Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


SystemicLupus Erythematosus (SLE) adalah gangguan autoimun yang
menyerang hampir semua organ dan jaringan (Bertsias et al., 2012).
Manusia memiliki sistem kekebalan tubuh yang berfungsi untuk menyerang
benda asing, virus, bakteri, jamur atau patogen yang dapat menyebabkan
penyakit.Pada penderita SLE, sistem kekebalan yang harusnya berfungsi
sebagai pelindung tubuh mengalami kelainan, yaitu tidak dapat
membedakan antara benda asing yang harus dimusnahkan dengan jaringan
atau sel tubuh sendiri (Sandor et al., 2007).
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh
dunia.Prevalensi SLE di India 3 kasus per 100.000 populasi yang dilaporkan
(Anggraini, 2016). Sementara di Amerika diperkirakan sekitar 1,5 juta
penduduk Amerika menderita lupus dengan rasio perbandingan 9:1 antara
perempuan dan laki-laki pada setiap 100.000 penduduk (Lupus Foundation
of America, 2013).
Di Indonesia, jumlah penderita lupus secara tepat belum diketahui tetapi
diperkirakan mencapai jumlah 1,5 juta orang, yang belum semua
teridentifikasi menderita lupus (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2011).Sementara di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung terdapat 291
pasien lupus dari total pasien yang berobat ke Poliklinik Reumatologi
selama tahun 2010 (Yayasan Lupus Indonesia, 2012).
Penyakit lupus ini memiliki gejala yang tidak spesifik, sehingga para
penderitanya sering berganti-ganti dokter karena diagnosa yang berbeda-
beda. Oleh sebab itu, penyakit ini sering disebut penyakit seribu wajah,
karena gejala yang ditunjukkannya menyerupai gejala penyakit lain
(Roviati, 2013). SLE dapat berdampak pada beberapa organ, seperti ginjal,
muskuloskeletal, saraf, kulit, kardiovaskular, termasuk rongga
mulut.Manifestasi yang timbul pada beberapa organ tersebut dapat terjadi
secara rekuren dan dapat mengganggu kualitas hidup para penderita SLE
(Lupus Foundation of America, 2013).Jika pasien terdiagnosis dalam
keadaan sudah jelas semua tanda dan gejalanya, biasanya derajat
penyakitnya sudah berat, penatalaksaannya lebih sulit, membutuhkan obat-
obatan yang lebih mahal, dan prognosisnya pun lebih buruk (Kusuma,
2007).
Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum.Pada beberapa tahun pertama mortalitas SLE
berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi seperti infeksi
Micobacterium tuberculosis, virus, jamur, dan protozoa, sedangkan dalam
jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.
2.
2.1. DEFINISI
Systemic Lupus Erythematosus(SLE) adalah gangguan autoimun yang
menyerang hampir semua organ dan jaringan (Bertsias et al., 2012).

2.2. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Etiopatogenesis dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana
terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti
faktor genetik,faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons
imun. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus
dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar
monozigot.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan
terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga
berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks
histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat
komplemen (yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain
yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin dan sitokin. Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi
yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang
mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex)
mengatur produksi autoantibodi spesifik.
Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen
komplemen, seperti C2,C4, atau C1q (Silva C, Isenberg DA. 2001;7:1-
7).Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks
imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya
deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal
membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan
respon imun. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita
lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus.Sinar UV
mengarah pada selfimmunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan
apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator
imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi
yanng secara langsung mengubah sel 10 DNA, serta mempengaruhi sel
imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan
pada inflamasi kuli (Manson JJ, Isenberg DA. The 2003). Faktor
lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa
perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang
terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik .Pengaruh obat
juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus.Pengaruh obat
salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit.Faktor
lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat
ditemukan pada penderita lupus.Virus rubella, sitomegalovirus, dapat
mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.
Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor
hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa
penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar
hormonestrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B
poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada
pasien SLE.Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi
antigen nuklear (ANA dan anti-DNA).Selain itu, terdapat antibodi terhadap
struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi
terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi
komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan,
termasuk kulit dan ginjal (Kanda N, Tamaki K. 1999)

