Anda di halaman 1dari 25

RESPONSI

SLE (Sistemic Lupus Eritematosus) PADA KEHAMILAN

Oleh:
Dhamar Sakti Wiyono Putro 170070201011006
Nur Alia Syazwani Binti Mohd Anuar 170070201011080
Sandra Pradita Widya Aswuri 170070201011098

Pembimbing:
dr. Perdana Aditya, Sp. PD.

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2018
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ...........................................................................................i


DAFTAR ISI ......................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................3
2.1 Definisi dan Etiologi SLE .......................................................................3
2.2 Faktor Resiko SLE ................................................................................4
2.3 Patofisiologi SLE ...................................................................................5
2.4 Tanda dan Gejala SLE ..........................................................................7
2.5 Penegakan Diagnosis SLE ...................................................................9
2.6 Terapi SLE ............................................................................................14
2.6.1 Terapi SLE pada kehamilan
2.7 Komplikasi SLE .....................................................................................15
2.8 Prognosis SLE ......................................................................................15
BAB 3 LAPORAN KASUS ................................................................................17
BAB 4 KESIMPULAN .......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit
inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui secara
pasti. SLE umumnya menyerang wanita usia reproduksi dengan angka
kematian yang cukup tinggi. Prevalensi terjadinya SLE di seluruh dunia
menurut World Health Organization yaitu sejumlah 5 juta orang dengan
sebagian besar diantaranya adalah perempuan usia produktif dan
setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Di Indonesia
sendiri belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup seluruh
wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan
pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam12, sementara di RS
Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari
total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.
Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Angka
kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan
populasi umum. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia
reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Pada tahun-
tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa,
sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vascular
aterosklerosis.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit
dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat
(SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di
Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak
berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%,
nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4%
dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai
adalah miositis 4,3%, ruam discoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan
lesi subkutaneus akut 6,7%.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang ingin dibahas di dalam responsi ini


terkait dengan sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah sebagai
berikut:
1. Apakah definisi dan etiologi dari SLE?
2. Apakah faktor resiko dari SLE?

2
3. Bagaimanakah patofisiologi SLE?
4. Apakah tanda dan gejala SLE?
5. Bagaimanakah penegakan diagnosis SLE?
6. Bagaimanakah terapi untuk SLE terutama pada kehamilan?
7. Apakah komplikasi yang dapat terjadi pada SLE?
8. Bagaimanakah prognosis pasien yang mengalami SLE?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan responsi mengenai SLE (Sistemik Lupus


Eritematosus) ini yaitu untuk memenuhi tugas dokter muda dalam
menjalankan pendidikan profesi kedokteran umum, khususnya di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Dengan demikian, ilmu dan
pengetahuan penyusun maupun pembaca responsi akan bertambah
mengenai SLE (Sistemik Lupus Eritematosus).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Etiologi SLE

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi


autoimun kronis yang menyerang berbagai jaringan dan organ tubuh yang
belum diketahui pasti etiologinya serta memiliki manifestasi klinis, perjalanan
penyakit, dan prognosis yang beragam. Secara istilah, SLE dapat didefinisikan
sebagai suatu penyakit yang bersifat episodik, multisistem dan autoimun
ditandai dengan adanya proses inflamasi yang meluas pada pembuluh darah
dan jaringan ikat, serta munculnya antinuklear-antibodi (ANA) pada
pemeriksaan penunjang (Malleson, et al, 2007).

2.2 Faktor Resiko SLE

Beberapa faktor risiko untuk penyakit SLE, diantaranya adalah (Bruce et al,
2003) :
1) Ras: Afrika-Amerika, Hispanik, Asia, dan penduduk asli Amerika
memiliki peningkatan prevalensi.
2) Jenis kelamin: Wanita > Pria : 9:1
3) Faktor lingkungan: paparan sinar UV, defisiensi vitamin D, merokok,
alkohol, paparan bahan kimia akibat pekerjaan atau bukan pekerjaan,
vaksinasi, obat-obatan, dan hormon
4) Genetika

2.3 Patofisiologi SLE

Etiologi dan patogenesis dari SLE belum diketahui secara pasti namun
diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara faktor
lingkungan, variasi genetik serta hormonal (Kalim, 2000).
Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti
radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-
immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit.
Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita
lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung
mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal
membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan
lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki
resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam
tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan
gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu
dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus.

