Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ASUHAN KEPERAWATAN UMUM GANGGUAN IMUNOLOGI

SLE, STEVEN JOHNSON & MYESTENIA GRAVIS

Disusun Oleh : Kelompok 9 Kelas 2 B


Nama Anggota :
1. Dinda M (P05120221067)
2. Eni Lestari (P05120221069)
3. Madona Rusti Aini (P05120221081)
4. Seftyola Nehemia (P05120221093)
5. Tata Olivia (P05120221096)

Dosen Pengampu :
Ns. Andhita Ratnadianti, M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BENGKULU
JURUSAN KEPERAWATAN PRODI DIPLOMA III
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, kelompok 9 dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Gangguan
Kebutuhan Aktivitas Akibat Patologis Sistem Imunologi”. Meskipun dalam pembuatannya
banyak hambatan yang kami alami, akhirnya tugas ini dapat terselesaikan tepat waktu. Tak
lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada dosen pengajar Ns. Andhita Ratnadianti, M.Kep
selaku dosen Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II yang telah memberikan arahan
serta motivasi dalam proses pembuatan makalah ini.

Tentunya ada hal-hal yang menunjang kami untuk membuat makalah ini dengan
tujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan yang lebih luas. Oleh karena itu kami
berharap makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pembaca. Kami mohon maaf
apabila makalah ini memiliki kekurangan dan kami menyadari masih perlu ditingkatkan lagi
mutunya dan kami berharap pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun.

Bengkulu,  Januari 2023

Penyusun

1
DAFTAR ISI

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fungsi sistem imun adalah melindungi pejamu dari invasi organisme asing
dengan membedakan diri (self) dari bukan diri (non-self). Sistem semacam ini
diperlukan untuk kelangsungan hidup. Sistem imun yang berfungsi baik tidak saja
melindungipejamu dari faktor eksternal seperti mikroorganisme atau toksin tetapi juga
mencegah dan menolak serangan oleh faktor endogen seperti tumor atau fenomena
autoimun.
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan
membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh
biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus
sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan
mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti
biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar
dapat menginfeksi organisme.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana asuhan keperawatan umum gangguan imunologi: SLE?
2. Bagaimana asuhan keperawatan umum gangguan imunologi: Steven Johnson?
3. Bagaimana asuhan keperawatan umum gangguan imunologi: Myestania Gravis?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan umum gangguan imunologi: SLE
2. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan umum gangguan imunologi:
Steven Johnson
3. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan umum gangguan imunologi:
Myestania Gravis
3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Asuhan Keperawatan Umum Gangguan Imunologi : SLE

2.1.1 Definisi SLE (Sistemik Lupus Erythematosus)


Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun multisistem
kronis pembuluh darah dan jaringan ikat. Jenis lain dari lupus eritematosus termasuk
lupus erythematosus kronis kulit (discoid lupus erythematosus), obat-induced lupus
erythematosus, sub-akut cutaneus lupus eritematosus, dan neonatal lupus.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun
pada jaringan penyambung yang dapat mencakup ruam kulit, nyeri sendi, dan
keletihan. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria dengan faktor
10:1. Androgen mengurangi gejala SLE, dan estrogen memperburuk keadaan tersebut.
Gejala memburuk selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada
derajat yang besar oleh kehamilan (Elizabeth, 2009).
Obat yang digunakan pada SLE mencakup agens sitotoksik, seperti
siklofosfamida. Konseling prakehamilan dapat membantu menentukan terapi yang
aman digunakan baik pada kehamilan maupun menyusui.
2.1.2 Etiologi SLE (Sistemik Lupus Erythematosus)
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang
mengubah struktur DNA didaerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan
sistem imun didaerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE
juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menyadi lambat, obat banyak
terakumulas ditubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan
protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing tersebut (Herfindal et al,2000).

4
Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam aino L-
cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat
menyebabkan SLE (Delafuente, 2002).
Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem
imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibody entiviral sehingga
mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang yang akan memicu terjadinya SLE
(Herfindal et al., 2000).
2.1.3 Patofisiologi SLE (Sistemik Lupus Erythematosus)
Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi. Proses diawali
dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet
atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon imun didalam tubuh
yaitu :
1) Sel T dan B menjadi autoreaktif
2) Pembentukan silokin yang berlebihan
3) Hilangnya regulator control pada sistem imun anatara lain :
- Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun
maupun sitokin didalam tubuh
- Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
- Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekul
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody didalam tubuh
yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibody 2 yang membentuk kompleks
imun tersebut terdeposisi pada jaringan / organ yang akhirnya menimbulkan gejala
inflamasi atau kerusakan jaringan. Penyakit SLE terjadi akibat terganggunnya regulasi
kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan.
Secara ringkas, proses perjalanan penyakit lupus eritematosus sistemik adalah
sebagai berikut :

5
2.1.4 Manifestasi Klinis SLE (Sistemik Lupus Erythematosus)
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu
waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai
tambahan,perjalanan penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari
ringan ke sedang sehingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena
perbedaan multisystem dari manifestasi kliniksnya,lupus telah menggantikan sifilis
sebagai great imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan samapai sedang dengan
gejala kronis,diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara terhadap atau tiba-
tiba. Pada sebagian kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas
penyakit dan remisi klinik sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang,pasien
mengalami episode aktif SLE singkat diikuti dengan remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama,walapun SLE dapat
menyebabkan berbagai tanda dan gejala, tidak semua tanda dan gejala pada pasien
dengan SLE disebabkan oleh penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua,
efek samping pengobatan,khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang,
harus dibedakan dengan tanda dan gejala.
2.1.5 Klasifikasi SLE (Sistemik Lupus Erythematosus)

6
Subcommitte for Systemic Lupus Erythematosus Criteria of the American
Rheumatism Association Diagnostic and Therapeutic Criteria Committee tahun 1982
merevisi kriteria untuk klasifikasi SLE.

