Oleh:
Dhamar Sakti Wiyono Putro 170070201011006
Nur Alia Syazwani Binti Mohd Anuar 170070201011080
Sandra Pradita Widya Aswuri 170070201011098
Pembimbing:
dr. Perdana Aditya, Sp. PD.
2
3. Bagaimanakah patofisiologi SLE?
4. Apakah tanda dan gejala SLE?
5. Bagaimanakah penegakan diagnosis SLE?
6. Bagaimanakah terapi untuk SLE terutama pada kehamilan?
7. Apakah komplikasi yang dapat terjadi pada SLE?
8. Bagaimanakah prognosis pasien yang mengalami SLE?
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Beberapa faktor risiko untuk penyakit SLE, diantaranya adalah (Bruce et al,
2003) :
1) Ras: Afrika-Amerika, Hispanik, Asia, dan penduduk asli Amerika
memiliki peningkatan prevalensi.
2) Jenis kelamin: Wanita > Pria : 9:1
3) Faktor lingkungan: paparan sinar UV, defisiensi vitamin D, merokok,
alkohol, paparan bahan kimia akibat pekerjaan atau bukan pekerjaan,
vaksinasi, obat-obatan, dan hormon
4) Genetika
Etiologi dan patogenesis dari SLE belum diketahui secara pasti namun
diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara faktor
lingkungan, variasi genetik serta hormonal (Kalim, 2000).
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-
immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita
lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung
mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal
membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan
lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki
resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam
tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan
gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu
dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus.
4
Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan
dan apoptosis. (Abbas et al., 2014).
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus
dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama
gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Di duga berhubungan dengan
gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II,
yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang
berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan
C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang
mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin (Handono et al., 2013).
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen
8 MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi
spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak
pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear
sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan
sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear
akan menimbulkan respon imun (Sangha, 2000).
Apoptotic bodies ini mengandung berbagai macam self-antigen dan
diketahui dapat menginduksi sistem imun dan autoantibodi sehingga dapat
membentuk kompleks imun. Kompleks imun yang terbentuk di duga merupakan
inti dari imunopatologis pada SLE. Pembersihan kompleks imun oleh sistem
fagosit-makrofag juga mengalami gangguan sehingga dapat menghambat
proses eliminasi kompleks imun dari sirkulasi maupun jaringan, hal ini
mengakibatkan terjadinya penumpukan kompleks imun pada jaringan ginjal,
kulit, pleksus koroid di otak dan jaringan lainnya yang dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan jaringan secara sistemik. Sel yang terapoptosis akan
terakumulasi di dalam tubuh sehingga dapat menginduksi sel T autoreaktif
(Wallace, 2007).
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon
estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktifasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien SLE.
Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (
ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya
seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktifasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal
(Lande et al., 2011).
SLE juga ditandai penyimpangan sistem kekebalan yang melibatkan sel
B, sel T, dan sel monosit lainnya, yang mengaktivasi sel B poliklonal sehingga
terjadi peningkatan jumlah sel yang dapat menghasilkan antibodi serta
pembentukan autoantibodi dan kompleks imun. Antigen lingkungan dan self-
antigen akan berikatan dengan antigen presenting cells (APCs) serta
5
permukaan sel B. Baik APCs dan sel B akan mengubah antigen menjadi
peptida, kemudian mempresentasikannya kepada molekul HLA pada
pemukaan sel T. Sel T yang diaktifkan akan merangsang sel B untuk
menghasilkan autoantibodi pathogen (Mok dan Lau, 2003).
Presentasi antigen asing oleh molekul major histocompatibility complex
(MHC) mengaktifkan sel T. Sel ini kemudian membantu sel B mengalami
autoreaktif, maturasi dan diferensiasi menjadi sel plasma yang akan
memproduksi kadar autoantibodi yang tinggi. Autoantibodi ini akan membentuk
kompleks imun dengan mengikat self-antigen yang melibatkan reseptor Fc.