2.3. FAKTOR RESIKO


2.3.1. Hormonal
Pada penderita SLE wanita lebih dominan bila dibanding pria, hal
ini mendapat perhatian yang serius para peneliti yang mana
dikatakan bahwa para penderita SLE wanita secara signifikan
didapatkan kadar hormon androgen yang rendah (testosteron dan
DHEAS), sedangkan kadar hormon prolaktin dan estradiol sedikit
lebih tinggi pada wanita dengan SLE. Akan tetapi data menunjukkan
hubungan antara SLE dan faktor hormon reproduktif tidak selalu
konsisten (Setiati et al., 2014).
2.3.2. Merokok
Pada penderita perokok aktif didapatkan antibodi ds DNA karena
merokok sigaret menyebabkan masuknya sel inflamasi ke paru dan
menyebabkan sel makrofag yang ada di paru melakukan
pembersihan atau clearance apoptosis yang kurang efektif (Setiati et
al., 2014).
2.3.3. Radiasi Ultraviolet
Studi kasus kontrol di Swedia mengatakan riwayat paparan sinar
matahari terus-menerus di usia yang lebih dini di bawah 20 tahun
akan meningkatkan risiko terkena SLE akan tetapi studi yang lain
meragukan pendapat ini, studi lebih lanjut sedang dilakukan
observasi lebih jauh (Setiati et al., 2014).

2.4. MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia
dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai
oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE.
a. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum pada penderita SLE dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Penurunan
berat badan juga dijumpai pada sebagian penderita SLE disebabkan oleh
menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal dan
terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Sedangkan
demam pada penderita SLE biasanya tidak disertai menggigil (Isbagio H,
Albar Z, Kasjmir YI, et al., 2009 )
b. Manifestasi Muskuloskletal
Manifestasi muskuloskeletal terjadi sekitar 95% pada pasien SLE dan
arthralgia merupakan gejala yang pertama sekitar 50% kasus artritis
simetris non erosif paling sering menyerang tangan, pergelangan tangan
dan lutut. Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus
(D’Cruz D, Espinoza G, Cervera R.. 2010)
c. Manifestasi Kulit
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada SLE adalah
fotosensitivitas, butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia,
panikulitis, lesi psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit
juga dapat ditemukan tandatanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena
Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren (D’Cruz D, Espinoza G,
Cervera R.. 2010

Gambar 2.1.Butterfly rash (Web Md, 2013).


d. Manifestasi Kardiovaskular
SLE dapat mengenai perikardium, miokardium, dan endokardium.
Perikaditis atau peradangan pada perikardium umum terjadi pada
penderita SLE yang mengakibatkan sesak napas dan rasa nyeri tajam
seperti di dada seperti terkena serangan jantung (D’Cruz D, Espinoza G,
Cervera R., 2010)
e. Manifestasi Paru-Paru
Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada 60% kasus. Efusi
pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan dan
secara klinik tidak bermakna. Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan
pneumonitis dapat ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara klinis
seringkali sulit dibedakan dengan pneumonia dan gagal jantung
kongestif. Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada pasien dengan
sindrom antifosfolipid. Pasien dengan nyeri pleuritik dan hipertensi
pulmonal harus dievaluasi terhadap kemungkinan sindrom antifosfolipid
dan emboli paru.
f. Manifestasi Ginjal
Secara klinis penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria
asimtomatik kemudian berkembang dengan cepat menjadi
glomerulonefritis progresif dengan gagal ginjal (Leveno et al., 2009;
Manuaba et al., 2008).
g. Manifestasi Hemopoetik
Pada SLE dapat terjadi anemia hemolitik, leukopenia, dan
trombositopenia. Selain itu laju endap darah (LED) biasanya meningkat
pada penyakit yang aktif, dan sering kali menimbulkan dugaan awal
adanya penyakit ini (Rubenstein et al., 2007).
h. Manifestasi susunan saraf
Manifestasi SSP terjadi pada sekitar 20% pasien dengan SLE dan
biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan saraf
langsung. Manifestasi SSP termasuk psikosis, stroke, kejang, dan mielitis
dan berhubungan dengan prognosis keseluruhan yang buruk (Leveno et
al., 2009; Manuaba et al., 2008).
i. Manifestasi Gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik,
splenomegali, peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis.
Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus
dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun. (Rubenstein et al.,
2007).
2.5. KLASIFIKASI
Klasifikasi SLE dibagi berdasarkan derajat berat ringannya penyakit
tersebut.
Tabel 2.1.Derajat berat ringannya penyakit SLE (Tanto et al., 2014).
No
Derajat Kriteria
.
1. Ringan Secara klinis tenang
Tidak terdapat tanda atau gejala mengancam nyawa
Fungsi organ normal atau stabil,
yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, SSP, sendi,
hematologi, dan kulit
2. Sedang Nefritis ringan sampai sedang
Trombositopenia (trombosit 20-50 x 103/mm3)
Serositis mayor
3. Berat Jantung: endokarditis, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi, maligna
Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru,
pneumonitis, emboli paru, infark paru, fibrosis
interstisial
Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesentrika
Ginjal: nefritis poliferatif dan atau membranous
Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau
melepuh
Neurologi: kejang, koma, stroke, mielopaty,
mononeuritis, polyneuritis, neuritis optic, psikosis,
sindroma demielinasi
Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit
<1.000/mm3), trombositopenia <20.000/mm3, purpura
trombotik trombositopenia, thrombosis vena atau arteri

