Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Dosen Pembimbing : Muhammad Ali Maulana, S. Kep., Ners., M. Kep

Disusun Oleh :
Ade Mohammad Hellis Faturrahman
I1032191001

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2021
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Menurut Farkhati (2012) SLE merupakan penyakit autoimun yang
bersifat sistemik. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah gangguan
imun radang kronis yang mempengaruhi kulit dan orga tubuh lain.
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik
autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan (Sudoyo Aru,dkk 2009).
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit radang atau
imflamasi multisystem yang disebabkan oleh banyak faktor dan di
karakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan.
Terbentuknya autoantibodi terhadap Double Stranded Deoxyribose-
Nucleid Acid (dsDNA), berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler,
sel-sel darah fisfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui
mekanisme pengaktifan komplemen ( Hasdianah dkk 2014).

2. Etiologi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit.
ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam
timbulnya penyakit SLE:
1) Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik
untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan
pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko
menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya
SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan
pada populasi umum.
2) Faktor Imunologi
a) Antigen
Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun
fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b) Kelainan instristik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan
sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi
menjadi tidak normal.
c) Kelainan antibody
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali
sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan
produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.
3) Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus
dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya SLE.
4) Faktor Lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr
Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat
kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada
kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran
pembuluh darah.

3. Patofisiologi
Pada SLE juga terdapat kelainan pada unsur-unsur sistem imun. Dalam
keadaan normal, makrofag yang berupa Antigen Presenting Cell (APC)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Tetapi pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang terdapat pada permukaan sel T mengalami
perubahan baik pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan
informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor
yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari
sel T. Faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya lupus antara lain
paparan sinar ultraviolet, agen infeksius seperti virus dan bakteri, serta
obat-obatan yang diminum dalam jangka waktu tertentu diantaranya
prokainamid, klorpromazin, isoniazid, fenitoin, dan penisilamin.
Peningkatan hormon dalam tubuh juga dapat memicu terjadinya SLE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Jadi, estrogen yang berlebihan dengan
aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat pada laki-laki maupun
perempuan mungkin bertanggung jawab terhadap perubahan respon imun
(Alexis et al., 2013; Setiati et al., 2014).
Pathway
Ginetik, Imunologi,
Hormonal, Lingkungan

Autoimun berlebihan

Autoimun menyerang
organ – organ tubuh

Produksi Antibodi
secarra terus menerus

Muskuloskeletal Integumen Vaskuler

Adanya lesi akut pada Infalamasi pada


Pembengkakan sendi
kulit artericle terminalis

Nyeri tekan dan rasa Klien malu dengan Lesi diujung kaki,
nyeri ketika bergerak kondisinya tumit, dan siku

DX: Nyeri Akut DX: Gangguan DX: Kerusakan


Citra Tubuh Integritas Kulit
4. Tanda dan Gejala
Tanda penyakit merupakan manifestasi klinis atau data objektif yang bisa
dilihat langsung dengan mata tanpa ada pemeriksaan diagnostik. Empat
penderita menyatakan bahwa ketika terjadi lupus terdapat tanda bintik-
bintik diwajah, gambaran bintik-bintik tersebut menyerupai kupu-kupu.
Satu orang penderita menambahkan tidak hanya bintik di wajah tetapi
juga adanya bengkak-bengkak seluruh tubuh. Gejala merupakan tanda
awal yang hanya bisa dirasakan oleh penderita suatu penyakit atau hanya
bisa dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang. Seperti halnya penyakit
lain gejala lupus hanya bisa dirasakan oleh penderita, gejala lupus yang
dinyatakan penderita dapat bermacam-macam, satu orang menyatakan
nyeri sendi, dua orang menyatakan adanya gangguan pada ginjal dan
paru, empat orang menyatakan adanya kelemahan dan rasa cepat lelah
setelah menderita lupus, sehingga menganggu kegiatan sehari-hari (Judha
& Setiawan, 2015).

5. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat diberikan kepada pasien
penderita SLE, yaitu (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011):
a. Diagnostik
1) Tes Imunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis SLE adalah tes ANA. Tes ANA dikerjakan/diperiksa
hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE.
Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-
100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa
penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE
misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun
misalnya Mixed Connective Tissue Disease (MCTD), artritis
reumatoid, tiroiditis autoimun, atau keganasan.
2) Radiology
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
b. Laboratorium
1) Hemoglobin, leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kuantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin
3) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4) PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5) Serologi ANA, anti ds-DNA, komplemen (C3,C4)

6. Penataksanaan
Pengobatan rasa sakit dan peradangan pada SLE ringan umumnya dicapai
dengan nonsteroidal obat anti inflamasi (NSAID). Obat antimalaria juga
digunakan dalam SLE ringan untuk mengontrol gejala radang sendi, ruam
kulit, sariawan, demam, dan kelelahan. Perawatan SLE membutuhkan
penambahan kortikosteroid. Kortikosteroid diberikan kepada anak ketika
anak tidak merespon NSAID atau obat antimalaria. Jenis obat yang paling
ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE parah termasuk agen
imunosupresif. Obat-obat ini digunakan ketika penyakitnya sudah
mencapai keadaan yang serius di mana tanda-tanda parah dan gejala yang
hadir. Agen Imunosupresif juga dapat ditentukan jika ada kebutuhan
untuk menghindari kortikosteroid.
7. Komplikasi
Menurut Djoerban (2009) spesialis penyakit dalam dari departemen
hematologi dan onkologi medik FKUI, kelainan darah bisa ditemukan
pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena
maupun arteri, yang menyebabkan emboli paru. Jumlah trombosit
berkurang dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor
pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti dan
seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1) Pemeriksaan Fisik
a) B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas,
penggunaan otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan
(rales,ronchi), nyeri saat inspirasi, produksi sputum, reaksi
alergi. Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura.
b) B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung
(s1,s2,s3), bunyi systolic click (ejeksi clik pulmonal dan aorta),
bunyi mur-mur. Friction rup pericardium yang menyertai
miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan
purpura yang menjadi nekrosis menunjukan gangguan vaskuler
terjadi di ujung jari tangan,siku,jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan dibawah atau sisi lateral tangan.
c) B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma
Scale secara kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai
coma (kualitatif), orientasi pasien. Seiring terjadinya depresi dan
psikosis juga serangan kejang-kejang.
d) B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine
(menilai filtrasi glomelorus).
e) B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi
badan, turgor kulit, nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly,
pembesaran limpa.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup
serta citra dari pasien.
3) Riyawat Penyakit Sekarang
a) Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien,
misalnya ruam malar-fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik
eritematosa menimbulkan : artaralgia/arthritis, demam,
kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak pada
pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b) Mulai kapan keluhan dirasakan.
c) Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d) Keluhan-keluhan lain menyertai.
4) Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan
kuinidin.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami
penyakityang sama atau penyakit autoimun yang lain.
6) Pemeriksaan Fisik

2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut (D.0077) berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (
Inflasmasi dan kerusakan jaringan).
2) Gangguan Citra Tubuh (D.0083) berhubungan dengan perubahan
fungsi tubuh (proses pengayakit).
3) Gangguan Integritas Kulit/Jaringan (D.0129) berhubungan dengan
perubahan hormonal.
DAFTAR PUSTAKA

Alexis, F.A., Barbosa, H.V. 2013, Skin of Color: A Practical Guide to


Dermatologic Diagnosis and Treatment, Springer Science, New York, pp. 52-
5
Farkhati MY, Sunartini_Hapsara, Satria CD. 2012. Survival and prognostic factors of
systemic lupus erythematosus. Proceedings of Congress of Indonesian
Pediatrics Society: 236-42.
Hasdianah., Dewi, Prima., Peristiowati., & Imam, Sentot. (2014). Imunologi
Diagnosis dan Teknik Biologi Molekuler. Yogyakarta: Nuha Medika
Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia
Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia
Kusuma . H dan Nurarif. A.H.(2015), Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA Nic-Noc. (Edisi Revisi Jilid 2). Yogyakarta :
MediAction

Anda mungkin juga menyukai