Subkomite ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat di antara 11 kriteria
berikut beruntun atau secara stimultan, selama satu interval observasi:

1. Ruam di bagian malar wajah


2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus di mulut
5. Arthritis
6. Setositis (pleuritis, perikarditis)
7. Gangguan ginjal
8. Gangguan neurologis (kejang atau psikosis)
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik, leucopenia, trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear

R. Leonard mengusulkan jembatan keledai barikut untuk mengingat kriteria


diagnosis SLE: A Rash Points MD. Arthritis Renal disease (penyakit ginjal), ANA
Serositis, Haematological disorders, Photosensitivitas, Oral ulcers (ulkus di mulut),
Immunological disorder, Neurological disorder, Malar rash, Discoid rash Ann Rheum
Dis 2001.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang SLE (Sistemik Lupus Erythematosus)


1) CBC (complete Blood Cell Count ) untuk mengukur jumlah sel darah maka
terdapat anemia,leucopenia,trombisutopenia.
2) ESR (Erythrocyte Sedimen Rate ), laju endap darah pada lupus aka ESR akan
lebih cepat dari pada normal
3) Biopsi untuk mngetahui fungsi hati dan ginjal
4) Urinalysis merupakan pengukuran urina kadar protein dan sel darah merah
5) X-ray dada
6) Uji imunofluroresensi ANA pada setiap pasien SLE+ sehingga uji tersebut
sangat sensitive
2.1.7 Penatalaksanaan SLE (Sistemik Lupus Erythematosus)
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik :
7
1) Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan
penyakit akut, meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan kecacatan
dan mencegah komplikasi dari terapi yang diberikan.
2) Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan kortikosteroid
untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
3) Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.
4) Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis oral
tinggil tradisional.
5) Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan obat-obat
antimalarial.
6) Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang serius
2.1.8 Pengkajian SLE (Sistemik Lupus Erythematosus)
1) Anamnesis
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria,
namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan
wanita dan pria 8:1.
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini
2) Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra dari pasien
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah menderita penyakit
ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4) Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam
malar-fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa menimbulkan :
artaralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis,
bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain menyertai.
5) Riwayat Pengobatan

8
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.
6) Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakityang
sama atau penyakit autoimun yang lain
7) Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis :
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan
otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri saat
inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi pleuritis
atau efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi
systolic click (ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction rup
pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous
papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukan gangguan vaskuler
terjadi di ujung jari tangan,siku,jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
dibawah atau sisi lateral tangan.
c. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma
(kualitatif), orientasi pasien. Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga
serangan kejang-kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai
filtrasi glomelorus)
e. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan,
turgor kulit, nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa
2.1.9 Diagnosa keperawatan SLE (Sistemik Lupus Erythematosus)
Diagnosis Keperawatan yang muncul pada pasien Systemic Lupus Erythematosus
antara lain:
a) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang
b) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
9
a) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi,
2.1.10 Intervensi keperawatan SLE (Sistemik Lupus Erythematosus)
Diagnosis Tujuan (SLKI) Intervensi dan Tindakan (SIKI)
Keperawatan
Gangguan Setelah dilakukan intervensi Dukungan Mobilisasi
mobilitas fisik keperawatan selama 3 x 24 Observasi :
berhubungan jam maka mobilitas fisik 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
dengan meningkat fisik lainnya
kerusakan dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan
integritas 1. Pergerakan ekstermitas pergerakan
struktur tulang meningkat 3. Monitor frekuensi Jantung dan tekanan
2. Kekuatan otot meningkat darah sebelum memulaì mobilisasi
3. Rentang gerak (ROM) 4. Monitor kondisi mum selama melakukan
meningkat mobilisasi
4. Nyeri Menurun Terapeutik :
5. Kecemasan menurun 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
6. Kaku sendi menurun alat bantu (mis. pagar tempat tidur)
7. Gerakan tidak 2. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika
terkoordinasi menurun portu
8. Kelemahan fisik menurun 3. Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalar meningkatkan pergerakan
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (mis. duduk di tempat
tidur, duduk di sisi tempat tidur. pindah
dari tempat fidur ke kursi)
Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 Observasi
dengan agen jam maka tingkat nyeri 1. identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
pencedera menurun frekuensi, kualitas, itensitas nyeri
fisiologis dengan kriteria hasil : 2. identifikasi skala nyeri
1. kemampuan menuntaskan 3. identifikasi respon nyeri non verbal
masalah meningkat 4. identifikasi factor yang memperberat dan
10
2. keluhan nyeri menurun memperingan nyeri
3. meringis menurun 5. identifikasi pengetahuan dan keyakinan
4. sikap protektif menurun tentang nyeri
S. gelisah menurun 6. identifikasi pengaruh nyeri terhadap
6. kesulitan tidur menurun kualitas hidup
7. frekuensi nadi membaik 7. monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
8. monitor efek samping penggunaan
analgesic
Terapeutik
1. berikan teknik non farmakologis
2. control lingkungan yang memperberat
rasa nyeri
3. fasilitasi istirahat dan tidur
4. pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi
1. jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
2. jelaskan strategi meredakan nyeri
3. anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
4. anjurkan menggunakan analgesic secara
tepat
Kolaborasi
1. pemberian analgesic, jika perlu
Gangguan Setelah dilakukan intervensi Perawatan luka
integritas keperawatan selama 3 x 24 1. Monitor karakteristik luka
kulit jam maka integritas kulit 2. (mis. drainase, warna, ukuran, bau)
berhubungan menurun dengan kriteria 3. Monitor tanda- tanda infeksi
dengan hasil: 4. Lepaskan balutan dan plester secara
perubahan 1. Kerusakan lapisan perlahan
pigmentasi, kulit menurun 5. Bersihkan dengan cairan NaCl atau

11
2. Nyeri menurun pembersih nontoksik
3. Perdarahan menurun 6. Bersihkan jaringan nekrotik
4. Kemerahan menurun 7. Pasang balutan sesuai jenis luka
5. Hematoma menurun 8. Pertahankan teknik steril saat melakukan
perawatan luka
9. Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam
atau sesuai kondisi pasien
10. Jelaskan tanda dan gejala infeksia
njurkan mengkonsumsi makanan tinggi
kalori dan protein
11. Kolaborasikan pemberian antibiotik, jika
perlu