2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan kriteria American College of
Rheumatology (ACR) yang telah dimodifikasi tahun 1997. Klasifikasi ini
terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria
tersebut yangterjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).

Tabel 2.2. Kriteria diagnosis SLE (Perhimpunan Reumatologi Indonesia,


2011).
No Kriteria Batasan
.
1. Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan cenderung tidak melibatkan
lipat nasolabial
2. Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan
sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat
ditemukan parut atrofik
3. Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis
pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa
4. Ulkus mulut Ulkus mulut dan orofaring, umumnya tidak nyeri
dan dilihat oleh dokter pemeriksa
5. Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau
lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan,
bengkak atau efusi
6. Serositis
a. Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub
yang didengar oleh dokter pemeriksa atau
terdapat bukti efusi pleura
b. Perikarditis Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi pericardium
7. Gangguan a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau
renal >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan
kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder
eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau
campuran
8. Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-
neurologi obatan atau gangguan metabolik (misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidak-
seimbangan elektrolit)
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-
obatan atau gangguan metabolik (misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidak-
seimbangan elektrolit)
9. Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
hematologik atau
b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih
atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa
disebabkan oleh obat-obatan
10. Gangguan a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA
imunologik dengan titer yang abnormal
atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap
antigen nuklear Sm
atau
c. Temuan positif terhadap antibodi
antifosfolipid yang didasarkan atas:
1) Kadar serum antibodi antikardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM
2) Tes lupus antikoagulan positif
menggunakan metoda standard, atau
3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap
sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan
dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi
Treponema pallidum atau tes fluoresensi
absorpsi antibodi treponema
11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi antinuklear
antinuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau
positif (ANA) pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang
diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat

2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti ds-DNA, komplemen (C3,C4)
6. Foto polos thorax
- Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring
- Setiap 3-6 bulan bila stabil
- Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE
adalah tes ANA.Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan
tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes
ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif
pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai
SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun misalnya
Mixed Connective Tissue Disease (MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis
autoimun, atau keganasan.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE
seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA
pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis
yang mencurigakan.
Test Anti ds-DNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif
tidak menyingkirkan diagnosis SLE (Perhimpunan Reumatologi Indonesia,
2011).

2.8. TERAPI
1.
2.
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
2.5.
2.6.
2.7.
2.8.
2.8.1. Edukasi Dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat
dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar pasien dapat hidup
mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien, antara lain
perubahan fisik yang akan dialami serta mengurangi atau mencegah
kekambuhan dengan melindungi kulit dari paparan sinar ultraviolet
secara langsung(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
2.8.2. Medikamentosa
Terapi medikamentosa untuk SLE dilakukan berdasarkan derajat
keparahan SLE.Terapi SLE dapat dilihat pada algoritma berikut.

