Anda di halaman 1dari 23

Trombositopenia Idiopatik Purpura

Valencia Suwardi
102012404
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat
Latar Belakang
Trombositopenia adalah suatu kekurangan trombosit, yang merupakan
bagian dari pembekuan darah. Pada orang normal jumlah trombosit di dalam sirkulasi
berkisar antara 150.000-450000/ul, rata-rata berumur 7-10 hari kira-kira 1/3 dari
jumlah trombosit di dalam sirkulasi darah mengalami penghancuran di dalam limpa
oleh karena itu untuk mempertahankan jumlah trombosit supaya tetap normal di
produksi 150.000-450000 sel trombosit perhari. Jika jumlah trombosit kurang dari
30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun biasanya gangguan baru
timbul jika jumlah trombosit mencapai kurang dari 10.000/mL
Trombositopenia dapat bersifat kongenital atau di dapat, dan terjadi akibat
penurunan reproduksi trombosit, seperti pada anemia aplastik, mielofibrosis, terapi
radiasi atau leukimia, peningkatan penghancuran trombosit, seperti pada infeksi
tertentu ; toksisitas obat, atau koagulasi intravaskuler, diseminasi (DIC); distribusi
abnormal atau sekuestrasi pada limpa ; atau trombositopenia dilusional setelah
hemoragi atau tranfusi sel darah merah.
Trombositipenia didefinisikan juga sebagai jumlah trombosit kurang dari
100.000/mm3. jumlah trombosit yang rendah ini merupakan akibat berkurangnya
produksi atau meningkatnya penghancuran trombosit. Namun, umumnya tidak ada
manifestasi klinis hingga jumlahnya kurang dari 100.000/mm3dan lebih lanjut
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan lain yang mendasari atau yang menyertai, seperti
penyakit hati atau leukimia. Ekimosis yang bertambah dan pendarahan yang
memanjang akibat trauma ringan terjadi pada kadar trombosit kurang dari
50.000/mm3. Petekie merupakan maniferstasi utama, dengan jumlah trombosit kurang
dari 30.000/mm3. terjadi perdarahan mukosa, jaringan dalam, dan intrakranial dengan
jumlah trombosit kurang dari 20.000, dan memerlukan tindaka segera untuk
mencegah perdarahan dan kematian.

Trombositopenia (jumlah platelet kurang dari 80.000/ mm3) penyebab


tersering dari perdarahan abnormal karena produksi platelet yang menurun, atau pun
peninggian sekuestrasi atau destruksi yang bertambah. Penyebab penurunan produksi
platelet antaranya anemia aplastik, leukemia, keadaan gagal sumsum tulang lain, dan
setelah terapi khemoterapi sitotoksik. Penyebab peninggian destruksi platelet
antaranya trombositopenik purpura idiopatik (autoimun), trombositopenia sekunder
atau yang diinduksi obat-obatan, purpura trombositopenia trombotik, sindroma
uremik hemolitik, koagulasi intravaskuler diseminata, dan vaskulitis.
Secara umum, jumlah platelet lebih dari 50.000/mm3 tidak berkaitan
dengan komplikasi perdarahan yang bermakna, dan perdarahan spontan berat jarang
dengan jumlah platelet lebih dari 20.000/mm3. Walau jarang, PIS spontan bisa terjadi
dan khas dengan onset yang tak jelas dari nyeri kepala, diikuti perburukan tingkat
kesadaran. Hematom subdural lebih jarang.
Penurunan produksi trombosit (platelets), dibuktikan dengan aspirasi dan
biopsi sumsum tulang, dijumpai pada segala kondisi yang mengganggu atau
menghambat fungsi sumsum tulang. Kondisi ini meliputi anemia aplastik,
mielofibrosis(penggantian unsur-unsur sumsum tulang dengan jaringan fibrosa),
leukemia akut, dan karsinoma metastatik lain yang mengganti unsur-unsur sumsum
normal. Agen-agen kemoterapeutik terutama bersifat toksik terhadap sum-sum tulang,
menekan produksi trombosit. Keadaan trombositopenia dengan produksi trombosit
normal biasanya disebabkan oleh penghancuran atau penyimpanan yang berlebihan.
Segala kondisi yang menyebabkan spenomegal(lien membesar) dapat disertai
trobositopenia.
Trombosit dapat juga dihancurkan oleh produksi anti bodi yang diinduksi
oleh obat seperti yang ditemukan pada quidinin dan emas. Atau oleh autoantibodi(anti
bodi yang bekerja melawan jaringannya sendiri). Antibodi-antibodi ini ditemukan
pada penyakit seperti lupus eritematosus, leukimia limfositik kronis, limfoma tertentu,
dan purpura trombositopenik idiopatik (ITP).
ITP terutama ditemukan pada perempuan muda, bermanifestasi sebagai
trombositopenia yang mengancam jiwa dengan jumlah trombosit yang sering kurang
dari 10.000/mm3. antibodi Ig G yang ditemukan pada membran trombosit dan
meningkatnya pembuangan dan penghancuran trombosit oleh sistem makrofag.
Trombositopenia berat dapat mengakibatkan kmatian akibat kehilangan
darah atau perdarahan dalam organ-organ vital. Insiden untuk ITP adalah 50-100 juta
2

kasus baru setiap tahun. Dengan anak melingkupi separuh daripada bilangan tersebut.
Kejadian atau insiden immune Trombositopenia Purpura diperkirakan 5 kasus per
100.000 anak-ana dan 2 kasus per 100.000 orang dewasa. Tetapi data tersebut dari
populasi atau perkumpulan berbasis pendidikan yang sangat luas. Kebanyakan kasus
akut Immune trombositopenia purpura (ITP) yang pada umumnya terjadi pada anakanak kurang mendapatkan perhatian medis. Immune trombositopenia purpura (ITP)
dilaporkan 9,5 per 100.000 orang di Maryland.
Anamnesis
1. Identitas pasien:
a. Nama:
b. Umur:
c. Jenis kelamin:
d. Suku bangsa:
e. Agama:
f. Pendidikan:
g. Pekerjaan:
h. Status perkawinan
i. Alamat
2. Keluhan utama:
Kaki dan lengan memar 6 bulan yang lalu. Kalau tersenggol atau terbentur
langsung memar.
3. Riwayat penyakit sekarang:
Mimisan dan gusi berdarah beberapa kali, tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan
saat ini.
Adapun beberapa hal yang bisa kita tanyanya:
Sejak kapan terjadinya? Trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi
bakteri atau virus (infeksi saluran nafas atas atau saluran cerna), misalnya
Rubella, Rubeola, Chicken Pox atau vaksinasi dengan virus hidup

Bagaimana Riwayat perdarahan? gejala dan tipe perdarahan? lama


perdarahan? riwayat sebelum perdarahan.?