2.2 SYNDROME STEVEN-JHONSON


2.2.1 Definisi SSJ (Syndrome Stevens-Johnson)
Stevens-Johnson Syndrome (Sindroma Stevens-Johnson/SSJ) adalah kelainan
kulit dan mukosa yang ditandai dengan meluruhnya epidermis (epidermolisis)
atau nekrosis epidermis akibat reaksi hipersensitivitas tipe IV karena erupsi obat.
SSJ muncul secara akut dan dapat mengancam jiwa.
Pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh dokter anak A.M. Stevens dan
F.C. Johnson setelah mendiagnosa seorang anak dengan keterlibatan okular dan
oral akibat reaksi obat. Hampir seluruh obat-obatan dapat menyebabkan SSJ,
seperti ibuprofen. Pada umumnya obat tersebut adalah obat anti konvulsan,
antibiotik (seperti sulfa, penicillin dan sefalosporin), dan antiinflamasi.
Sindroma Steven Johnson adalah suatu variasi berat sekaligus fatal dari
eritema multiforme. Merupakan sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium (muara/lubang) dan mata, dengan keadaan umum yang bervariasi dari
yang ringan sampai berat.1,2,6 EM sendiri termasuk dalam kelompok besar
kelainan kulit erupsi obat alergik (EOA).
EOA adalah reaksi alergi pada kulit dan mukosa yang terjadi sebagai akibat
dari pemberian obat, suatu zat yang diberikan baik secara topikal maupun
sistemik, untuk tujuan pencegahan, penegakkan diagnosis, serta pengobatan suatu
penyakit. 3 Reaksi simpang obat (RSO) adalah setiap efek berbahaya dan tidak
diharapkan pada penggunaan obat dengan dosis yang benar. EOA merupakan
salah satu manifestasi dari RSO tipe B yang didasari oleh reaksi hipersensitivitas.
12
Secara garis besar, EOA dibagi menjadi erupsi makulopapular, urtikaria,
angioedema, dermatitis medikamentosa, dermatitis eksfoliativa, eksantema
fikstum, eksantematosa pustulosis generalisata akut, purpura, vaskulitis kutis, eri
tema nodusum, fotoalergik, dari eritema multiforme.
Eritema Multiforme (EM) merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit
dan mukosa dengan lesi khas berbentuk iris. Berdasarkan keparahannya, EM
diklasifikasikan menjadi tipe minor dan tipe mayor. EM tipe mayor lebih lanjut
dibagi menjadi sindrom Stevens Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik
(NET).
2.2.2 Etiologi SSJ (Syndrome Stevens-Johnson)
Penyebab SSJ dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu alergi obat, infeksi,
keganasan, dan idiopatik. Alergi obat merupakan penyebab utama SSJ (50%).
Banyak obat dari golongan yang bervariasi dilaporkan dapat menyebabkan SSJ.
SSJ ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa. Karena
kemiripan penemuan klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta mekanisme, SSJ
ini dianggap variasi dan kontinu penyakit yang dibedakan dengan melihat tingkat
keparahan serta persentase permukaan tubuh yang terlibat lecet dan erosi kulit.
Obat-obat yang memiliki resiko tinggi mengakibatkan SSJ adalah allopurinol,
sulfametoksasol, sulfadiazine, sulfapyridin, sulfadoxine, sulfasalazine,
fenobarbital, carbamazepine, lamotrigine, fenitoin, fenibultazon, nevirapine,
NSAID oxicam Walaupun jarang, sebagian kecil SSJ dilaporkan disebabkan oleh
infeksi virus (HSV, HIV, EBV, coxackie, hepatitis, mumps, variola), infeksi
bakteri (streptococcus alfa, difteri, brucellosis, mikobakteria, tifoid), infeksi
protozoa (trikomonisasis, malaria), infeksi fungal (coccidioidomikosis,
dermatofitosis, histoplasmosis), serta berbagai jenis karsinoma dan limfoma. Ini
hampir selalu disebabkan oleh mekaninme imunulogi dengan kompleks imun
yang mungkin berimplikasi pada berbagai macam kasus.
2.2.3 Klasifikasi SSJ (Syndrome Stevens-Johnson)
Dalam dunia medis, sindrom Stevens-Johnson dapat dianggap dan disepakati
sebagai bentuk ringan dari nekrolisis epidermal toksik yang kondisi ini baru
pertama kali diakui pada tahun 1922.
Sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik ini kadang
dikelirukan dan tidak sama dengan eritema multiforme/infeksi herpes. Walau
eritema multiforme kadang-kadang disebabkan oleh alergi dan reaksi terhadap
obat, tetapi kasusnya lebih sering diakibatkan oleh hipersensitivitas tipe III reaksi
13
terhadap infeksi virus, yang kebanyakan diakibatkan oleh virus Herpes simpleks
dan relatif lebih jinak. Meskipun sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis
epidermal toksik kadang pula disebabkan oleh infeksi, tetapi penderitanya lebih
sering diakibatkan oleh alergi dan efek samping dari obat-obatan tertentu. Namun
sindrom ini lebih berbahaya dibandingkan dengan infeksi virus herpes.
2.2.4 Patogenesis SSJ (Syndrome Stevens-Johnson)
Sindrom Stevens-Johnson disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II
Coombs dan Gel. Reaksi tersebut melibatkan kompleks antigen-antibodi yang
terfiksasi pada sel sasaran. Untuk kasus SSJ, antigen diperankan oleh obat, diikat
oleh antibodi IgG dan IgM dipermukaan sel sasaran, yaitu keratinosit. kompleks
antigen-antibodi pada keratinosit akan menyebabkan efek sitolitik dengan
memanggil neutrofil dan makrofag untuk berikatan secara langsung atau
mengaktifkan kemudian berikatan dengan komplemen, membentuk kompleks
antigen-antibodikomplemen dan menyebabkan efek sitolitik yang diperantai
komplemen.
Perkiraan lain disebabkan oleh reaksi alergi tipe III dan IV. Reaksi alergi tipe
III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang pada akhirnya
menyebabkan kerusakan pada organ. Reaksi alergi tipe IV terjadi akibat limfosit
T yang tersensitisasi oleh suatu antigen berkontak kembali dengan antigen yang
sama hingga akhirnya terjadi reaksi radang