Gambar 2.2.Algoritme penatalaksanaan SLE berdasarkan keparahan


manifestasinya (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
Keterangan :
- TR= tidak respon, RS= respon sebagian, RP= respon penuh
- KS= kortikosteroid, MP= metil prednisolon, AZA= azatioprin,
OAINS= obat anti inflamasi non steroid, CYC= siklofosfamid,
NPSLE= neuropsikiatri SLE

2.9. PROGNOSIS
Angka harapan hidup 5 tahun lebih dari 95% kecuali bila telah mengenai
ginjal.Kematian biasanya timbul akibat infeksi atau penyakit kardiovaskular
(Rubenstein et al., 2007).
BAB III
LAPORAN KASUS

1.
2.
3.
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. SR
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 22 tahun
Suku : Serui
Agama : Kristen
Alamat : Entrop ( Skyline)
Pekerjaan : Mahasiswa
Status pernikahan : Belum menikah
No RM : 49 60 89
MRS : 15-11-2021

3.2 ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri Sendi
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien perempuan berusia 22 tahun datang ke IGD RSUD
Abepura dengan keluhan Nyeri di daerah persendian namun dari IGD
mengarahkan untuk naik ke poli Penyakit Dalam. Pasien mengatakan
sudah merasakan Nyeri Sendi (±) 2 bulan lalu, namun nyeri nya itu suka
perpindah ke daerah lain, Pasien merasakan rambutnya rontok (+) dan
suka mengalami demam ketika malam hari (+) sejak bulan lalu. Pasien
ada merasakan pusing (+), nyeri kepala (+), nyeri menelan (-), gusi
berdarah (-), sesak (-), nyeri dada (-), mual muntah (-). BAK dan BAB
pasien baik.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
o Pasien mengaku bahwa sebelumnya tidak mengalami hal serupa
o Riwayat jantung (-)
o Riwayat hipertensi (-)
o Riwayat diabetes mellitus (-)
o Riwayat TB (-)
o Riwayat asma (-)
o Riwayat alergi obat (-)
o Riwayat alergi makanan (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
o Pasien mengaku bahwa dalam keluarga tidak ada yang mengalami
sakit seperti yang dialami pasien.
o Riwayat jantung (-)
o Riwayat hipertensi (-)
o Riwayat diabetes mellitus (-)
o Riwayat TB (-)
o Riwayat asma (-)
5. Riwayat kebiasaan sosial dan ekonomi
o Riwayat konsumsi alkohol (-)
o Riwayat merokok (-)
o Pasien tidak bekerja

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


a) Vital Sign
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 124/87 mmHg
Nadi : 87 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu badan : 36,9 oC
b) Kepala Leher
Bentuk kepala : normocephal
Wajah : simetris
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
reflex cahaya (+/+)
KGB : tidak teraba pembesaran
JVP : dalam batas normal
c) Thorax/ Paru
- Inspeksi : simetris D=S, ikut gerak napas, jejas (-)
- Palpasi : vocal fremitus D=S
- Perkusi : sonor
- Auskultasi : SN vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
d) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba 
- Perkusi : pekak
- Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-).
e) Abdomen
- Inspeksi : cembung, tidak ada bekas operasi/jejas
- Auskultasi : BU (+) N
- Palpasi : Distensi (-), nyeri tekan (-),
Hepar: 2 jari BAC, Lien: Schuffner II
- Perkusi : timpani
f) Ekstremitas
Akral ekstremitas atas hangat (+/+), edema (-), CRT <2’’
Akral ekstremitas bawah hangat (+/+), edema (-), CRT <2’’
g) Vegetatif
Makan/minum : (/+)
BAB/BAK : (+/+) baik
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
 PEMERIKSAAN LABORATORIUM DARAH

NILAI
HASIL
RUJUKAN
GOLONGAN DARAH “O”
11.0 - 16.5 8,5
HGB
g/Dl
3.8 - 5.8 x 3.73
RBC
10^6/uL
MCV 80 - 97 fL 64.3
26.5 - 33.5 22.8
MCH
pg
31.5 - 35 35.4
MCHC
g/dL
HCT 35 - 50 % 24.0
3.5 - 10.0 x 6.71
WBC
10^3/uL
Eo 2.1
Baso 0.3
Neut 10^3/uL 44.1
Lymph 41.9
Mono 11.6
150 - 500 x 263
PLT
10^3/uL
CT 5 – 7 menit
BT 3 – 7 menit
0 – 15
LED
mm/jam
DDR Neg
GDS ≤ 150 mg/dL 76
0,9 -1,5 0.42
Creatinin
mg/dL
10 – 50 14
Ureum
mg/dL
Prot
6 – 8 g/dL
Total
3,5 – 5,6
Albumin
g/dL
SGOT ≤ 50 U/L 113
SGPT ≤ 50 U/L 193
0,2 – 1
Bil-Total
mg/dL
Bil-Direk 0-0,2 mg/dL
Chol
≤250mg/dL
Total
Trigliseri
≤200mg/dL
d
HDL
≥35mg/dL
Chol
LDL ≤150mg/dL
Chol