Apakah selama ini mengkonsumsi obat-obat seperti: heparin, sulfonamid,


quinidine/quinine, aspirin?

4. Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat mestruasi baik (lamanya maupun darah yang keluar masih dalam batas
wajar)
5. Riwaya keluarga:
Tidak ada keluarga yang mendetita penyakit serupa
Yang perlu di tanyakan juga adalah:
3

Apakah dalam keluarga ada yang menderita trombositopenia atau kelainan


hematologi?
Dalam skenario dikatakan bahwa seorang perempuan datang ke IGD karena lengan
dan kaki mudah memar. Ia jg mengatakan gusinya mudah berdarah, dan terkadang mimisan.
Sebelumnya pasien mengalami hal ini , memar ditubuh sangat mudah muncul walaupun
hanya terbentur ringan. Hal ini sudah terjadi selama 6 bulan terakhir, hilang timbul tidak ada
riwayat penyakit keluarga seperti ini. TD : 120/80 mmHg, HR : 80x/mnt, afebris. Ditemukan
beberapa ptekie dan purpura dilengan dan kaki.tidak terdapat organomegali.
Hasil dari lab :
Eritrosit : 4,52x 106/mm3
Hb : 13,4 g/dl
Ht : 37,2 %
MCV : 82,3 fl
MCH : 29,4 pg
MCHC : 35,9 g/dl
RDW : 12,1
Leukosit : 5.300/mm3
N : 44
L: 39
M :14
E :1
B:2
Trombosit : 50.000/mm3
Pemeriksaan Fisik & Penunjang
a. Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien dengan perdarahan tanpa trauma meliputi:
-

Observasi umum terhadap pasien yang baru datang meliputi keadaan umum, dan
tanda-tanda vital. Biasanya tanda vital ini dalam parameter yang normal, keadaan
umum dapat bervariasi sesuai dengan kapan pasien datang, dalam kasus yang kita
dapat os datang dengan keadaan umum tampak sakit ringan, dan compos mentis. 3
4

Pemeriksaan klinik mengenai adanya perdarahan pada kulit atau mukosa, hal ini
memang sudah didapat di dalam anamnesa, namun kita tentu dapat memeriksanya
dengan inspeksi untuk melihat kemungkinan-kemungkinan perdarahan (petechie,
echymosis). Untuk menguji faal trombosit dengan uji bending atau Rumpel & Leede)
selain itu melalui percobaan ini terdapat factor kerapuhan pembuluh darah. Cara uji
bending ialah memasangkan manset tensimeter dan memompa sampai 100 mmHg
sampai 10 menit. Lalu hitung jumlah petechiae. Tes ini positif jika jumlah petechiae
lebih dari 10. 3
Purpura sering dijumpai pada kasus dermatologi dan hematologi, dan sering pula
berhubungan atau menyertai penyakit lain. Purpura adalah ekstravasasi sel darah
merah (eritrosit) ke kulit lendir (mukosa), dengan manifestasi berupa macula
kemerahan yang tidak hilang pada penekanan. Kadang-kadang purpura dapat diraba
(palpable purpura). Purpura secara perlahan mengalami perubahan warna, mula-mula
merah menjadi kebiruan, disusul warna coklat kekuningan dan akhirnya memudar dan
hilang. Menurut ukuran besarnya dibedakan atas: 3,4
1. Ptekie, purpura superficial berukuran miliar atau dengan diameter kira-kira
berukuran 3mm, mula bewarna merah kemudian menjadi coklat seperti karat besi.
2. Ekismosis, ukurannya lebih besar dan letaknya lebih dalam dari ptekie, bewarna
biru kehitaman.
3. Sugulasio, bila ukuran purpura nummular.
4. Hematoma, bila darah berkumpul di jaringan membentuk tumor dengan konsistensi

yang padat.
Kemungkinan perdarahan yang kita periksa diatas merupakan gejala utama, namun
awitan penyakit mempengaruhi perdarahan, biasanya pada anak akan terjadi penyakit
akut, perdarahannya ringan serta dapat remisi. Namun ternyata pada dewasa
cenderung penyakit bersifat kronik. Seperti telah dijelaskan perdarahan berupa

ekimosis, petekie, dan purpura dan hal ini berkaitan dengan jumlah trombosit.
Pemeriksaan terhadap organ hati dan limpa dapat diperiksa, pada sekitar10% dari
kasus ITP didapatkan splenomegali. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan

kompensasi yang dilakukan akibat trombosit yang berkurang.3


Kasus yang lebih berat dapat terjadi perdarahan mukosa. Pada kasus yang paling
berat, dapat terjadi perdarahan CNS. Perdarahan biasanya tidak terjadi sampai jumlah
hitung trombosit turun hingga dibawah 10x109/L. pasien dengan jumlah hitung
trombosit sekitar 40x109/L (dan belum menggunakan medikasi) tidak memiliki
manifestasi perdarahan dan dapat asimtomatik. Bila pasien dengan AT>50.000/mL
maka

biasanya

pasien

asimtomatik,
5

AT

30.000-50.000/mL

terdapat

luka

memar/hematom, AT 10.000-30.000/mL terdapat perdarahan spontan, menoragi dan


perdarahan memanjang bila ada luka, AT<10.000/mL terjadi perdarahan mukosa dan
-

resiko perdarahan system saraf pusat. 3


Keluhan perdarahan pada berbagai penyakit hemostasis termasuk ITP, maka kita juga
memeriksa kemungkinan anemia dengan memeriksa konjungtiva, sclera. Yang

semuanya dalam kasus seperti ini dalam batas normal.


