Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

ASUHAN KEPERAWATAN SLE (systemic lupus erythematosus)

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4 :

ANNISA ANGGRAINI

CINDI NENI AMALIA

JUWITA

MUHAMMAD TARMIDZI IDRIS

NUR HAMIDAH

ROSA AWALIA N.F

YUDISTIRA FAHRY MAHARDIKA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

S1 KEPERAWATAN

2019
BAB I

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi


autoimun pada jaringan penyambung yang dapat mencangkup ruam kulit, nyeri
sendi, dan keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria
dengan faktor 10:1. Androgen mengurangi gejala SLE, dan estrogen memperburuk
keadaan tersebut. Gejala memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun
tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh kehamilan (Elizabeth, 2009).

SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang


bercirikan nyeri sendi (artralgia), demam, malaise umum dan erythema dengan pola
berbentuk kupu-kupu khas di pipi muka. Darah mengandung antibody beredar
terhadap IgG dan imunokompleks, yakni kompleks antigen-antibodi-komplemen
yang dapat mengendap dan mengakibatkan radang pembuluh darah (vaskulitis) dan
radang ginjal. Sama dengan rematik, SLE juga merupakan penyakit autoimun,
tetapi jauh lebih jarang terjadi dan terutama timbul pada wanita. Sebabnya tidak
diketahui, penanganannya dengan kortikosteroida atau secara alternative dengan
sediaan enzim (papain 200 mg+bromelain 110 mg+pankreatin 100 mg+vitamin E
10 mg) 2 dd 1 kapsul (Tan&Kirana, 2007).

Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar tahun
1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu”,
melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan
serigala (lupus adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti serigala). Lupus discoid
adalah nama yang sekarang diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya
terbatas pada gangguan kulit. SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan
ikat difusi yang etiologinya tidak diketahui. Kelompok ini meliputi SLE,
scleroderma, polymyositis, arthritis rheumatoid, dan syndrom Sjogren. Gangguan –
gangguan ini seringkali memiliki gejala yang saling tumpang tindih satu dengan
yang lainnya dan dapat menjadi semakin slit untuk ditegakkan secara akurat.
(Sylvia & Lorraine, 2005).

1
Pada sistem pembuluh darah,lupus dapat menyebabkan inflamasi yang
disebut vasculitis karena itu para dokter memperkirakan pasien lupus mempunyai
resiko lebih tinggi untuk menderita penyakit arteri koroner. Lupus juga dapat
menyerang darah dengan menurunkan jumlah sel darah putih dan jumlah platelet.
Beberapa pasien lupus juga mengidap anemia,suatu kondisi dimana sel-sel darah
merah jumlahnya sangat rendah sehingga oksigen yang seharusnya dibawa dan
disebarkan keseluruh jaringan tubuh menjadi sangat berkurang . (dr.Limanni
dalam buku PENYAKIT-PENYAKIT AUTOIMUN).

B. Etiologi

Antibody anti Ro dan anti La dapat menyebabkan sindrom lupus neonates


dengan melintasi plasenta. Sindrom ini dapat bermanifestasi sebagai lesi kulit
atau blok jantung congenital.
Faktor genetic mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan
dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10%-20% pasien SLE mempunyai kerabat
dekat yang menderita SLE. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen
yang berperan antara lain haptolip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3,
komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan
komplemen yaitu yaitu Crq, Cir, Cis, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang
mengode reseptor sel T, immunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003).
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang
mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan
perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mampunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi
lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan
obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini di respon sebagai benda asing
tersebut (Herfindal et al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang
mengandung asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit
T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi
virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan
mekanisme menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga mengaktivasi
sel B limfosit nonspesifik yang yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et
al., 2000).

