Anda di halaman 1dari 43

TUGAS KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH 2

SLE

Oleh :
ZEJINHO XIMENES 201111026

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN/NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS CITRA BANGSA
KUPANG
2022
LAPORAN PENDAHULUAN

1. DEFINISI
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun menahun yang
menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian dan
organ dalam.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena produksi
antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang
sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh
darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan
menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam,
bersifat sementara dan sulit untuk didiognisis.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan
eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
Klasifikasi SLE (Sistemik Lupus Erithematosus)
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1) Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang
menyerang kulit.
2) Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti
kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem saraf. Selanjutnya kita singkat
dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus).
3) Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-
gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.

2. ETIOLOGI
Sampai saat penyebab SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) belum diketahui, Diduga ada
beberapa paktor yang terlibat seperti faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada
patofisiologi SLE (Sistemik Lupus Eritematosus).
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan
tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan antibodi secara terus
menerus. Antibodi ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi
imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam
pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa
faktor :
1.    Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2.    Hiperaktivitas sel T helper
3.    Kerusakan pada fungsi sel T supresor
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :
1.    Infeksi
2.    Antibiotik
3.    Sinar ultraviolet
4.    Stress yang berlebihan
5.    Obat-obatan yang tertentu
6.    Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa
menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali sering ditemukan
pada wanita. Faktor hormonal yang menyebabkan wanita sering terserang penyakit lupus daripada
pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi atau selama kehamilan
mendukung keyakinan bahwa hormone (terutama esterogen) mungkin berperan dalam timbulnya
penyakit ini. Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat menyebabkan sindrom mirip lupus, yang
akan menghilang bila pemakaian obat dihentikan.

3. PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-
faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama
usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-
obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi serangan antibodi tambahan dan siklus
tersebut berulang kembali.
Kerusaan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini menimbulkan
abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
1) Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2) Pembentukan sitokin yang berlebihan
3) Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin
dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena
adanya mimikri molekuler.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang disebut
sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun.
Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan/organ yang akhirnya menimbulkan gejala
inflamasi atau kerusakan jaringan.

PATHWAY SLE
4. MANIFESTASI KLINIS
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai dengan
tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu
sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapat
remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar
matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti
demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling
menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

a) Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa artritis (93%).
Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin juga
terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau
ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid. Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat,
dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang
paling sering terkena ialah kaput femoris.
b) Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit yang
paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid, dan livido retikularis.
Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus pada hidung dan kedua pipi.
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas luka. Pada bagian tubuh yang
terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk
lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya
tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai adanya
penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk silikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar.
Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis suatu bentuk vaskulitis
ringan, sangat sering ditemui pada SLE.

c) Ginjal
` Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria
atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal jarang terjadi, hanya terdapat pada 25%
kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus
membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai
sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis lupus
membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal
ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik,
tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.

d) Susunan Saraf Pusat


Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-
kejang.
Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem
lain-lainnya. Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik otak seperti sukar
menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan
dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau
menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik jika dosis steroid dinaikkan dan
sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin
ditemukan ialah afasia, hemiplegia.
e) Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival dan adanya badan
sitoid di retina
f) Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun
miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
g) Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan
cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian tersebut sering timbul nyeri dada dan
sesak napas.
h) Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan diare. Gejalanya
menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang
timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium
dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.
i) Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal, dengan karakteristik
tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh
pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau thrombosis berkaitan dengan adanya lupus
antikoagulan. Anemia dapat dijumpai pada periode perkembangan penyakit LES, yang diperantai
oleh proses imun dan non-imun.

5. TINJAUAN PENGOBATAN
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya
inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan
pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan
edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena
banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang dilakukan juga
sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Herfindal et al.,
2000), sebagai berikut :
1) Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan
keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita SLE
sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor
lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE
(Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75
IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-
10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock
(SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk
mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar
rumah (Delafuente, 2002).
2) Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien
menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
3) NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan NSAID
yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal,
2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.
Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat.
COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin, interferon,
serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim yang berperan pada fungsi
homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan
hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan
tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan
saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi lainnya. Celecoxib merupakan
inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian
perforasi lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek samping yang
timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1
sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan
menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu.
Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek
samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat
digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang
muncul (Herfindal et al., 2000).
4) Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam, atralgia, lemas
atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ penting. Beberapa mekanisme aksi
dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim
lisosom, mengikat DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin
dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor α (TNF-
α).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan kebanyakan pasien
mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika pasien memberikan respon yang
baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi.
Sebelum pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria
dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun penghentian
obat (Herfindal et al., 2000).
5) Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap
penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid. Beberapa
pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan
jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja
sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam
arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin,
prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya
inflamasi dan meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke
tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan
mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan
dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh
mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator
plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi,
imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan
memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid dosis
tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan
menurunkan potensi efek samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering
digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk intravena (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit).
Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan perbaikan yang
berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang menunjukkan penyakit ginjal
(serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu
pemberian glukokortikoid Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun
dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas
hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu paronya lebih
pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah
tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan
penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya
diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka
dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan
pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg
per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat
terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal
(HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau
serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau
hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh
nefritis) tidak selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi
lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau hipertensi sehingga
diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini.
Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi
pada pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan
absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang
dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering
dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).

6) Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik bahan
pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan
fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T,
dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan
secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis
tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan
infeksi. Oleh karena itu dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet
count. Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse
therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan
meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis. Penggunaan
siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita lupus nefritis yang
refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis
steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan alopesia.
Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat antiemetik. Pemakaian
jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan
produksi sperma (Herfindal et al., 2000).
7) Terapi hormone
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada saat
masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun,
mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE
mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit
yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg and
Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan
TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine.
Meskipun demikian mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee,
2001).
8) Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat menyebabkan tubuh
mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan
Candida (Isenberg and Horsfall, 1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus
asiklovir atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5–7 hari. Salmonella dapat
diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung,
2002). Sedangkan golongan penisilin dan sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash
yang sensitif sehingga dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi
dari Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan itrakonazol (Katzung,
2002).
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
1) Anamnese
a. Identitas pasien
Nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan terakhir, alamat.
b. Keluhan utama
 Keluhan utama saat MRS :
Keluhan utama yang biasa muncul adalah demam
 Keluhan utama saat pengkajian :
Keluhan utama yang biasa muncul saat pengkajian tidak pasti, tergantung kapan dilakukan
pengkajian tersebut. Biasanya adalah demam, kelemahan, nafsu makan menurun dan BB menurun.
c. Riwayat kesehatan :
 Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat dari dimulainya gejala penyakit sampai pasien atau keluarga memutuskan untuk
dibawa ke RS. Yang biasa muncul adalah riwayat demam, kelemahan sampai intoleransi aktifitas,
penurunan nafsu makan dan penurunan BB.
 Riwayat penyakit dahulu :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui apakah pernah mengalami hipertensi, gangguan pada
mata, dan adanya nyeri sendi.
 Riwayat penyakit keluarga :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada anggota yang pernah
menderita penyakit yang sama.
 Riwayat psikososial :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah hubungan klien dengan keluarga dan
masyarakat. Pasien dapat menunjukkan gejala mudah marah dan fluktuasi, takut akan penolakan dari
orang lain, harga diri rendah, kekawatiran menjadi beban orang lain. Tanda yang dapat ditunjukkan
adalah ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada diri sendiri.
d. Kebiasaan sehari – hari
I. Nutrisi : Makan ; yang dikaji adalah frekuensi, jumlah porsi yang habis, cara makan
makanan yang disukai dan tidak disukai. Minum ; yang dikaji adalah frekuensi, jumlah,
komposisi.
II. Eliminasi : BAB dan BAK ; yang dikaji adalah frekuensi, pola eliminasi, konsistensi,
warna, bentuk.
III. Istirahat : jumlah jam tidur siang ataupun malam, adanya gangguan tidur atau tidak.
IV. Aktivitas : kegiatan yang dilakukan dari bangun tidur sampai tidur kembali
V. Personal hygiene : bagaimana kebiasaan dalam kebersihan diri sendiri ataupun lingkungan.
2) Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum : dikaji bagaimana keadaan umum klien saat pengkajian dilakukan.
 TTV : tanda- tanda vital sangat penting untuk mengetahui kondisi umum pasien. Tindakan
yang dilakukan adalah pengukuran tekanan darah, nadi, RR, dan suhu.
 Integumen : kulit tampak adanya ruam, ada luka pada bibir atau mulut.
 Thoraks : paru ; rriwayat inspeksi paru, riwayat abses paru, dapat juga ditemukan adanya
cairan dalam paru, nafas pendek saat istirahat dan aktivitas, takipneu, distess pernapasan akut,
dan penurunan buyi napas. Jantung dan sirkulasi ; nyeri dada, tekanan nadi melebar, desiran
( menunjukkan mekanisme anemia ), warna kulir pucat, ruam, sianosis.
 Abdomen : adanya nyeri tekan abdomen,
 Ekstremitas : menahan sendi pada posisi yang nyaman,
 Persyarafan/ neurosensori : sakit kepala, penurunan penglihatan, keseimbangan buruk,
kesemutan pada ekstremitas, kelemahan otot, penurunan kekuatan otot, kejang.
Data dasar pengkajian pasien
1. Aktivitas
Gejala : Keletihan, kelemahan, nyeri sendi karena gerakan
Tanda : Penurunan semangat bekerja, toleransi terhadap aktivitas rendah, penurunan rentang
gerak sendi, gangguan gaya berjalan.

