting. Kompleks yang klasik terdiri dari promoter, enhancer,
silencer serta respons elemen. Ditemukannya cis regulator element
meningkatkan peluang riset pada akhir dekade ini. CIS- regulatory
elements merupakan sekuen DNA yang tidak termasuk dalam
menentukan hasil protein saat translasi, namun hanya mengatur cepat
atau tidaknya transkripsi dimulai (Weaver, 2008).

RNA polimerase II adalah enzim yang fungsinya untuk memulai


proses transkripsi gen yang terletak di 35–40 bp hulu dan hilir dari start
site. Pada bagian promoter cis acting elemen yang mengatur kecepatan
transkripsi bagian promoter merupakan bagian gen sangat penting.
Promoter sendiri terdiri dari core promoter dan proksimal promotor
merupakan tempat regulator transkripsi. Panjang proksimal promoter
sekitar 100–200 bp. panjang promoter adalah sekitar 0–300 bp dari start
point transcription. Komponen core promoter terdiri dari 4 elemen yaitu
downstream promoter element (DPE), inisiator (Inr), kotak TATA, dan
basal regulator element (BRE), yang mana kotak TATA merupakan
bagian terpenting dari core promoter (Becker et al., 2006; Weaver, 2008,
Champbell,2008).

D. Manefestasi Klinis SLE


Systemic Lupus Erythematosus(SLE) merupakan penyakit
autoimun sistemik yang ditandai dengan produksi berbagai macam
autoantibodi dan manifestasinya multiorgan dan dikenal dengan
penyakit seribu wajah, yaitu pada masing-masing pasien dapat
ditandai multiple organ failure dengan variasi mulai dari gangguan
kulit atau sendi yang ringan hingga kerusakan berbagai organ yang
dapat mengancam jiwa. Sampai saat ini tidak ada kriteria diagnosis,
yang ada hanyalah Kriteria Klasifikasi SLE yang dibuat oleh American
College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1971 yang kemudian
mengalami dua kali revisi pada tahun 1982 dan 1997 (Tabel 3.1)(Tan
et al, 1982;Hochberg, 1997). Dari kriteria ini dianggap memenuhi
diagnosis SLE bila memenuhi 4 dari 11 kriteria. Kriteria ini digunakan
hanya untuk kepentingan penelitian karena SLE sering bermanifestasi
dengan penyakit connecitve tissue lainnya, misal Rheumatoid Arthritis
(RA), Polimiositis, dan Scleroderma. Meskipun SLE gejalanya multi
organ failure, namun gejala yang satu dengan yang lainnya tidak
timbul bersamaan, ada satu gejala bisa timbul dalam waktu bertahun-
tahun atau hanya beberapa bulan dan baru diikuti gejala lain sehingga
menggambar secara klinis SLE yang lengkap, yaitu gambaran
multiorgan (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Kriteria ACR dalam klinik dapat digunakan untuk membantu
dokter dalam menegakkan diagnosis SLE namun sangat terbatas.
Penegakan diagnosis tetap bertumpu pada pertimbangan klinis oleh
dokter berpengalaman di bidangnya yang dapat mengenali SLE
berdasarkan kumpulan tanda dan gejala klinis, hasil serologi yang
mendukung, dan setelah menyingkirkan berbagai kemungkinan
diagnosis banding yang muncul (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Tabel 2.1 Kriteria Klasifikasi SLE American College of Rheumatology
tahun 1997 (Hochberg, 1997)
Kriteria Definisi
Ruam Eritema, datar maupun menonjol, muncul di
Malar daerah pipi, tidak mengenai lipatan nasolabial
(Malar
rash)
Bercak eritema yang menonjol menyerupai
Ruam discoid
penebalan keratotik (plaque) dan pembuntuan
(Discoid
folikel; scar atrofik dapat muncul pada lesi yang
rash)
sudah lama
Fotosensitivitas Ruam akibat reaksi terhadap sinar
matahari (ditentukan
berdasarkan anamnesis atau pengamatan
langsung)
Stomatitis (Oral ulcers) Ulkus pada mukosa mulut, orofaring, atau
nasofaring yang biasanya tidak nyeri

Artritis non-erosiva yang melibatkan 2 atau


Artritis lebih sendi-sendi perifer yang ditandai dengan
pembengkakan, nyeri tekan, atau efusi sendi

