Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Untuk Memenuhi Tugas Individu Departemen Medikal


di Ruang 23i RSUD DR. Saiful Anwar Malang

Disusun Oleh :
Rosa Mayangsari
180070301111048

PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
DI RUANG 23i RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Medikal

Oleh :
Rosa Mayangsari
180070301111048
Kelompok 5B

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( )
SYSTEMIC LUPUS ERYTEMATOSUS (SLE)

Anatomi SLE
Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem pertahanan manusia
sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme,
termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit.
Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme dan proses yang berbeda yang
semuanya siap bertindak begitu tubuh kita diserang oleh berbagai bibit penyakit seperti
virus, bakteri, mikroba, parasit dan polutan. Sebagai contoh adalah cytokines yang
mengarahkan sel-sel imun ke tempat infeksi, untuk melakukan proses penyembuhan.
Organ –Organ dalam Sistem Imun (Organ Limfoid) :
Berdasarkan fungsinya :
1. Organ Limfoid Primer : organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel imun, yaitu
kelenjar timus dan susmsum tulang.
2. Organ Limfoid Sekunder : organ yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya
proses-proses reaksi imun. Misalnya : nodus limfe, limpa, the loose clusters of
follicles, peyer patches, MALT (Mucosa Assosiated Lymphoid Tissue), tonsil.

1. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai
dengan adanya inflamasi tersebar luas, yang dapat mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Sudoyo, Aru dkk, 2009).
SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi
terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun,
sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.
Lupus merupakan gangguan autoimun terinflamasi kronik dalam system imun tubuh,
yang tidak memberikan suatu fungsi perlindungan normal melainkan membentuk
antibodi yang menyerang jaringan dan organ yang sehat. Penyakit radang atau inflamasi
multisistem termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang
melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak
manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks (Sudoyo, Aru dkk,
2009).

2. Etiologi
Penyebab lupus eritematosus masih belum diketahui, namun terdapat banyak bukti
bahwa penyakit istemik lupus erythematosus (SLE) bersifat multifactor, sehingga
etiologinya mencakup :
a. Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu,
kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor
risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan
defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan
berisiko lebih tinggi menderita SLE.
b. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
- Antigen : Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita
lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan
pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak
dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan
sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
- Kelainan intrinsik sel T dan sel B : Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel
B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit
yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel
T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan
produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
- Kelainan antibody : Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen
dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
- Infeksi virus dan bakteri: Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan
dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
- Paparan sinar ultra violet : Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem
imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh
atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin
dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah
- Stres : Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun
tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak
akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
- Obat-obatan : Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.

3. Patofisiologi
(terlampir)

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana
dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang
kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks,
atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Berikut adalah
manifestasi klinis yang terjadi pada penderita SLE menurut Bartels (2011) :
a. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita SLE dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit
dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti
anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit SLE, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita SLE. Penurunan berat
badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab
lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa adanya bukti infeksi
lain seperti leukositosis.
b. Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita SLE, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan poliartritis. Pada
50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat
subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa
osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan
dengan terapi steroid.
Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis
timbul pada penderita SLE< 5% kasus. Osteoporosis sering didapatkan dan
berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.
c. Manifestasi Kulit yang sering didapatkan pada SLE adalah fotosensitivitas,
butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform
dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda
vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren.
d. Manifestasi Kardiovaskular antara lain penyakit perikardial, dapat berupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat
ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang
memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
e. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data
autopsi mendapatkan 50% SLE disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya
vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis
bakterialis. Wanita dengan SLE memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih
tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko
ini meningkat sampai 50%.
f. Manifestasi Paru-paru seringkali bersifat subklinik sehingga foto toraks dan
spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas atau
kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada 60%
kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan dan
secara klinik tidak bermakna. Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada pasien
dengan sindrom antifosfolipid. Pasien dengan nyeri pleuritik dan hipertensi
pulmonal harus dievaluasi terhadap kemungkinan sindrom antifosfolipid dan emboli
paru.
g. Manifestasi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien SLE harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum
dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO
membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik
dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi
ginjal.
h. Manifestasi Hemopoetik
Pada SLE, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik
autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya
leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada SLE
ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran
trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi SLE
setelah ditemukan gambaran SLE yang lain.
i. Manifestasi Susunan Saraf
Keterlibatan Neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati
perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-
fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada
SLE.
Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan,
mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak
memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan
untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.
j. Manifestasi Gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,
peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga
peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis
autoimun.