2. Sirkuasi
Gejala : Nyeri dada
Tanda :TD : tekanan nadi melebar, desiran (menunjukkan mekanisme anemia), warna kulit :
pucat/sianosis, membaran mukosa, kulit terdapat ruam.
3. Integritas Ego
Gejala : Mudah marah dan fruktasi, takut akan penolakan dari orang lain, harga diri buruk,
kekuatiran mengenai menjadi beban bagi yang mendekat
Tanda : Ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada diri sendiri
4. Eliminasi
Gejala : Sering berkemih, berkemih dengan jumlah besar
Tanda : Nyeri tekan pada abdomen, urine encer : terdapat darah atau protein.
5. Makanan/Cairan
Gejala : Mual/muntah, anoreksia, haus, kesulitan menelan, adanya penurunan BB
Tanda : turgor kulit buruk berbentuk ruam, lidah tampak merah daging, bibir : disudut bibir
terdapat luka.
6. Higiene
Gejala : kesulitan untuk mempertahankan aksi (nyeri/anemia berat), berbagai kesulitan untuk
melakukan aktivitas perawatan pribadi.
Tanda : ceroboh, tak rapih, kurang bertenaga.
7. Neurosensori
Gejala : sakit kepala, berdenyut pusing, penurunan penglihatan, bayangan pada mata,
kelemahan, keseimbangan buruk, kesemutan pada ekstremitas.
Tanda : kelemahan otot, penurunan kekuatan otot, kejang, pembekakan sendi simetri.
8. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri hebat, berdenyut, rasa perih di berbagai lokasi, sakit kepala berulang, tajam,
sementara, nyeri tekan abdomen, nyeri dada
Tanda : menahan sendi pada posisi nyaman, sensitivitas terhadap palpitasi pada area yang
sakit.
9. Penapasan
Gejala : riwayat inspeksi paru, riwayat abses paru, napas pendek pada istirahat dan aktivitas.
Tanda : takipnea, distres pernapasan akut, bunyi napas menurun.

10. Keamanan
Gejala : kekeringan pada mata dan membran mukosa, demam ringan menetap, lesi kulit,
gangguan penglihatan, penyembuhan luka buruk
Tanda : berkeringat, mengigil berulang, gemetar, luka pada wajah
11. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : riwayat penyakit hipertensi, hematologi, riwayat adanya masalah dengan
penyembuhan luka/perdarahan, pertimbangan rencana pemulangan : lama perawatan: 4-8 hari,
memerlukan bantuan dalam perawatan diri, pemeliharaan rumah.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
I. Gangguan rasa nyaman (nyeri kronik) berhubungan dengan efusi sendi dan sesak akibat efusi
pleura.
II. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan mobilitas.
III. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tidak seimbangnya suplai dan kebutuhan O2.

3. INTERVENSI
No Diagnosa Intervensi Rasional
. Keperawatan
1. Gangguan rasa Mandiri
nyaman (nyeri a.    Tentukan a. Nyeri dada biasanya
kronik) karakteristik nyeri, ada dalam beberapa
berhubungan missal : tajam, atau derajat pada
dengan efusi sendi seperti ditusuk. pneumonia, juga dapat
dan sesak akibat Selidiki perubahan timbul komplikasi
efusi pleura . lokasi/intensitas nyeri. pneumonia seperti
Tujuan : Setelah perikarditis dan
Dilakukan endokarditis
tindakan b.   Pantau TTV b.Perubahan frekuensi
keperawatan jantung menunjukkan
selama 3x24 klien merasa nyeri
jam, diharapkan c. Berikan tindakan c.Tindakan
rasa nyeri teratasi. untuk meningkatkan nonanalgesik diberikan
Kriteria Hasil : kenyamanan, missal: dengan sentuhan lembut
-  Menyatakan relaksasi, latihan dapat menghilangkan
nyeri nafas dalam ketidaknyamanan dan
hilang/terkontrol memperbesar efek
-  Menunjukkan analgesic
rileks, istirahat d.   Anjurkan untuk d. Mencegah terjadinya
tidur, peningkatan sering mengubah kelelehan umum dan
aktivitas dengan posisi. Bantu pasien kekakuan sendi,
cepat untuk bergerak diatas mengurangi
- Menggabungkan tempat tidur, hindari gerakan/rasa sakit pada
ketrampilan tindakan yang sendi
relaksasi dan menyentak
aktivitas hiburan e. Anjurkan untuk e. Panas meningkatkan
ke dalam program mandi dengan air relaksasi otot dan
control/nyeri hangat. Sediakan mobilitas, menurunkan
handuk hangat untuk rasa nyeri dan
mengompres sendi- melepaskan kekakuan
sendi yang sakit di pagi hari. Sensitivitas
beberapa kali sehari terhadap panas dapat
dihilangkan dan luka
dermal dapat
disembuhkan
f.    Berikan masase f.  Meningkatkan
yang lembut relaksasi/mengurangi
tegangan otot