14
2.2.5 Gejala dan tanda SSJ (Syndrome Stevens-Johnson)
Gejala bervariasi ringan sampai berat. Pada yang berat penderita dapat
mengalami koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa
demam tinggi 39-40¢ªC, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorok.
Dengan segera gejala tersebut dapat menjadi berat. Stomatitis (radang mulut)
merupakan gejala awal dan paling mudah terlihat. Pada sindrom ini terlihat
adanya trias kelainan berupa:
1) Kelainan kulit Kelainan kulit terdiri atas eritema ( kemerahan pada kulit ),
vesikel (gelembung berisi cairan) dan bula (seperti vesikel namun
ukurannya lebih besar). Vesikel dan bula kemudian pecah sehingga terjadi
erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk
yang berat kelainan terjadi di seluruh tubuh.
2) Kelainan selaput lendir di orifisium Yang tersering adalah di selaput lendir
mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%),
di lubang hidung dan anus jarang. Vesikel dan bula yang pecah menjadi
erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat membentuk
pseudomembran. Kelainan yang tampak di bibir adalah krusta berwarna
hitam yang tebal. Kelainan dapat juga menyerang saluran pencernaan
bagian atas (faring dan esofagus) dan saluran nafas atas. Keadaan ini dapat
menyebabkan penderita sukar/tidak dapat menelan dan juga sukar
bernafas.
3) Kelainan mata Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang
tersering adalah konjungtivitis kataralis (radang konjungtiva). Dan yang
terparah menyebabkan kebutaan. Disamping kelainan tersebut terdapat
juga kelainan lain seperti radang ginjal, dan kelainan pada kuku.
2.2.6 Pemeriksaan penunjang SSJ (Syndrome Stevens-Johnson)