4
Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan
dan apoptosis. (Abbas et al., 2014).
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus
dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama
gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Di duga berhubungan dengan
gen respons imun spesifik pada kompleks histokompabilitas mayor kelas II,
yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang
berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan
C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang
mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin (Handono et al., 2013).
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan
dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen
8 MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi
spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak
pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear
sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan
sel fagosit gagal membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear
akan menimbulkan respon imun (Sangha, 2000).
Apoptotic bodies ini mengandung berbagai macam self-antigen dan
diketahui dapat menginduksi sistem imun dan autoantibodi sehingga dapat
membentuk kompleks imun. Kompleks imun yang terbentuk di duga merupakan
inti dari imunopatologis pada SLE. Pembersihan kompleks imun oleh sistem
fagosit-makrofag juga mengalami gangguan sehingga dapat menghambat
proses eliminasi kompleks imun dari sirkulasi maupun jaringan, hal ini
mengakibatkan terjadinya penumpukan kompleks imun pada jaringan ginjal,
kulit, pleksus koroid di otak dan jaringan lainnya yang dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan jaringan secara sistemik. Sel yang terapoptosis akan
terakumulasi di dalam tubuh sehingga dapat menginduksi sel T autoreaktif
(Wallace, 2007).
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon
estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktifasi sel B poliklonal sehingga
mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien SLE.
Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (
ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya
seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam
pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktifasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal
(Lande et al., 2011).
SLE juga ditandai penyimpangan sistem kekebalan yang melibatkan sel
B, sel T, dan sel monosit lainnya, yang mengaktivasi sel B poliklonal sehingga
terjadi peningkatan jumlah sel yang dapat menghasilkan antibodi serta
pembentukan autoantibodi dan kompleks imun. Antigen lingkungan dan self-
antigen akan berikatan dengan antigen presenting cells (APCs) serta

5
permukaan sel B. Baik APCs dan sel B akan mengubah antigen menjadi
peptida, kemudian mempresentasikannya kepada molekul HLA pada
pemukaan sel T. Sel T yang diaktifkan akan merangsang sel B untuk
menghasilkan autoantibodi pathogen (Mok dan Lau, 2003).
Presentasi antigen asing oleh molekul major histocompatibility complex
(MHC) mengaktifkan sel T. Sel ini kemudian membantu sel B mengalami
autoreaktif, maturasi dan diferensiasi menjadi sel plasma yang akan
memproduksi kadar autoantibodi yang tinggi. Autoantibodi ini akan membentuk
kompleks imun dengan mengikat self-antigen yang melibatkan reseptor Fc.
Pengikatan ini mengakibatkan peradangan dan kerusakan melalui rekruitmen
sel inflamasi ke jaringan. Sel apoptosis yang tidak dibersihkan dengan
sempurna akan mempresentasikan self-antigen yang baru dan memicu
autoreaktif yang lebih lanjut. Selain itu, faktor lingkungan seperti sinar UV dan
infeksi virus juga berkontribusi pada proses yang menginduksi sekresi IFN-I dan
sitokin lain melewati TLR pada permukaan sel. Hal ini juga dapat mendukung
kerusakan jaringan lebih lanjut. (Lande et al., 2011).