Kecurigaan penyakit dari hidung karena epistaksis harus diperiksa, maka pada
pemeriksaan hidung dalam batas normal, selain itu kelenjar getah bening dan
pemeriksaan fisik torak serta abdomen juga diperiksa untuk menyingkirkan penyakitpenyakit lain misalnya infeksi, namun pada kasus hematologi ini infeksi lebih rentan
terjadi terutama yang akut pada anak. 3

b. Penunjang
Tes Darah Lengkap
Pemeriksaan Darah Lengkap (Complete Blood Count / CBC) yaitu suatu jenis pemeriksaaan
penyaring untuk menunjang diagnosa suatu penyakit dan atau untuk melihat bagaimana
respon tubuh terhadap suatu penyakit. Disamping itu juga pemeriksaan ini sering dilakukan
untuk melihat kemajuan atau respon terapi pada pasien yang menderita suatu penyakit . 5
a. Kadar Hemoglobin (Hb)
Hb merupakan zat protein yang ditemukan di eritrosit yang memberi warna merah pada
darah. Kadar hemoglobin biasanya menurun pada anemia. Namun seseorang pasien itu
dikatakan

tidak

anemik

sampai

kadar

hemoglobin

<

10.5

dapat menyebabkan rendahnya kadar Hb darah jika tidak segera diganti

g/dl.
namun

Perdarahan
kadarnya

tidak menurun dengan cepat dan akan tetap normal selama beberapa jam, bahkan beberapa
hari. Peningkatan hemoglobin akan terjadi sekiranya terdapat dehidrasi.
Setelah klien diberikan penggantian pencairan, kadar hemoglobin harus kembali kerentang
normal. 5
Tabel 1. Nilai Rujukan Hb
DEWASA
Pria : 13 17 g/dL
Wanita : 12 15 g/dL

ANAK
BBL : 14 24 g/dL
Bayi : 10 17 g/dL
Anak : 11 -16 g/dL

b. Hitung leukosit, trombosit, eritrosit


Hitung sel darah adalah suatu pemeriksaan untuk menentukan jumlah seldalam setiap
mikroliter darah. Ketetapan dan ketelitian hasil pemeriksaan inisangat tergantung dari
6

ketetapan dan ketelitian pengenceran volume darah yang diperiksa dan kecermatan ketika
menghitung sel tersebut dengan menggunakan mikroskopik. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cara manual atau automatik. Cara manual dilakukan dengan melakukan pengenceran
darah dalam suatu larutan tertentu. Selanjutnya sel darah dalam volume pengenceran akan
dihitung dengan menggunakan kamar hitung. Kamar hitung yang lazim

digunakan

adalah

kamar hitung Improved Neubauer. Dengan cara automatik, penghitungan sel menjadi lebih
mudah, lebih cepat dan teliti. Kelemahannya adalah biayanya yang lebih mahal dan
memerlukan perawatan yang cermat. 5
Tabel 2. Nilai rujukan
Eritrosit
Pria: 4.5 5.9 106/L atau

Leukosit
4.5 11 103/L atau

Trombosit
150 350 103/L atau

4.5 5.9 109 L


Wanita: 4 4.2 106/L atau 4

4.5 11 109 L

150- 350 109 L

5.2 109 L

c. Laju endap darah (LED)


LED adalah laju sel darah merah menetap dalam darah sebelum membeku,dengan
satuan milimeter per jam (mm/jam). Dapat dilakukan dalam dua metode yaitu metode
Westergren dan Wintrobe.
LED dapat meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis,kerusakan
jaringan (nekrosis), reumatoid, penyakit kolagen, malignansi dankondisi stres fisiologis
seperti masa kehamilan. 5
LED dapat menurun pada polisitemia vera, CHF, anemia sel sabit,mononukleosis infeksius,
defisiensi faktor V, artritis degenaratif, angina pektoris. 5
Tabel 3. Nilai rujukan LED

d. Hitung retikulosit
Berdasarkan hasil pemeriksaan hitung retikulosit dapat dinilai aktivitaseritropoiesis. Bila akti
vitas eritropoiesis meningkat maka jumlah retikulosit meningkat. Peningkatan aktivitas
eritropoiesis dapat dijumpai pada pasca pendarahan,anemia hemolitik, dan pengobatan
anemia yang berhasil.
Tabel 4. Nilai rujukan hitung retikulosit

Sediaan hapus darah tepi untuk menilai morfologi trombosit

Pemeriksaan sediaan hapus darah tepi termasuklah pemeriksaan laboratorium rutin yang
bertujuan mengevaluasi morfologi sel darah tepi. Pada pemeriksaan ini yang dilihat adalah
keadaan eritrosit, leukosit, trombosit. Dalam kasus terfokuskan untuk melihat morfologi
trombosit. Dengan pemeriksaan sediaan hapus darah tepi dapat diperkirakan jumlah
trombosit. Dalam keadaan normal terdapat 4-8 trombosit/100 eritrosit. Selain itu perlu
diperhatikan pual ada tidaknya kelainan morfologi trombosit seperti giant thrombocyte atau
atypical thrombocyte. 5

Nilai eritrosit rata-rata

a. Volume Eritrosit Rata-rata (VER)


VER = Ht (%) / E (juta/dl) x 10 (fL)
*Nilai rujukan : 82 92 Fl
b. Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (HER)
HER = Hb (g/dl) / E (juta/uL) x 10 (pg)
*Nilai rujukan : 27 31 pg
c. Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-rata (KHER)
KHER = Hb (g/dl) / Ht (%) x 100 %
* Nilai rujukan : 32 37 %

Tes Hemostasis

Perlu dilakukan pada keadaan symptom perdarahan, riwayat perdarahan dalam keluarga,
sebelum pembedahan. Terbagi menjadi: 5
8

1. Tes Penyaring
a.
b.
c.
d.

Masa perdarahan (bleeding time)


Percobaan pembendungan (Rumple & Leede)
Hitung trombosit (platelet count)
Masa protrombin (prothrombin time), menguji pembekuan darah jalan ekstrinsik dan
jalan bersama. Nilai normal: 11.1 - 13.1 detik. Pelaporan dalam International

Normalised Ratio (INR) Normal: INR = 1.


e. Masa tromboplatin parsial teraktivasi ( activated partial thromboplastin time= aPPT),
menguji pembekuan darah jalan intrinsic dan jalan bersama. Normal aPTT: <34 detik.
f. Masa thrombin (thrombin time), menguji perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
Normal 16-24 detik.
g. Tes skrining untuk faktor XIII, tidak dapat ditetapkan dengan pemeriksaan masa
protrombin, aPTT atau masa thrombin.
2. Tes khusus

Platelet aggregation (dengan Adenosis Diphosphate = ADP, epinephrin,ristocetin)


Fibrin degration product (FDP), D dimer
Thrombotest
Antithrombin III
Protein C
Protein S
Assai F. VIII, F. IX
Von Willerbrands factor
Thromboplastin Generation Test (TGT)
Protrombin Consumption Test (PCT)
Thrombin antithrombin complex
Prothrombin fragment 1.1
Fibrinopeptida A
Fibrin monomer complex

Tes sumsum tulang

Tes yang dapat membantu mengidentifikasi penyebab trombosit yang rendah adalah sebuah
ujian sumsum tulang. Trombosit diproduksi di sumsum tulang yaitu bagian yang lunak dan
mempunyai jaringan spons di pusat tulang besar. Dalam beberapa kasus, sample sumsum
tulang padat dibuang disebuah prosedur yang disbeut biopsy sumsum tulang. Selain itu
bisa juga dilakukan aspirasi sum-sum tulang yang mehilangkan bagian cairan pada tulang.
Pada kebanyakan kasus, kedua-dua sampel sumsum tulang pada dan cair diambil di tempat
yang sama di bagian belakang salah satu tulang pinggul.Jarum dimasukkan ke dalam tulang
melalui satu insisi. Hasil yang didapatkan ialah peningkatan jumlah megakariosit serta ada

gambaran multinuclearity serta lobulasi. Hal ini disebabkan karena kompensasi oleh sumsum
tulang terhadap keadaan trombositopenia. 5,6
Diagnosis Banding
Trombotic Thrombocytopenic Purpura (TTP)
Trombositopenia purpura merupakan respon imunologi yang berlebihan
terhadap kerusakan pembuluh darah yang menyebabkan pembentukan pembekuan yang
luas dan menurunnya aliran darah di tempat tersebut. Merupakan suatu penyakit yang
berakibat fatal dan jarang terjadi, dimana secara tiba-tiba terbentuk bekuan-bekuan darah
kecil diseluruh tubuh, yang menyebabkan penurunan tajam jumlah trombosit dan sel-sel
darah merah, demam dan kerusakan berbagai organ. Adanya
trombosit

& aktivitas pembekuan dalam

agregasi spontan dari

pembuluh darah kecil dengan

adanya

kompleksitas trombosit-fibrin membentuk mikrotrombin pada sirkulasi vaskuler sel darah


merah menjadi rusak sehingga terjadi hemolisis.7
Manifestasi Klinis
1. Tanda-tanda gangguan neurologi: penurunan kesadaran, gangguan status
mental,stroke,dan sakit kepala
2. Gagal ginjal, gagal jantung,aritmia, hipertensi berat
3. Demam,nyeri otot dan sendi
4. Adanya purpura
5. Anemia hemolitik
6. Mual,muntah karena iskemia pada saluran pencernaan,nyeri dada karena iskemia
Jantung
Drug induced immune thrombocytopenia
Beberapa jenis obat seperti quinine, sedormid, heparin serta garam emas dapat
menyebabkan timbulnya trombositopenia. Mekanisme ini dapat terjadi akibat pengaruh
sistem imun. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menanyakan riwayat pemakaian obat
saat melakukan anamnesis pasien. Quinine merupakan suatu obat malaria bagi
Plasmodium falciparum. Penggunaan obat ini dalam jangka waktu yang lama dapat
10

menyebabkan kegagalan hemostasis yang bermanifestasi klinik sebagai purpura maupun


ekimosis, serta perdarahan pada sistem saraf pusat. Mekanismenya dicurigai karena
kompleks imun yang tertarik oleh glikoprotein 1b pada keping darah yang kemudian
dihancurkan oleh sistem retikulo endotelial.8
Garam emas yang digunakan sebagai pengobatan rheumatoid arthritis dapat
menyebabkan trombositopenia dengan onset yang cepat. Hal ini dicurigai karena adanya
peranan HLA DR3. Pada pasien yang mengalami rheumatoid arthritis, penggunaan NSAID
dapat menyebabkan depresi sumsum tulang dan hipersplenisme yang juga dapat
menyebabkan trombositopenia. 8
Heparin merupakan suatu obat antikoagulasi yang bekerja dengan cara berikatan
pada antitrombin-3 yang kemudian meningkatkan aktivitasnya sehingga menghambat
terjadinya koagulasi darah. Trombosititopenia yang terjadi akibat penggunaan heparin
biasanya ringan. Trombositopenia dengan derajat yang lebih berat dapat terlihat jika
heparin digunakan dalam jangka waktu 7-14 hari. Peningkatan IgG dan C3 pada platelet
dicurigai dapat menyebabkan terbentuknya kompleks heparin-platelet. Hal ini akan
mempersulit saat dilakukan pengobatan karena dapat muncul trombosis karena adanya
kompleks ini. Sedangkan heparin merupakan obat yang digunakan dalam kondisi ini. Oleh
karena ini harus digunakan antikoagulan lain seperti warfarin dan streptokinase untuk
mengatasi trombosis tersebut. 8

Diagnosis Kerja
Purpura trombositopenik idiopatik atau idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)
secara klinis dibagi menjadi 2 golongan yaitu ITP akut dan ITP kronik. ITP kronik lebih
banyak pada wanita dewasa dan berjalan menahun. Sebagian besar ITP kronik timbul karena
proses autoimun, timbulnya autoantibody terhadapt antigen trombosit sendiri, sehingga
terjadi destruksi trombosit dalam darah tepi. Gambaran klinis berupa perdarahan kulit yaitu
purpura, dapat dalam bentuk ptekhie atau ekismosis, perdarahan mukosa dan pada wanita
terutama dalam bentuk menorrhagia. Diagnosis ditegakkan jika terdapat trombositopenia
pada darah tepi dengan sumsum tulang menunjukkan megakariosit normal atau meningkat.
Diagnosis ditunjang dengan adanya antibody antitrombosit, serta ekslusi terhdapat penyebab
trombositopenia sekunder. ITP pada orang dewasa biasanya berjalan pelan-pelan. Kegawatan
dapat timbul jika terjadi trombositopenia berat yang menimbulkan perdarahan. Penderita
dengan trombosit <20.000/mm3 akan disertai perdarahan kulit (ekismosis & ptekhie),

11

bruishing dan perdarahan mukosa. Jika trombosit < 10.000/mm3 dapat menimbulkan bahaya
perdarahan otak atau perdarahan GIT dengan angka kematian 40%.

Etiologi
Penyakit ini sering timbul terkait dengan sensitisasi oleh infeksi virus; pada kirakira70% kasus ada penyakit yang mendahului seperti rubella, rubeola, atau infeksi saluran
nafas virus. Jarak waktu antara infeksi dan awitan purpura rata-rata 2 minggu.
Seperti pada bentuk dewasa, tampaknya mekanisme imun merupakan dasar pada
trombositopenia. Antibody

trombosit dapat

ditemukan

pada beberapa kasus akut.

Kenaikan jumlah IgG telah ditemukan terikat pada trombosit dan menunjukkan kompleks
imun yang terabsorpsi pada permukaan trombosit. Tidak ada uji masa kini yang konsisten
dapat diandalkan untuk diagnosis serologic ITP. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi
dikemukakan berbagai kemungkinan diantaranya ialah hipersplenisme, infeksi virus (demam
berdarah, morbili, variseladan sebagainya), intoksikasi makanan atau obat (asetosal, PAS,
fenilbutazon, diamox,kina, sedormid) atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, pana),
kekurangan factor pematangan (misalnya malnutrisi), DIC (misalnya pada DSS, leukemia,
respiratory distress syndrome pada neonatus) dan terakhir dikemukakan bahwa ITP ini
terutama yang menahun merupakan penyakit autoimun. Hal ini diketahui dengan
ditemukannya zat anti terhadap trombosit dalam darah penderita. Pada neonatus kadangkadang ditemukan trombositopenia neonatal yang disebabkan inkompabilitas golongan darah
trombosit antara ibu dan bayi (isoimunisasi). Prinsip patogenesisnya sama dengan
inkompabilitas

rhesus

atau

ABO.

Jenis

antibody

trombosit

yang

sering

ditemukan pada kasus yang mempunyai dasar imunologis ialah anti P1E1 dan anti P1E2.
Mencari kemungkinan penyebab ITP ini penting untuk menentukan pengobatan, penilaian
pengobatan dan prognosis.9

Epidemiologi
Insiden ITP pada anak antara 4,0-5,3/100.000, ITP akut umumnya terjadi pada
anak-anak usia antara 2-6 tahun. 7-28% anak-anak dengan ITP akut berkembang menjadi
kronik 15-20%. ITP pada anak berkembang menjadi bentuk ITP kronik pada beberapa kasus
menyerupai ITP dewasa yang khas. Insiden ITP yang kronis pada anak diperkirakan
0,46/100.000 anak pertahun. Insiden ITP kronik dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta
populasi per tahun (5,8-6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris.
ITP kronik pada umumnya terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata usia 40-45
12

tahun. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1:1 pada penderita ITP akut sedangkan
pada ITP kronik adalah 2-3:1. Penderita ITP refrakter ditemukan kira-kira 25-30% dari
jumlah penderita ITP. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi
dengan morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16%.6

Faktor Resiko
Pada kasus ini pasien menderita idiopathic trombositopenic purpura (ITP), dengan
jenis kelamin sebagai faktor resiko, yaitu wanita dimana wanita beresiko 2x lipat lebih sering
terkena ITP daripada pria, untuk penyebab pastinya tidak diketahui. 5
Patofisiologi
Sindroma PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan
trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit
mononuklear melalui reseptor Fc makrofag.
Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentifikasi membran trombosit
glikoprotein IIb/IIIa (CD41) sebagai antigen yang dominan dengan mendemonstrasikan
bahwa autoantibodi eluate dari trombosit pasien PTI berikatan dengan trombosit normal.
Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat kejadian
transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita PTI,dan perkiraan
ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang sehat yang menerima tranfusi
plasma kaya igG,dari seorang penderita PTI. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi
igG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan
reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar penderita,akan
terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagian kecil
yang lain,produksi trombosit tetap terganggu,sebagian akibat destruksi trombosit yang
diselimuti oleh autoantibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang (intramedullary), atau
karena hambatan pembentukan megakariosit (megakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin
tidak meningkat,menunjukkan adanya masa megakariosit normal.
Untuk sebagian kasus PTI yang ringan,hanya trombosit yang diserang,dan megakariosit
mampu untuk mengkompensasi parsial dengan meningkatkan produksi trombosit. Penderita
PTI dengan tipe ini dapat dikatakan menderita PTI kronik tetapi stabil dengan jumlah
trombosit yang rendah pada tingkat yang aman. Pada kasus yang berat,auto antibodi dapat
13

langsung menyerang antigen yang terdapat dalam trombosit dan juga pada megakariosit. Pada
tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita harus menjalani pengobatan untuk
menghindari risiko perdarahan internal/organ-organ dalam.
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi PTI
untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurangan kompleks glikoprotein
Iib/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein Ib/IX,
Ia/Iia, IV dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi yang bereaksi
terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang
diperkirakan dipicu oleh antobodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen,yang
berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopeni.
Secara alamiah,antibodi terhadap kompleks glikoprotein Iib/IIIa memperlihatkan
restriksi penggunaan rantai ringan,sedangkan antobodi yang berasal dari displai phage
menunjukkan penggunaan gen VH . Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen
dari antibodi-antibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang
mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Penderita
PTI dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR + T cells,peningkatan jumlah
reseptor interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor sel
T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis
antibodi setelah terpapar fragmen glikoprotein Iib/IIIa tetapi bukan karena terpapar oleh
protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang
bertahan lama tidak diketahui dengan pasti.