Pengikatan ini mengakibatkan peradangan dan kerusakan melalui rekruitmen
sel inflamasi ke jaringan. Sel apoptosis yang tidak dibersihkan dengan
sempurna akan mempresentasikan self-antigen yang baru dan memicu
autoreaktif yang lebih lanjut. Selain itu, faktor lingkungan seperti sinar UV dan
infeksi virus juga berkontribusi pada proses yang menginduksi sekresi IFN-I dan
sitokin lain melewati TLR pada permukaan sel. Hal ini juga dapat mendukung
kerusakan jaringan lebih lanjut. (Lande et al., 2011).
6
ibu dengan SLE akan menderita neonatal lupus, diakibatkan oleh
antibodi maternal yang melewati plasenta (Hahn & Tsao, 2008)
7
Tabel Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (ACR 1997 revised)
8
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil ANA tes negatif, maka
kemungkinan bukan SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis
dan monitoring dari SLE antara lain hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju
endap darah setiap 3-6 bulan sekali apabila pasien stabil, urin rutin dan
mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin, kimia
darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid), PT, aPTT pada sindroma
antifosfolipid, serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3, C4), foto polos
thorax. Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien
(Kavanaugh, et al., 2000).
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA generik (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-
100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pad beberapa penyakit lain yang
mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease
(MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang
normal (Kavanaugh, et al., 2000).
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan nyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan
berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan
datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes
ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan
gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan
(Kavanaugh, et al., 2000).
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien
yang bukan SLE (Kavanaugh, et al., 2000).
9
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya
SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30% pasien SLE, tes ini jarang
dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik
untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi
lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak
menyingkirkan diagnosis (Kavanaugh, et al., 2000)
10
2.7 Terapi SLE
Tujuan dari tatalaksana SLE yaitu meningkatkan kualitas hidup pasien SLE
melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus
pengobatan SLE adalah mendapatkan masa remisi yang panjang, menurunkan
aktivitas penyakit seringan mungkin, mengurangi rasa nyeri dan memelihara
fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas
hidup yang optimal. Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan
gabungan strategi pengobatan antara lain edukasi dan konseling, program
rehabilitasi, serta pengobatan medikamentosa.
Pengobatan medikamentosa yaitu:
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis
dan pengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet
klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa
mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan,
sementar hidroksiklorokuin dosis 5 - 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400
mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)
- Kortikosteroid, yang digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan SLE. Kortikosteroid dosis rendah (< 7,5 mg prednison perhari)
hingga sedang (7,5 mg - 30 mg perhari) digunakan pada SLE yang
relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi (30 mg - 100 mg perhari)
berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi (>100 mg perhari)
dan terapi pulse (>250 mg perhari) diberikan untuk krisis akut yang
berat seperti vaskulitis luas, lupus nefritis, dan lupus serebral (Jacobs,
2009). Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik
yang mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi
ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5 mg-1 gram
metilprednisolon. Diberikan selama 3 hari berturut-turut.
11
Algoritma penatalaksanaan SLE sesuai dengan tingkat keparahan manifestasinya
(Ntali, et al., 2009)
12
Tabel 2.1 Obat-obatan selama kehamilan dan menyusui
13
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Autoanamnesis
Keluhan utama : Bengkak pada kedua kaki
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan bengkak kedua kaki
sejak dua minggu yang lalu. Bengkak awalnya hanya sedikit, lama-kelamaan
semakin bertambah bengkak hingga pasien sulit berjalan, dan memberat sejak
3 hari terakhir. Kaki pasien bertambah bengkak apabila berjalan. Karena
bengkaknya, pasien sulit berjalan. Kaki pasien juga terasa panas dan nyeri
yang terus menerus.
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 2 bulan terakhir yang kadang
bersertai dahak. Dahak kadang keluar berwarna putih. Batuk sedikit membaik
ketika pasien meminum air hangat. Pasien juga mengeluhkan sesak setiap kali
batuk, dan sesak membaik ketika posisi duduk. Pasien mulai demam sumer-sumer
sejak 3 hari terakhir. Demam dirasakan terus menerus. Pasien mengeluhkan sakit
kepala yang hilang timbul sejak 2 minggu yang lalu. Wajah pasien juga muncul
bintik merah-merah dan mengelupas sejak 2 minggu yang lalu. Kemerahan tidak
disertai gatal maupun panas. Untuk mengatasi bintil merahnya, pasien
menggunakan bedak cair dan menggunakan lotion untuk kulit yang mengelupas.
Kemerahan muncul setelah pasien terpapar cahaya matahari dalam waktu yang
cukup lama. Pasien juga mengeluhkan badan lemas, dan merasa kelelahan
setelah berjalan atau melakukan kegiatan rumah tangga seperti menyapu sejak
seminggu terakhir ini.
14
Pasien saat ini sedang hamil 18 bulan. Pasien tidak mengeluh mual
maupun muntah selama kehamilan. Pasien mengeluhkan nyeri di perut bagian
bawah ketika ditekan. BAK dan BAB pasien dalam batas normal.
Riwayat keluarga :
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama. HT (-),
DM (-), stroke (-), TB (-), asma (-).
Riwayat imunisasi :
Pasien melakukan imunisasi dasar lengkap sewaktu kecil.
Riwayat sosial :
Pasien saat ini merupakan ibu rumahtangga dan memiliki satu orang
suami. Ini merupakan kehamilan pertama pasien.
15
Mulut Ulkus (-), tumor (-), gigi dan gusi dalam batas normal, faring
hiperemi (-), edema (-),Tonsil T1/T1
Thoraks Pengambangan dada simetris, retraksi (-)
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Jantung: Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL Sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : Sternal Line Dextra, Batas
jantung kiri : Ictus
Auskultasi : S1S2 single regular, murmur (-), gallop (-)
Paru: Inspeksi : Statis D=S, Dinamis D=S
Palpasi : Ekspansi dinding dada simetris, stem fremitus D=S
Perkusi : s s Suara Napas: v v rh - - wh --
ss v v - - --
ss v v - - --
Abdomen Flat, soefl,bisingusus (+) normal, liver span 8 cm, Traube’s
space timpani, shifting dullness (-),Nyeri tekan (+) suprapubic,
VAS 3/10
16
MCV 84,10 80-93 fl LDH 432 240-480
Eritrosit:
-normokrom anisopoikilositosis
-mikrositik (+)
-tear drop cell (+)
-cigar cell (+)
-fragmentosit (+)
Lekosit
-kesan jumlah normal
Trombosit
-kesan jumlah normal
Coombs’ Test : Negatif
17
Urobilinogen 3,2 <17 Erythrocyte 16,0 <3
Nitrite Negatif Negatif Leucocyte 17,8 <5
Leucocyte Negatif Negatif Crystal -
Erythrocyte +3 Negatif Bacteria 173, <93,000
5000
18
BAB IV
PEMBAHASAN
Kasus Teori
Anamnesis: Kecurigaan/kewaspadaan akan penyakit
Ny.LH/ 25 tahun
SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua)
Keluhan utama : Bengkak pada kedua kaki
atau lebih kriteria sebagaimana tercantum
Riwayat penyakit sekarang :
di bawah ini, yaitu:
Pasien datang ke rumah sakit dengan
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua
keluhan bengkak kedua kaki sejak dua
minggu yang lalu. Bengkak awalnya hanya organ atau lebih.
sedikit, lama-kelamaan semakin bertambah 2. Gejala konstitusional: kelelahan,
bengkak hingga pasien sulit berjalan, dan demam (tanpa bukti infeksi) dan
memberat sejak 3 hari terakhir. Kaki pasien
bertambah bengkak apabila berjalan. Karena penurunan berat badan.
bengkaknya, pasien sulit berjalan. Kaki pasien 3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia,
juga terasa panas dan nyeri yang terus myositis
menerus.