Kolaborasi Memberikan dukungan


Bantu dengan terapi untuk menghilangkan
fisik nyeri
2. Gangguan Mandiri
integritas kulit b.d a.Kaji integritas kulit, a.Kondisi kulit
gangguan catat perubahan dipengaruhi oleh
mobilitas fisik turgor, warna, dan sirkulasi dan mobilitas
Tujuan : setelah eritema jaringan dapat menjadi
dilakukan tindakan rapuh dan cenderung
keperawatan untuk infeksi berat.
selama 3 x 24 jam, b. Bantu untuk b.Untuk meningkatkan
diharafkan melakukan ROM sirkulasi jaringan dan
gangguan (Range Of Motion) mencegah statis
integritas kulit c. Inspeksi kulit/ titik c.Potensial jalan masuk
berkurang. tekan secara teratur organisme pathogen
Kriteria Hasil : untuk kemerahan, pada adanya gangguan
- Mempertahakan berikan pijatan lembut sistem imun, hal ini
integritas kulit meningkatkan resiko
-  Mengidentifikasi infeksi dan pelambatan
faktor risiko proses penyembuhan
/perilaku klien d. Awasi tungkai d. Meningkatkan abalik
untuk mencegah terhadap kemerahan, vena menurunkan statis
cidera dermal perhatikan dengan vena/pembentukan
-  Melakukan ketat terhadap edema.
aktivitas sehari- pembentukan ulkus.
hari
-  Observasi Kolaborasi Menghindari kerusakan
perbaikan luka Gunakan pelindung, kulit dengan
/penyembuhan lesi misalnya lotion sesuai mencegah/menurunkan
bila ada. dengan indikasi. tekanan pada
permukaan kulit.
3. Intoleransi Mandiri
aktivitas a. Kaji kemampuan a. Mempengaruhi
b.d tidak pasien untuk pilihan
seimbangnya melakukan aktivitas. intervensi/bantuan
suplai dan Catat laporan
kebutuhan O2 kelelahan dan
(anemia) keletihan
Tujuan : Setelah b. Awasi TD, nadi b. Manifestasi
dilakukan pernapasan, selama kardiopulmonal dari
intervensi dan sesudah aktivitas upaya jantung dan paru
keperawatan 3x24 untuk membawa jumlah
jam, diharapkan oksigen adekuat ke
menunjukkan jaringan
penurunan tanda c. Rencanakan latihan c. Meningkatkan secara
fisiologis aktivitas dengan bertahap tingkat
intorelansi pasien, termasuk aktivitas sampai normal
Kriteria Hasil : aktivitas yang pasien dan memperbaiki tonus
-       Adanya pandang perlu otot tanpa kelemahan.
peningkatan d.  Gunakan teknik d. Mendorong pasien
toleransi aktivitas penghematan energi melakukan banyak
(termasuk aktivitas dengan membatasi
sehari-hari) penyimpangan energi
-       Berpartisipasi dan mencegah
dalam aktivitas kelemahan
sehari-hari sesuai e. Anjurkan pasien e. Stress berlebihan
tingkat berhenti bila terjadi dapat menimbulkan
kemampuan nyeri dada, kegagalan
kelemahan atau
pusing terjadi
Kolaborasi :
Berikan terapi Memeksimalkan
oksigen tambahan sediaan oksigen untuk
kebutuhan seluler.
KASUS 1

Ny. K datang ke RS dengan keluhan nyeri pada sendi, timbulnya kemerahan pada pipi dan
kulit. Demam yang tidak hilang sudah 1 bulan, sering merasa lelah dan lemah, sariawan yang hilang
timbul, tidak nafsu makan, dan dalam 1 bulan terakhir berat badan turun mencapai 5 kg. Hasil tes
ANA ( + ) dan anti ds-DNA 350 Iu/ml, Hb 10 gr/dl, saat ini pesien diberikan obet PCT 3x500 mg.
Dexametazon 2x1 tab, dan Piroksikam 3x20 mg, Vit B kompleks 3x1 tab Neorobin 3x1 tab.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DEMAM REMATIK
Disusu untuk memenuhi tugas mata kuliah KMB II

Oleh

ZEJINHO XIMENES

PRODI NERS

FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS CITRA BANGSA

KUPANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan “Asuhan Keperawatan pada Pasien Penyakit Demam
Rematik ”. Penulisan “Asuhan Keperawatan pada Pasien Penyakit DEMAM REMATIK” ini
dilakukan dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II.
“Konsep Asuhan Keperawatan DEMAM REMATIK ” ini terwujud atas bimbingan, pengarahan,
dan bantuan dari berbagai pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Sehingga Penulis
pada kesempatan ini menyampaikan ucapan terima kasih. Akhir kata, penulis berharap Tuhan
Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga
tugas ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

KUPANG, 23 Mei 2022


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................................ii

BAB I KONSEP MEDIS.................................................................................................................1

DEFINISI.............................................................................................................................................1

ETIOLOGI...........................................................................................................................................1

MANIFESTASI KLINIS.....................................................................................................................2

PATOFISIOLOGIS/PATOMEKANISME.........................................................................................2

KOMPLIKASI.....................................................................................................................................3

PROGNOSIS.......................................................................................................................................4

PEMERIKSAAN PENUNJANG........................................................................................................5

PENATALAKSANAAN.....................................................................................................................6

KLASIFIKASI.....................................................................................................................................8

PENCEGAHAN..................................................................................................................................9

BAB II KONSEP KEPERAWATAN.............................................................................................11

PENGKAJIAN....................................................................................................................................11

PATHWAY.........................................................................................................................................17

DIAGNOSA........................................................................................................................................20

INTERVENSI KEPERAWATAN......................................................................................................21

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN.................................................................37

DOKUMENTASI................................................................................................................................46