Gambar 1. Patogenesis penyebaran epitop pada purpura trombositopenia idiopatik (PTI)

14

Dari gambar 1 dapat memperjelas bahwa,faktor yang memicu produksi autoantibodi tidak
diketahui. Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan
trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein Iib/IIIa
dikenali oleh autoantibodi,sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum
terbentuk pada tahap ini (1). Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan
sel penyaji antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami
proses internalisasi dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein
Iib/IIIa,tetapi juga memproduksi epitop kriptik dan glikoprotein trombosit yang lain (3). Sel
penyaji antigen yang teraktivasi (4) mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel
dengan bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan
sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell clone (T-cell
clone-1) dan spesifitas tambahan (T-cell clone 2) (5). Reseptor sel imunoglobin sel B yang
mengenali antigen trombosit (B-cell clone 2) dengan demikian akan menginduksi proliferasi
dan sintesis antiglikoprotein 1b/IX antibodi dan juga meningkatkan produksi antiglikoprotein
IIb/IIIa antibodi oleh B-cell clone 1.
Manifestasi Klinis
PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, awitan penyakit
biasanya mendadak, riwayat infeksi sering mengawali terjadinya perdarahan berulang, sering
dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas yang
disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus pediatrik trombositopenia imunologik.
Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah varisella zooster dan Ebstein barr. Manifestasi
perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi kurang dari
1% pasien. Pada PTI dewasa, bentuk akut jarang terjadi, namun umumnya terjadi bentuk
yang kronis.. PTI akut pada anak biasanya self limiting, remisi spontan teijadi pada 90%
pasien, 60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan. 6
PTI Kronik
Awitan PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat perdarahan sering dari ringan
sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi, serta memiliki perjalanan klinis
yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu, mungkin intermitten atau bahkan terus menerus. Remisi spontan jarang terjadi dan
tampaknya remisi tidak lengkap. 6
Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, petekie, purpura, pada umumnya berat
dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum hubungan
15

antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan AT >50.000/L maka
biasanya asimptomatik, AT 30.000-50.000 /L terdapat luka memar/hematom, AT 10.00030.000/L terdapat perdarahan spontan, menoragia dan perdarahan memanjang bila ada luka,
AT <10.000/mL terjadi perdarahan mukosa (epistaksis, perarahan gastrointestinal dan
gastrourinaria) dan resiko perdarahan system pusat.
Pasien secara sistemik baik dan biasanya tidak demam. Gejala yang dikeluhkan
berupa perdarahan pada mukosa atau kulit. Jenis-jenis perdarahan seperti hidung berdarah,
mulut perdarahan, menoragia, purpura, dan petechiae. Perdarahan gusi dan epistaksis sering
terjadi, ini dapat berasal dari lesi petekie pada mukosa nasal, juga dapat ditemukan pada
tenggorokan dan mulut. Traktus genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang paling
sering, menoragia dapat merupakan gejala satu-satunya dari PTI dan mungkin tampak
pertama kali pada pubertas. Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan
gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih jarang lagi dengan hematemesis.
Perdarahan intracranial dapat terjadi, hal ini dapat mengenai 1% pasien dengan
trombositopenia berat. 6
Penatalaksaan
Pada prinsipnya pengobatan PTI adalah untuk menurunkan kadar PA IgG, meskipun
dahulu splenektomi merupakan terapi yang paling baik tetapi sejak 1950 terapi utama yang
dianjurkan sebelum splenektomi adalah steroid. Peranan stroid adalah untuk menekan
aktivitas fagosit makrofag di limpa, menekan sintesis autoantibodi, meningkatkan efektifitas
sintesis trombosit serta memperbaiki resistensi vaskuler. Pada penderita yang responsive
terhadap terapi steroid maka akan terjadi penurunan kadar autoantibody dan peningkatan
trombosit. Efek steroid pada umumnya terlihat setelah terapi 24-48 hari. Steroid yang biasa
digunakan adalah prednisone dan dosisnya 1 mg/kg, pada kasus yang berat diperlukan dosis
yang lebih tinggi, bila diperlukan steroid parenteral dianjurkan memakai metilprednisolon
sodium suksinat selama 3 hari dengan dosis 1 g/hari. Evaluasi pemberian steroid biasanya
dilakukan setelah pengobatan 2-4 minggu, bila responsive dengan steroid dosis hendaknya
diturunkan secara pelan-pelan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan sekitar
50.000/mm3. Adapun hasil terapi dengan steroid dibagi dalam empat kelompok yaitu:
1. Respon lengkap: terdapat perbaikan klinis dan kenaikan trombosit mencapai
100.000/mm3 atau lebih serta tidak terjadi trombositopeni berulang bila dosis steroid
diturunkan.

16

2. Respon parsial: ada pernaikan klinis dan peningkatan trombosit mencapai


50.000/mm3 tetatpi<100.000/mm3 serta memerlukan terapi steroid dosis rendah
untuk mencegah perdarahan dengan jangka waktu lebih 6 bulan.
3. Respon minimal: ada perbaikan klinis tetapi peningkatan trombosit tidak dapat
mencapai 50.000/mm3 atau masi ada perdarahan tetapi ada kenaikan trombosit dapat
mencapai diatas 50.000/mm3 dan memerlukan terapi steroid dosis rendah dengan
jangka waktu lebih dari 6 bulan.
4. Tidak respon: tidak ada perbaikan klinis dan kenaikan trombosit tidak bisa mencapai
50.000/mm3 setelah terapi steroid dosis maksimal.
Bila terapi steroid dianggap gagal, maka segera dianjurkan dilakukan splenektomi. Angka
keberhasilan splenektomi bertujuan untuk mencegah terjadinya destruksi trombosit yang
telah terliputi dengan antibody serta menurunkan sintesa antibody platelet. Penderita yang
refrakter terhadap terapi steroid dan splenektomi memerlukan terapi yang serius, mereka
memerlukan terapi imunosupresif lain. Obat-obatan imunosupresif lain yang dilaporkan
bermanfaat antara lain azatioprin, vinka alkaloid, danazol. Hasil terapi dari masing-masing
regimen ini masi bervariasi dan sampai saat ini belum ada regimen mana yang dianggap
paling baik. Demikian juga dengan pemakaian immunoglobulin hasilnya juga masi perlu
penelitian lebih lanjut. Waktu sejak tahun 1981 dilaporkan bermanfaat untuk pendertia ITP. 6
Terapi Awal PTI (Standar)
Prednison
Prednison, terapi awal ITP dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0 - 1,5
mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada
umumnya terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1
bulan , kemudian tapering. Kriteria respon awal adalah peningkatan AT 30.000/L,
>50.000/L setelah 10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila
peningkatan AT <30.000/>50.000/L setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simtomatik
persisten dan trombositopenia berat (AT <10.000/L) setelah mendapat terapi prednisone
perlu dipertimbangkan untuk splenektomi. 6
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin intravena (IglV) dosis 1 g/kg/ hari selama 2-3 hari berturut-turut
digunakan bila terjadi perdarahan intenal, saat AT <5.000/L meskipun telah mendapat terapi
kortikosteroid dalam beberapa hari atau adanya purpura yang progresif.
17