2
Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat dikategorikan
dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan. Namun sampai saat ini
masih menjadi perdebatan faktor mana yang menjadi penyebab utama sehingga
masih menjadi fokus utama penelitian.
1. Genetik
Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang
mempunyai riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko menderita
penyakit tidak terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit auoimun lainnya seperti
arthritis rheumatoid atau Sjorgen’s Syndrome. Pada kembar identik, risiko lupus
meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang menyandang
lupus (Djoerban, 2002).
2. Hormon
Penyandang lupus wanita:pria adalah 9:1. Dan sebagian besar penyandang
wanita adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor
hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi aktifnya lupus
dalam penelitian hewan baik secara in vitro maupun in vivo. Sehingga harus
benar-benar dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan alat kontrasepsi yang
mengandung estrogen pada Odapus (Djoerban, 2002).
3. Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus,
diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.
a. Infeksi
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab terkuat
adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam kelenjar
(mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah terinfeksi virus ini dalam
riwayat penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system imun mulai
terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel tubuhnya sendiri.
Sehingga proses tersebut diduga kuat berhubungan dengan penyebab lupus.

b. Zat kimia dan racun


Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat kimia dan
racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.
c. Merokok
Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan munculnya
lupus. Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun lainnya seperti
arthritis rheumathoid dan multiple sclerosis.
d. Sinar matahari

3
Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan perburukan
manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit dan munculnya
gejala lupus pada organ lainnnya. Menghindari sinar matahari dan menggunakan
tabir surya (sun block) adalah hal yang tidak mudah namun mutlak harus
dilakukan oleh odapus karena sangat bermanfaat (Djoerban, 2002).

C. PENCEGAHAN

Dalam melakukan pencegahan ada berbagai masalah yang dihadapi pengidap


lupus. Masalah pertama adalah seringnya penyakit pasien terlambat diketahui dan
diobati dengan benar karena cukup banyak dokter yang tidak mengetahui atau
kurang waspada tentang gejala penyakit lupus dan dampak lupus terhadap
kesehatan. Di Indonesia, rendahnya kompetensi dokter untuk mendiagnosis
penyakit secara dini dan mengobati penyakit lupus dengan tepat tercermin dari
pendeknya survival 10 tahun yang masih sekitar 50 persen, dibandingkan dengan
negara maju, yang 80 persen (Djoerban, 2002).
Biasanya paramedis akan melakukan pemeriksaan ANA (Anti Nuclear
Antibodi) bisa positif, di laboratorium dan patologi. Bila sudah diketahui
diagnosanya lupus, maka pihak medis akan memberikan pengobatan berupa
terapi, theraphy sintomatik (penghilangan gejala), kortikortiroid (anti penurun
kekebalan tubuh), serta menekan daya tahan tubuh berlebihan, dengan pemberian
obat demam dan penghilang rasa sakit. Hanya saja, untuk terapi yang dilakukan
berbeda-beda dengan setiap penderita. Penyembuhannya pun bisa memakan
waktu berbulan-bulan, itupun dengan catatan penderita rajin memeriksakan diri.
Bahkan tak jarang, terkadang diagnosa baru didapat justru setelah penderita
meninggal. Atau penyakit lupusnya tiba-tiba sembuh sendiri. Karena itulah, fokus
pengobatan dokter adalah dengan melakukan pencegahan dengan meminimalisir
meluasnya penyakit sehingga tidak menyerang organ vital tubuh lainnya. Oleh
karena itu, untuk melakukan upaya preventif terhadap penyakit lupus perlu
ditingkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun
semua pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Selain itu, peningkatan
kompetensi petugas-petugas pelayan kesehatan juga harus di tingkatkan agar
tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang akan membahayakan jiwa pasien
(Djoerban, 2002).
Pengembangan metode pengobatan yang lebih baik dan efisien juga perlu
dilakukan. Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, apa