 PEMERIKSAAN LABORATORIUM URINALISA


HASIL
PEMERIKSAAN NILAI RUJUKAN SATUAN
08/07/2019
MAKROSKOPIS
Warna Kuning Jernih Kuning Jernih
Ph/ Reaksi 4.5 - 8.5 6.0
Berat Jenis 1.003 - 1.030 1.020
Protein Negatif mg/dL Negatif
Reduksi Negatif mg/dL Negatif
Leukosit Esterase Negatif /uL Negatif
Bilirubin Negatif mg/dL Negatif
Urobilinogen Negatif mg/dL Negatif
Nitrit Negatif mg/dL Negatif
Keton Negatif mg/dL Negatif
Blood (Hb/Eri) Negatif /uL Negatif
MIKROSKOPIS
1+ : 0 – 4
2+ : 5-9
Leukosit 3+ : 10 – 29 sel/LPB Neg
4+ : >30 - 1/2 LPB
5+ : >1/2 LPB
1+ : 0 – 4
2+ : 5-9
Eritrosit 3+ : 10 – 29 sel/LPB Neg
4+ : >30 - 1/2 LPB
5+ : >1/2 LPB
1+ : 0 – 4
2+ : 5-9
Epitel 3+ : 10 – 29 sel/LPB Neg
4+ : >30 - 1/2 LPB
5+ : >1/2 LPB
-:0
+ : 1/100
Tidak
Silinder ++ : 1-10 /LPK
Ditemukan
+++ : 10 – 100
++++ : >100
-:0
+ : 1-4 Tidak
Kristal /LPB
++ : 5 – 9 Ditemukan
+++ : >10
-:0
+/- : Jarang
Tidak
Bakteri + : Sedikit /LPB
Ditemukan
++ : Banyak
+++ : Penuh
-:0
+/- : Jarang
Tidak
Jamur + : Sedikit /LPB
Ditemukan
++ : Banyak
+++ : Penuh

 PEMERIKSAAN USG ABDOMEN (17/11/2021)

Kesimpulan :
- Tak tampak Organomegali
- Sonografi hepar, lien, dan ren bilateral dalam batas normal, ukuran
normal
- Tak tampak kelainan lain pada sonografi organintraabdomen
lainnya diatas
- Tidak tampak ascites maupun efusi pleura
3.5 DIAGNOSIS IGD
- Rheumatoid Artheritis
- Anemia Sedang
- Hipertransminase

3.6 TATALAKSANA AWAL IGD


- IVFD RL 20 tpm
- Omeprazole 40 mg/ 12 jam / IV
- Injeksi Ketorolac 1 amp / 8 jam / IV
- Sulcrafat Syrp 3x1
- Curcuma 3x1 tab
- Sistenol 3x1 tab (bila demam)

3.7 PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

3.8 FOLLOW UP SELAMA RAWAT INAP


15-11-2021
S : Nyeri Sendi (+) pusing (+), demam (-), mual (-), badan lemas (+)
O : KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TTV :
TD: 123/87, R: 20x/m, N: 76x/m, SB: 36,6°C
K/L : CA (+/+), SI (-/-), OC (-), P>KGB (–)
Thorax : simetris, ikut gerak nafas, SN ves (+/+), Rho (-/-), whez (-/-)
Cor : BJ I – II reguler, gallop (–), murmur (-)
Abdomen : Cembung, BU (+) , NT (-)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”, Edema (-/-)
Vegetatif : BAK/BAB (+/+), Ma/Mi: (+/+)
A : - Susp. SLE
- Susp. Rheumatoid Arthritis
- Anemia Sedang
- Hipertransminase
P : - IVFD NS 0,9% 20 tpm
- Ketorolac 1 amp /8 jam / IV
- Omeprazole 40 mg /12 jam/ IV
- Sulcrafat Syrp 3x1
- Curcuma 3x1 tab
- Sistenol 3x1 tab