Mekanisme kerja IglV pada ITP masih belum banyak diketahui namun meliputi
blockade fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan
autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.
Splenektomi
Splenektomi pada ITP dewasa dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua yang gagal
berespon dengan terapi kortikosteroid atau yang perlu terapi trombosit terus menerus. Efek
splenektomi adalah menghilangkan tempat antibody yang tertempel trombosit yang bersifat
merusak dan menghilangkan produksi antibody anti thrombin. Indikasinnya:
a. Bila AT < 50.000/L setelah 4 minggu
b. Angka tombosit tidak menjadi normal selama 6-8 minggu
c. Angka tombosit normal tetapi menurun bila dosis diturunkan
Penanganan Relaps Pertama
Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak
berespons dengan kortikostroid, imunoglobulin iv dan Imunoglobulin anti-D.
Banyak spesialis menggunakan AT <30.000>30.000 /L, Tidak ada konsensus yang
menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan imunoglobulin anti-D sebagai terapi
awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk pasien Rh-positif. Apakah penggunaan
IglV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung pada beratnya
trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan apakah terapi
pasien yang mempunyai AT 30.000 /L sampai 50.000/L bergantung pada ada tidaknya
faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi untuk trauma. Pada AT
>50.000/L perlu diberi IglV sebelum pembedahan atau setelah trauma pada beberapa pasien.
Pada pasien PTI kronik dan AT <30.000/L IgIV atau metilprednisolon dapat membantu
meingkatkan AT dengan segera sebelum splenektomi. 6
Terapi PTI Kronik Refrakter
Pasien refrakter (+ 25%-30% pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi
kortikosteroid dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena
AT yang rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini memiliki respons terapi yang
rendah, mempunyai morbiditas yang bermakna terhadap penyakit ini dan terapinya serta
memiliki mortalitas sekitar 16%. PTI refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria
sebagai berikut: a). PTI menetap lebih dari 3 bulan; b). Pasien gagal berespon dengan
splenektomi; c). AT <30.000/L. 6
Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua

18

Untuk pasien yang dengan terapi standar kortikosterpid tidak membaik, ada beberapa
pilihan terapi lain. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua menggambarkan relatif
kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual. 6
Steroid Dosis Tinggi
Terapi pasien PTI refrakter selain prednisolon dapat digunakan deksametason oral
dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4 hari, diulang setiap 28 hari untuk 6 siklus.
Dari 10 pasien dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang baik (dengan AT
>100.000/L) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien yang tidak berespon
dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya.
Metilprednisolon
Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua dan
ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI anak dan
dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari penelitian Weil pada
pasien PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mg/kg iv kemudian dosis
diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kg sekali sehari dibandingkan dengan pasien PTI klinis
ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis konvensional. Pasien yang mendapat
terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan
mempunyai angka respons (80% vs 53%). Respons steroid intravena bersifat sementara pada
semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekuat.
IglV Dosis Tinggi
Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut, sering
dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping,
terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau
disubtitusi dengan anti-D intravena.
Anti-D Intravena
Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa.
Dosis anti-D 50-75 mg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel darah
merah rhesus D-positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi
bersaing dengan autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade.
Alkaloid Vinka
Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan, meskipun mungkin bernilai
ketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat, misalnya
vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5-10 ing, setiap minggu selama 4-6 minggu.
19

Danazol
Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering
lambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan. Bila respons terjadi, dosis diteruskan sampai
dosis maksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mg/hari setiap 4
bulan.
Immunosupresif dan Kemoterapi Kombinasi
Immunosupresif diperlukan pada pasien yang gagal berespons dengan terapi lainnya.
Terapi dengan azatioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau siklofosfamid sebagai obat
tunggal dapat dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%. Pada pasien yang berat,
simptomatik, PTI kronik refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya. Pemakaian
siklofosfaraid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif digunakan seperti
pada limfoma. Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/bulan selama 3 bulan. Azatioprin
50-100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respons sampai 3 bulan
turunkan sampai dosis terkecil.
Dapsone
Dapson dosis 75 mg p.o. per hari, respons terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien harus
diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis
yang serius.
Pendekatan Pasien yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua
Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama atau
kedua dan memberi masalah besar. Beberapa di antaranya mengalami perdarahan aktif namun
lebih banyak yang berpotensi untuk perdaraihan serta masalah penanganannya. Pada
umumnya PTI refrakter kronis bisa mentoleransi trombositopenia dengan baik dan bisa
mempunyai kualitas hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan
terapi lini pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a,
(ii) anti-CD20, (iii) Campath-1H,(iv) mikofonelat mofetil,(vi)terapi lainnya. 6
Rekomendasi Terapi PTI Yang Gagal Terapi Lini Pertama dan Kedua
Susunan terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran splenektomi dan
bagi mereka yang tidak dapat atau harus menunda operasi. Rituximab, suatu antibodi
monoklonal terhadap CD20 + B sel, memiliki tingkat respons keseluruhan 25 - 50%, dan
memiliki respon yang tahan lama, dengan efek samping yang relatif sedikit.
Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak
berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya. perdarahan
aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi
20

lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam hal
pertimbangan resiko: rasio manfaat, terapi dengan interferon-a, protein A columns,
plasmafaresis dan liposomal doksorubisin tidaklah direkemoendasikan.
Kesulitan utama dengan obat lini ketiga ialah tingkat respons yang sederhana dan,
seringnya, mempunyai onset yang lambat sehingga efek dapat tidak jelas selama beberapa
bulan. Selain itu, supresi sumsum tulang dan peningkatan risiko infeksi menyulitkan
pengobatan dengan menggunakan obat yang imunosupresif.
Obat trombopoietik mewakili strategi terapi baru yang menjanjikan untuk ITP yang
refrakter untuk terapi lini kedua dan ketiga. Obat ini mungkin juga dapat sebagai alternatif
bagi pasien yang tidak dapat mentolerir terapi imunosupresif atau pada calon yang tidak
dapat menggunakan untuk itu. Tempat agen ini pada armamentarium dari terapi ITP,
bagaimanapun, tetap ditentukan. Penggunaannya akan dipandu oleh uji klinis lebih lanjut
dengan durasi yang lebih lama dan pemahaman yang lebih baik dari kontribusi relatif
penghancuran platelet dan gangguan produksi trombosit pada masing-masing pasien dengan
ITP.
Komplikasi
Yang menjadi komplikasi dari penyakit ITP ini antara lain: 7

Perdarahan intrakranial. Ini penyebab utama kematian penderita ITP.


Kehilangan darah yang luar biasa, sehingga menyebabkan anemia.
Efek samping dari kortikosteriod karena penggunaan jangka panjang seperti

menigkatnya resiko infeksi, osteoporosis, katarak.


Infeksi Pneumococcal. Infeksi ini biasanya didapat setelah pasien mendapat terapi
splenektomi. Si penderita juga umumnya akan mengalami demam sekitar 38.80C.

Pencegahan
Karena penyebab langsung ITP masih belum dapat dipastikan maka pencegahan
terhadap ITP pun masih belum jelas. Tetapi setidaknya ada cara atau gaya hidup yang bisa
dilakukan oleh penderita ITP agar dapat hidup sebagaimana orang normal lainnya. Salah
satunya menghindari kegiatan-kegiatan keras yang berisiko menyebabkan luka perdarahan.
Supaya

tidak

memperburuk

kondisi

pasien

ITP.

Menghindari obat-

obatan seperti aspirin atau ibuprofen yang dapat mempengaruhi platelet dan meningkatkan
risiko pendarahan. 9
Prognosis

21

Ada beberapa faktor prognosis yang mempengaruhi prognosis yaitu antara lain usia
penderita, jumlah trombosit, kadar antibody platelet dan lama timbulnya keluhan. Prognosis
PTI akut, umumnya lebih baik, dapat sembuh spontan. Sedangkan PTI kronik, prognosis
kurang baik terutama bila stadium preleukimia. Jumlah trombosit selain digunakan sebagai
parameter kemajuan terapi, juga merupakan faktor prediktif untuk menentukan faktor resiko
perdarahan intrakranial, penderita dengan jumlah trombosit <20.000/mm3 maka resiko
perdarahan intrakranial makin meningkat, resiko ini akan meningkat pada usia lanjut. Respon
terapi dapat mencapai 50-70% dengan kortikosteroid.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Purpura trombositopenia idiopatik (immune thrombocytopenic purpura (ITP); morbus
Wirlhof; purpura hemorrhagica)

yang merupakan sindrom klinis berupa manifestasi

perdarahan (purpura, petekie, perdarahan retina, atau perdarahan nyata lain) disertai
trombositopenia (penurunan jumlah trombosit). Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi
dikemukakan berbagai kemungkinan diantaranya ialah hipersplenisme, infeksi virus (demam
berdarah, morbili, variseladan sebagainya), intoksikasi makanan atau obat (asetosal, PAS,
fenilbutazon, diamox,kina, sedormid) atau bahan kimia, pengaruh fisis (radiasi, pana),
kekurangan factor pematangan (misalnya malnutrisi), DIC (misalnya pada DSS, leukemia,
respiratory distress syndrome pada neonatus) dan terakhir dikemukakan bahwa ITP ini
terutama yang menahun merupakan penyakit autoimun. Prinsipnya pengobatan PTI adalah
untuk menurunkan kadar PA IgG dengan kortikosteroid atau splenektomi apabila sudah
intolerant terhadapt medikamentosa. Pencegahan yang dilakukan adalah melakukan kegiatan
yang dapat menimbulkan perdarahan. Untuk itu, diperlukan kesadaran dari pasien agar dapat
hidup normal.
Daftar pustaka
1. Hematologi. Diunduh dari repository.usu.ac.id, 19 April 2016.
2. Purpura trombositopenia idiopatik. Diunduh dari www.klikdokter.com, 19 April 2016.
3. Waterbury, Larry. Buku saku hematologi; alih bahasa, Sugi Suhandi; editor edisi
bahasa Indonesia, W. Susiani Wijaya, Alexander H. Santoso. Ed.3. Jakarta:EGC,
2006. h. 108-12.
4. Harijanto PN, Setiawan B, Zulkarnain I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Dalam
Purpura Trombositopeni Idiopatik oleh Ibnu Purwanto. Sudoyo WA, Setiyohadi B,
Alwi I, penyunting. Edisi 5 (II). Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 1165-73.

22

5. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik


hematologi. Ed.3. Jakarta:FK UKRIDA, 2009. h. 173-9.
6. Sabiston, David C. Buku ajar bedah; alih bahasa, Petrus Andrianto; editor, Devi H.
Ronardy. Jakarta: EGC, 2006. h. 713
7. Demam Berdarah Dangue. Diunduh dari medicastore.com, 19 April 2016.
8. Trombositopenia terinduksi obat. Diunduh dari medicineworld.org, 19 April 2016.
9. Idiopatik trombositepenia purpura. Diunduh dari medical-knowledge.com, 19 April
2016

23

Anda mungkin juga menyukai