2.4 Manifestasi Klinis SLE


SLE merupakan penyakit autoimun yang tidak mudah terdiagnosis
karena tingkat kompleksitas yang tergolong tinggi, memiliki banyak gejala dan
gejala tersebut timbul secara perlahan. Penderita SLE seringkali memiliki gejala
yang tidak spesifik seperti demam, keletihan dan kerontokan pada rambut.
Penderita juga dapat mengalami rasa panas di dada dan nyeri perut (Duarte et
al., 2011).
Manifestasi klinis pada setiap pasien SLE juga bervariasi dan sering
mengalami overlap dengan gejala penyakit lain seperti skleroderma serta artritis
reumatoid. Manifestasi klinis SLE juga dapat digolongkan menjadi beberapa
golongan, yaitu:
1. Manifestasi mucocutaneous: acute cutaneous lupus, chronic atau
discoid lupus, lupus panniculitus, lupus pernio, subacute cutaneous
lupus, dan tumid lupus.
2. Manifestasi musculoskeletal: artritis, myositis dan avascular bone
necrosis.
3. Manifestasi renal: gagal ginjal dan sepsis merupakan dua sebab
utama kematian dari pasien SLE.
4. Manifestasi kardiovaskular: demam, dispnea, takikardia dan gagal
jantung yang dapat ditemui >80% pada pasien SLE.
5. Manifestasi hematologi: anemia, leukopenia, trombositopenia, dan
sindroma antifosfolipid.
6. Manifestasi obstetric: SLE menyebabkan peningkatan risiko
kematian janin di dalam kandungan. Wanita hamil dengan SLE
berisiko tinggi mengalami aborsi spontan maupun retardasi janin.
Antibodi lupus yang berkaitan dengan peningkatan risiko aborsi
antara lain antibodi anticardiolipin dan lupus antikoagulan. Sepertiga
hingga setengah wanita dengan lupus memiliki autoantibodi
tersebut. Kehamilan haruslah direncanakan dan disesuaikan saat
penyakit dalam masa remisi. Sebanyak 3% bayi yang dilahirkan dari

6
ibu dengan SLE akan menderita neonatal lupus, diakibatkan oleh
antibodi maternal yang melewati plasenta (Hahn & Tsao, 2008)

2.5 Penegakan Diagnosis SLE


Diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis American College
of Rheumatology (ACR) 1997 revisi. Kecurigaan/kewaspadaan akan penyakit
SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap


penyakit lainnya. Kecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan pada penderita
yang memiliki 2 atau lebih kriteria kewaspadaan SLE. Diagnosis SLE diartikan
sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria terpenuhi
(klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumatology
(ACR) revisi tahun 1997.

7
Tabel Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (ACR 1997 revised)

Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4


dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang
waktu. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosis SLE memiliki
sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis

8
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil ANA tes negatif, maka
kemungkinan bukan SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis
dan monitoring dari SLE antara lain hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju
endap darah setiap 3-6 bulan sekali apabila pasien stabil, urin rutin dan
mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin, kimia
darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid), PT, aPTT pada sindroma
antifosfolipid, serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3, C4), foto polos
thorax. Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien
(Kavanaugh, et al., 2000).
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA generik (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-
100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pad beberapa penyakit lain yang
mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease
(MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang
normal (Kavanaugh, et al., 2000).
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan nyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan
berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan
datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes
ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan
gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan
(Kavanaugh, et al., 2000).
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA
yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer
yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien
yang bukan SLE (Kavanaugh, et al., 2000).

9
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya
SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30% pasien SLE, tes ini jarang
dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik
untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi
lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak
menyingkirkan diagnosis (Kavanaugh, et al., 2000)

2.6 Derajat Penyakit SLE


Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan, sedang, berat sampai mengancam
nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Kriteria untuk dikatakan SLE sedang adalah:
1. Nefritis ringan sampai sedang (Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103 /mm3)
3. Serositis mayor
Kriteria penyakit SLE berat atau mengancam nyawa yaitu:
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.