16-11-2021
S : Nyeri Sendi (+) pusing (+), demam (-), mual (-), badan lemas (+)
O : KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TTV :
TD: 103/72, R: 22x0/m, N: 65x/m, SB: 36,6°C
K/L : CA (+/+), SI (-/-), OC (-), P>KGB (–)
Thorax : simetris, ikut gerak nafas, SN ves (+/+), Rho (-/-), whez (-/-)
Cor : BJ I – II reguler, gallop (–), murmur (-)
Abdomen : Cembung, BU (+) , NT (-), Hepar: ttb , Lien: ttb
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”, Edema (-/-)
Vegetatif : BAK/BAB (+/+), Ma/Mi: (+/+)
A : - Susp. SLE
- Susp. Rheumatoid Arthritis
- Anemia Sedang
- Hipertransminase
P : - IVFD NS 0,9% 20 tpm
- Ketorolac 1 amp /8 jam / IV
- Omeprazole 40 mg /12 jam/ IV
- Sulcrafat Syrp 3x1
- Curcuma 3x1 tab
- Sistenol 3x1 tab

17-11-2021
S : Nyeri Sendi (+) pusing (+), demam (-), mual (-), badan lemas (+)
O : KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TTV :
TD: 120/70, R: 20x/m, N: 84x/m, SB: 36,8°C
K/L : CA (+/+), SI (-/-), OC (-), P>KGB (–)
Thorax : simetris, ikut gerak nafas, SN ves (+/+), Rho (-/-), whez (-/-)
Cor : BJ I – II reguler, gallop (–), murmur (-)
Abdomen : Cembung, BU (+) , NT (-), Hepar: ttb , Lien: ttb
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”, Edema (-/-)
Vegetatif : BAK/BAB (+/+), Ma/Mi: (+/+)
A : - Susp. SLE
- Susp. Rheumatoid Arthritis
- Anemia Sedang
- Hipertransminase
P : - IVFD NS 0,9% 20 tpm
- Ketorolac 1 amp /8 jam / IV
- Omeprazole 40 mg /12 jam/ IV
- Sulcrafat Syrp 3x1
- Curcuma 3x1 tab
- Sistenol 3x1 tab
- USG Abdomen

18-11-2021
S : Nyeri Sendi (+)  pusing (-), demam (-), mual (-), badan lemas (-)
O : KU : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TTV :
TD: 122/81, R: 20x/m, N: 77x/m, SB: 37,1°C
K/L : CA (+/+), SI (-/-), OC (-), P>KGB (–)
Thorax : simetris, ikut gerak nafas, SN ves (+/+), Rho (-/-), whez (-/-)
Cor : BJ I – II reguler, gallop (–), murmur (-)
Abdomen : Cembung, BU (+) , NT (-), Hepar: ttb, Lien: ttb
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”, Edema (-/-)
Vegetatif : BAK/BAB (+/+), Ma/Mi: (+/+)
A : - Susp. SLE
- Susp. Rheumatoid Arthritis
- Anemia Sedang
- Hipertransminase
P : - IVFD NS 0,9% 20 tpm
- Ketorolac 1 amp /8 jam / IV
- Omeprazole 40 mg /12 jam/ IV
- Sulcrafat Syrp 3x1
- Curcuma 3x1 tab
- Sistenol 3x1 tab
BAB IV
PEMBAHASAN