4
bahayanya dan bagaimana gejalanya agar pasien bisa turut berperan aktif dalam
upaya pencegahan penyakit lupus. Masalah berikutnya adalah belum
terpenuhinya kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang informasi,
pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan penting sekali
meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit lupus
terhadap kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan
pasien, namun juga mempunyai dampak psikologi dan sosial yang cukup berat
untuk pasien maupun keluarganya. Dalam hal ini peran sarjana kesehatan
masyarakat selaku tenaga kesehatan yang berorientasi pada upaya preventif dan
promotif sangat diperlukan. Masyarakat harus secara intensif diberi penyuluhan
tentang apa itu lupus, gejala yang ditimbulkan, dampak yang ditimbulkan,serta
bagaimana cara pencegahannya. Kebersihan dan kesehatan lingkungan juga harus
diperhatikan karena, seperti yang telah dijelaskan dalam sub bab “penyebab”
bahwa faktor yang diduga menyebabkan lupus ada berberapa macam diantaranya
faktor lingkungan (Djoerban, 2002).
Masalah lain adalah kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk
menemukan obat-obat penyakit lupus yang baru, yang aman dan efektif,
dibandingkan dengan penelitian penyakit-penyakit lain, yang sebanding besaran
masalahnya. Upaya preventif yang harus dilakukan adalah berusaha
mengembangkan penelitian-penelitian mengenai penyakit lupus mengingat
bahaya dan dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh penyakit ini.
Hal yang harus dilakukan penderita lupus (odipus) agar penyakit lupusnya
tidak kambuh adalah :

1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu (Djoerban, 2002).
Odipus dapat memeriksakaan diri pada dokter-dokter

D. Klasifikasi SLE

Subcommitte for Systemic Lupus Erythematosus Criteria of the American


Rheumatism Association Diagnostic and Therapeutic Criteria Committee tahun
1982 merevisi kriteria untuk klasifikasi SLE.
Subkomite ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat di antara 11
kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama satu interval observasi:
1.Ruam di bagian malar wajah

5
2.Ruam berbentuk discoid
3.Fotosensitivitas
4.Ulkus di mulut
5.Arthritis
6.Setositis (pleuritis, perikarditis)
7.Gangguan ginjal
8.Gangguan neurologis (kejang atau psikosis)
9.Gangguan hematologis (anemia hemolitik, leucopenia, trombositopenia)
10.Gangguan imunologi
11.Antibody nuclear
R. Leonard mengusulkan jembatan keledai barikut untuk mengingat kriteria
diagnosis SLE: A Rash Points MD. Arthritis Renal disease (penyakit ginjal), ANA
Serositis, Haematological disorders, Photosensitivitas, Oral ulcers (ulkus di
mulut), Immunological disorder, Neurological disorder, Malar rash, Discoid rash
Ann Rheum Dis 2001.

E. Patofisiologi

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali
dengan faktor pencetus yang ada di lingkunagan, dapat pula infeksi, sinar
ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respons
imun di dalam tubuh yaitu:
1.Sel T dan B menjadi autoreaktif
2.Pembentukan sitokin yang berlebihan
3.Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain
a.Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun
sitokin di dalam tubuh
b.Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c.Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam
tubuh yang di sebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi2 yang membentuk
kompleks imun . kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan /organ yang
akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia

6
reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

-Pathway

F. Manifestasi klinis

Keluhan dan gejala: gambaran klinik SLE sangat bervariasi antara satu
pasien dengan pasien SLE lainnya. Gejala terjadi dimulai dengan timbulnya
demam akibat adanya satu infeksi. Gejalanya hilang-hilang timbul selama
berbulan-bulan dan bertahun-tahun yang diselingi demam dan badan lemah.
Keluhan penderita SLE yang lainnya adalah sakit kepala, kejang epilepsy,
dan gangguan kejiwaan sering merupakan keluhan awal.
1.Gejala pada persendian