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................47

ii
DEFINISI

Demam rematik adalah penyakit inflamasi akibat reaktivitas-silang antibody setelah


infeksi Streptococcus grup A.(Fitriany Julia Et All)2019. Demam rematik merupakan suatu
penyakit inflamasi sistemik non supuratif dengan proses “delayed autoimmune” pada
kelainan vascular kolagen atau kelainan jaringan ikat. Proses rematik ini merupakan reaksi
peradangan yang dapat mengenai banyak organ tubuh terutama jantung, sendi dan system
saraf pusat. Demam rematik akut adalah sinonim dari demam rematik dengan penekanan
onset terjadinya akut, sedangkan yang dimaksud demam rematik inaktif adalah demam
rematik tanpa ditemui tanda-tanda radang, atau disebut dengan riwayat demam rematik.
Demam rematik dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, tetapi manifestasi akut
dapat timbul kembali berulang-ulang, yang disebut kekambungan. Demam rematik akut
dapat menimbulkan sakit berat, seperti rasa nyeri berat akibat radang pada sendi, sesak nafas
dan oedem akibat gagal jantung, demam tinggi dan gerakan chorea yang mengganggu
aktivitas sehari-hari pasien.(PAPDI,2014)

ETIOLOGI
Demam mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptokokus β hemolitik grup A pada
saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit mempunyai hubungan untuk terjadinya
glomerulonefhritis akut. Kuman Streptokokus β hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup
serologinya yang didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri t
ersebut Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada
manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopat ogenesis DR dan PJR.
Hubungan kuman Streptokokus β hemolitik grup A sebagai penyebab DR terjadi secara t idak
langsung, karena organisme penyebab t idak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian
klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai hubungan
dengan infeksi Streptokokus β hemolitik grup A, terutama serotipe M1,3,5,6,14,18,19 dan 24
2,4,6,7,. Sekurang- kurangnya sepertiga penderita menolak adanya riwayat infeksi saluran nafas
karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada kulturapus tenggorokan terhadap Streptokokus
β hemolilitik grup A sering negatif pada saat serangan DR. Tetapi respons antibodi terhadap produk

3
ekstraseluler streptokokus dapat ditunjukkan pada hampir semua kasus DR dan serangan akut DR
sangat

berhubungan dengan besarnya respons antibody. Diperkirakan banyak anak yang mengalami
episode faringits setiap tahunnya dan 15- 20 persen disebabkan oleh Streptokokus grup A dan 80
persen lainnya disebabkan infeksi virus

MANISFESTASI KLINIS
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik / penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4
stadium:
Stadium I
Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta Streptococcus
hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang
disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisisk sering
didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda –tanda lainya. Kelenjar getah bening
submandibular sering kali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan .
Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan
permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, keculai korea
yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.

Stadium III

Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manisfestasi klinik demam
reumatik/ penyakit jantung reumatik. Manisfestasi klinik tersebut dapat digolongkan dalam gejala
peradangan umum(gejala minor) dan manisfestasi spesifik (gejala mayor) demam
reumatik/penyakit jantung reumatik.

Stadium IV

4
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan
jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala
apa-apa.

Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala bisa kelainan katup jantung, gejala
yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam
reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivitas
penyakitnya.

a. Manisfestasi Klinis Mayor


1.Karditis

Frekuensi karditis 30-60% pada serangan pertama, dan sering pada anak-anak .Karditis
adalah satu-satunya komplikasi. Demam reumatik yang bisa menimbulkan efek jangka panjang.
Kelainannya berupa pankarditis, yaitu mengenai pericardium,epikardium,miokardium dan
endokardium. Pada Demam Reumatik sering terjadi pankarditis yang ditandai dengan
pericarditis,mykarditis dan endocarditis.

Perikarditis ditandai dengan pericardial friction rub.Pada efusi perikard bisa didengar adanya
muffled sound,dan pulsus paradoks(penurunan tekanan sistolik yang besar di saat inspirasi).
Karakterstik miokarditis adalah infilrtasi sel mononuclear,vaskulitis dan perubahan degenerative
pada interstisial connective tissue. Bentuk endokarditis tersering adalah insufiensi katup mitral.

Katup yang sering terkena adalah katup mitral(65-70%) dan katup aorta(25%). Katup
triskuspid hanya terganggu pada 10% dan hampir selalu berhubungan lesi pada katup mitral dan
aorta.Sedangkan katup pulmonal sangat jarang terlibat.Insufisiensi katup yang berat pada fase akut
dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian(pada 1%penderita).Perlengketan pada jaringan
penunjang katup akan menghasilkan stenosis atau kombinasi antara stenosis dan insufisiensi yang
muncul dalam 2-10 tahun setelah episode demam reumatik akut. Perlengketan bisa terjadi pada
tingkatan ujung bilah katup, bilah katup dan chorda atau kombinasi dari ketiga tingkatan tersebut.
5
-Bising jantung yang sering pada demam rematik

- Bising mitral regurgitasi berupa bising pansistolik, high pitch, yang radiasi ke axila. Tidak
dipengaruhi oleh posisi dan respirasi. Intensitas 2/6.

- Care coombs bising: bising diastolic di apeks pada karditis yang aktif dan menyertai
mitralinsufisiensi berat. Mekanismenya berupa relative mitral stenosis yang diakibatkan dari
volume yang besar yang melalui katup mitral saat pengisian ventrikel.

-Bising aorta regurgitasi: Bising awal diastolic yang terdapat dibasal, dan terbaik didengar
pada sisi atas kanan dan kiri sternum saat penderita duduk miring kedepan.