15
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang dapat
menegakkan diagnose SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan
anemia, limfopenia dan jumlah leukosit yang normal atau leukositosis
nonspesifik, eosinophilia jarang dan neutropenia dapat terjadi pada 1/3 pasien.
Peningkatan leukositosis yang berat mengindikasikan adanya infeksi bakteri yang
lainnya. Kultur darah dan kulit sangat dianjurkan karena adanya insidensi infeksi
bakteri yang serius dan sepsis yang berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas.
Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah langkah
pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala perubahan
harus diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran level gas darah arteri.
Tingkat serum bikarbonat dibawah 20 µm mengindikasikan prognosis yang
buruk. Pada umumnya disebabkan oleh alkalosis pernafasan yang terkait dengan
keterlibatan spesifik bronkus serta sedikit pengaruh asidosis metabolik.
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SSJ/NET
adalah gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia,
insufisiensi ginjal, azotemia prerenal, leukositosis ringan, anemia, neutropenia,
sedikit peningkatan enzim hepar dan amilase, hiperglikemia.Serum urea nitrogen
> 10mmol/L dan glukosa > 14mmol/L dianggap penanda keparahan penyakit.
2.2.7 Penatalaksanaan
Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting yang
harus dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan multidisiplin
tim pada intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan suportif
termasuk menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah komplikasi yang
mengancam jiwa. Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan luka bakar yang
luas.
1) Penatalaksanaan umum
 Penghentian Obat Penyebab
Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala
obat-obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil
akhir. Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi
penyebab terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk melakukan penelitian
untuk menentukan apakah waktu penghentian obat berhubungan dengan
prognosis pasien NET atau SSJ. Hasil penelitian menunujukkan bahwa
angka kematian lebih rendah apabila obat penyebab dengan waktu paruh
16
eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih dari 1 hari ketika bula atau
erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu
paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih tinggi.
 Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi
SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan
dikarenakan erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan
ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian ulang cairan harus dimulai
secepat mungkin dan disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus biasanya
kurang dari luka bakar pada tingkat keparahan yang sama, karena
interstisial edema tidak dijumpai. Aliran vena perifer lebih disukai jika
dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran sentral sering
melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain yang perlu
dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C
hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan
karena kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara
saat tidur meningkatan rasa nyaman pasien.
Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga
memerlukan tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan
dengan luas area tubuh yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan
daripada parenteral karena dapat ditoleransi dengan lebih baik dan dapat
memberikan pemasukan kalori lebih banyak. Sedangkan terapi parenteral
membutuhkan
akses vena sentral dan meningkatkan resiko sepsis. Dapat juga digunakan
nasogastric tube apabila terdapat lesi mukosa mulut.
 Antibiotik
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat
menyebabkan resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien
diberikan antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-
tanda tersebut antara lain perubahan status mental, mengigil, hipoterimia,
menurunnya pengeluaran urin dan penurunan kondisi klinis. Selain itu
juga terdapat peningkatan bakteri pada kultur kulit. Kultur rutin dari kulit,
darah, urin, dan kanula intravascular sangat disarankan. Penyebab utama
dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah Staphylococus aureus dan
Pseudomonas aeruginosa. Spesies Staphylococus yang dikultur dari darah
biasanya sama dengan yang dikultur dari kulit.
17
 Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan
agresif tidak direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan
bukanlah halangan untuk reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat
proliferasi sel-sel stem berkenaan dengan sitokin Peradangan. Pengobatan
topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan, elektrolit, dan
mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan dengan pemberian
analgetik dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan
antiseptic yang ringan dan solusio antibiotik seperti sabun povidone
iodine, chlorhexidine, silver nitrate untuk mengurangi pertumbuhan
bakteri.
 Perawatan Mata dan Mulut
Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap
SSJ/NET. Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi
ocular akut yang sama pada SSJ maupun NET dengan keterlibatan berat
sebesar 25%. Gejala sisa kronis terjadi pada sekitar 35% pasien, biasanya
disebabkan oleh skar konjungtiva. Permasalahan residual pada mata yang
paling sering dilaporkan adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering.
Namun pada beberapa pasien penyakit ocular kronis bermanifestasi
sebagai kegagalan permukaan mata, inflamasi episodik rekuren, skleritis,
atau sikatriks konjungtiva progresif yang menyerupai pemfigoid membran
mukosa. Perawatan mata meliputi pembersihan kelopak mata dan
memberi pelumas setiap hari dengan obat tetes atau salep mata. Mulut
harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga kebersihan
rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan
mengoleskan topikal anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan
sehingga dapat mengurangi sakit waktu menelan. Tindakan ini hanya
direkomendasikan bila penderita tidak mengalami pharyngealdysphagia.
Hindari makanan yang terlalu panas atau dingin, makanan yang asam dan
kasar. Sebaiknya makanan yang halus dan basah sehingga tidak
mengiritasi lesi pada mulut. Kadang-kadang diberikan obat anti fungal
seperti mikostatin, obat kumur-kumur soda bikarbonat, hydrogen
peroksida dengan konsentrasi ringan. Pemberian topikal pada bibir seperti
vaselin, lanolin.
 Perawatan vulvovaginal
18
Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini
harus dilakukan pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan
dari pengobatan ini untuk mencegah keterlibatan vagina yang membentuk
adhesi dan aglutinasi labial serta mencegah adenosis vagina ( bila
dijumpai keterlibatan metaplastik serviks / endometrium, epitel kelenjar
divulva atau vagina ). Pencegahan dengan memberikan kortikosteroid
intravaginal diterapkan dua kali sehari pada pasien dengan lesi ulseratif
sampai resolusi fase akut penyakit. Pemberian kortikosteroid topical ini
disertai dengan krim antijamur topical untuk mencegah kandidiasis
vagina.
2) Penatalaksanaan spesifik
1) Kortikosteroid Sistemik
Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi
menemukan bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan
penyakit bila diberikan pada fase awal. Studi lain menyebutkan bahwa
steroid tidak menghentikan perkembangan penyakit dan bahkan
dihubungkan dengan kenaikan mortalitas dan efek samping, khususnya
sepsis. Selanjutnya, banyak kasus telah dilaporkan yang telah diobati
dengan kortikosteroid, akan meningkatkan resiko SSJ/NET. Jadi,
kortikosteroid sistemik tidak dapat direkomendasikan sebagai pedoman
utama pengobatan SSJ/NET. Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam
pertama setelah onset untuk mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat
diberikan selama 3-5 hari diikuti penurunan secara bertahap (tapering off).
Dosis yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari. Dapat digunakan
deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena pada umumnya penyebab
SSJ/NET adalah eksogen (alergi). Pada SSJ/NET,kortikosteroid berperan
sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis.
Kortikosteroidjuga mempunyai efek anti-apoptosis pada banyak jaringan
termasuk kulit dengan menghambat aktivitas
2) Immunoglobulin Intravena (IVIG)
Anjuran pemakaian immunoglobulin intravena dosis tinggi didasarkan
pada demonstrasi bahwa kematian sel yang diperantarai Fas dapat
dibatalkan oleh aktivitas anti-Fas yang ada dalamsejumlah
immunoglobulin manusia normal. Keuntungan telah ditegaskan oleh
19
beberapa studi dan laporan kasus tetapi disangkal oleh beberapa yang
lainnya. IVIG mengandung antibodi imun yang mengganggu jalur
apoptosis yang diperantarai oleh FasL dan reseptor. Secara teoritis, yang
paling baik pemberian IVIG pada awal (24-72 jam setelah munculnya
bulla pertama), sebelum Fas-L dan reseptor berikatan, walaupun masih
efektif jika bulla yang baru muncul. Pasien dengan defisiensi Ig A akan
terjadi anafilaksis akibat IVIG. Sangat baik dilakukan pemeriksaan tingkat
IgA sebelum pemberian namun menunggu hasilnya dapat menyebabkan
keterlambatan pengobatan. Hasil studi dari IVIG pada SSJ dan NET masih
diperdebatkan, dan IVIG tidak disarankan sebagai pengobatan rutin.
Namun jika diputuskan untuk menggunakan IVIG dengan penyakit berat
diberikan dosis 1 gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut – turut ) pada
fase awal penyakit yaitu dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala. Efek
samping IVIG termasuk ginjal , hematologi dan komplikasi trombotik.
Resiko komplikasi yang serius meningkat pada pasien usia tua yang
menerima dosis tinggi IVIG serta pada penderita gangguan ginjal dan
jantung. Telah dilaporkan hemolysis berat dan nefropati pada pasien
SJS/NET yang diobati dengan IVIG.
3) Siklosporin A
Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang penuh kekuatan
dihubungkan dengan
efek biologik yang secara teoritis berguna dalam pengobatan SSJ/NET.
Dalam sebuah serial kasus retrospektif, 11 pasien NET diterapi dengan
siklosporin A (3 mg/kg/hari), terapi siklosporin A menyebabkan
reepitelisasi yang cepat dan angka mortalitas yang rendah bila
dibandingkan dengan siklofosfamid dan kortikosteroid (0% vs 50%).
Berbagai laporan kasus individual yang menggunakan dosis 3 hingga 5
mg/kg/hari secara intravena atau oral juga telah dipublikasikan
memperlambat perkembangan SJS/NET tanpa toksisitas yang signifikan.
Durasi pengobatan bervariasi mulai dari 8 hingga 24 hari, biasanya hingga
pasien mengalami reepitelisasi. Efek samping termasuk peningkatan
ringan dari serum kreatinin, hipertensi dan infeksi. Siklofosfamid sebagai
bahan tunggal telah digunakan meskipun saat ini tidak digunakan di
kebanyakan sentra.
4) Agen TNF-α
20
Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal 5 mg/kgbb
TNF- α menghentikan perluasan dan perkembangan dari SJS/NET dan
memicu epitelisasi. Pemberian etanercept 50 mg inj subkutan telah
berhasil digunakan dalam sejumlah kecil pasien.
5) Plasmafaresis atau Hemodialisis
Dasar pemikiran untuk memakai plasmafaresis atau hemodialisis adalah
mendorong perpindahan obat yang salah, metabolitnya, atau mediator
peradangan seperti sitokin. Sebuah laporan kasus kecil melaporkan efikasi
dan keamanannya dalam penatalaksanaan SSJ/NET. Bagaimanapun,
mempertimbangkan tidak adanya dasar dan adanya resiko yang
dihubungkan dengan pemasangan kateter intravaskular, penatalaksanaan
ini tidak direkomendasikan.
2.2.8 Pathway penatalaksanaan SSJ (Syndrome Stevens-Johnson)