10
2.7 Terapi SLE
Tujuan dari tatalaksana SLE yaitu meningkatkan kualitas hidup pasien SLE
melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus
pengobatan SLE adalah mendapatkan masa remisi yang panjang, menurunkan
aktivitas penyakit seringan mungkin, mengurangi rasa nyeri dan memelihara
fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas
hidup yang optimal. Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan
gabungan strategi pengobatan antara lain edukasi dan konseling, program
rehabilitasi, serta pengobatan medikamentosa.
Pengobatan medikamentosa yaitu:
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis
dan pengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet
klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa
mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan,
sementar hidroksiklorokuin dosis 5 - 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400
mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)
- Kortikosteroid, yang digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan SLE. Kortikosteroid dosis rendah (< 7,5 mg prednison perhari)
hingga sedang (7,5 mg - 30 mg perhari) digunakan pada SLE yang
relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi (30 mg - 100 mg perhari)
berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi (>100 mg perhari)
dan terapi pulse (>250 mg perhari) diberikan untuk krisis akut yang
berat seperti vaskulitis luas, lupus nefritis, dan lupus serebral (Jacobs,
2009). Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik
yang mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi
ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5 mg-1 gram
metilprednisolon. Diberikan selama 3 hari berturut-turut.

11
Algoritma penatalaksanaan SLE sesuai dengan tingkat keparahan manifestasinya
(Ntali, et al., 2009)

2.7.1 Terapi SLE pada kehamilan


Pada wanita dengan SLE, tingkat kesuburannya sama dengan populasi
wanita yang tidak memiliki SLE. Dari beberapa penelitian, penderita SLE
saat kehamilan mengalami kekambuhan yang umumnya bersifat ringan,
namun apabila kehamilan terjadi saat nefritis masih aktif, sehinga sekitar
50-60% mengalami eksaserbasi. Pada pasien nefritis lupus dengan faktor
predisposisi seperti hipertensi, maka kemungkinan untuk mengalami
preeclampsia dan eklampsia akan meningkat.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penderita SLE dengan
kehamilan yaitu:
1. Penderita SLE yang ingin hamil, dianjurkan sekurang-kurangnya
setelah 6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan
remisi total. Hal ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya
kekambuhan lupus selama masa hamil.
2. Pada medikamentosa, penggunaan dosis kortikosteroid
(prednisolone) diusahakan sekecil mungkin yaitu ≤7,5mg/hari dan
penggunaan obat-obatan lain harus diberikan dengan penuh kehati-
hatian.

12
Tabel 2.1 Obat-obatan selama kehamilan dan menyusui

Pengaruh kehamilan pada SLE terhadap kondisi janin yaitu adanya


peningkatan resiko terjadi fetal heart block congenital sebesar 2% yang
berhungan dengan adanya antibody anti Ro/SSA atau anti La/SSB. Untuk
itu perlu dilakukan pemantauan terhadap kondisi kehamilan pada SLE.
Monitor aktivitas penyakit dan laboratorium wajib dilakukan selama
kehamilan maupun pasca persalinan, termasuk pengecekan IgM dan IgG
anti cardiolipin antibody, lupus antikoagulan, antibody anti Ro/SSA dan
anti La/SSB.

13
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Lailatul Hikmah
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 25 tahun
Tanggal lahir : 25-08-1993
Alamat : Ngreco, Blitar
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMP
Status : Sudah menikah
Etnis : Jawa
Agama : Islam
No. Register : 1138452

3.2 Anamnesis
Autoanamnesis
Keluhan utama : Bengkak pada kedua kaki
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan bengkak kedua kaki
sejak dua minggu yang lalu. Bengkak awalnya hanya sedikit, lama-kelamaan
semakin bertambah bengkak hingga pasien sulit berjalan, dan memberat sejak
3 hari terakhir. Kaki pasien bertambah bengkak apabila berjalan. Karena
bengkaknya, pasien sulit berjalan. Kaki pasien juga terasa panas dan nyeri
yang terus menerus.
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 2 bulan terakhir yang kadang
bersertai dahak. Dahak kadang keluar berwarna putih. Batuk sedikit membaik
ketika pasien meminum air hangat. Pasien juga mengeluhkan sesak setiap kali
batuk, dan sesak membaik ketika posisi duduk. Pasien mulai demam sumer-sumer
sejak 3 hari terakhir. Demam dirasakan terus menerus. Pasien mengeluhkan sakit
kepala yang hilang timbul sejak 2 minggu yang lalu. Wajah pasien juga muncul
bintik merah-merah dan mengelupas sejak 2 minggu yang lalu. Kemerahan tidak
disertai gatal maupun panas. Untuk mengatasi bintil merahnya, pasien
menggunakan bedak cair dan menggunakan lotion untuk kulit yang mengelupas.
Kemerahan muncul setelah pasien terpapar cahaya matahari dalam waktu yang
cukup lama. Pasien juga mengeluhkan badan lemas, dan merasa kelelahan
setelah berjalan atau melakukan kegiatan rumah tangga seperti menyapu sejak
seminggu terakhir ini.