Manifestasi Klinis ditinjau dari :


a. Sistemik
 Kelelahan
 Lesu
 Demam
 Anoreksia
 Mual
 Penurunan berat badan
b. Muskuloskeletal
 Artralgia/myalgia
 Poliartritis non-erosif
 Deformitas tangan
 Miopati/myositis
 Nekrosis iskemik tulang
c. Kulit
 Fotosensitifitas
 Ruam malar
 Ulkus mulut
 Alopesia
 Ruam discoid
 Vaskulitis
 Ruam lain: makulopapular, urtikaria, bula, lupus kutaneus subakut
d. Hematologi
 Anemia (penyakit kronis)
 Lekopenia (< 4000/m3)
 Limfopenia ( < 1500/m3)
 Trombositopenia ( < 100.000/m3)
 Splenomegali
 Limfadenopati
 Anemia hemolitik
e. Neurologi
 Disfungsi kognitif
 Gangguan mood
 Nyeri kepala
 Kejang
 Mono- atau polineuropati
 Stroke atau TIA
 Acute confusional state atau gangguan gerak
 Meningitis aseptik, mielopati
f. Kardiopulmonar
 Pleuritis, Perikarditis, Efusi
 Miokarditis, Endokarditis
 Pneumonitis lupus
 Penyakit arteri coroner
 Fibrosis interstisial
 Hipertensi pulmonal, ARDS, perdarahan
g. Ginjal
 Proteinuria > 500 mg/24 jam, Cetakan seluler
 Sindroma nefrotik
 Gagal ginjal stadium akhir
h. Gastrointestinal dan Hepar
 Tidak spesifik (anoreksia, mual, nyeri ringan, diare)
 Enzim hati abnormal
 Vaskulitis
i. Trombosis
 Vena
 Arteri
j. Mata
 Sindroma sikka
 Konjungtvitis/episkleritis
 Vaskulitis retina

5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada penderita SLE menurut Bartels (2011),
yaitu :
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada penyakit SLE adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan
urin. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin
tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu,
hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria,
hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel
darah merah pada urin.
b. Pemeriksaan Autoantibodi.
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai proses
imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat
lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya SLE, Arthritis
Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi termasuk
autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis
maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang
mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula
halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan
terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper
dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan
atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide
terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan
sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan
mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan ini
semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya usia
seseorang.
Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit. Oleh
karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses
patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun
dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi.
Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian penyakit
autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi baru
dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik autoimun
apabila ia berperan dalam proses patologiknya.
 Antibodi Antinuklear
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang
spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada
connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective
Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogren’s primer. ANA pertama kali
ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita
LES. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan
spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP),
Ro/SS-A dan La/SS-B.
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA
digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.
Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan
pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40%
pada penderita skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang
berusia > 70 tahun.
 Antibodi terhadap DNA
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang
reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif
dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti
diagnostik dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan pada
sindrom Sjogrens, arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA
menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit.
c. Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.
Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi
oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai mediator
yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen merupakan salah
satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan bekerja secara berantai
(self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis.
Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama
adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada penderita dengan eksaserbasi,
penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.

6. Penatalaksanaan
Obat-obat lupus secara umum :
a. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang
efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan
secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan
tekanan darah dan merusak fungsi ginjal.
b. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama.
Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi
pada Odapus. Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti
pemriksaan serial kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif
seperti kalsium dan bifosfonat.
Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama dalam terapi
steroid, terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi obat imunosupresan.
Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan
obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu,
obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus.
c. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan disbanding kloroquin
karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Pasien dianjurkan
untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini
kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi
hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk
jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek
anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap
serta cukup aman pada kehamilan.
d. Immunosupresan
 Azathioprine
Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi
biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel
sistem kekebalan tubuh. Mual adalah efek samping yang umum terjadi,
sedangkan leukopenia dan trombositopenia terjadi hanya pada sekitar 4%
kasus. Pemantauan efek obat bisa menjadi masalah jika odapus sudah
memiliki gejala klinis tersebut..
 Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis
purin,proliferasi limfosit dan responsel T antibodi. Dibandingkan
siklofosfamid,MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung
telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau
alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik
ditoleransi daripada azathioprine namun kontra indikasi dalam kehamilan,
sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur bila disertai
penggunaan kontrasepsiyang dapat diandalkan. Karena panjangnya waktu
paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum
konsepsi yang direncanakan.
 Cyclosporin
Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsiefektorlimfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatinin
serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi sehingga
pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting. Obat ini dianggap
aman untuk digunakan selama kehamilan dalam dosis efektif terendah
dengan memonitorsecara seksama tekanan darah dan fungsi ginjal.
 Cyclophosphamide
Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang
mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Obat ini juga
banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan
penyakit paruberat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian atau sebagai
infus intravena. Sesuai dengan keparahan penyakit. Efek samping utama
yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko infeksi, kegagalan
fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan peningkatan risiko
keganasan. Obat ini mengganggu fungsi organ reproduksi baik pada pria
maupun wanita. Sehingga penggunaan obat harus dihentikan tiga bulan
sebelum konsepsi.
 Rituximab
Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial
dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan
kombinasi dengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan
penurunan tingkat autoantibodi. Rituximab telah menyebabkan kemajuan
dramatis pada beberapa odapus. Saat ini Rituximab termasuk salah satu
obat yang menjanjikan untuk Lupus.
Penatalaksanaan SLE :
1. Penyuluhan dan intervensi psikososial
Terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan
penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk kelompok
penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya.
Pada umumnya, penderita SLE mengalami foto sensitivitas sehingga penderita harus
selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka
dinasihatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan
panjang, topi atau paying bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga
harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita SLE juga
harus menghindari rokok.
2. Pengaturan kehamilan
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita SLE, terutama penderita
dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan
kontraindikasi untuk kehamilan. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi
akut SLE dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan
aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
3. Obat anti inflamasi termasuk aspirin atau obat anti inflamasi non steroid lainnya
digunakan untuk mengobati demam dan artritis
4. Kortikosterid sistemik digunakan untuk mengobati atau mencegah patologi ginjal dan
susunan saraf pusat
5. Obat anti inflamasi, seperti metotreksat dan obat sitotoksik (azatioprin) digunakan
jika steroid tidak efektif atau gejala berat
6. Obat antimalaria digunakan untuk mengobati ruam kulit, arthritis dan gejala lain.