2.2.9 Diagnosa keperawatan SSJ (Syndrome Steven Jhonson)


a) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera kimiawi
b) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala penyakit

21
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
2.2.10 Intervensi keperawatan SSJ (Syndrome Steven Jhonson)

Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Rencana tindakan keperawatan


(SDKI) (SLKI) (SIKI)
Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 Observasi
dengan jam maka tingkat nyeri 1. identifikasi lokasi,
menurun karakteristik, durasi,
dengan kriteria hasil : frekuensi, kualitas, itensitas
1. kemampuan menuntaskan nyeri
masalah meningkat 2. identifikasi skala nyeri
2. keluhan nyeri menurun 3. identifikasi respon nyeri non
3. meringis menurun verbal
4. sikap protektif menurun 4. identifikasi factor yang
S. gelisah menurun memperberat dan
6. kesulitan tidur menurun memperingan nyeri
7.frekuensi nadi membaik 5. identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
6. identifikasi pengaruh nyeri
terhadap kualitas hidup
7. monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
8. monitor efek samping
penggunaan analgesic
Terapeutik
1. berikan teknik non
farmakologis
2. control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
3. fasilitasi istirahat dan tidur
4. pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan

22
nyeri
Edukasi
1. jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
2. jelaskan strategi meredakan
nyeri
3. anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. anjurkan menggunakan
analgesic secara tepat
Kolaborasi
1. pemberian analgesic, jika
perlu
Gangguan Setelah dilakukan Pengaturan posisi
rasa nyaman intervensi keperawatan Observasi:
berhubungan selama 3 x 24 jam, maka a) Monitor status oksigenasi
dengan status kenyamanan sebelum dan sesudah
meningkat, dengan mengubah posisi
kriteria hasil: b) Monitor alat traksi agar
1. Keluhan tidak nyaman selalu tepat
menurun Terapeutik:
2. Gelisah menurun a) Tempatkan pada
3. Keluhan sulit tidur matras/tempat tidur
menurun terapeutik yang tepat
4. Lelah menurun b) Tempatkan pada posisi
5. Postur tubuh membaik terapeutik
c) Tempatkan objek yang
sering digunakan dalam
jangkauan
d) Tempatkan bel atau lampu
panggilan dalam
jangkauan
e) Sediakan matras yang
kokoh/padat
f) Atur posisi tidur yang
23
disukai, jika tidak
kontraindikasi
g) Atur posisi untuk
mengurangi sesak (mis:
semi-fowler)
h) Atur posisi yang
meningkatkan drainage
i) Posisikan pada
kesejajaran tubuh yang
tepat
j) Imobilisasi dan topang
bagian tubuh yang cidera
dengan tepat
k) Tinggikan bagian tubuh
yang sakit dengan tepat
l) Tinggikan anggota gerak
20° atau lebih diatas level
jantung
m) Tinggikan tempat tidur
bagian kepala
n) Berikan bantal yang tepat
pada leher
o) Berikan topangan pada
area edema (mis: bantal
dibawah lengan atau
skrotum)
p) Posisikan untuk
mempermudah
ventilasi/perfusi (mis:
tengkurap/good lung
down)
q) Motivasi melakukan
ROM aktif atau ROM
pasif

24
Edukasi:
a) Informasikan saat akan
dilakukan perubahan
posisi
b) Ajarkan cara
menggunakan postur yang
baik dan mekanika tubuh
yang baik selama
melakukan perubahan
posisi
Kolaborasi:
a) Kolaborasi pemberian
premedikasi sebelum
mengubah posisi, jika
perlu
Intoleransi Kriteria hasil untuk Manajemen energi
aktivitas membuktikan bahwa Observasi:
toleransi aktivitas 1. Identifikasi gangguan
meningkat adalah: fungsi tubuh yang
1. Keluhan Lelah mengakibatkan kelelaha
menurun 2. Monitor kelelahan fisik
2. Dispnea saat aktivitas dan emosional
menurun 3. Monitor pola dan jam
3. Dispnea setelah tidur
aktivitas menurun 4. Monitor lokasi dan
Frekuensi nadi membaik ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
Terapeutik:
1. Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus (mis: cahaya,
suara, kunjungan)
2. Lakukan latihan rentang
gerak pasif dan/atau aktif
3. Berikan aktivitas distraksi
25
yang menenangkan
4. Fasilitasi duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan
Edukasi:
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang
4. Ajarkan strategi koping
untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi:
1. Kolaborasi dengan ahli
gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan

2.3 Myestenia Gravis

2.3.1 Definisi Myestenia Gravis


Myasthenia Gravis (MG) adalah kelainan autoimun kronik dari transmisi
neuromuscular yang menyebabkan kelemahan otot. Myasthenia Gravis berasal dari
Bahasa Yunani “Myasthenia” yang berarti kelemahan otot, dan Bahasa Latin “Gravis”
yang artinya berat. Istilah myasthenia gravis berarti kelemahan otot yang berat
(Hughes, 2005 dalam Tugasworo, 2021).
MG merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transimisi neuromuskuler yang
disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor asetilkolin dan protein post sinaptik
terkait oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, myasthenia gravis merupakan
penyakit autoimun yang spesifik organ (Lisak, 2018; Hassan & Yasawy, 2017;
Sathasivam, 2014).
26
MG ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang
dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih
kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari sinaps transmission atau
pada neuromuscular junction (Lisak, 2018; Hassan & Yasawy, 2017; Sathasivam,
2014).
2.3.2 Etiologi Myestenia Gravis
Kebanyakan pasien dengan MG menunjukkan sampel darah termasuk antibodi
terhadap reseptor asetilkolin. Dengan demikian, diperkirakan bahwa MG disebabkan
oleh reaksi autoimun. Dipercayai bahwa kelenjar timus menyebabkan atau
mempertahankan produksi antibodi ini karena biasanya pada orang dewasa yang sehat,
ukuran kelenjar timus kecil, namun pada beberapa pasien MG, ukurannya tidak
normal atau bahkan memiliki tumor kelenjar timus (timoma) (10-15%) (Elgohary,
2020).
Juga diduga bahwa beberapa mikroorganisme memicu reaksi autoimun. Penyakit
ini biasanya terjadi pada wanita di bawah 40 tahun dan pria di atas 60 tahun, tetapi
secara umum dapat terjadi pada semua usia. Di Amerika Serikat, diperkirakan
mempengaruhi antara 0,5 dan 20,4 kasus/100.000 individu (Elgohary, 2020).
Jenis lain dari MG adalah "antibodi-negatif myasthenia gravis" juga diketahui.
Pada tipe ini, antibodi diproduksi melawan protein lain yang disebut protein terkait
lipoprotein 4 daripada reseptor asetilkolin, menghasilkan kondisi yang sama (Staff,
2019).
2.3.3 Patofisiologi Myestenia Gravis
Wang, et al (2018) membagi patofisiologi MG menjadi 4 jalur mekanisme, yaitu :
a) Defek transmisi neuromuskular
Kelemahan otot rangka timbul akibat menurunnya faktor keselamatan
pada proses transmisi neuromuskular. Faktor keselamatan adalah perbedaan
potensial pada motor endplate dan potential threshold yang dibutuhkan untuk
menimbulkan potensial aksi dan akhirnya merangsang kontraksi serabut otot.
Menurunnya potensial pada motor endplate timbul akibat menurunnya
reseptor asetilkolin.
b) Autoantibodi
Autoantibodi yang paling sering ditemukan pada MG adalah antibodi
terhadap reseptor asetilkolin (AChR) nikotinik pada otot rangka. Antibodi
AChR akan mengaktifkan rangkaian komplemen yang menyebabkan trauma

27
pada post-sinaps permukaan otot. Selanjutnya antibodi AChR akan bereaksi
silang dengan AChR sehingga meningkatkan endositosis dan degradasi. Lalu
antibodi AChR akan menghambat aktivasi AChR dengan cara memblokade
binding site-nya AChR atau menghambat pembukaan kanal ion.
c) Patologi timus
Abnormalitas timus sering ditemukan pada pasien MG. Sekitar 10%
pasien MG terkait dengan timoma. Sebagian besar timoma memiliki
kemampuan untuk memilih sel T yang mengenali AChR dan antigen otot
lainnya. Selain timoma, ditemukan juga hiperplasia timus folikular pada
pasien MG tipe awitan dini dan atropi timus pada pasien MG dengan awitan
lambat.
d) Defek pada sistem imun
MG adalah gangguan autoimun terkait sel T dan diperantarai sel B.
Produksi autoantibodi pada AChR MG membutuhkan bantuan dari sel T
CD4+ (Sel T helper). Mereka akan menyekresikan sitokin inflamasi yang
menginduksi reaksi autoimun terhadap self-antigen dan akhirnya
mengaktifkan sel B.
2.3.4 Manifestasi Klinis Myestenia Gravis
Kelemahan otot merupakan gejala dan tanda mayor dari myasthenia gravis.
Kombinasi dari kelemahan, kelemahan yang diperberat dengan aktivitas dan waktu
merupakan gejala penting dari myasthenia gravis. Keluhan juga sering kali disertai
dengan kelemahan pada otot mata maupun otot kepala yang merupakan distribusi
nervus kraniales, sehingga terkadang mendiferensial diagnosa dengan kelainan
cerebrovaskular maupun kelainan di batang otak (Gilhus & Verschuuren, 2015 dalam
Tugasworo, 2021).
2.3.5 Klasifikasi Myestenia Gravis
Terdapat beberapa klasifikasi oleh Osserman yang membagi myasthenia gravis
menjadi : (Wijayanti, 2016)
a. Ocular myasthenia
Hanya terkena pada otot-otot mata, dengan ptosis dan diplopia sangat
ringan dan tidak ada kematian.
b. Generalized myasthenia
1) Mild generalized myasthenia