14
Pasien saat ini sedang hamil 18 bulan. Pasien tidak mengeluh mual
maupun muntah selama kehamilan. Pasien mengeluhkan nyeri di perut bagian
bawah ketika ditekan. BAK dan BAB pasien dalam batas normal.

Riwayat penyakit dahulu :


Pasien terdiagnosa SLE sejak 5 tahun yang lalu dan rutin minum obar
methylprednisolone 8 mg – 0 – 0, azathioprine 2x50 mg dan callos 2x500 mg.

Riwayat keluarga :
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama. HT (-),
DM (-), stroke (-), TB (-), asma (-).

Riwayat imunisasi :
Pasien melakukan imunisasi dasar lengkap sewaktu kecil.

Riwayat sosial :
Pasien saat ini merupakan ibu rumahtangga dan memiliki satu orang
suami. Ini merupakan kehamilan pertama pasien.

3.2 Pemeriksaan Fisik


TD = 110/70 HR = 103x/menit RR = Tax : 36,2°C
mmHg 24x/menit SaO2 = 96% RA
Kesan umum: Tampak sakit sedang Berat badan : 58 kg
GCS 456 Tinggi badan : 160 cm
BMI : 20,3 kg/m2 (normo weight)
Kulit Tekstur mengelupas, turgor normal, wajah tampak kemerahan
Kepala Normosefali
Pupil isokor 3mm/3mm
Konjungtiva anemis (-)
Sklera ikterik (-)
Leher Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-), Bruit (-), JVP R+0 cm H2O 30o,
Telinga Serumen (-/-), infeksi (-/-), membran timpani intak, massa (-),
mastoid: nyeri (-)
Hidung Sekret (-), mukosa hiperemi (-/-), perdarahan (-/-), nyeri tekan
(-/-)

15
Mulut Ulkus (-), tumor (-), gigi dan gusi dalam batas normal, faring
hiperemi (-), edema (-),Tonsil T1/T1
Thoraks Pengambangan dada simetris, retraksi (-)
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Jantung: Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V MCL Sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : Sternal Line Dextra, Batas
jantung kiri : Ictus
Auskultasi : S1S2 single regular, murmur (-), gallop (-)
Paru: Inspeksi : Statis D=S, Dinamis D=S
Palpasi : Ekspansi dinding dada simetris, stem fremitus D=S
Perkusi : s s Suara Napas: v v rh - - wh --
ss v v - - --
ss v v - - --
Abdomen Flat, soefl,bisingusus (+) normal, liver span 8 cm, Traube’s
space timpani, shifting dullness (-),Nyeri tekan (+) suprapubic,
VAS 3/10

Extremities Akral hangat, CRT <2 detik


Edema -/-
+/+ , pitting 3+
Alat Kelamin Tidak diperiksa

Rectum Tidak diperiksa

3.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan darah lengkap tanggal 6 Desember 2018

LAB VALUE NORMAL LAB VALUE NORMAL

Leucocyte 9630 4.700 – 11.300 Ureum 37,10 16,6 – 48,5


/µL

Hemoglobin 6,90 11,4 - 15,1 g/dl Kreatinin 1,37 <1,2 mg/dL

Erythrocyte 2,20 4.0 – 5.0 x Bilirubin Total 0,15 <1.0


106/ul

Hematokrit 18,50% 40 - 47% Bilirubin direct 0,09 <0.25

Thrombocyte 288.000 142.000 – Bilirubin 0,06 <0.75


424.000 /µL indirect

16
MCV 84,10 80-93 fl LDH 432 240-480

MCH 31,40 27-31 pg

Eo/Bas/Neu/ 2,5/0,2/73, 0-4/0-1/51-


9/16,7/6,7 67/25-33/2-5
Limf/Mon

Evaluasi Hapusan Darah

 Eritrosit:
-normokrom anisopoikilositosis
-mikrositik (+)
-tear drop cell (+)
-cigar cell (+)
-fragmentosit (+)
 Lekosit
-kesan jumlah normal
 Trombosit
-kesan jumlah normal
 Coombs’ Test : Negatif

Pemeriksaan Imunoserologi 6 Desember 2018


Anti Cardiolipin Negatif (-) 0,50 MPL U/mL Normal < 7 MPL
U/mL
IgM Elevated > 7 MPL
U/mL
Anti Cardolipin IgG Negatif (-) 0,60 GPL U/mL Normal <10 GPL
U/mL
Elevated > 10 GPL
U/mL
D-dimer 3,10 Mg/L FEU <0,5

Pemeriksaan Urinalisis 6 Desember 2018


Lab Nilai Nilai Lab Nilai Nilai
Normal Normal
Kekeruhan Jernih 10x
Warna Kuning Epithelia 7,3 <3
pH 6.0 4.5-8.0 Cylinder -
SG 1.010 1.005- Hyaline -
1.030
Glukosa Negatif Negatif Granular -
Protein +2 Negatif Leucocyte -
Keton Negatif Negatif Erythrocyte -
Bilirubin +2 Negatif 40x

17
Urobilinogen 3,2 <17 Erythrocyte 16,0 <3
Nitrite Negatif Negatif Leucocyte 17,8 <5
Leucocyte Negatif Negatif Crystal -
Erythrocyte +3 Negatif Bacteria 173, <93,000
5000

Pemeriksaan USG (7 Desember 2018)


Hasil : Janin intrauterine T/H, letak bujur kepala di bawah
BPD : 4, 24 CM (18w6d)
AC : 13,38 cm (19w1d)
FL : 2, 81 CM (18w4d)
EFW : 263 gr
SDP : 5,8 cm
Plasenta implantasi di fundus
Maturasi grade 1

18
BAB IV
PEMBAHASAN
Kasus Teori
Anamnesis: Kecurigaan/kewaspadaan akan penyakit
Ny.LH/ 25 tahun
SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua)
Keluhan utama : Bengkak pada kedua kaki
atau lebih kriteria sebagaimana tercantum
Riwayat penyakit sekarang :
di bawah ini, yaitu:
Pasien datang ke rumah sakit dengan
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua
keluhan bengkak kedua kaki sejak dua
minggu yang lalu. Bengkak awalnya hanya organ atau lebih.
sedikit, lama-kelamaan semakin bertambah 2. Gejala konstitusional: kelelahan,
bengkak hingga pasien sulit berjalan, dan demam (tanpa bukti infeksi) dan
memberat sejak 3 hari terakhir. Kaki pasien
bertambah bengkak apabila berjalan. Karena penurunan berat badan.
bengkaknya, pasien sulit berjalan. Kaki pasien 3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia,
juga terasa panas dan nyeri yang terus myositis
menerus.
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak
2 bulan terakhir yang kadang bersertai dahak. malar rash), fotosensitivitas, lesi
Dahak kadang keluar berwarna putih. Batuk membrana mukosa, alopesia,
sedikit membaik ketika pasien meminum air
fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
hangat. Pasien juga mengeluhkan sesak
setiap kali batuk, dan sesak membaik ketika vaskulitis.
posisi duduk. Pasien mulai demam sumer- 5. Ginjal: hematuria, proteinuria,
sumer sejak 3 hari terakhir. Demam
silinderuria, sindroma nefrotik
dirasakan terus menerus. Pasien
mengeluhkan sakit kepala yang hilang timbul 6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri
sejak 2 minggu yang lalu. Wajah pasien juga abdomen
muncul bintik merah-merah dan 7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi
mengelupas sejak 2 minggu yang lalu.
pulmonal,lesi parenkhim paru.
Kemerahan tidak disertai gatal maupun
panas. Untuk mengatasi bintil merahnya, 8. Jantung: perikarditis, endokarditis,
pasien menggunakan bedak cair dan miokarditis
menggunakan lotion untuk kulit yang
9. Retikulo-endotel: organomegali
mengelupas. Kemerahan muncul setelah
pasien terpapar cahaya matahari dalam (limfadenopati, splenomegali,
waktu yang cukup lama. Pasien juga hepatomegali)
mengeluhkan badan lemas, dan merasa
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan
kelelahan setelah berjalan atau melakukan
kegiatan rumah tangga seperti menyapu sejak trombositopenia
seminggu terakhir ini. 11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang,
Pasien saat ini sedang hamil 18 bulan.

