Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN ABSES PEDIS

I. KONSEP TEORI
A. Pengertian
Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga
(rongga Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas. ( Mansjoer, 2007 )
Abses adalah pengumpulan nanah yang terlokalisir sebagai akibat dari infeksi
yang melibatkan 1rganism piogenik, nanah merupakan suatu campuran dari
jaringan nekrotik, bakteri, dan sel darah putih yang sudah mati yang dicairkan
oleh enzim autolitik. ( Price, 2005)
Abses (misalnya bisul) biasanya merupakan titik “mata”, yang kemudian
pecah; rongga abses kolaps dan terjadi obliterasi karena fibrosis, meninggalkan
jaringan parut yang kecil. ( Doengos, 2010 )
Pedis adalah anggota badan yang menopang tubuh dan dipakai untuk berjalan
(dari pangkal paha ke bawah). (Mansjoer,2007)

B. ETIOLOGI

Menurut Siregar (2004) suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui
beberapa cara:

1. Bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka yang berasal dari tusukan jarum
yang tidak steril
2. Bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain

3. Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan
tidak menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya
abses.

Peluang terbentuknya suatu abses akan meningkat jika :

1. Terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi


2. Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang

3. Terdapat gangguan sistem kekebalan


Bakteri tersering penyebab abses adalah Staphylococus Aureus.

C. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Smeltzer & Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada lokasi dan
pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejalanya bisa berupa:
1. Nyeri
2. Nyeri tekan
3. Teraba hangat
4. Pembengakakan
5. Kemerahan
6. Demam

Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagai benjolan.
Adapun lokasi abses antar lain ketiak, telinga, dan tungkai bawah. Jika abses akan
pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatasnya
menipis. Suatu abses di dalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala seringkali
terlebih tumbuh lebih besar. Abses dalam mungkin lebih menyebarkan infeksi
keseluruh tubuh.
( Underwood, 2000 )
D. PATOFISIOLOGI
Proses abses merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk
mencegah penyebaran atau perluasan infeksi ke bagian lain tubuh. Organisme atau
benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan
sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang
menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut
dan meningkatkan aliran darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau
kapsul, oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah pus
menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses
enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk
menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan
bakteri-bakteri yang terdapat dalam pus.Abses harus dibedakan dengan empyema.
Empyema mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang telah ada
sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu pada akumulasi nanah di
dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat suatu
infeksi bakteri. Jika bakteri menyusup ke dalam jaringan yang sehat, maka akan
terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak ke dalam rongga tersebut dan
setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel darah putih yang mati
inilah yang membentuk nanah, yang mengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong.
Jaringan pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas
abses, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi
lebih lanjut. Jika suatu abses pecah di dalam maka infeksi bisa menyebar di dalam
tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses. ( Price,
2005 )
E. PATHWAYS

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium.
Hasil pemeriksaan leukosit menunjukan peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dilakukan pemeriksaan rontgen,
USG, CT, Scan, atau MRI. ( Underwood, 2000 )
G. PENATALAKSANAAN
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan
antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi
bedah, debridemen, dan kuretase untuk meringankan nyeri dan mempercepat
penyembuhan, suatu abses bisa ditusuk dan dikeluarkan isinya. Salah satu
pembedahannya yaitu dengan laparatomi eksplorasi.
Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebab,
utamanya apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus
diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu
dipotong dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian obat analgesik dan
mungkin juga antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya di indikasikan
apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap
pus yang lebih lunak. Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area
yang kritis, tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan
terakhir yang perlu dilakukan.
Memberikan kompres hangat pada daerah yang bengkak dan meninggikan
posisi anggota gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,
antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering
digunakan. Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten
Methicillin (MRSA) yang didapat melalui komunitas, 4ntibiotic biasa tersebut
menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat melalui komunitas,
digunakan 4ntibiotic lain: clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan
doxycycline.
Untuk meringankan nyeri dan mempercepat penyembuhan, suatu abses bisa
ditusuk dan dikeluarkan isinya. Suatu abses tidak memiliki aliran darah, sehingga
pemberian antibiotik biasanya sia-sia.