2.Artritis
Artritis ARF paling sering menyerang sendi-sendi besar,terutama lutut,pergelangan kaki, siku,
dan pergelangan tangan. Banyak sendi yang sering terlibat,dengan timbulnya artritis pada sendi
yang berbeda baik dipisahkan dalam waktu atau tumpang tindih, sehingga memunculkan deskripsi
"polyratritis" migrasi "atau" aditif ". Setiap sendi terpengaruh selama beberapa hari hingga satu
minggu, dengan seluruh episode sembuh tanpa pengobatan dalam waktu satu bulan. Nyeri sendi
bisa sangat parah, terutama pada anak-anak yang lebih tua dan remaja, dan sering tidak sesuai
dengan

tanda-tanda klinis peradangan.

Atralgia yang merupakan suatu kriteria minor, juga sering menyebabkan seorang dokter
mendiagnosa sebagai Demam reumatik terutama jika terdapat kriteria minor yang lain, seperti
febris dan bukti adanya infeksi streptokukkus seperti ASTO. Penelitian di RS Hasan sadikin bandung
menunjukkan terdapat 24 kasus dari 113 kasus dengan atralgia dan febris, yang setelah ditelaah
ulang, tidak memenuhi kriteria Jones, hasil ekokardiografi juga tidak menunjukkan adanya tanda-
tanda karditis.

3.Chorea Sydenham
Insidensi sydenham chorea muncul dalam 1-6 bulan setelah infeksi streptokokus, progresif
secara perlahan dan memberat dalam 1-2 bulan.Kelainan neurologis berupa gerakan involunter
6
yang tidak terkoordinasi (choreiform), pada muka, leher, tangan dan kaki. Disertai dengan gangguan
kontraksi tetanik dimana penderita tidak bisa menggenggam tangan pemeriksa secara kuat terus
menerus (milk sign).
Chorea dapat muncul dengan sendirinya, tanpa ciri-ciri ARF lainnya dan tanpabukti infeksi
streptokokus, karena chorea dapat terjadi berbulan-bulan setelah infeksi streptokokus. Jika chorea
memiliki presentasi yang terisolasi, penting untuk mengecualikan penyebab lain dari chorea, seperti
systemic lupus erythematosus, penyakit Wilson, dan reaksi. Dalam semua kasus yang dicurigai
chorea reumatik, pemeriksaan jantung dan ekokardiogram harus dilakukan, karena chorea sangat
terkaitdengan carditis.

4.Eritema Marginatum
Muncul dalam 10% serangan pertama Demam reumatik biasanya pada anak
anak, jarang pada dewasa.Lesi berwarna merah, tidak nyeri dan tidak gatal dan biasanya
pada batang tubuh, lesi berupa cincin yang meluas secara sentrifugal sementara bagian
tengah cincin akan kembali normal.

5.Nodulus Subkutan
Nodul subkutan muncul beberapa minggu setelah onset demam rematik, dan
biasanya tidak disadari penderita karena tidak nyeri. Biasanya berkaitan dengan karditis
berat, lokasinya di permukaan tulang dan tendon, serta menghilang setelah 1-2 minggu

B.Manifestasi Minor

Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik; ia sering ada pada karditis yang
tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis demamnya adalah remiten, tanpa variasi diurnal
yang lebar, gejala khas biasanya kembali normal atau hampir normal dalam waktu 2/3 minggu,
walau tanpa pengobatan. Artralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi. Artralgia
biasanya melibatkan sendi besar. Kadang nyerinya terasa sangat berat sehingga pasien tidak mampu
lagi menggerakkan tungkainya. Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium. Reaktan
fase akut seperti LED atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik untuk masa
waktu yang lama (berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada elektrokardiogram juga termasuk
kriteria minor.
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal jantung oleh karena
7
distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam reumatik tanpa gagal jantung dan ada
sebelum manifestasi spesifik yang lain muncul. Pada kasus ini nyeri mungkin terasa berat sekali pada
daerah sekitar umbilikus, dan kadang dapat disalah tafsirkan sebagai apendistis sehingga dilakukan
operasi. Anoreksia, nausea, dan muntah seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat gagal jantung
kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epitaksis berat mungkin dapat terjadi. Kelelahan
merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali pada gagal jantung. Nyeri abdomen dan
epitaksis, meskipun sering ditemukan pada demam reumatik, tidak Adianggap sebagai kriteria
diagnosis.

PATOFISIOLOGIS/PATOMEKANISME
DR ditandai oleh radang eksudatif dan proliferatif pada jaringan ikat, terutama mengenai
jantung, sendi dan jaringan subkutan. Bila terjadi karditis seluruh lapisan jantung akan dikenai.
Perikarditis paling sering terjadi dan pericarditis fibrinosa kadang-kadang didapati. Peradangan
perikard biasanya menyembuh setelah beberapa saat tanpa sekuele yang bermakna, dan jarang terjadi
tamponade. Pada keadaan fatal, keterlibatan miokard menyebabkan pembesaran semua ruang jantung.
Pada miokardium mula-mula didapati fragmentasi serabut kolagen, infiltrasi limfosit, dan degenerasi
fibrinoid dan diikuti didapatinya nodul aschoff di miokard yang merupakan patognomonik DR.
Nodul aschoff terdiri dari area nekrosis sentral yang dikelilingi limfosit, sel plasma, sel
mononukleus yang besar dan sel giant multinukleus. Beberapa sel mempunyai inti yang memanjang
dengan area yang jernih dalam membran inti yang disebut Anitschkow myocytes. Nodul Aschoff
bisa didapati pada spesimen biopsy endomiokard penderita DR. Keterlibatan endokard menyebabkan
valvulitis rematik kronis. Fibrin kecil, vegetasi verrukous, berdiameter 1-2 mm bisa dilihat pada