19
Pasien tidak mengeluh mual maupun muntah sindroma otak organik, mielitis
selama kehamilan. Pasien mengeluhkan transversus, gangguan kognitif
nyeri di perut bagian bawah ketika ditekan.
neuropati kranial dan perifer.
BAK dan BAB pasien dalam batas normal.

Riwayat penyakit dahulu :


Pasien terdiagnosa SLE sejak 5
tahun yang lalu dan rutin minum obar
methylprednisolone 8 mg – 0 – 0, azathioprine
2x50 mg dan callos 2x500 mg.

Riwayat keluarga :
Keluarga pasien tidak ada yang
memiliki keluhan yang sama. HT (-), DM (-),
stroke (-), TB (-), asma (-).

Riwayat imunisasi :
Pasien melakukan imunisasi dasar lengkap
sewaktu kecil.

Riwayat sosial :
Pasien saat ini merupakan ibu
rumahtangga dan memiliki satu orang suami.
Ini merupakan kehamilan pertama pasien.

Pemeriksaan Fisik:
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
GCS : 456
Status gizi : normoweight
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tensi : 110/70 mmHg
Nadi : 103 x / menit
RR : 24 x / menit
Tax : 36,2 ˚C
SpO2 : 96% RA
Abdomen : Flat, soefl,bisingusus (+) normal,
liver span 8 cm, Traube’s space timpani,
shifting dullness (-), nyeri tekan (+)
suprapubic, VAS 3/10

20
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik
Edema -/-
+/+ , pitting 3+
Pemeriksaan Penunjang:

Jenis
Hasil Satuan
Pemeriksaan
Haemoglobin 6,90 g/dL
Eritrosit 2,20 106/ uL
Leukosit 9630 103/uL

Hematokrit 18,50% %

Trombosit 288.000 103/uL

MCV 84,10 fL

MCH 31,40 pg

Eo/Bas/Neu/Li 2,5/0,2/73,
mf/Mon 9/16,7/6,7

Evaluasi Hapusan Darah


 Eritrosit:
-normokrom anisopoikilositosis
-mikrositik (+)
-tear drop cell (+)
-cigar cell (+)
-fragmentosit (+)
 Lekosit
-kesan jumlah normal
 Trombosit
-kesan jumlah normal
 Coombs’ Test : Negatif

Hasil Urinalisis
Proteinuria +3
Bilirubin +2
Erythrocyte +3

Terapi pada pasien: Terapi SLE pada kehamilan:


- Bedrest
Beberapa hal yang harus diperhatikan
- Diet renal 1700 kkal/hari, rendah garam
<2gram/hari, protein 0,6-0,8 gram/kg/hari pada penderita SLE dengan kehamilan
- Balance cairan negative 250cc
yaitu:
- IVFD NS 500cc/24jam
- IV Ceftriaxone 2x1gram

