OLEH
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai
dengan adanya inflamasi tersebar luas di seluruh tubuh yang mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks
imun, sehingga mengakibatan kerusakan jaringan.
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan
erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus
pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit
kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan.
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan
Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan
manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi
pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah
penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,
pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada
beberapa organ tubuh.
2. Etiologi
1. Faktor Genetik
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya
SLE. HLA –DR2 lebih menunjukkan gejala lupus nefritis yang menonjol, sedangkan pada
HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala muskuloskeletal. Selain itu, kekurangan pada struktur
komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan
SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE.
Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1,
akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada
di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah
berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen
dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi
yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi
lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan
sebagai faktor resiko terjadinya SLE. Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan
androgen mengurangi resiko ini.
4. Faktor Lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini
kambuh setelah infeksi. Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan
sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat
tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. Sinar Ultra violet mengurangi
supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah
berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah.
c. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu
ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada
seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal. Stres berat dapat
mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan penyakit ini.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan
Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE
diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
3. Patofisiologi
Bagan Perjalanan Penyakit
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali dengan faktor
pencetus yang ada di lingkunagan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.
Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respons imun di dalam tubuh yaitu:
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang di
sebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi2 yang membentuk kompleks imun .
kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan /organ yang akhirnya menimbulkan gejala
inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-
obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit
SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
5. Manifestasi Klinis
a. Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita LES dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai
karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya
beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila kelelahan
disebabkan oleh aktifitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam
beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan
oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab lain
seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40°C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti
leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.
b. Integumen
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal. Keluhan dapat
berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana
tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggap sebagai manifestasi artritis
reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Namun pada umumnya pada
LES tidak meyebabkan kelainan deformitas.1 Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi,
tendinitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain
yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya
berhubungan dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES< 5% kasus. Miopati
juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin.
Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan
steroid
d. Paru-paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis, emboli
paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung syndrome. Pneumonitis
lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak,
batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi
kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak.
Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis
merupakan keadaan yang sering apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES
ini dan memerlukan penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan
lasmafaresis atau pemberian sitostatika.
e. Kardiovaskuler
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat berupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat
ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang,
kardiomegali sampai gagal jantung.17
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub,
gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis
Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50%
LES disertai endokarditis Libman- Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus
dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis.
Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi
dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat
sampai 50%.
f. Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi
setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan
puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada
umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan
kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi
nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria
dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
g. Gastrointestinal
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia
normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal
kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun.
i. Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang
begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik.
Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan
lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati
perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid
dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer,
terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan,
mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi
steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik,
kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak
memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk
membedakan adanya infark atau perdarahan.
6. Pathway
7. Komplikasi
1. Ginjal
Sebagian besar penderita menunjukkan adanya panimbunan protein di dalam
sel-sel ginjal tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan
ginjal yang menetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga
penderita perlu menjalani dialisa atau pencangkokkan ginjal.
2. Sistem Saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikas yang paling
sering ditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan
bisa terjadi pada bagianmanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem
saraf. Kejang, psikosa, sindroma otak organic dan sakit kepala merupakan
beberapa kelainan sistem saraf yang bisa terjadi
3. Penggumpalan Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk
bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan
emboli paru. Jumlha trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibody
yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan
yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Peradangan berbagai bagian jantung seperti perikarditis, endokarditis maupun
mikarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat dari keadaan
tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibatnya dari keadaan
tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
8. Pemeriksaan penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menunjukkan
berbagai manifestasi, paling sering berupa arthritis. Dapat juga timbul manifestasi di
kulit, ginjal, dan neurologis. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode aktivitas
(ruam) dan remisi. SLE ditegakkan atas dasar gambaran klinis disertai dengan
penanda serologis, khususnya beberapa autoantibodi; yang paling sering digunakan
adalah antinukelar antibody (ANA, tetapi antibody ini juga dapat ditemukan pada
wanita yang tidak menderita SLE. Antibody yang kurang spesifik adalah antidouble
standed DNA antibody (anti DNA), pengukurannya bermanfaat untuk menilai ruam
pada lupu. Anti-Ro, anti-La dan antibody antifosfolipid penting untuk diukur karena
meningkatkna risiko pada kehamilan. Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan
secara multidisiplin. Periode aktivitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosis.