7
Mulai dari keluhan nyeri pada banyak persendian yang hilang-hilang timbul
sampai keluhan nyeri sendi yang akut, merupakan keluhan awal pada 90%
penderita SLE. Dalam keadaan SLE berlangsung lama, terjadi sendi tulang
telapak kaki. Namun demikian, kebayakan SLE yang menyerang banyak sendi,
tidak memperlihatkan kerusakan sendi.
2.Gejala pada kulit
Yang khas disebut gambaran kemerahan kulit pipi berbentuk kupu-kupu yang
disebut butterfly erithema. Lesi kulit berbentuk makula papula pada kulit muka
sampai ke leher dan bahu lesi kulit ini jarang yang melepuh atau menjadi borok.
Tetapi lesi pada rahang atas pada pertemuan bagian lunak dan bagian keras, pada
daerah pipi bagian dalam dan bagian depan rongga hidung, bisa terjadi.
Rambut rontok pada bebrapa daerah kulit kepala (generalize focal alopecia)
terjadi pada fase aktif SLE. Timbul bintik-bintik merah pendarahan (purpura)
karena sel pembekuan darah turun (trombositopeni). Penderita mengeluh silau
pada sinar yang terang (photophobi). Bebrapa penderita SLE memperlihatlan
gejala pleuritis yang hilang timbul (recurrent) yaitu peradangan dinding dada dan
selaput paru hingga penderita mengeluhkan sakit dada, tetapi tidak ada efusi
cairan pada rongga paru.
Pada keadaan lebih berat, bisa terjadi perdarahan paru dan mengancam
kehidupan (fatal). Peradangan selaput pembungkus jantung (pericarditis) sering
terjadi pada penderita SLE. Peradangan pembuluh darah jantung (coronary artery
vasculitis) atau otot jantung megalami fibrosis (fibrosing myocarditis). Timbul
pembengkakan kelenjar limfe di seluruh tubuh terutama pada penderita anak-anak
dan dewasa muda (umur 20 tahunan). Pembesaran limfe terjadi pada 10%
penderita SLE.
3.Gejala gangguan saraf pusat
Keluhan sakit kepala, perubahan kepribadian, stroke, kejang epilepsy,
psikosis, gangguan organic pada otak
4.Gangguan ginjal
Bisa ringan dan tanpa gejala, sampai gangguan yang progresif dan
mematikan. Gejala yang sering ditemukan pada pemeriksaan laboratorium air
seni, terdapat protein (proteinuria). Secara patologi terdapat kelainan pada ginjal,
peradangan glomerulus jinak, sampai yang peradangan membrane yang luas
(diffuse membrane prliferatif glomerulopritis).
Pada keadaan ini sumsum tulang mengalami proliferasi yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi, banyak terlihat sel histosit. Untuk mengatasi kelainan ini,
biasanya penderita berespon baik terhadap pemberian obat kortikosteroid.

8
G. Komplikasi

1.Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam
sel-sel ginjal tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal
yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu
menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.
2.Sistem Saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang paling
sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan
bisa terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf.
Kejang, psikosa, sindroma otak organic dan sakit kepala merupakan beberapa
kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.

3.Penggumpalan Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk
bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan
emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibody yang
melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang
berarti.
4.Kardiovaskuler
Peradangan berbagai bagian jantung seperti perikarditis, endokarditis
maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari
keadaan tersebut.
5.Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibatnya dari keadaan
tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
6.Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan
menderita arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jari
tangan, tangan, pergelangantangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang
panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerah tersebut
7.Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu di tulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.

9
H. Pemeriksaan penunjang
a) Tes fluorensi untuk menentukan antinuclear antobodi (ANA),
positif dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
b) Pemeriksaan DNA double stranded lebih spesifik untuk
menentukan SLE
c) Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
d) Tes sifilis bisa positif paslu pada pemeriksaan SLE
e) Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardiolipin
antibody) berhubungan untuk mennetukan adanya thrombosis pada
pembuluh arteri atau pembuluh vena atau pada abortus spontan,
bayi meninggal dalam kandungan, dan trombositopeni.
I. Penatalaksanaan

Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronis:

1. Mencegah penurunan progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan


penyakit akut, meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan
kecacatan, dan mencegah komplikasi dari terapi yang diberikan
2. Gunakan obat-obat antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan
kortikosteroid untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid
3. Gunakan kortikosteroid topical untuk manifestasi kutan akut
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan
dosis oral tinggi tradisional
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal, dan sistemik ringan dengan
obat-obat antimalaria

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian

1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan


pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya
hidup serta citra diri pasien.

2. Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

10
3. Kardiovaskuler

a) Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.

b) Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan


gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.

4. Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.

5. Sistem integumen

a) Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi.

b) Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

6. Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

7. Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous


dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

8. Sistem Renal

Edema dan hematuria.

9. Sistem saraf

Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis.