permukaan atrium pada tempat koaptasi katup dan korda tendinea. Meskipun vegetasi
tidak didapati, bisa didapati peradangan dan edema dari daun katup. Penebalan dan fibrotik pada
dinding posterior atrium kiri bisa didapati dan dipercaya akibat efek jet regurgitasi mitral yang
mengenai dinding atrium kiri. Proses penyembuhan valvulitis memulai pembentukan granulasi
dan fibrosis daun katup dan fusi korda tendinea yang mengakibatkan stenosis atau insuffisiensi katup.
Katup mitral paling sering dikenai diikuti katup aorta. Katup trikuspid dan pulmonal biasanya jarang
dikenai
KOMPLIKASI
8
 Gagal jantung pada kasus yang berat.
 Dalam jangka panjang timbul penyakit demam jantung reumatik.
 Aritmia
 Perikarditis dengan efusi.
 Pneumonia reumatik.
PROGNOSIS
Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat keterlibatan jantung.
Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat, komplikasi yang sekarang sudah jarang terlihat di
negara maju (hampir 0%) namun masih sering ditemukan di negara berkembang (1-10%). Selain
menurunkan mortalitas, perkembangan penisilin juga mempengaruhi kemungkinan berkembangnya
menjadi penyakit valvular kronik setelah serangan demam reumatik aku. Sebelum penisilin,
persentase pasien berkembang menjadi penyakit valvular yaitu sebesar 60-70% dibandingkan dengan
setelah penisilin yaitu hanya sebesar 9-39%.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut ( Aspiani, 2010).
 Pemeriksaan laboratorium :Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan anti
steptolisin (ASTO), peningkatan laju endap darah (LED), terjadi leukositosis, dan dapat
terjadi penurunan hemoglobin.
 Radiologi :Pada pemeriksaan foto toraks menunjukkan terjadinya pembesaran pada jantung.
 Pemeriksaan ekokardiogram :Menunjukan pembesaran pada jantung dan terdapat lesi.
 Pemeriksaan elektrokardiogram Menunjukkan interval PR menanjang
 .Apus tenggorokan Ditemukan streptokokus beta hemolitikus grup A.

PENATALAKSANAAN
 Dasar pengobatan demam reumatik terdiri dari istirahat, eradikasi kuman streptokok,
penggunaan obat anti radang, dan pengobatan suportif.
 Istirahat ; bergantung pada ada tidaknya dan berat ringannya karditis.
 Eradikasi kuman streptokok, untuk negara berkembang WHO menganjurkan
penggunaan benzatin penisilin 1,2 juta IM. Bila alergi terhadap penisilin digunakan
eritromisin 20 mg/kg BB 2x sehari selama 10 hari.
 Penggunaan obat anti radang bergantung terdapatnya dan beratnya karditis. Prednison
9
hanya digunakan pada karditis dengan kardiomegali atau gagal jantung.
 Pengobatan suportif, berupa diet tinggi kalori dan protein serta vitamin (terutama
vitamin C) dan pengobatan terhadap komplikasi. Bila dengan pengobatan medikamentosa
saja gagal perlu di pertimbangkan tindakan operasi pembetulan katup
jantung.
Demam reumatik cenderung mengalami serangan ulang, maka perlu diberikan
pengobatan pencegahan (profilaksis sekunder) dengan memberikan bezatin penisilin
1,2 juta IM tiap bulan. Bila tidak mau disuntik dapat diganti dengan penesilin oral 2 x
200.000 U/hari. Bila alergi terhdap obat tersebut dapat diberikan sulfadiazin 1000
mg/hari untuk anak 12 tahun ke atas, dan 500 mg/hari untuk anak 12 tahun ke bawah.
Lama pemberian profilaksis sekunder bergantung ada tidaknya dan beratnya karditis.
Bagi yang berada di dalam yang mudah terkena infeksi streptokok dianjurkan pemberian
profilaksis seumur hidup.Secara singkat penanganan demam reumatik adalah sebagai
berikut:
 Artritis tanpa kardiomegali : Istirahat baring 2 minggu, rehabilitas 2 minggu,obat-
obatan anti inflamasi, erdikasi dan profilaksi (seperti yang diuraikan diatas). Anak
boleh sekolah setelah 4 minggu perawatan, olahraga bebas.
 Artritis+karditis tanpa kardiomegali: Tirah baring 4 minggu, pengobatan seperti
yang diuraikan: sekolah setelah 8 minggu perawatan. Olahraga bebas.
 Karditis+kardiomegali: tirah baring 6 minggu, mobilisasi 6 minggu, pengobatan
seperti yang diuraikan. Sekolah setelah perawatan selama 12 minggu. Olahraga
terbatas, hindari olahraga berat dan kompetitif.

 Karditis + kardimegali + gagal jantung: tirah baring selama ada gagal jantung,
mobilisasi bertahap 12 minggu. Pengobatan seperti yang diuraikan, sekolah setelah
perawatan 12 minggu gagal jantung teratasi. Olahraga di larang (Ngastiyah, 2005).