Penegakkan diagnosis SLE manifestasi AIHA pada pasien ini didapat dari data
identifikasi pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pada data identifikasi pasien, pasien berjenis kelamin perempuan dan berusia
22 tahun dengan pertama kali didiagnosis Susp. SLE, yang sesuai dengan
epidemiologi dari systemic lupus eritematous (SLE) pada sebuah penelitian di
RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu 71% pasien didiagnosa SLE pada usia
≥ 18 tahun, 19% pasien pada usia 12-18 tahun, dan 10% pada usia ≤ 11 tahun.
Pada penelitian tersebut juga didapatkan 94,6% pasien berjenis kelamin
perempuan dan 5,4% pasien berjenis kelamin laki-laki.* Berdasarkan jenis
kelamin dan usia pasien dapat menjadi faktor risiko untuk kejadian penyakit SLE
pada kasus ini.
Penegakan diagnosis pada pasien ini berdasarkan kriteria menurut The
America Rheumatism Association (ARA) yang telah dimodifikasi pada tahun
1997, pada pasien ini ditemukan beberapa kriteria yang memenuhi, yaitu:
1. Arthritis
2. Gangguan hematologi (anemia)
3. Gangguan immunologic (Anti- dsDNA positif)
4. Anti Nuclear Antibody (ANA test positif)
Pada pasien ini ditemukan 4 dari 11 kriteria berdasarkan ARA sehingga
diagnosis systemic lupus eritematous (SLE) sudah bisa ditegakkan dengan
sensitifitas 95%. 9
Penegakkan diagnosis anemia hemolitik autoimun (AIHA) pada pasien ini
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada
anamnesis didapatkan gejala anemia yaitu badan lemas, mudah lelah saat
beraktifitas, wajah terlihat pucat, pandangan berkunang-kunang dan pusing
(lihgtheadedness), pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva pucat dan
palmar dan plantar pucat, dan pada hasil laboratorium kadar hemoglobin pasien
8,5 g/dL, kadar eritrosit 3,73x106/mm3, dan hematokrit 6% serta tidak ditemukan
peningkatan pada kadar leukosit dan trombosit, dari semua temuan tersebut maka
disimpulkan bahwa pasien ini mengalami anemia. Pasien ini sebelumnya belum
pernah terdiagnosis penyakit SLE yang merupakan penyakit autoimun sehingga
memiliki kemungkinan besar mengalami anemia hemolitik autoimun.
BAB V
PENUTUP

1.
2.
3.
4.
5.
5.1. KESIMPULAN
1. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
dalam kasus ini, pasien atas nama Tn. S.R didiagnosa dengan Systemic
Lupus Erythematosus (SLE).
2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah gangguan autoimun yang
menyerang hampir semua organ dan jaringan
3. Etiopatogenesis dari SLE masih belum diketahui secara jelas, dimana
terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral
seperti faktor genetik,faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap
respons imun.
4. Angka harapan hidup 5 tahun lebih dari 95% kecuali bila telah mengenai
ginjal. Kematian biasanya timbul akibat infeksi atau penyakit
kardiovaskular
DAFTAR PUSTAKA