2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang proses penyakit.
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Nyeri
4. Hipertermia berhubungan dengan penyakit.
5. Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan Hipertemia

C. Intervensi (Rencana Tindakan)

11
Dx:
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis.
NOC NIC
Konrol nyeri 1605 Manajemen nyeri 1400

1. Lakukan Pengakajian nyeri


komprehensif meliputi lokasi,
1. Mengenali kapan nyeri terjadi
karakteristik, onset/durasi,
2. Menggambarkan faktor penyebab frekuensi, kualitas, intensitas

3. Menggunakan tindakan atau beratnya nyeri dan faktor


pencegahan pencetus
2. Gali pengetahuan dan
4. Menggunakan tindakan kepercayaan pasien mengenai
pengurangan nyeri tanpa analgesik nyeri
3. Berikan informasi mengenai
5. Menggunakan analgesik yang
nyeri, seperti penyebab nyeri,
direkomendasikan
berapa lama nyeri akan
dirasakan, dan antisipasi dari
ketidaknyamanan akibat
prosedur
4. Ajarkan prinsip - prinsip
manajemen nyeri
5. Ajarkan penggunaan teknik non
farmakologi (seperti,
biofeedback, TENS, hypnosis,
relaksasi, bimbingan
antisipatif, terapi musik, terapi
main, terapi aktivitas,
akupressur, aplikasi
panas/dingin dan pijatan,
sebelum, sesudah dan jika
memungkinkan, ketika
melakukan aktivitas yang
menimbulkan nyeri;sebelum
nyeri terjadi atau meningkat;
dan bersamaan dengan

12
tindakan penurunan rasa nyeri
lainnya)
6. Kolaborasi dengan pasien, orang
terdekat dan tim kesehatan

Dx:
Hipertemia berhubungan dengan Penyakit

NOC NIC
Termoregulasi 0800 Perawatan demam 3740
1. Pantau suhu dan tanda tanda
vital lainnya
2. Monitor warna kulit dan suhu
1. Peningkatan suhu kulit 3. Beri obat atau cairan IV
2. Hipertermia
3. Sakit kepala (misalnya antipiretik , agen anti
4. Perubahan bakteri , dan agen anti
menggigil)
4. Tutup pasien dengan selimut atau
pakaian ringan tergantung pada
fase demam (yaitu :
memberikan selimut hangat
untuk fase dingin :
menyediakan pakaian atau
linan tempat tidur ringan untuk
demam dan fase
bergejolak/flush)
5. Tingkatkan sirkulasi darah

13
Dx:
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang proses penyakit.

NOC NIC
Perfusi Jaringan Perifer 0407 Perawatan Sirkulasi: Insufisiensi
Arteri 4062
1. Pengisian kapiler jari 1. Lakukan pemeriksaan fisik
2. Pengisian kapiler jari kaki
3. Suhu kulit ujung kaki dan sistem kardiovaskuler atau
tangan penilaian yang komprehensif
pada sirkulasi perifer.
2. Ubah posisi pasien setidaknya
setiap 2 jam, dengan tepat
3. Instruksikan pasien mengenai
faktor-faktor yang menggangu
sirkulasi darah
4. Instruksikan pada pasien
mengenai perawatan kaki yang
tepat
5. Berikan obat antiplatelet atau
antikoagulan, dengan tepat

Dx:
Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan Hipertemia

14
NOC NIC

Integritas jaringan kulit dan Pengecekan kulit 3590


membran mukosa 1101 1. Amati warna, kehangatan,
bengkak, pulsasi, tekstur,
edema, dan ulserasi pada
ekstremitas
2. Memonior warna dan suhu kulit
1. Suhu Kulit 3. Memonitor kulit dan selaput
2. Sensasi lendir terhadap area perubahan
3. Hidrasi
4. Integritas Kulit warna , memar , dan pecah
4. Lakukan langkah langkah untuk
mencegah kerusakan lebih
lanjut ( misalnya, melapisi
kasur , menjadwalkan reposisi )
5. Ajarkan anggota keluarga /
asuhan mengenai tanda tanda
kerusakan kulit , dengan tepat