28
Permulaan lambat, sering terkena pada otot mata, perlahan meluas
ke otot-otot rangka dan bulbar, sistem pernafasan tidak terkena, respon
baik terhadap otot.
2) Moderate generalized myasthenia
Kelemahan hebat dari otot-otot rangka dan bulbar, respon terhadap
obat tidak memuaskan.
c. Severe generalized myasthenia
 Acute fulmating myasthenia
Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernapasan,
progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap
obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortalitas
tinggi.
 Late severe myasthenia
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif
dari myasthenia gravis dapat perlahan atau mendadak, presentase
timoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek.
2.3.6 Diagnosis Myestenia Gravis
a. Anamnesis
Pasien biasanya datang ke dokter dengan keluhan pada mata yaitu melihat
double atau kelopak mata sulit membuka. Keluhan pada mata relatif lebih
dirasakan mengganggu ketimbang kelemahan pada otot lainnya. Pada stadium
selanjutnya muncul akan mengenai otot wajah, otot pengunyah, otot menelan dan
otot untuk bicara (Lisak, 2018; Sathasivam, 2014 dalam Tugasworo, 2021).
Kelemahan otot di bagian kepala juga dapat terjadi, disertai dengan kelemahan
fleksi dan ekstensi kepala. Kelemahan anggota gerak biasanya lebih berat pada
segmen proksimal dibandingkan dengan segmen distal dengan gejala khas
kelemahan biasanya lebih baik pada pagi hari dan memburuk seiring berjalannya
hari (sore atau malam hari) dan diperberat dengan aktivitas dan diperingan dengan
istirahat (Lisak, 2018; Sathasivam, 2014 dalam Tugasworo, 2021).
b. Pemeriksaan fisik
Berikut beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan
myasthenia gravis :
1. Wartenberg test
Kelemahan otot levator palpebra akan terlihat bila pasien diminta
untuk melihat ke atas selama 1 menit, kelemahan ini akan membaik
29
setelah pasien diminta untuk menutup mata secara maksimal
(Tugasworo, 2021)
2. Edrophonium test
Pemeriksaan edrophonium atau tensilon menggunakan inhibitor
asethylkolinersterase short-acting. Tujuannya adalah untuk
memperlihatkan reversibilitas dari kelemahan otot. Sensitivitas dari
pemeriksaan ini mencapai 88% pada MG seluruh tubuh dan 92%
pada MG okular, dengan spesifitas sebesar 97% baik MG seluruh
tubuh maupun MG okular (Sathasivam, 2014 dalam Tugasworo,
2021).
Efek samping dari edrophonium adalah salivasi, berkeringat,
mual, nyeri perut, dan fasikulasi otot. Hipotensi dan bradikardia
juga dapat terjadi, namun jarang terjadi. Diperlukan untuk
memberikan atropine sebagai profilaksis dikarenakan risiko dari
kejadian bradykinesia dan cardiac arrest (Sathasivam, 2014 dalam
Tugasworo, 2021)
3. Ice pack test
Metode cepat untuk membedakan ptosis yang disebabkan oleh
MG maupun penyebab yang lain adalah ice pack test. Es diletakkan
pada mata yang mengalami ptosis selama 2 menit, dan apabila ada
perbaikan dari ptosis, menunjukkan adanya kelainan transmisi
neuromuskular (Sathasivam, 2014; Trouth, et al, 2012; Gilhus, et al,
2015 dalam Tugasworo, 2021).
Tes Ice Pack merupakan pemeriksaan non farmakologi yang
dapat dipertimbangkan ketika pemeriksaan dengan edrophonium
merupakan kontraindikasi. Dapat dilakukan dengan meletakkan ice
pack di atas mata selama 2-5 menit dan dinilai perbaikan dari
ptosis. Tes ini memiliki sensitivitas 89% dan spesifitas sebesar
100% (Sathasivam, 2014; Trouth, et al, 2012; Gilhus, et al, 2015
dalam Tugasworo, 2021)
2.3.7 Pemeriksaan penunjang Myestenia Gravis
1) Pemeriksaan neurofisiologi
Pemeriksaan repetitive nerve stimulation (RNS) dan Single-fiber
electromyography (SFEMG) merupakan pemeriksaan yang paling umum
dilakukan pada pemeriksaan neurofisiologi. Namun hasil pemeriksaan dapat
30
dikaburkan pada pasien dengan pengobatan dosis tinggi inhibitor
acethylcholinesterase. RNS dilakukan dengan stimulasi sebesar 3-10 Hz yang
dapat menghasilkan decrement yang progresif pada amplitudonya (Sathasivam,
2014 dalam Tugasworo, 2021).
2) Imaging
Semua pasien MG sebaiknya dilakukan pemeriksaan computed
tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari thorax untuk
mencari adanya thymoma maupun hyperplasia thymus. Imaging mediastinum
sebaiknya diulang apabila MG relaps setelah periode yang stabil untuk
mengeksklusi perkembangan dari thymoma, di mana dapat terjadi belakangan
(Sathasivam, 2014 dalam Tugasworo, 2021).
3) Tes antibody
Semua pasien dengan tersangka MG sebaiknya dicek antibody anti AchR-
nya. Sensitivitas dari pemeriksaan ini yaitu sebesar 70%-95% pada kasus MG
yang mengenai seluruh tubuh dan 50%-75% pada MG okular. Konsentrasi
antibody anti AchR tidak memprediksikan derajat penyakit pada pasien
(Sathasivam, 2014 dalam Tugasworo, 2021). Apabila antibodi anti Ach-R
negatif, antibodi anti-MusK sebaiknya dicek. Protein MusK berperan penting
dalam neuromuscular junction (Hassan & Yasawy, 2017).

Diagnosa Keperawatan Myestenia Gravis

 
1) Intoleransi Aktivitas b.d  Kelemahan Otot - Otot Volunter
2) Gangguan Menelan b.d Kerusakan Saraf  Kranial
3) Hambatan Komunikasi Verbal b.d DefekAnatomis : Perubahan Neuromusculer

31
 

I. Intervensi Keperawatan

32
33
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keimunan badan kita mempunyai hubungan rapat dengan cara hidup dan
pemakanan kita. Jika badan dibekalkan dengan nutrien yang mencukupi dan sesuai,
sistem imun kita dapat diperkuatkan. Produk berkualiti seperti Phyto Greens, Jus Aloe
Vera, Royal Spora Lingzhi dan The Hijau dapat meningkatkan daya ketahanan badan
kita. Kita dikelilingi oleh virus dan bakteria, oleh itu, adalah amat penting untuk
memastikan sistem imun kita berfungsi dengan baik supaya dapat mempertahankan
badan dan melawan dari pelbagai penyakit.
3.2 Saran
Agar dalam penyusunan makalah kelompok ini bisa memberikan manfaat yang
besar maka kami menyarankan:
 Jaga pola hidup yang sehat agar tidak mudah terserang penyakit
 memperhatikan setiap makanan yang akan dikonsumsi
 memelihara lingkungan yang bersih dan sehat

35
DAFTAR PUSTAKA

Niken, ariska. SLE-hiper. Academia.edu. Published 2019. Accessed January 28, 2023.
Yuliasih. 2020. Perkembangan Patogenesis SLE..
Adhi Djuanda and Mochtar Hamzah. Jakarta. Fifth Edition. 2009. Page 163-165.
Arthur Rook et all. Textbook of Dermatology. London. Fourth Edition. Vol.2. 1986. Page
1085-1088.
Delwyn dyall-Smith, and Robin Marks. USA. 1999. Page 130.
Harry L. Arnold, et all. Philadelphia. Eight Edition. 1990. Page 136-137.
Mark Lebwohl, et all. Philadelpihia. 2002. Page 633-636.
https://www.academia.edu/16786724/SLE_hiper

36

Anda mungkin juga menyukai