Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUHAN KMB

ABSES GLUTEA

Dosen Pemimbing: Nita Arisanti Yulanda, S. Kep., Ns., M. Kep

Pembimbing Lahan: Devi Rosalinda S. Kep., Ners

Disusun Oleh:

Ade Mohammad Hellis Faturrahman

I1032191001

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK
2021

A. Konsep Penyakit
1. Definisi
Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang
telah mati) yang terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses
infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing
(misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan
reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan
infeksi ke bagian tubuh yang lain. Abses adalah infeksi kulit dan subkutis
dengan gejala berupa kantong berisi nanah. (Siregar, 2004)
Abses adalah penimbunan nanah yang terjadi akibat infeksi bakteri.
Abses dapat terjadi dimana saja pada bagian tubuh kita. Abses dapat terlihat
karena berada di bagian luar tubuh (pada lapisan kulit) atau teradi pada organ
dalam tubuh yang terjadi disebuah kavitas jaringan karena adanya proses
infeksi oleh bakter, karena adanya benda asing misalnya; serpihan, lika peluru
atau jarum suntik (Smaltzer, 2013).
Abses adalah penumpukan nanah didalam rongga dibagian tubuh
setelah terinfeksi bakteri. Nanah adalah cairanvyang mengandung banyak
protein dan sel darah putih yang telah mati. Nanah berwarna putih kekuningan
(Craft, 2012)

2. Etiologi
Suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses ketika bakteri masuk kedalam
jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi. Sebagian sel mati jaringan
yang sehat itu mati, dan hancur meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan
sel-sel yang terinfeksi. Suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses beberapa
cara : bakteri masuk kebawah kulit akibat bakteri yang berasal dari tusukan
jarum yang tidak steril dan bakteri dapat menyebar dari suati infeksi di bagian
tubuh yang lain. Kondisi ini memicu sel-sel darah putuh yang berfungsi
melawan infeksi masuk kedalam rongga tersebut, memerangi bakteri dan
kemudian mati. Sel darah putih yang mati itulah yang membentuk cairan
nanah, yang mengisi rongga tersebut. Peluang terbentuknya suatu abses akan
meningkat ika terdapat kotoran atau benda asing didaerah atau tempat
terjadinya infeksi, daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang
kurang terdapat terjadi gangguan sistem kekebalan (Siregar, 2007).

3. Patofisiologis
Kuman yang masuk kedalam tubuh akan merusak jaringan dengan cara
mengeluarkan toksin. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik (sintesis),
kimiawi yang secara spesifik mengawali proses peradangan atau melepaskan
endotoksin yang ada hubunganya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas
terjadi apabila ada perubahan kondisi respon imunologi mengakibatkan
perubahan reaksi imun yang merusak jaringan. Agen fisik dan bahan kimia
oksidan korosif menyebabkan kerusakan jaringan, kerusakan jaringan
menstimulus untuk terjadi infeksi. Infeksi merupakan salah satu penyebab dari
peradangan, kemerahan merupakan tanda awal yang terlihat akibat dilatasi
arteriol dan meningkatkan aliran darah ke mikro sirkulasi kalor terjadi
bersamaan dengan kemerahan bersifat lokal. Peningkatan suhu dapat terjadi
secara sistemik. Akibat endogen pirogem yang dihasilkan makrofaq
mempengaruhi termoregulasi pada suhu lebih tinggi sehingga produksi panas
meningkat dan terjadi hipertermi. Peradangan terjadi perubahan diameter
pembuluh darah mengalir keseluruh kapiler, kemudian aliran darah kembali
pelan. Sel-sel darah mendekati pembuluh darah di daerah zona plasmatik.
Leukosit menempel pada epitel sehingga langkah awal terjadi emigrasi
kedalam ruang ekstravaskuler lambatnya aliran darah yang mengikuti fase
hipertermia meningkat permiabilitas vaskuler mengakibatkan keluarnya
plasma kedalam jaringan, sedangkan sel darah tertinggal didalam pembuluh
darah akibat tekanan hidrostatik meningkat dan tekanan osmotik menurun
hingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga ekstravaskuler yang
merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi
jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga abses menyebabkan rasa
nyeri. Mediator kimiawi, termasuk bradiknin, prostaglanin, dan serotonin
merusak ujung saraf sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor
mekanosensitif yang menimbulkan nyeri. Adanya edema akan mengganggu
gerak jaringan sehinggan mengalami penurunan fungsi tubuh yang
menyebabkan terganggunya mobilitas. Inflamasi terus terjadi selama masih
ada pengurasan jaringan bila penyebab kerusakan bisa diatasi, maka debris
akan difagosit dan dibuang tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan
(Smatzer, 2013).

4. Tanda dan Gejala


Menurut Smeltzer & Bare (2001) gejala dari abses tergantung kepada lokasi
dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf, gejalanya bisa berupa:
a) Nyeri
b) Nyeri tekan
c) Teraba hangat
d) Pembengkakan
e) Kemerahan
f) Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak
sebagai benjolan. Jika abses akan pecah maka daerah pusat benjolan akan
lebih putih karena kulit diatasnya menipis.

5. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien penderita
abses gluteal (Waspadji, Soeparman, 2012):
a. Diagnostik
1) Sinar X (Rontgen)
Film abdomen dan dada bagian bawah yang mengidentifikasa udara
bebas di dalam abdomen.
2) EKG
Dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelpmbang T dan
distritmia yang menyerupai infrk miokard.
3) USG
Untuk memeriksaan organ tubuh dengan menggunakan gelombang
suara frekuensi tinggi yang tidak dapat didengar oleh telinga kita.
4) CT-Scan
Untuk mendapatkan gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang
torak dan otak.
b. Laboratorium
1) Kultur
Mengidentifikasi organisme penyebab abses.
2) Sel darah putih
Mengidentifikasi produksi sel darah putih.
3) Glukosa serum
Hiperglikemi menunjukan glukogenesis dan glikogenesis didalam hati
sebagai respon dari puasa atau seluler dalam metabolisme.
4) Urinalitas
Adanya sel darah putih atau bakteri penyebab infeksi.

6. Penatalaksanaan
Menurut Morison (2003), Abses luka biasanya tidak membutuhkan
penanganan menggunakan antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut
butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridement (prosedur tindakan
yang dilakukan mengangkat jaringan yang mengalami kerusakan atau
terinfeksi) dan kuretase.
Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi
penyebabnya, terutama apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda
asing tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing,
biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan
pemberian obat analgetik dan antibiotik.
Drainase, abses dengan menggunakan pembedahan biasanya
diindikasikan apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang
keras menjadi lebih lunak. Drian dibuat dengan tujuan mengeluarkan cairan
abses yang berada didalam jaringan

7. Komplikasi
Komplikasi mayor dari abses adalah penyebaran abses kejaringan sekitar atau
jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang ekstensif (ganggren).
Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan
sendirinya, sehingga tindakan medis secepatnya diindikasikan ketika terdapat
kecurigaan akan adanya abses. Suatu abses dapat menimbulkan konsekuesi
yang fatal. Meskipun jarang, apabila abses tersebut mendesak struktur yang
vital, misalnya abses leher dalam yang dapat menekan trakea (Siregar, 2013).

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Riwayat kesehatan
Hal-hal yang perlu dikaji antara lain:
- Abses kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali, sedangkan
abses dalam sering kali sulit ditemukan.
- Riwayat trauma, seperti tertusuk jarum atau terkena peluru
- Riwayat infeksi sebelumnya yang terasa cepat menunjukkan rasa
sakit diikuti adanya rasa eksudat tetapi tidak bisa dikeluarkan.
b) Pemeriksaan fisik
- Luka terbuka atau tertutup
- Organ atau terinfeksi
- Masa eksudat atau dengan bermata
- Peradangan berwarna pink atau kemerahan
- Abses dengan ukuran bervariasi
- Rasa sakit bila dipalpasi akan terasa fluktuatif
c) Pemeriksaan laboratorium
- Hasil pemeriksaan leukosit menunjukkan peningkatan jumlah sel
darah putih.

2. Diagnosa Keperawatan
- Nyeri Akut (D.0077) berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(inflamasi)
- Resiko Ganguan Integritas Kulit (D.0139) berhubungan dengan
kelembaban dihubungkan dengan diabetes melitus

3. Rencana Intervensi

No Diagnosa Tujuan dan Intervensi


Kriteria Hasil
1 Nyeri Akut b.d Manajemen Nyeri (I.08238)
agen pencedera Observasi
fisiologis - Identifikasi lokasi,
(Inflamasi) karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi faktor yang
memperberat dan
memperingan nyeri
- Identifikasi pengaruh
nyeri terhadap kualitas
hidup
- Monitor keberhasilan
terapi komplementer
yang sudah diberikan
Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurai rasa nyeri
(Hipnosis, terapi musik)
- Kontrol lingkungan yang
memperberat raya nyeri
(suhu ruangan,
pencahayaan,
kebosingan)
- Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan menggunakan
analgetik yang tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgenik, jika perlu

2 Resiko Ganguan Perawatan Luka (I14565)


Integritas Kulit Observasi
(D.0139) - Monitor karakteristik
berhubungan luka (mis, drainase,
dengan warna, ukuran, bau
kelembaban - Monitor tanda-tanda
dihubungkan infeksi
dengan diabetes Terapeutik
melitus - Bersihkan dengan cairan
NaCl atau pembersih
nontoksik, sesuai
kebutuhan
- Bersihkan jaringan
nekrotik
- Berikan salep yang sesuai
ke kulit/lesi, jika perlu
- Pasang balutan sesuai
jenis luka
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
- Ajarkan perawatan luka
secara mandiri
Kolaborasi
Kolaborasi
- Pemberian antibiotik, jika
perlu

DAFTAR PUSTAKA

Craft N. 2012. Superficial Cutaneous Infections and Pyoderma. In: In Fitzpatrick’s


Dermatology in General Medicine. 8th Ed. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, et al., editor. New York: McGraw Hill Medical.

Manjoes, A (2007). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta. EGC.

Siregar, R,S.  Atlas Berwarna Saripati Kulit . Editor Huriawati Hartanta. Edisi 2.
Jakarta : EGC, 2004.

Smaltzer (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah vol.3. Jakarta : EGC

Soeparman & Waspadji. (2012). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta. EGC

Suzanne, C, Smeltzer, Brenda G Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Bruner and Suddarth. Ali Bahasa Agung Waluyo. ( et,al) Editor bahasa
Indonesia : Monica Ester. Edisi 8 jakarta : EGC,2001.

Anda mungkin juga menyukai