7. Komplikasi
 Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita SLE. Gagal ginjal
dapat terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada glomerulus disertai
dengan pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel.
 Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikardium yang mengelilingi
jantung).
 Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasi pernapasan.
Sering terjadi bronkitis.
 Dapat terjadi vaskulitis disemua pembuluh serebrum dan perifer.
 Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan
kepribadian, termasuk psikosis dan depresi, dapat terjadi. Perubahan kepribadian
mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya.

8. Pencegahan
Pada umumnya, ilmu dalam medis hanya memastikan agar kita semua dapat
menjalani pola hidup sehat meliputi pola makan sehat, istirahat cukup, olahraga teratur,
menjauhi minuman keras, rokok, bekerja terlalu lelah, serta banyak mengkonsumsi
sayuran dan buah-buahan kedalam menu harian. Satu set kegiatan dan pola hidup
sehat tersebut selalu diyakini berfungsi untuk membentuk sistem imun tubuh sehingga
dapat menjauhkan manusia dari penyakit apapun juga. Apabila seseorang menderita
penyakit lupus oleh karena sebab genetik, maka dengan menjalani pola hidup sehat
yang disebutkan, penyakit lupus akan dapat ‘ditekan’ atau dibuat ‘tidur’ sehingga tidak
menimbulkan gejala – gejala maupun gangguan.

Untuk mencegah kambuhnya SLE, penderita Lupus disarankan melakukan hal-


hal sebagai berikut:
 Menghindari stress dan trauma fisik.
 Menghindari merokok
 Menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi.
 Melakukan istirahat yang cukup. Kelelahan dan aktivitas fisik yang berlebih bisa
memicu kambuhnya SLE.
 Menghindari infeksi. Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi, dan
kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi.
 Menghindari paparan sinar matahari, khususnya pukul 09.00-15.00 karena
pasien SLE cenderung sensitive terhadap sinar ultraviolet. Kulit yang terkena
sinar matahari dapat menimbulkan kelainan kulit seperti timbulnya bercak
kemerahan yang menonjol/ menebal.
 Menghindari obat-obatan yang mengandung hormon estrogen, seperti pil KB/
kontrasepsi (Robert, 2009).
Asuhan Keperawatan

Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra
diri pasien.
2. Kulit : Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
a. Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
b. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
4. Sistem Muskuloskeletal : Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integument
a. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
b. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan : Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler : Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal : Edema dan hematuria.
9. Sistem Saraf : Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang.

Diagnosa Keperawatan
 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan lapisan kulit
 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan dispnea
 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
 Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit.
 Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan imun

Intervensi
1. Kerusakan Integritas Kulit b.d Kerusakan Lapisan Kulit
NOC : Tissue Integrity: Skin & Mucous Membranes
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepewatan diharapkan kerusakan kulit
berkurang/ hilang dengan criteria hasil :
 Tidak ada eritema pada kulit
 Tekstur dan ketebalan jaringan normal
 Perfusi jaringan normal
 Tidak ada tanda atau gejala infeksi
 Tidak ada lesi
 Tidak terjadi nekrosis
Skala penilaian NOC :
1. Bisa dikompromi
2. Signifikan bisa dikompromi
3. Cukup bisa dikompromi
4. Agak bisa dikompromi
5. Tidak bisa dikompromi
NIC : Skin Surveillance
1. Monitor warna dan suhu kulit
2. Monitor kulit dan membran mukosa pada area yang memar atau mengalami
kerusakan
3. Monitor ruam dan abrasi pada kulit
4. Monitor terjadinya infeksi khususnya pada area edema
5. Dokumentasikan perubahan membran mukosa dan kulit
6. Instruksikan keluarga tentang tanda kerusakan kulit
NIC : Skin Care: Topical Treatments
1. Bersihkan kulit dengan sabun antibakteri
2. Pijat disekitar area infeksi
3. Jaga kasur tetap bersih dan kering
4. Ajarkan toilet hygiene
5. Gunakan antibiotik topical disekitar luka.

2. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Dispnea


NOC : Respiratory Status : Ventilation
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola nafas efektif
dengan kriteria hasil :
 RR dengan batas normal
 Irama nafas normal
 Tidak ada dispnea
 Suara perkusi normal
 Tidak ada traktil fremitus
 Kapasitas vital normal
Skala penilaian NOC :
1. Berada pada batas normal
2. Signifikan berada pada batas normal
3. Cukup berada pada batas normal
4. Agak berada pada batas normal
5. Tidak berada pada batas normal
NIC : Oxygen therapy
1. Bersihkan mulut dan hidung dan secret trachea
2. Pertahankan jalan nafas yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
NIC : Vital sign monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu da RR
2. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
3. Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit

3. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Cairan Aktif


NOC : Fluid balace
Tujuan : setalah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan terjadi keseimbangan
cairan dengan criteria hasil :
 TD normal
 Keseimbangan masukan dan haluaran selama 24 jam
 Berat badan seimbang
 Turgor kulit normal
 Membrane mukosa normal
 Turgor kulit baik
Skala penilaian NOC :
1. Bisa dikompromi
2. Signifikan bisa dikompromi
3. Cukup bisa dikompromi
4. Agak bisa dikompromi
5. Tidak bisa dikompromi

NIC : Fluid management


1. Timbang popok jika diperlukan
2. Pertahankan intake dan output
3. Monitor status hidrasi
4. Monitor TTV
5. Dorong kluarga untuk membantu pasien makan
4. Gangguan citra tubuh b.d penyakit.
NOC : Self esteem
Tujuan : setalah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan akan timbul rasa percaya
diri dengan criteria hasil :
 Dapat menerima kekurangan pada diri sendiri
 Dapat membuka komunikasi
 Menerima kritik yang membangun
 Dapat mempertahankan kontak mata
 Dapat merasakan akan kelayakan diri
 Dapat mempertahankan postur tubuh dengan tegak
Skala penilaian NOC :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Selalu

NIC : Self Esteem Enhancement


1. Dorong kontak mata pada saat berkomunikasi dengan orang lain
2. Dorong pasien untuk menguatkan identitas
3. Buatlah pernyataan positiv kepada pasien
4. Ajarkan keluarga untuk mengakui prestasi anaknya
5. Monitor tingkatan kepercayaan diri setiap waktu.

5. Resiko infeksi b.d penurunan imun


NOC : Immune status
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepewatan diharapkan tidak terjadi infeksi dengan
criteria hasil :
 Status gastrointestinal normal
 Status respirasi normal
 Suhu tubuh normal
 Integritas kulit normal
 Tidak menunjukan kelemahan
 Menunjukan kekebalan tubuh
Skala penilaian NOC :
1. Tidak pernah menujukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan

NIC : Imunisation / Vaccination Administration


1. Ajarkan orang tua untuk mengikuti jadwal vaksinasi
2. Ajarkan keluarga untuk melakukan vaksinasi seperti kolera, influenza, rabies, demam
typhoid, tifus, TBC.
3. Sediakan informasi mengenai imunisasi
4. Pantau pasien setelah mendapat imunisasi
5. Identifikasi kontra indikasi dari pemberian imunisasi seperti panas.
DAFTAR PUSTAKA

Bartels CM, Krause RS, Lakdawala VS, et al. 2011. Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/ 332244-overview.

Baughman, Diane C. 2008. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku Brunner and Suddarth;
Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC.

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima.
Jakarta: Interna Publishing ; 2565-2579.

Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams:Panduan Ringkas Ed 21; Jakarta: Penerbit


Kedokteran EGC.

Matulessy, Tirza G. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) ( Tesis ). Jakarta ( Indonesia ) : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Robert Eisenberg. 2009. SLE - Rituximab in lupus. WEB:


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC165056. Diakses pada tanggal 14
Agustus 2017 Pkl. 21.00 WIB.

Rusi M, Syamsi dan Ramona P, Kapoh. 2009. Obstetri dan Ginekologi : Panduan Praktik,
Ed. 2. Jakarta : EGC .

Anda mungkin juga menyukai