Keterlibatan ginjal sering kali disalahartikan dengan pre-eklamsia, tetapi temuan
adanya peningkatan titer antibody anti DNA serta penurunan tingkat komplemen
membantu mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan peningkatan
risiko keguguran.
2) Keluhan utama
Klien mengeluhkan nyeri pada sendi serta kekakuan kaki dan tangan, saat
beraktivitas klien merasa mudah lelah, klien merasa demam. Pipi dan leher
memerah serta nyeri pada bagian yang memerah.
6) Pemeriksaan fisik
a) TTV
TD : 110/80 mmHg
RR : 20x/menit
S : 38,5℃
N : 90x/menit
B2 (Blood)
TD 110/80 mmHg
B3 (Brain)
Gangguan psikologis
B4 (Bladder)
Tidak ada
B5 (Bowel)
B6 (Bone)
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa
kaku pada pagi hari. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk
kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
7) Pemeriksaan penunjang
a) Tes fluorensi untuk menentukan antinuclear antobodi (ANA), positif
dengan titer tinggi pada 98% penderita SLE
b) Pemeriksaan DMA double stranded lebih spesifik untuk menentukan SLE
c) Bila titer antidobel stranded tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
d) Tes sifilis bisa positif paslu pada pemeriksaan SLE
e) Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardiolipin antibody)
berhubungan untuk mennetukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri
atau pembuluh vena atau pada abortus spontan, bayi meninggal dalam
kandungan, dan trombositopeni.
b. Analisis data
c. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-psikososial kronis
(metastase kanker, injuri neurologis, arthritis)
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kronis pada sendi
4. kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu penyakit
5. kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi
6. gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada sendi
7. gangguan body image berhubungan dengan penyakit kronis
d. Intervensi
NOC NIC
1. Comfort level Pain management
2. Pain control 1. Monitor kapuasan pasien
3. Pain level terhadap manajemen nyeri
Setalh dilakukan tindakan 2. Tingkatkan istirahat dan
tisur yang adekuat
keperawatan selama 24jam nyeri 3. Kelola antianalgesik
kronis pasien berkurang dengan 4. Jelaskna pada klien
kriteria hasil: penyebab nyeri
5. Lakukan tehnik
1. Tidak ada gangguan tidur
nonfarmakologis (relaksasi,
2. Tidak ada gangguan
masase punggung)
konsetrasi
3. Tiadak ada gangguan
hubungan interpersonal
4. Tidak ada ekspresi menahan
nyeri dan ungkapan secara
verbal
5. Tidak ada tegangan otot
NOC NIC
Thermoregulasi 1. Monitor suhu seseirng
Setelah dilakuakn tindakan mungkin
2. Monitor warna dan suhu
keperawatan selama 24 jam pasien
kulit
menunjukkan: 3. Monitor TD, nadi dan RR
Suhu tubuh dalam batas normal 4. Monitor WBC, Hb, dan Hct
5. Monitor intake dan output
dengan kriteria hasil:
6. Berikan antipiretik sesuai
1. Suhu 36-37 ℃ advis dokter
2. Nadi dan RR dalam renatang 7. Selimuti klien
normal 8. Berikan cairan intravena
3. Tidak ada perubahan warna 9. Kompres klien pada lipat
kulit dan tidak ada pusing, paha dan aksila
klien merasa nyaman 10. Tingkatkan sirkulasi udara
11. Tingkatkan sirkulasi udara
12. Tingkatkan intake cairan dan
nutrisi
13. monitor hidrasi seperti
turgor kulit, kelembaban
mukosa
NOC NIC