Antibiotik biasanya diberikan setelah abses mengering dan hal ini


dilakukan untuk mencegah kekambuhan. Antibiotik juga diberikan jika abses
menyebarkan infeksi kebagian tubuh lainnya.

( Mansjoer, 2007)
H. PENGKAJIAN

Menurut Doenges,E.M (2010), data dasar pengkajian pasien dengan Abses Pedis
meliputi:
1. Aktivitas/istirahat
Menunjukkan adanya kelemahan, kelelahan, terlalu lemah, latergi, penurunan
massa otot/tonus.
2. Sirkulasi
Menunjukkan adanya gagal jantung kronis, distritmia, bunyi jantung ekstra,
distensi vena abdomen.
3. Eliminasi
Diare, Keringat pada malam hari menunjukkan adanya flatus, distensi abdomen,
penurunan/tidak ada bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap pekat.
4. Makanan/cairan
Menunjukkan adanya anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak dapat
mencerna, mual/muntah, penurunan berat badan dan peningkatan cairan, edema,
kulit kering, turgor buruk, ikterik.
5. Neurosensori
Menunjukkan adanya perubahan mental, halusinasi, koma, bicara tidak jelas.
6. Nyeri/kenyamanan
Menunjukkan adanya nyeri abdomen kuadran kanan atas, pruritas, perilaku
berhati-hati/distraksi, focus pada diri sendiri.
7. Pernapasan
Menunjukkan adanya dispnea, takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas
tambahan, ekspansi paru terbatas, asites, hipoksia.
8. Keamanan
Menunjukkan adanya pruritas, demam, ikterik, ekimosis.
9. Seksualitas
Menunjukkan adanya kelainan pada alat genetalia.
( Doengos, 2010 )
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri (akut) berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, dan integritas
otot.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan interupsi mekanisme pada
kulit/jaringan.
4. Resiko tinggi infeksi berubungan dengan luka operasi dan prosedur invasif.
5. Gangguan kebutuhan tidur berhubungan dengan proses penyakit, efek
hospitalisasi, perubahan lingkungan.
6. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang proses kesehatan.
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi.
( Doengos, 2010 )

J. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan dan integritas otot,
trauma musculoskeletal/tulang.
Tujuan: rasa nyeri/sakit telah terkontrol/dihilangkan.
KH:
– Klien melaporkan adanya rasa nyeri yang berkurang.
– Wajah klien terlihat rileks.
Intervensi:
1) Kaji skala nyeri, intensitas, dan frekuensinya.
2) Evaluasi rasa sakit secara regular.
3) Kaji tanda-tanda vital.
4) Kaji penyebab ketidaknyamanan yang mungkin sesuai prosedur operasi.
5) Berikan posisi yang nyaman bagi klien.
6) Dorong penggunaan teknik relaksasi.
7) Kolaborasi dalam memberikan obat analgetik sesuai advice dokter..
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan: Klien mampu beraktivitas seperti biasanya.
KH:
– Berpartisipasi dalam aktivitas fisik.
– Mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
– klien dapat beristirahat dan beraktifitas sesuai kemampuan.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas.
2) Observasi adanya kelelahan dalam melakukan aktifitas
3) Monitor Tanda-tanda Vital sebelum, selama dan sesudah melakukan aktifitas.
4) Berikan lingkungan yang tenang bagi klien.
5) Tingkatkan aktifitas klien sesuai dengan toleransi klien.
6) Bantu klien dalam melakukan aktivitasnya.
7) Ajarkan teknik ROM aktif dan ROM pasif pada klien.
3. Gangguan integeritas kulit berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan
ketahanan kesehatan.
Tujuan: klien memperlihatkan tindakan untuk meningkatan metabolik.
KH:
– Integritas kulit klien dapat mengalami perbaikan.
– Ketahanan kesehatan kulit terjaga.
Intervensi:
1) Kaji kembali kemampuan dan keadaan klien secara fungsional
2) Letakkan klien pada posisi tertentu.
3) Pertahankan kesejahteraan tubuh secara fungsional.
4) Bantu dalam melakukan latihan rentang gerak.
5) Berikan perawatan kulit dengan cermat.
6) Kolaborasi dalam memperbaiki integritas kulit bagi klien.
4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi dan prosedur invasif.
Tujuan: Tidak terdapat tanda-tanda dan gejala infeksi.
KH:
– Keadaan luka baik, tidak ada tanda-tanda infeksi.
– TTV dalam batas normal.
Intervensi:
1) Berikan perawatan aseptik dan anti septik, pertahankan cuci tangan yang baik.
2) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (luka, insisi).
3) Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil.
4) Awasi atau kurangi jumlah penggunjung.
5) Berikan lingkungan yang bersih, kondusif bagi klien.
6) Monitor hasil laboratorium mengenai jumlah leukosit klien tiap pemeriksaan.
7) Berikan antibiotik sesuai indikasi.
5. Gangguan kebutuhan istrahat tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan
dan efek hopitalisasi.
Tujuan: kebutuhan istrahat dan tidur klien dapat terpenuhi.
KH:
– Klien melaporkan dapat istirahat dan tidur.
– Kebutuhan istirahat dan tidur klien terpenuhi.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan dan kebiasaan tidur klien
2) Berikan tempat tidur yang nyaman dengan beberapa barang milik pribadinya
contoh : Sarung, guling
3) Dorong aktifitas ringan pada klien.
4) Intruksikan tindakan relaksasi
5) Ciptakan lingkungan yang nyaman bagi klien dengan membatasi pengunjung.
6) Kolaborasi dalam memberikan obat sesuai indikasi dokter.
6. Cemas b.d kurang pengetahuan tentang proses kesehatan.
Tujuan: Cemas klien berkurang atau hilang.
KH:

– Klien mampu mengungkapkan cara mengatasi cemas


– Klien Mampu menggunakan coping secara efektif.

Intervensi:

1) Bina Hubungan saling percaya pada klien.


2) Libatkan keluarga dalam meyakinkan klien tentang kesehatanya.

3) Jelaskan semua Prosedur yang akan dilakukan pada klien.

4) Hargai pengetahuan klien tentang penyakitnya


5) Bantu klien untuk mengefektifkan sumber support seperti keluarga.

6) Berikan reinfocement untuk menggunakan Sumber Coping yang efektif.

7) Yakinkan klien tentang proses kesehatanya.

7. Kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, pragnosis kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan: Menyatakan, pemahaman tentang proses penyakit/pragnosis.
KH:
– Klien dapat memahami keadaan kesehatanya.
– Klien dan keluarga tidak mencemaskan perubahan status kesehatanya.
Intervensi:
1) Tinjau ulang pembedahan/prosedur khusus yang dilakukan dan harapan masa
datang.
2) Diskusikan terapi obat-obatan, meliputi penggunaan resep.
3) Indentifkasi keterbatasan aktivitas khusus.
4) Berikan penjelasan pada klien tentang proses penyakitnya.
5) Berikan kesempatan pada klien untuk bertanya tentang penyakitnya.
6) Libatkan orang terdekat dalam program pengajaran.
R/Menyediakan instruksi tertulis/materi pengajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Dengoes,Marlyn E.2010. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III. Jakarta:ECG.

Smeltzer,Suzane.2001.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:EGC.

Price,Sylvia.2005.Patofisiologi.Jakarta:EGC.
Mansjoer,Arief.2007.Kapita selekta kedokteran.Jakarta.EGC

J. c. e. Underwood 2000.Patologi Umum dan Sistematika. Edisi II. Jakarta: Balai


Penerbitan Buku Kedokteran ECG.

Anda mungkin juga menyukai