Alexis, F.A., Barbosa, H.V. 2013, Skin of Color: A Practical Guide to


Dermatologic Diagnosis and Treatment, Springer Science, New York, pp.
52-5.
Anggraini, N.S. 2016, ‘Lupus Eritematosus Sistemik’, J Medula Unila, vol. 4, no.
4, pp. 124-124.
Barber, C., Gold, W.L. & Fortin, P.R. 2011,‘Infections in The Lupus Patient:
Perspectives on Prevention’,Current Opinion in Rheumatology, vol. 23, no.
4, pp. 358–65.
Bertsias, G., Cervera, R., Boumpas, D.T. 2012, ‘Systemic Lupus Erythematosus:
Pathogenesis and Clinical Features’,European League Against Rheumatism
Journal, pp. 476-498.
Dorland, W.A.N. 2011, Kamus Saku Kedokteran Dorland, Alih Bahasa, Mahode,
A.A., Rachman, L.Y., Nugroho, A.W., Susanto, D., Muttaqin, H., Rendy, L.
Edisi 28, EGC, Jakarta, p. 565.
D’Cruz D, Espinoza G, Cervera R. Systemic lupus erythematosus: pathogenesis,
clinical manifestations, and diagnosis. 2010.
Glick, M, Greenberg, M.S., Jonathan, A.S. 2008, Burket’s Oral Medicine, 11th
edn. BC Decker Inc, Hamilton, pp. 442-7.
Hamijoyo, L., Navarra, S. 2017,Asa Untuk Sang Kupu-Kupu, Qanita, Bandung, p.
27-30.
Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009 ; 2565-2579.
Kanda N, Tamaki K. Estrogen enhances immunoglobulin production by human
peripheral blood mononuclear cells. J Allergy Clin Immunol 1999;103:282–
8
Leveno, K.J., Cunningham, F.G., Gant, N.F., Alexander, J.M., Bloom, S.L.,
Casey, B.M., Dashe, J.S., Sheffield, J.S., Yost, N.P. 2009, Obstetri
Williams: Panduan Ringkas, Alih Bahasa, Pendit, B.U. Edisi 21, EGC,
Jakarta, p. 601-3.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011, Peringatan Hari Lupus
Sedunia, accessed 14 April 2017, Available at: www.depkes.go.id
Kusuma, A.A.N.J. 2007, ‘Lupus Eritematosus Sistemik Pada Kehamilan’, J
Penyakit Dalam, vol. 8, no. 2, pp. 170-5.
Leveno, K.J., Cunningham, F.G., Gant, N.F., Alexander, J.M., Bloom, S.L.,
Casey, B.M., Dashe, J.S., Sheffield, J.S., Yost, N.P. 2009, Obstetri
Williams:Panduan Ringkas, Alih Bahasa, Pendit, B.U. Edisi 21, EGC,
Jakarta, p. 601-3.
Lupus Foundation of America 2013, How Lupus Affects the Body, accessed 14
April 2017, Available at: http://www.lupus.org
Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J
Netherl Med 2003;61(11):343-346.
Manuaba, I.A.C., Manuaba, I.B.G.F., Manuaba, I.B.G. 2008, Buku Ajar Patologi
Obstetri Untuk Mahasiswa Kebidanan: Sistemik Lupus Eritematosus, EGC,
Jakarta, p. 72-8.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2011, Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik, Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta, pp. 3-
17.
Roviati, E. 2013, ‘Systemic Lupus Erithematosus (SLE): Kelainan Autoimun
Bawaan yang Langka dan Mekanisme Molekulernya’, J Scientiae Educatia,
vol. 2, no. 1, p. 20.
Rubenstein, D., Wayne, D., Bradley, J. 2007, Lecture Notes: Kedokteran Klinis,
Alih Bahasa, Rahmalia, A. Edisi 6, Erlangga, Jakarta, p. 140-2.
Ruiz-Irastorza, G., Olivares, N., Ruiz-Arruza, I., Martinez-Berriotxoa, A.,
Egurbide, M.V. & Aguirre, C. 2009, ‘Predictores of Major Infections in
Systemic Lupus Erythematosus’, Arthritis Research & Therapy, vol. 11, no.
4, pp. 1-8.
Sandor, G., Albilia, J., Clokie, J. 2007, ‘Lupus Eritematosus Sistemik: A Review
For Dentist’, J California Dental Association, vol. 73, no. 9, pp. 367-81.
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, K.M., Setiyohadi B., Syam, A.F.
(eds) 2014, Ilmu Penyakit Dalam: Lupus Eritematosus dan Sindrom
Antibodi Antifosfolipid, Edisi 6, Jilid 3, Interna Publishing, Jakarta, pp.
3331-67.
Skare, T.L., Dagostini, J.S., Zanardi, P.I. & Nisihara, R.M. 2016, ‘Infections and
Systemic Lupus Erythematosus’, Einstein Sao Paulo, vol. 14, no. 1.
Silva C, Isenberg DA.Aetiology and pathology of systemic lupus erythematosus.
Hospt Pharm 2001;7:1-7.
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S., Pradipta, E.A. (eds) 2014, Kapita Selekta
Kedokteran: Lupus Eritematosus Sistemik, Edisi 4, Media Aesculapius,
Jakarta, p. 843.
Tsokos, G.C., Gordon, C., Smolen, J.S. 2007, Systemic Lupus Erythematosus: A
Companion to Rhaumatology, 1st edn, Elsevier Health Sciences, United
State of America, pp. 74-8.
Wallace, D.J. 2007, The Lupus Book, Panduan Lengkap bagi Penderita Lupus
dan Keluarganya, Alih Bahasa, Wiratama, C. B – First, Yogyakarta, pp.
321-3.
Web Md 2013, Lupus Health Center, accessed 23 April 2017, Available at:
http://lupus.webmd.com/
Yayasan Lupus Indonesia 2012, Lupus di Indonesia, accessed 14 April 2017,
Available at: http://yayasanlupusindonesia.org/
Zandman-Goddart, G. & Shoenfeld, Y. 2005, ‘Infections and SLE’,
Autoimmunity, vol. 38, no. 7, pp. 473-85.

Anda mungkin juga menyukai