Riwayat nyeri dada khas pleuritis, pleural rub


yang terdengar saat pemeriksaan fisik, atau
Serositis adanya efusi pleura
atau
Ditemukannya perikarditis pada hasil
elektrokardiogram, pericardial rub yang
terdengar saat pemeriksaan fisik, atau adanya
efusi pericardial
Proteinuria persisten >0.5 gram/hari (lebih dari
Gangguan ginjal 3+) atau terdapat cellular casts (eritrosit,
haemoglobin, granular tubular, atau campuran)

Kejang tanpa adanya riwayat penggunaan obat


yang memicu kejang atau adanya gangguan
metabolik (contoh: uremia, asidosis, gangguan
Gangguan neuropsikiatri elektrolit)
atau
Psikosis tanpa adanya riwayat penggunaan obat
yang memicu psikosis atau adanya gangguan
metabolik (contoh: uremia, asidosis, gangguan
elektrolit)
Anemia hemolitik dengan retikulositosis
Gangguan hematologik atau
Leukopenia <4000/mm3

Manifestasi Frekuensi (%)


Gejala konstitusi (demam, rasa lelah, dan penurunan berat badan) 90-95
Gangguan sistem mukokutaneus (ruam malar, alopesia, ulkus pada
mukosa, lesi diskoid, dll.) 80-90
Gangguan sistem muskuloskeletal (artritis/artralgia, nekrsis
avaskular, myositis, dll.) 80-90
Serositis (pleuritis, perikarditis, peritonitis) 50-70
Glomerulonefritis 40-60
Gangguan neuropsikiatri (gangguan kognitif, depresi, psikosis,
kejang, stroke, sindroma demyelinasi, neuropati perifer, dll.) 40-60
Autoimmune cytopenia (anemia, trombositopenia) 20-30
Tabel 2.2 Frekuensi Munculnya Berbagai Manifestasi Klinis SLE
(Dall‟era & SLE memiliki manifestasi klinis bervariasi luas, begitu juga

dengan tingkat keparahan penyakitnya.Hal ini diduga terkait


dengan faktor genetik perjalanan penyakityang ditandai remisi dan
relapsing/kambuh. Beberapa pasien memiliki gejala yang relatif
ringan, sedangkan yang lain dapat memiliki gejala yang begitu berat
hingga dapat menyebabkan kematian. Tingginya tingkat variasi
manifestasi klinik SLE menjadi tantangan besar dalam menegakkan
diagnosis. Pada umumnya fase awal manifestasi klinis tidak spesifik,
sehingga sering disebut gejala konstitusi seperti demam, rasa lelah,
dan penurunan berat badan.Manifestasi klinis ini muncul bersamaan
pada 50% pasien saat pertama kali terdiagnosis SLE. Gambaran klinis
lain dapat muncul seiring perjalanan penyakit SLE (Dall‟era & Wofsy,
2017).Berikut ini penjelasan gambaran klinis SLE pada masing-
masingorgan. Wofsy, 2017).
a. Nonspesifik kutaneus lupus
Lesi non-spesifik lupus yang dapat muncul pada pasien dengan
SLE antara lain leukositoklastik vaskulitis, lesi bulosa, eritema
periungual, dan livedo reticularis leukositoklastik. Vaskulitis paling
sering muncul sebagai purpura yang teraba pada ekstremitas bawah,
sedangkan bullous lupus erythematosus adalah manifestasi kulit langka
yang ditandai oleh perubahan subepidermal vesiculobulosa yang
muncul sebagai erups bulosa nonscarring (Gambar 80-5). SLE dapat
dikaitkan dengan gangguan bulosa lainnya seperti pemfigoid bulosa dan
dermatitis herpetiformis periungal. Eritema merupakan pelebaran
kapiler di pangkal kuku. Dokter dapat memeriksa kapiler-kapiler ini
dengan menggunakan dermatoskop atau oftalmoskop. Gangguan lain
yang terkait dengan periungual eritema termasuk skleroderma dan
mixed connective tissue disease (MCTD). Tidak seperti skleroderma
dan MCTD, SLE tidak berhubungan dengan insufisiensi kapiler. Livedo
reticularis gambaran klinisnya ditandai dengan lesi eritematosa dengan
pola retikuler pada kulit. Lesi tersebut berhubungan erat dengan
sindrom antibodi anti-fosfolipid (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Manifestasi kulit yang nonspesifik bentuk yang paling sering
dijumpai adalah kutaneus vaskulitis dan ditemukan hampir pada 80%
pasien. Manifestasi vaskulitis ini tergantung pada pembuluh darah yang
terkena sehingga mempunyai bentuk bermacam- macam. Pada
umumnya biopsi pada tempat ini leukositoklastik vaskulitis(Chang &
Werth, 2013).
Macam dari vaskulitis yang dijumpai antara lain:
1. Urtikaria vasculitis
Ditandai rash urtikaria yang lebih dari 24 jam dan
gambaran histopatologi didapatkan leukoklastik vaskulitis.
Kondisi ini ditemukan lebih dari 100 tahun yang lalu. Sebagian
besar urtikaria vaskulitis etiologinya masih belum diketahui,
beberapa pasien diduga terkait dengan infeksi, keganasan, dan
autoimun. Sebanyak 20% pasien SLE dilaporkan mempunyai
gejala urtakaria vaskulitis. Patofisiologi urtikaria vaskulitis
terkait reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu penumpukan antigen
dan antibodi kompleks pada vaskular lumina yang selanjutnya
mengaktivasi komplemen.Berdasarkan konsumsi komplemen,
urtikaria vaskulitis dibagi menjadi normokomplemen dan
hipokomplemen.Kasus yang sangat jarang adalah
hypocomplementemic urticarial vasculitis syndrome (HUVS)
atau dikenal dengan McDuffie syndrome.Pada biopsi dari lesi
didapatkan ekstravasasi erythrocyte, infiltrasi pmn vascular dan
perivascular,membentuk dust (leukocytoclasis), dan fibrinoid
necrosis. Pada pemeriksaaanDirect immunofluorescence (DIF)
menunjukkan deposit komplemen.Reaksi anaphylatoxin C3a dan
C5a menginduksi degranulasi sel mast dan sintesissitokin. Sel
Mast melepaskan TNFα, prostaglandin, histamin, heparin, PAF,
leukotrin, Neutrophil chemotactic factor-A, trytase. Peningkatan
sitokin dan kemokin menyebabkan edema dan reaksi jaringan
antibodiyang dominan adalah IgG, IgM, IgA (Koc, 2017).
2. Livedo retikularis
merupakan manifestasi kulit yang terlihat seperti jaring-
jaring pembuluh darah (net-like, lace-like) diduga karena proses
trombosisdivaskuler.
Gambar 2.2 Livedo Retikularis (Sajian, 2015)

3. Splinter haemorrhage
perdarahandibawah kuku yang berwarna merah
kecokelatan dan terletak dibawah nail plate, biasanya tampak
pada lupus yang berat.

Gambar 2.3 Splinter Haemorrhage (Manley, 2019)


Gambar 2.4 Gangrene karena Vaskulitis (Koleksi Departemen Penyakit
Dalam)

4. Gangrene
karena vasculitis di pembuluh darah kecil yang mungkin terkait
dengan antiphospolid syndrome.
5. Eritema
pada tenar dan hipotenar warna kemerahan pada telapak
tangan atau kaki dan terkait pada lupus yang berat atau
pronosis yang buruk.

Gambar 2.5 Discoid lupus erythematosus pada wajah dan kulit kepala yang
dapat menyebabkan alopesia dan kecacatan permanen
(Dall‟era & Wofsy, 2017).
Gambar 2.6 Discoid lupus erythematosus tipe generalized pada dorsum
palmae (Dall‟era & Wofsy, 2017).

Gambar 2.7 Bullous lupus erythematosus dengan bula yang tidak


menimbulkan jaringan parut (Dall‟era & Wofsy,
2017).
Gambar 2.8 Periungual Eritema (Miller, 2019)

b. Alopesia
Alopesia pada SLE yaitu kerontokan rambut yang bersifat
sementara terkait dengan aktivitas penyakit biasanya bersifat difus.
Kerontokan rambut biasanya dimulai pada garis rambut depan dan
cepat diganti dengan pertumbuhan rambut baru (lupus hair). Pada
kasus SLE yang berat, kerontokan rambut pada keadaan tertentu bisa
menimbulkan alopesia yang menetap disebabkan oleh diskoid lupus
yang meninggalkan jaringan parut. Alopesia yang berat terkait pada
lupus yang sangat berat (Uva et al., 2012; Dall‟era & Wofsy, 2017).
Gambar 2.9 Pasien SLE dengan alopesia akibat rambut rontok (Koleksi
Departemen Penyakit Dalam )

c. Ulkus Mukosa
Lesi pada lapisan mukosa nasal atau oral umumnya
berkembang pada pasien dengan SLE (Nico et al, 2008). Lesi oral
dapat berupa palatal eritematus, petechiae/eritema palatum, erosi, atau
ulserasi. Lesi ini biasanya tidak nyeri. Secara umum, ulkus oral pada
lupus memiliki onset bertahap dan dapat terjadi di mana saja pada
mukosa mulut dengan lokasi paling sering yaitu palatum durum,
mukosa bukal, dan garis batas bibir. Lesi mukosa paling sering
muncul unilateral atau asimetris. Hubungan antara munculnya lesi
mukosa dan aktivitas penyakit sistemik lesi oral subakut jarang terjadi
dan ditandai dengan bercak-bercak yang tegas, bulat, dan merah. Lesi
oral bisa muncul sebagai lesi yang nyeri, berbatas tegas, bulat, merah
dengan striae hiperkeratotik putih. Mukosa bukal menjadi area yang
paling sering terkena lesi ini. Lesi ini bisa berevolusi dan tampak
seperti honeycomb appearance. Lupus oral sering melibatkan bibir
dan menyebar dari garis batas bibir ke kulit sekitarnya
(Jonsson et al, 1984). Lesi mukosa juga dapat terjadi pada konjungtiva
dan daerah genital masih belum jelas. Perlu diperhatikan bahwa
kandidiasis oral dan lichen planus oral dapat memiliki gambaran yang
mirip dengan ulkus oral SLE. Histopatologi dan imunopatologi lesi
mukosa serupa dengan perubahan pada kulit (Dall‟era & Wofsy,
2017).
Manifestasi pada oral umumnya didapatkan pada SLE adalah
oral ulcer, honeycomb plaque, raised keratotic plaque, keratotic
plaque non spesifik erythema, purpura, pethechie,dan cheilitis.
Prevalensi lesi oral dilaporkan 7–52% dari berbagai laporan studi
angka kejadian sekitar 25-41% dan umumnya ditemukan pada lupus
aktif, studi di Venezuela pada pasien SLE didapat 11% dengan
manifestasi oral ulcer. Di Saudi Arab, dilaporkan gejala oral ulcer
didapatkan 72% dari 46 penderita SLE aktif. Gejala lain yang ditemui
pada kavum oral antara lain peodontitis (Uva et al., 2012). Namun
penelitian lain melaporkan bahwa oral ulcer tidak nyeri, beberapa
studi melaporkan angka kejadian lupus sekitar 57% ulkus dimulut
nyeri, lesi discoid pada mukosa mulut dilaporkan lesinya lebih nyeri
adanya oral ulcer, rash akut kutaneus lupus, alopecia, periungual
eritema, plantar eritema menunjukkkan lupus yang aktif. Manifestasi
oral ulcer banyak ditemukan di hard palatum bentuk discoid daerah
sentral berwarna eritema dan sekitarnya white spot dan terlihat striea
dan telengektasis (Schiodt, 1984).
Gambar 3.15 Oral ulcer khas di palatum durum (Koleksi Departemen
Penyakit Dalam)
d. Artritis
Artritis dijumpai pada 70% pasien SLE aktif, namunjarang
dijumpai gambaran frank arthritis.Artritisterkadang didapatkan
menyerupai Artritis Reumatoid, bedanya pada SLE sifatnya nonerosif,
selain itu bisa juga ditemukan gejala artralgia (Edworthy, 2005).
Artritis pada SLE tidak mempunyai lokasi spesifik seperti RA dan
tidak menyebabkan deformitas. Deformitas yang terjadi pada SLE
akibat akibat kelenturan kapsul sendi dan subluksasi sendi.
Manifestasi tersebut disebut sebagai artropati yang menyerupai
Jaccoud (Jacaud’s-like arthropathy). Biopsi sinovial pasien artritis
lupus menunjukkan berbagai kelainan, seperti penumpukan fibrin,
proliferasi synovial lining cell, oklusi vaskular, infiltasi limposit,
vaskulitis, dan kerusakan lumen pembuluh darah (Dall‟era & Wofsy,
2017).

Gambar 3.21 Jaccoud’s-like arthropathy yang menyerupai kelainan pada


demam rematik (Santiago et al., 2015)
e. Avascular Necrosis
Avascular Necrosis (AVN) atau nekrosis avaskular yang
disebut juga sebagai nekrosis aseptik dan nekorisis iskemik adalah
suatu kondisi akibat dari gangguan suplai darah ke tulang, yang
menyebabkan hiperemia reaktif, demineralisasi, dan keroposan tulang.
Tulang yang paling sering mengalami kondisi tersebut antara lain
kaput femoris, superior tibia, dan kondilus femoralis, tetapi tidak
menutup kemungkinan terjadinya AVN pada sendi-sendi kecil. AVN
seringkali terjadi bilateral dan dapat disertai efusi sendi. AVN
kaput femoris harus dicurigai pada pasien dengan SLE yang memiliki
nyeri pangkal paha dan makin nyeri bila berjalan atau melakukan
gerakan pinggul. Rasa sakit yang dirasakan menyebar ke sisi paha dan
cara berjalan pasien tampak gait pincang. Untuk menegakkan
diagnosis, MRI menjadi modalitas diagnostikyang sensitif atau foto
radiologi sendi pinggul (Dall‟era & Wofsy, 2017).
f. Miositis
Meskipun gejala mialgia sering terjadi pada pasien SLE,
terjadinya mialgia yang disebabkan oleh miositis relatif jarang terjadi.
Suatu studi pasien SLE di National Institutes of Health (NIH)
menemukan prevalensi miositis sekitar 8%. Miositis biasanya
melibatkan ekstremitas atas dan bawah bagian proksimal. Biasanya
selain ditandai gejala klinis, juga didapatkan kadar kreatinin kinase
yang meningkat dan pemeriksaan EMG yang spesifik (Dall‟era &
Wofsy, 2017). Penting untuk membedakan miositis sekunder akibat
SLE dibandingkan dengan miopati akibat glukokortikoid, agen
antimalaria, kolkisin, atau statin karena pengobatannya sangat
berbeda. Enzim-enzim otot seperti creatine phosphokinase (CPK) dan
aldolase biasanya masih dalam kadar normal pada pasien-pasien
dengan miopati akibat glukokortikoid dan hydroxychloroquine.
Pemeriksaan biopsi otot umumnya dapat menunjukkan tanda-tanda
khas, termasuk perubahan vakuolar dalam miopati
hydroxychloroquine dan atrofi fiber tipe II pada miopati
glukokortikoid tanpa adanya peradangan. Sedangkan kolkisin dapat
menyebabkan miopati atau neuromiopati melalui peningkatan kadar
serum CPK. Penting untuk mederensial diagnosis penyebab miopati
dan miositis lainnya, termasuk penyakit tiroid, kelainan elektrolit,
dan miositis infeksi. Pemeriksa juga harus mempertimbangkan
kemungkinan MCTD (Dall‟era & Wofsy, 2017).
E. TATA LAKSANA SLE
Tata laksana SLE telah menunjukkan perbaikan sejak
beberapa dekade yang lalu sehingga meningkatkan harapan hidup,
namun demikian pasien SLE masih mempunyai risiko kematian
dua kali lipat dibandingkan populasi normal. Tujuan utama tata
laksana SLE adalah mengendalikan aktivitas penyakit dengan
meminimalkan kerusakan organ serta efek samping obat-obatan.
Tata laksana SLE sangat bervariasi, oleh karena itu sedikit sekali
konsensus atau studi tentang penilaian konsep remisi atau aktivitas
penyakit yang rendah dan petunjuk bagaimana peratawan SLE
jangka panjang. Kondisi ini menyebabkan tata laksana kurang
optimal, karena pendekatan terapi dilakukan secara personal.
Dalam menjalankan tata laksana SLE, diagnosis awal amat sangat
penting. Pada tahun 1980, rata-rata pasien terdiagnosis
membutuhkan waktu 50 bulan sejak penyakit timbul, namun sejak
tahun 2000 waktu yang dibutuhkan lebih pendek, yaitu sekitar 6-
25 bulan sejak adanya pemeriksaan ANA untuk diagnosis awal
SLE. Jeda waktu ini tidak pasti karena abnormalitas SLE terjadi 10
tahun sebelum manifestasi klinik muncul (Doria, 2010). Selain itu
dalam menginterpretasi data autoantibodi seringkali klinisi hanya
mengandalkan ditemukannya autoantibodi spesifik misalnya
dsDNA, padahal dsDNA bisa ditemukan infeksi, keganasan, dan
penyakit autoimun lainnya. Adanya perbedaan teknik laboratorium
juga akan memengaruhi deteksi autoantibodi dan hal ini seringkali
diabaikan (Gatto, 2019).
Diagnosis dini mempermudah klinis dalam merawat SLE,
serta dapat mengurangi kerusakan organ dan angka kekambuhan
sangat rendah apabila pasien dapat di diagnosis secara dini. Dekade
terakhir, banyak upaya penelitian mencari biomarker aktivitas
penyakit dengan mendeteksi kadar sitokin proinflamasi antara lain
IL-5, IL-6, IFN gamma, dan alpha.

F. STRATEGI PENCEGAHAN
Konsep pencagahan pada Systemic Lupus Erythematosus
(SLE), yaitu berdasarkan penyakit sitemik autoimun yang bersifat
kronik dan progresif dengan angka kematian yang sangat tinggi,
untuk itu diperlukan diagnosis dan terapi yang tepat supaya dengan
cepat mengendalikan aktivitas penyakit. Apabila aktivitas penyakit
sudah terkendali, maka dapat mencegah pasien kambuh, mengingat
perjalanan penyakit SLE bersifat relap (kambuh) dan remisi. Pasien
SLE yang tidak respons dengan terapi konvensional sesegera
mungkin melakukan tindakan terapi yang lebih baik atau lebih
mendekati patofisiologi dengan menggunakan biologic agent yang
disebut treat to target. Tindakan ini dilakukan pada pasien yang
menderita SLE untuk dilakukan pencegahan primer, yaitu tindakan
diagnosis yang tepat. Pada pasien yang sudah terdiagnosis SLE
dilakukan pencegahan supaya tidak kambuh (secondary
prevention) dan mencegah progresivitas penyakit (tertiary
prevention) selain tindakan pencegahan maka juga dianjurkan
melakukan perawatan komorbid (Gatto, 2019).
28

1. Pencegahan Primer (Melakukan Diagnosis dan Terapi Dengan Tepat)


Setiap individu yang mempunyai riwayat keluarga SLE, maka
klinisi perlu untuk mencurigai adanya lupus pada pasien tersebut atau
bila ada pasien dengan ANA positif dengan kadar rendah dan
menunjukkan peningkatan kadar adanya autoantibodi dsDNA,
U1RNP, ribosomal P atau Sm harus dievaluasi secara ketat terutama
pasien yang berisiko menderita SLE, misalnya wanita dengan
kehamilan (Doria & Briani, 2008a). Pencegahan primer ini terbukti
bermanfaat pada pasien dengan asimptomatik tetapi mempunyai
gambaran laboratorium yang abnormal. Pencegahan primer yang
dilakukan adalah menganjurkan pasien untuk tidak terpapar matahari,
merokok, dan menghindari obat-obatan yang dapat memicu SLE.
Suplemen vitamin D mungkin disarankan pada individu tanpa gejala
untuk memberikan efek imunomodulator potensial tanpa efek samping
obat yang penting (Gatto, 2019).
Meskipun ANA positif saja mungkin tidak memerlukan
perawatan hydroxychloroquine, terapi ini dapat digunakan untuk
individu yang memiliki serologi komposit (seperti positif untuk anti-
dsDNA atau antibodi anti-ekstraksi nuklir (ENA) antibodi spesifik)
dan/atau tingkat komplemen yang rendah karena risiko
perkembangan lebih tinggi pada pasien ini daripada pada pasien
dengan ANA positif saja (Doria & Briani, 2008b; Durcan 2016).
Bentuk pencegahan primer lain adalah pencegahan trombosis terutama
individu yang mempunyai antibodi antiphospolipid syndrome dan
mengevaluasi risiko trombosis antara lain merokok, genetic
hypercoagulability, penyakit ginjal, pemakaian kortikosteroid, adanya
antibodi fosfolipid terapi baru diberikan pada pasien dengan
kehamilan imobilisasi yang lama (Doria & Briani, 2008a; Bizzarro,
2007; Gatto, 2019).
29

2. Pencegahan Sekunder dan Pencegahan Tersier


Tindakan pencegahan kedua adalah mencegah supaya penyakit
tidak progresif dan mempertahankan fungsi organ, misalnya gagal
ginjal pada lupus nefritis, gejala sisa akibat NPSLE, dan scarring
alopecia (Moroni, 2007; Lateef, 2012). Pada lupus nefritis akan
terjadi global improvement mungkin karena diagnosis dibuat lebih
awal. Selain itu, pada fase awal pasien lebih dini mendapatkan
mycophenolate mofetil (MMF), antimalarial, dan biologic treatment.
Tindakan ini dapat menunda perburukan fungsi ginjal (Gatto, 2019).
Penetapan remisi masih belum ada guideline yang tetap, beberapa
peneliti menetapkan remisi berdasarkan kebutuhan dosis prednisone
sekitar ≤5 yang menyatakan SLE mencapai T2T, yaitu mencapai
remisi secara klinik dan prednison yang digunakan sekecil mungkin
low disease activity. Dalam upaya untuk mencapai hasil yang baik
setelah 2 tahun dengan monitoring. Low diseases activity merupakan
konsep klinik primer dalam merawat lupus. Skor SLEDAI tidak bisa
menilai aktivitas penyakit secara komplit tetapi SLEDAI hanya bisa
membedakan ringan dan beratnya lupus berdasarkan organ yang
terserang demikian juga dengan SLEDAI -2K. PGA threshold berbeda
dengan definisi remisi pasien dengan aktif lupus nefritis maka target
terapi adalah proteinuria ≤0.7 g/hari dan pengobatan harus dimulai
pada 2-5 bulan sejak munculnya penyakit. Cara tata laksana dengan
pendekatan T2T, dalam merawat pasien SLE yang terpenting adalah
konsep „right the first time‟ dengan memberikan pengobatan yang
adekuat, bila remisi didapat sejak awal maka klinisi akan
mendapatkan hasil yang baik dalam waktu jangka panjang (Gatto,
2019). Pada gambar berikut ini lebih jelasnya untuk langkah
pencegahan primer, sekunder, dan tertier Obat-obat yang dipakai
untuk imunosupresif dalam merawat SLE antara lain alkylating agents
(cyclophosphamide), inosine monophosphate dehydrogenase
(IMPDH), inhibitors (MMF and mycophenolic acid), selective
inhibitors of purine and/or pyrimidine synthesis (azathioprine dan
30

methotrexate), dan calcineurin inhibitors (cyclosporine dan


tacrolimus) (Pego-Reigosa et al., 2013). Meskipun obat-obatan ini
tidak mempunyai target molekul yang spesifik. Limfosit, termasuk sel
plasma merupakan sel yang banyak terlibat pada SLE, sel ini sangat
proliferatif dan metabolismenya tinggi (Allison & Eugui, 1996). Pada
umumnya anjuran penggunaan imunosupresan adalah tunggal
(Bertsias et al., 2008; Bertsias et al., 2012). Dari beberapa studi mulai
meneliti terapi kombinasi imunosupresan misal calcineurin dan MMF
khususnya pada kasus lupus nefritis. Kombinasi yang memberikan
hasil yang baik, yaitu tacrolimus dan MMF dibandingkan dengan yang
mendapat terapi siklofosfamid. Studi tersebut menyimpulkan bahwa
efek samping lebih minimal dibandingkan dengan terapi tunggal. Efek
samping umumnya leukopenia, gangguan fungsi hati namun pada fase
induksi lebih banyak yang mengalami efek samping yang serius
misalnya infeksi berat, herpes zooter (Zhang et al., 2017; Chen et al.,
2012; Gatto, 2018).
Efektivitas calneurin inhibitor dengan dosis rendah atau tinggi
yang dikombinasi MMF. Angka pencapaian remisi lebih tinggi pada
kelompok dosis tinggi dibandingkan dengan kelompok MMF saja.
Efek sinergi calceneurin inhibitor dan MMF pada lupus nefritis
didapatkan bahwa beberapa ekspresi gen proinflamatori tidak
terekspresi dengan terapi kombinasi dibandingkan pemberian tunggal.
Namun hal ini perlu data dukung yang lebih banyak lagi untuk bisa
digunakan sebagai panduan terapi di klinik (Gatto, 2018).
menginduksi enzim mikrosomal hati (barbiturat, alkohol, fenitoin,
rifampin) dapat mempercepat metabolisme CYC menjadi metabolit
aktifnya dan meningkatkan efek farmakologis dan toksisitasnya.
Sebaliknya, obat-obatan yang menghambat enzim mikrosom hati
(anti-malaria, anti-depresan trisiklik, dan allopurinol) dapat
memperlambat konversi CYC menjadi metabolit aktif. Sekitar 20%
dari CYC diekskresikan oleh ginjal dan modifikasi dosis diperlukan
untuk pasien dengan gangguan ginjal (Bertsias, 2017).
31

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut :
1. Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain
AIDS dan kanker. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit
autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan
sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
2. Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang
menyebabkannya tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah
factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-
obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit
ini ada kaitannya dengan hormon estrogen.
3. Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering
dianggap sepele tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar
terhindar dari penyebarannya sampai ke organ-organ.

B. Saran
1. Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat
ditangani dengan baik sejak awal untuk mempercepat proses
penyembuhan dan atau merawat penyakit ini untuk menghindari
penyebarannya keseluruh organ tubuh.
2. Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan
penyakit ini.
3. Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang
penyakit ini.
32

DAFTAR PUSTAKA

Bertsias G, Carvera R, & Boumpas TD. 2012. Systemic lupus


erythematosus: Pathogenesis and clinical features. Jenewa:
European League Against Rheumatism.
Bertsias G & Boumpas DT. 2008. Update on the management of lupus
nephritis: let the treatment fit the patient. Nat Clin Pract Rheumatol.
4(9):464-472
Bertsias G, et al. 2008. Task force of the EULAR Standing Committee for
International Clinical Studies Including Therapeutics. EULAR
recommendations for the management of systemic lupus
erythematosus. Report of a Task Force of the EULAR Standing
Committee for International Clinical Studies Including Therapeutics.
Ann. Rheum. Dis. 67, 195–205.
Bertsias G, et al. 2012. Joint European League Against Rheumatism and
European Renal Association- European Dialysis and Transplant
Association (EULAR/ERA- EDTA) recommendations for the
management of adult and paediatric lupus nephritis. Ann. Rheum. Dis.
71, 1771–1782.
Bertsias GK, Ioannidis JP, Aringer M, et al. 2010. EULAR
recommendations for the management of systemic lupus
erythematosus with neuropsychiatric manifestations: report of a task
force of the EULAR standing committee for clinical affairs. Ann
Rheum Dis. 69(12):2074-2082
Bertsias GK, Tektonidou M, Amoura Z, et al. 2012. Joint European League
Against Rheumatism and European Renal Association-European
Dialysis and Transplant Association (EULAR/ERA-EDTA)
recommendations for the management of adult and paediatric lupus
nephritis. Ann Rheum Dis. 71(11):1771-1782
Crow MK. 2017. Chapter 79 - Etiology and Pathogenesis of Systemic Lupus
Erythematosus.
Golder V, Kandane-Rathnayake R, Hoi AYB, et al. 2016. Frequency and
predictors of the lupus low disease activity state in a multi-national and
multi-ethnic cohort. Arthritis Research & Therapy, 18:260.
Neves BM, Lopes MC, Cruz MT. Pathogen strategies to evade innate
immune response: a signaling point of view. In: GDS Xavier (ed).
Protein Kinases. Croatia: InTech, 123–164.
Pathak S & Mohan C. 2011. Cellular and molecular pathogenesis of
systemic lupus erythematosus: lessons from animal models. Arthritis
Res Ther, 13:241.
Sporri R & C Reis e Sousa. 2005. Inflammatory mediators are insufficient
for full dendritic cell activation and promote expansion of CD4+ T
cell populations lacking helper function. Nat Immunol, 6(20):163-70.
ISSN 1529-2908.

Anda mungkin juga menyukai