Dx: Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Nyeri

NOC NIC
Status Pernafasan 0415 Manajemen Jalan Nafas 3140
1. Posisikan Pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
1. Frekuensi pernafasan 2. motivasi pasien untuk bernafas
2. Irama Pernafasan pelan, dalam, berputar dan batuk
3. Kedalam Inspirasi 3. Posisikan untuk meringankan
4. Kepaten jalan nafas
sesak nafas
4. Regulasi asupan cairan untuk
mengoptimalkan keseimbangan
cairan

15
BAB III
KESIMPULAN

Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan sistem imun
yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem tubuh. Mekanisme
sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri dan
organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena autoantibodi (antibodi yang
menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi
pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan.
SLE atau lupus menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering daripada
laki-laki.
Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial, karena komponen
komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks penghancur membran, dapat
dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada pasien lupus eritematosus sistemik.
Patogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self-tolerance
bersama aktivasi sel B. Hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor antara
lain: efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B, hiperaktivitas sel T helper, dan
kerusakan pada fungsi sel T supresor.
Penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal dan
lingkungan. Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus,
diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar matahari.
Dalam upaya melakukan preventif terhadap penyakit lupus perlu ditingkatkan
pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun semua pihak yang
terkait dengan pelayanan kesehatan. Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa
itu lupus, apa bahayanya dan bagaimana gejalanya agar pasien bisa turut berperan
aktif dalam upaya pencegahan penyakit lupus.
Adapun jenis-jenis penyakit lupus antara lain: Lupus Eritematosis Diskoid (DLE),
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) dan Lupus Eritematosus yang disebabkan oleh
obat.
Diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 gejala spesifik yang ditetapkan seperti
Malar Rash/Butterfly Rash, Discoid Rash, Fotosensitif, Luka di mulut dan lidah
seperti sariawan (oral ulcers), Nyeri pada sendi-sendi, Gejala pada paru-paru dan
jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan, gangguan pada ginjal. Gangguan
pada otak atau sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain-lain. Kelainan
pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit berkurang. Dan

16
biasanya terjadi juga anemia. Tes ANA (Antinuclear Antibody), sebagai pertanda
aktifnya lupus bila ditemukan dalam darah pasien, dan gangguan sistem kekebalan
tubuh. Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus Sistemik) dengan Uji
Imunologik.
Penatalaksanaan lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat,
sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul. Lupus ringan, gejala tersebut
cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar matahari dengan
menggunakan tabir surya, dan Hidroksikloroquin. Lupus sedang, terapi steroid
biasanya sudah dibutuhkan, Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan
steroid, tapi kadang obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan
Methotrexate. Lupus berat, steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan
tambahan obat immunosupresan. Pengobatan tambahan yang digunakan untuk lupus
berat meliputi immunoglobulin intravena, plasma exchange, dan antibodi monoclonal
(agen biologi) terutama rituximab. Pada pengobatan Lupus digunakan dua kategori
obat yaitu Kortikosteroid dan Nonkortikosteroid.

17
DAFTAR PUSTAKA

Aulawi, Dede Farhan 2008, Mengenal Penyakit Lupus, Diakses 2 Mei 2014

Baughman, Diane C. & JoAnn C. Hacley. 2000. Keperawatan Medical Bedah Buku

Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar

Keperawatan Medikal Bedah volume 3. Jakarta: EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi 3 revisi. Jakarta: EGC

Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM 2002, Systemic Lupus Erythematosus,

Yayasan Lupus Indonesia, Jakarta.

Gloria M.Bulechek, Howard K. Butcher, Joanne M. Dochterman & Cheryl M.

Wagner. 2013. Nursing Interventions Classification(NIC) edisi 6 bahasa indonesia,

Jakarta. CV. Mocomedia

Herdman, T .Heather.2018. Diagnosis Keperawatan 2018-2020: Definisi dan

klasifikasi. Jakarta : ECG

Joseph A. Bellanti, M.D. 1993, Imunologi III, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Price & Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit volume 2 Edisi 6.

Jakarta: EGC

Sue Moorhead, Marion Johnson, Meridean L. Maas & Elizabeth Swanson.2016.

Nursing Outcomes Classification (NOC) edisi 5. Jakarta: CV. Mocomedia

Sylvia, A.P & Lorraine, M.W 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai