Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Dibuat oleh :

1. Kadek Nita Carolina 1914201144


2. Kristina Anita Meilani 1914201145
3. Luh Nyoman Yayuk Ratna Dewi 1914201146
4. Luh Putu Budiasuti 1914201147
5. Luh Putu Listyaningsih 1914201148
6. Luh Putu Suciwati 1914201149
7. Made Dwi Rejeki Nanda N. 1914201150

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN PROGRAM B


INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
TAHUNAJARAN 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lupus memiliki nama ilmiah yaitu systematic lupus erimatosus. Systemic
Lupus Erithematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang
berbagai organ dengan manifestasi gejala yang bervariatif. Penyakit ini
mempunyai ciri khas yaitu adanya peradangan di seluruh tubuh yang timbul
secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan jaringan terutama pada
pembuluh darah. Insidensi penyakit SLE terutama pada usia produktif yaitu pada
usia 16 - 36tahun. Sel pertahanan tubuh yang seharusnya melindungi tubuh dari
masuknya kuman atau gangguan ekstrasel lainnya justru menyerang tubuh
pemiliknya. Penyakit ini menjadi salah satu jenis penyakit yang mematikan pada
jenis SLE.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
2. Apa saja hal-hal yang menyebabkan penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
3. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
4. Apa saja pemeriksaan diagnostik dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
5. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE)?
6. Apa saja diagnosa keperawatan dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
2. Untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan Systemic Lupus Erythematosus
(SLE).
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).
4. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dari penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE).
6. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan dari penyakit Systemic Lupus
Erythematosus (SLE).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronik yang
ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas di seluruh tubuh yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan
dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan
kerusakan jaringan.
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah
lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh
gigitan anjing hutan.
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang
hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang
juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit.
Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik
yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan
kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada
beberapa organ tubuh.

B. Etiologi
1. Faktor Genetik
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex)
kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan
dengan timbulnya SLE. HLA –DR2 lebih menunjukkan gejala lupus nefritis yang
menonjol, sedangkan pada HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala muskuloskeletal.
Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu
faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang
dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan
berisiko lebih tinggi menderita SLE.

2. Faktor Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali.
Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah
mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B
akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor
untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan
sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.

3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen
yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang
abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE. Hormon
estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
4. Faktor Lingkungan
a. Infeksi virus dan bakteri
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi. Agen infeksius, seperti virus dan bakteri,
dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein
Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga
terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah
berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran
pembuluh darah. Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi
menjadi kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini
disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh
darah.
c. Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal. Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecendrungan akan penyakit ini.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
C. Manifestasi Klinis
a. Konstitusional
Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada penderita
LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.. Kelelahan ini
agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan
seperti anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat
seperti prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES,
diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah.
Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid
atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini
dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40°C tanpa adanya bukti
infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai
menggigil.
b. Integumen
Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute
Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus / paniculitis, alopecia.
Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo
reticularis, telangiektasia, fenomena Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang
menonjol bewarna putih perak dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada
palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.
c. Muskuloskeletal
Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal.
Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau merupakan
suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering
dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang
banyak dan simetris. Namun pada umumnya pada LES tidak meyebabkan
kelainan deformitas.1 Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendinitis juga
sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang
dapat ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan
biasanya berhubungan dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES<
5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan terapi
steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan berhubungan dengan
aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.
d. Paru-paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah pneumonitis,
emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lung
syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik.
Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal.
Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau
pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini
memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan
yang sering apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan
memerlukan penanganan tidak hanya pemberian steroid namun juga tindakan
lasmafaresis atau pemberian sitostatika.
e. Kardiovaskuler
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat
berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.
Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,
interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.17
Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal,
friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun EKG,
Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam
klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-
Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan
endokarditis bakterialis.
Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih
tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko
ini meningkat sampai 50%.
f. Ginjal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar
terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini
adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda
keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal
atau sindroma nefrotik.
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan
menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan
silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin.
Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan
hematuria mikroskopik dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus
dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
g. Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena
dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES atau
sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol
walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali
gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih
banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan
adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada
peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan
hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai
pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase
alkali dan LDH.
h. Hemopoetik
Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik
autoimun.
i. Neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran
klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi
neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis
dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi
berat.
Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,
neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan
antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan
serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan
pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas,
depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid.
Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang
spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi
(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-
kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.

D. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Tes Anti ds-DNA
 Batas normal : 70 – 200 IU/mL
 Negatif : < 70 IU/mL
 Positif : > 200 IU/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada
penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan
pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang
tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA).
Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA
(anti ds-DNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-
DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun
yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk
diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan
penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana and
Pagana, 2002).
b) Tes Antinuclear antibodies (ANA)
 Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain.
ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu
sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi
pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA
juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi
berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah
pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA
diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif
terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium
yang lain, tetapi jika hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi
yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA
dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-
SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
2. Tes Laboratorium lain
Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta
untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi
inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP),
kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum
kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Ruam kulit atau lesi yang khas.
b) Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.
c) Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan
pleura atau jantung.
d) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5
mg/hari atau +++.
e) Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.
f) Biopsi ginjal.
g) Pemeriksaan saraf.

E. Patofisiologi
Bagan Perjalanan Penyakit

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali dengan
faktor pencetus yang ada di lingkunagan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau
bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respons imun di dalam tubuh
yaitu:
1. Sel T dan B menjadi autoreaktif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulator kontrol pada sisitem imun, antara lain
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun
maupun sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut , maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang di sebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi2 yang membentuk
kompleks imun . kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan /organ yang
akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di
samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE-
akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .

F. Pengkajian
1.   Anamnesis
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun
pria, namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria 8:1
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan
filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit
ini
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra dari pasien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun
yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya
ruam malar-fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa
menimbulkan : artaralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada
pleuritik, pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus
dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami
penyakityang sama atau penyakit autoimun yang lain
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis :
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan
otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri
saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi
pleuritis atau efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi
systolic click (ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction
rup pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan,siku,jari kaki dan
permukaan ekstensor lengan dibawah atau sisi lateral tangan.
c. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma
(kualitatif), orientasi pasien. Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga
serangan kejang-kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai
filtrasi glomelorus)
e. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan,
turgor kulit, nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa

G. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis pasti dapat ditegakan bila 4 atau lebih dari 11 kriteria ARA
terpenuhi. Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria
terpenuhi, baik secara bersamaan ataupun simultan, selama observasi.
Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997:
1.Malar rash
erythema yang fixed, datar/meninggi. Letaknya pada malar, biasanya tidak
mengenai lipatan nasolabial.
2.Discoid rash
Lesi erythemetous yang meninggi dengan squama keratotic. Kadang tampak scar
yang atofi.
3.Fotosensitivitas.
Diketahui melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik.
4.Ulkus oral
Ulserasi dimulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri.
5.Arthritis
nonerosive arthritis melibatkan 2 atau lebih dari sendi perifer. Ditandai dengan
nyeri, bengkak, atau efusi.
6.Serositis
Pada pleuritis didapatkan riwayat nyeri pleural, pleural friction rub, efusipleura.
Pada pericarditis tampak pada ECG, gesekan pericard, efusi pericard.
7.Gangguan Renal
proteinuria >0,5 g/hari atau >3+, atau cellular cast berupa eritrosit, hemoglobin
granular, tubular, atau campuran.
8.Kelainan neorologis
psikosis, kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas).
9.Kelainan hematologis
anemia hemolitic
leukopenia(<4000/μL)
limfopenia (<1500/μL)
trombositopenia (<100.000/μL).
10.Kelainan imunologis
Anti ds-DNA , Anti-Sm (antibody terhadap antigen otot polos), Antifosfolipid
antibody, STS false positve.
11.Antibodi antinuclear
ANA test +.
DIAGNOSIS BANDING
-Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya.
-Endokarditis bacterial subacute.
-Septikemia oleh Gonococcus/Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi kulit.
-Drug eruption.
-Limfoma.
-Leukemia.
-Trombotik trombositopeni purpura.
-Sarcoidosis.
-Lues II
-Bacterial sepsis.
Diagnosa Keperawatan pada klien SLE adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologis.
2. Perfusi jaringan serebral/perifer tidak efektik berhubungan dengan aliran arteri
terhambat.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan, tidak familiar
dengan sumber informasi.
4. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi, nyeri, cemas,
kelelahan otot pernapasan, defornitas dinding dada.
5. Hipertermia berhubungan dengan penyakit.
6. Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronik yang
ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas di seluruh tubuh yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan
dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan
kerusakan jaringan.
Penyakit ini disebabkan oleh faktor genetik, faktor imunologi, faktor
hormonal dan faktor lingkungan. Manifestasi klinis dari penyakit ini dapat berupa
konstitusional, integumen, muskuloskeletal, paru-paru, kardiovaskuler, ginjal,
gastrointestinal, hemopoetik dan neuropsikiatrik. Pemeriksaan diagnostik dari
penyakit ini adalah pemerikasaan laboratorium, pemeriksaan laboratorium lainnya
dan pemeriksaan penunjang.
Patofisiologis dari penyakit ini bermula dari datangnya penybab baik
faktor genetik, imunologi, hormonal maupun lingkungan yang menyebabkan
sistem imun autoaktif menjadi autoantibodi, dimana sistem imun manusia
menyerang tubuh sendiri dan terbentuk kompleks imun dan akhirnya
menyebabkan berbagai manifestasi klinis. Diagnosa keperawatan yang dapat
ditegakkan dari penyakit ini dapat diperoleh dari 4/ 11 kriteria ARA.

B. Saran
Saran dari kelompok kami kepada seluruh masyarakat setelah menegetahui
apa yang dimaksud dengan penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dapat
mengerti bahwa penyakit ini cukup berbahaya dan mematikan. Sehingga dapat
mengetahui apa yang harus dilakukan apabila menemui orang dengan gejala yang
telah dijabarkan.
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41834/4/Chapter%20II.pdf
http://eprints.undip.ac.id/44553/3/Dinda_Welltsazia_Rindhi_22010110120110_B
AB2KTI.pdf
Astarida, R. 2010. Systemis Lupus Arythematosus,
(https://ratihastarida.wordpress.com/2010/03/30/systemic-lupus-erythematosus-
sle/), diakses pada 06 April 2016.
Wahono, S. 2012. Manifestasi klinis lupus eritematosus sistemik les dan
diagnosisnya, (http://singgihwahono.lecture.ub.ac.id/2012/04/manifestasi-klinis-
lupus-eritematosus-sistemik-les-dan-diagnosisnya/), diakses pada 06 April 2016
Ariotejo, B. 2009. Systemic Lupus Serythematosus (SLE) ,
(https://bimaariotejo.wordpress.com/2009/06/07/systemic-lupus-erythematosus-
sle/), dikases pada 06 April 2016.

Anda mungkin juga menyukai