a. nutritional status: adequacy of 1. kaji adanya alergi makanan
nutrient 2. kolaborasi dengan ahli gizi
b. nutritional status: food and fluid untuk menentuka jumlah kalori
intake dan nutrisi yang dibutuhkan
c. weight control klien
3. yakinkah dietyang dimakan
setelah dilakukan tindakan megandung tinggi serat untuk
keperawatan selama 2x24 jam mencegah konstipasi
nutrisi kurang teratasi dengan 4. ajarkan klien bagaimana
membuat catatatan makanan
indicator:
harian
1. albumin serum 5. monitor adanya penurunan BB
2. prealbumin serum dan gula darah
3. hematokrit 6. monitor lingkungan selama
4. hemoglobin makan
5. total iron binding capacity 7. jadwalkan pengobatan dan
6. jumlah limfosit tindakan tidak selama jam
makan
8. monitor turgor kulit
9. monitor kekeringan, rambut
kusam, total protein, Hb dan
kadar Hct
10. monitor mual dan muntah
11. monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan kojungtiva
12. monitor intake nutrisi
Dx: kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu
penyakit
Ds:
1. kelelahan
2. meningkatnya komplain fisik
3. secara verbal menyatakan kurang energi
Do:
1. penurunan kemampuan
2. ketidakmampuan mendapatkan energy sesudah tidur
3. kurang energy
4. ketidakmampuan untuk mempertahankan aktivitas
NOC NIC
1. activity tolerance 1. monitor respon kardiorespirasi
2. energy conservation terhadap aktivitas (takikardi,
3. nutritional status: energy disritmai, dispnea, diaphoresis,
pucat, tekanan hemodinamik
setelah dilakukan tidnakan dan jumlah respirasi)
keperawatan selama 2x24 jam 2. monitor dan catat pola dan
kelelahan pasien teratasi dengan jumlah tidur klien
3. monitor lokasi
kriteria hasil:
ketidaknyamanan atau nyeri
1. kemampuan aktivitas adekuat selama bergerak dan aktivitas
2. mempertahankan nutrisi adekuat 4. monitor intake nutrisi
3. keseimbangan aktivitas dan 5. monitor pemberian dan efek
istirahat samping obat depresi
4. menggunakan tehnik energy 6. instruksikan pada klien untuk
konservasi memcatat tanda dan gejala
5. mempertahankan interaksi sosial kelelahan
6. mengidentifikasi faktor fisik dan 7. jelaskan pada klien hubungan
psikologis yang menyeabbkan kelelahan dengan proses
kelelahan penyakit
7. mempertahankan kemampuan 8. kolaborasi dengan ahli gizi
untuk konsentrasi tentang cara meningkatkan
intake makanan tinggi energy
9. dorong klien dan keluarga
mengekspresikan perasaannya
10. catat aktivitas yang dapat
meningkatkan kelelahan
11. anjurkan klien melakukan yang
meningkatkan relaksasi
12. tingkatkan pembatasan bedrest
DAFTAR PUSTAKA
1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41834/4/Chapter%20II.pdf
2. http://eprints.undip.ac.id/44553/3/Dinda_Welltsazia_Rindhi_22010110120110_BAB2
KTI.pdf
3. Astarida, R. 2010. Systemis Lupus Arythematosus,
(https://ratihastarida.wordpress.com/2010/03/30/systemic-lupus-erythematosus-sle/),
diakses pada 06 April 2016.
4. Wahono, S. 2012. Manifestasi klinis lupus eritematosus sistemik les dan
diagnosisnya, (http://singgihwahono.lecture.ub.ac.id/2012/04/manifestasi-klinis-
lupus-eritematosus-sistemik-les-dan-diagnosisnya/), diakses pada 06 April 2016
5. Ariotejo, B. 2009. Systemic Lupus Serythematosus (SLE) ,
(https://bimaariotejo.wordpress.com/2009/06/07/systemic-lupus-erythematosus-sle/),
dikases pada 06 April 2016.