21
- IV Metoclopramide 3x10mg 1. Penderita SLE yang ingin hamil,
- IV Ranitidin 50mg (kalau perlu)
dianjurkan sekurang-kurangnya setelah
- PO Azathioprin 2x50mg
- PO Methylprednisolone 8mg-0-0 6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali
- PO Calos 2x500mg atau dalam keadaan remisi total. Hal ini
- PO Paracetamol 3x500mg
- Tranfusi albumin 20% 100cc sd albumin bertujuan untuk mengurangi terjadinya
≥2,5 gr/dl kekambuhan lupus selama masa hamil.
TS Obgyn
- Konservatif 2. Pada medikamentosa, penggunaan
- DJJ 146x dosis kortikosteroid (prednisolone)
- PO Asam folat 1x1
- Sulfas Ferous 2x1 diusahakan sekecil mungkin yaitu
- Vulva higiene ≤7,5mg/hari dan penggunaan obat-
obatan lain harus diberikan dengan
penuh kehati-hatian.

22
BAB V
KESIMPULAN

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)


merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui
secara pasti serta memiliki manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis
yang beragam. Pasien dengan SLE mungkin menunjukkan manifestasi sistemik
yang beragam. Gejala yang umum meliputi demam, malaiese, atralgia, myalgia,
sakit kepala, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. Penyakit SLE
dikategorikan ringan, sedang, berat sampai mengancam nyawa.
Tujuan pengobatan SLE adalah mendapatkan masa remisi yang panjang,
menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, mengurangi rasa nyeri dan
memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai
kualitas hidup yang optimal. Penderita SLE yang ingin hamil, dianjurkan sekurang-
kurangnya setelah 6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan
remisi total untuk mengurangi terjadinya kekambuhan lupus selama masa hamil.
Pada terapi SLE saat kehamilan perlu penggunaan dosis yang kecil serta
penggunaan obat-obatan lain harus diberikan dengan penuh kehati-hatian.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of


Systemic Lupus Erythematosus in Children . From: Journal of Pediatric and
Child Health18:2. Published by Elsevier Ltd.
2. Bruce IN et al. (2003) Risk factors for coronary heart disease in women with
systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 48: 3159–3167
3. Kalim H., 2000. HLA Kelas II Dan Kerentanan Genetik Terhadap Lupus
Eritematosus Sistemik Di Indonesia. Acta Medica Indonesiana XXXII,
Indonesia, p. 11-15.
4. Abbas A.K., Lichtman A.H., Pillai S., 2014. Immunologic Tolerance and
Autoimmunity. Cellular and Molecular Immunology, 8th Ed., Edited by Malley
J., Elsevier Saunders, Philadelphia, p. 315-336.
5. Handono K., Hasanah D., Kalim H.. Low Serum Level of Vitamin D is
Associated with Increased Number of Low-Density Granulocytes (LDGs) and
Neutrophil Extracellular Traps (NETs) Formation in Patients with Systemic
Lupus Erythematosus. Global Journal of Biology, Agriculture & Health
Sciences, 2013, 2: 90-95.
6. Sangha O. Epidemiology of Rheumatic Disease. British Society for
Rheumatology, 2000, 39(2): 3-12.
7. Wallace D.J.. 2007. The Clinical Presentation of Systemic Lupus
Erythematosus; Differential Diagnosis and Disease Association. Dubois’
Lupus Erythematosus, 7th Ed., Edited by Wallace D.J. dan Hahn B.H.,
Lippincott Williams & Walkins, California, p. 956-966.
8. Lande R., Ganguly D., Facchinetti V., Frasca L., Conrad C., Gregoria J., et
al.. Netrophils Activate Plasmacytoid Dendritic Cells by Releasing Seld-DNA-
Peptide Complexes in Systemic Lupus Erythematosus. Research Article:
Autoimmune Disease, 2011, 3(73): 1-10.
9. Mok C.C. dan Lau C.S.. Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus.
Journal of Clinical Pathology, 2003, 56: 481-490.
10. Duarte C., Couto M., Ines L., Liang M.H., 2011. Epidemiology of Systemic
Lupus Erythematosus. Systemic Lupus Erythematosus, 5th Ed., Edited by
Lahita R.G., Academic Press, Elsevier, London, p. 673–696.

24

Anda mungkin juga menyukai