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak
2 bulan terakhir yang kadang bersertai dahak. malar rash), fotosensitivitas, lesi
Dahak kadang keluar berwarna putih. Batuk membrana mukosa, alopesia,
sedikit membaik ketika pasien meminum air
fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
hangat. Pasien juga mengeluhkan sesak
setiap kali batuk, dan sesak membaik ketika vaskulitis.
posisi duduk. Pasien mulai demam sumer- 5. Ginjal: hematuria, proteinuria,
sumer sejak 3 hari terakhir. Demam
silinderuria, sindroma nefrotik
dirasakan terus menerus. Pasien
mengeluhkan sakit kepala yang hilang timbul 6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri
sejak 2 minggu yang lalu. Wajah pasien juga abdomen
muncul bintik merah-merah dan 7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi
mengelupas sejak 2 minggu yang lalu.
pulmonal,lesi parenkhim paru.
Kemerahan tidak disertai gatal maupun
panas. Untuk mengatasi bintil merahnya, 8. Jantung: perikarditis, endokarditis,
pasien menggunakan bedak cair dan miokarditis
menggunakan lotion untuk kulit yang
9. Retikulo-endotel: organomegali
mengelupas. Kemerahan muncul setelah
pasien terpapar cahaya matahari dalam (limfadenopati, splenomegali,
waktu yang cukup lama. Pasien juga hepatomegali)
mengeluhkan badan lemas, dan merasa
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan
kelelahan setelah berjalan atau melakukan
kegiatan rumah tangga seperti menyapu sejak trombositopenia
seminggu terakhir ini. 11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang,
Pasien saat ini sedang hamil 18 bulan.
19
Pasien tidak mengeluh mual maupun muntah sindroma otak organik, mielitis
selama kehamilan. Pasien mengeluhkan transversus, gangguan kognitif
nyeri di perut bagian bawah ketika ditekan.
neuropati kranial dan perifer.
BAK dan BAB pasien dalam batas normal.
Riwayat keluarga :
Keluarga pasien tidak ada yang
memiliki keluhan yang sama. HT (-), DM (-),
stroke (-), TB (-), asma (-).
Riwayat imunisasi :
Pasien melakukan imunisasi dasar lengkap
sewaktu kecil.
Riwayat sosial :
Pasien saat ini merupakan ibu
rumahtangga dan memiliki satu orang suami.
Ini merupakan kehamilan pertama pasien.
Pemeriksaan Fisik:
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
GCS : 456
Status gizi : normoweight
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tensi : 110/70 mmHg
Nadi : 103 x / menit
RR : 24 x / menit
Tax : 36,2 ˚C
SpO2 : 96% RA
Abdomen : Flat, soefl,bisingusus (+) normal,
liver span 8 cm, Traube’s space timpani,
shifting dullness (-), nyeri tekan (+)
suprapubic, VAS 3/10
20
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik
Edema -/-
+/+ , pitting 3+
Pemeriksaan Penunjang:
Jenis
Hasil Satuan
Pemeriksaan
Haemoglobin 6,90 g/dL
Eritrosit 2,20 106/ uL
Leukosit 9630 103/uL
Hematokrit 18,50% %
MCV 84,10 fL
MCH 31,40 pg
Eo/Bas/Neu/Li 2,5/0,2/73,
mf/Mon 9/16,7/6,7
Hasil Urinalisis
Proteinuria +3
Bilirubin +2
Erythrocyte +3
21
- IV Metoclopramide 3x10mg 1. Penderita SLE yang ingin hamil,
- IV Ranitidin 50mg (kalau perlu)
dianjurkan sekurang-kurangnya setelah
- PO Azathioprin 2x50mg
- PO Methylprednisolone 8mg-0-0 6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali
- PO Calos 2x500mg atau dalam keadaan remisi total. Hal ini
- PO Paracetamol 3x500mg
- Tranfusi albumin 20% 100cc sd albumin bertujuan untuk mengurangi terjadinya
≥2,5 gr/dl kekambuhan lupus selama masa hamil.
TS Obgyn
- Konservatif 2. Pada medikamentosa, penggunaan
- DJJ 146x dosis kortikosteroid (prednisolone)
- PO Asam folat 1x1
- Sulfas Ferous 2x1 diusahakan sekecil mungkin yaitu
- Vulva higiene ≤7,5mg/hari dan penggunaan obat-
obatan lain harus diberikan dengan
penuh kehati-hatian.
22
BAB V
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
24