10
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

PENGKAJIAN
Penyakit jantung rematik kebanyakan menyerang pada anak-anak dan dewasa hal ini lebih
dikarenakan bakteri streptococcus sering berada di lingkungan yang tidak bersih. Penyakit ini lebih
sering terkena pada anak perempuan.

a) Identitas Klien :

Nama :-

Umur :-

Agama :-

Jenis Kelamin :-

Status Perkawinan :-

Pendidikan :-

Pekerjaan :-

Suku Bangsa :-

Alamat :-

Tanggal Masuk :-

Tanggal Pengkajian :-

No. Register :-

Diagnosa Medis DR

b.Identitas Penanggung Jawab Nama

Umur :-

Hub. Dengan Pasien : -


Pekerjaan :-

11
Alamat :-

b) Riwayat kesehatan: Demam ,nyeri,dan pembengkakkan sendi


c) Riwayat penyakit dahulu: Tidak pernah mengalami penyakit yang sama, hanya demam
biasa.
d) Riwayat penyakit sekarang: Kardiomegali,bunyi jantung muffled dan perubahan EKG
e) Riwayat kesehatan keluarga
f) Riwayat kesehatan lingkungan
- Keadaan social ekonomi yang buruk
- Iklim dan geografi
- Cuaca
g) Imunisasi
h) Riwayat Nutrisi
Adanya penurunan nafsu makan selama selama sakit sehingga dapat mempengaruhi
status nutrisi berubah
Pemeriksaan Fisisk Head to Toe:
a) Kepala: Ada gerakan yang tidak disadari pada wajah,sclera anemis, terdapat napas
cuping hidung,membrane mukosa mulut pucat.
b) Kulit : Turgor kulit kembali setelah 3 detik, peningkatan suhu tubuh sampai 390
c) Jantung :
 Inspeksi :iktus kordis tampak
 Palpasi: dapat terjadi kardiomegali
 Perkusi: redup
 Auskultasi: terdapat murmur, gallop
d) Abdomen
 Inspeksi perut simetris
 Palpasi kadang-kadang dapat terjadi hematomigali
 Perkusi tympani
 Auskultasi bising usus normal
e) Genetalia :Tidak ada kelainan
f) Ekstermitas: pada Inspeksi sendi terlihat bengkak dan merah, ada gerakan yang tidak

12
disadari, pada palpasi teraba hangat dan terjadi kelemahan otot.

g) Data focus yang didapat antara lain :


 Penigkatan suhu tubuh tidak terlalu tinggi kurang dari 39 derajat celcius namun
tidak terpola.
 Adanya riwayat infeksi saluran napas
 Tekanan darah menurun , denyut nadi meningkat , dada berdebar –debar
 Nyeri abdomen,mual,anoreksia,dan penurunan hemoglobin.
 Artharalgia,gangguan fungsi sendi.
 Kelehan otot
 Akral dingin
 Mungkin adanya sesak
h) Pengkajian data khusus
 Karditis : Takikardia terutama saat tidur, kardiomegali,suara sistolik, perubahan
suarajantung,perubahanElektrokardiogram(EKG),nyeriprekornial,leokositosis,pen
ingkatan laju endap darah(LED),peningkatan Anti Streptolisin(ASTO).
 Poliatritis : nyeri dan nyeri tekan disekitar sendi, menyebar pada sendi lutut, siku,
bahu, dan lengan (gangguan fungsi sendi).
 Nodul subkutan : timbul benjolan di bawah kulit, teraba lunak dan bergerak
bebas. Biasanya muncul sesaat dan umumnya langsung diserap. Terdapat pada
permukaan ekstensor persendian.
 Khorea : pergerakan ireguler pada ekstremitas, infolunter dan cepat, emosi labil,
kelemahan otot.
 Eritema marginatum : bercak kemerahan umum pada batang tubuh dan telapak
tangan, bercak merah dapat berpindah lokasi, tidak parmanen, eritema bersifat
non-pruritus (Aspiani, 2010).
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium :Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan anti steptolisin
(ASTO), peningkatan laju endap darah (LED), terjadi leukositosis, dan dapat terjadi penurunan hemoglobin.
b. Radiologi :Pada pemeriksaan foto toraks menunjukkan terjadinya pembesaran pada jantung.
c. Pemeriksaan ekokardiogram :Menunjukan pembesaran pada jantung dan terdapat lesi.

13
d. Pemeriksaan elektrokardiogram Menunjukkan interval PR menanjang
e. Apus tenggorokan Ditemukan streptokokus beta hemolitikus grup A (Aspiani, 2010)

PATWAY
Bakteri Streptococuccus Beta hemolyticus group A

Menginfeksi tenggorokan

Sel B memrproduksi antibody anti streptococcus

Reaksi antibody

Demam rematik

Sterptococcus menghasilkan enzim

Enzim merusak katup jantug

Penyakit katup jantung

Kronis
Akut

Demam menggigil terbentuk jaringa


reaksi inflamasi
Peningkatan suhu tubuh

14
Jantung

MK: Hipertemi kulit

Katup membengkak

Kemerahan

Gangguan integritas kulit

Edema pada jantung

Obstruksi pembuluh drah jantung

MK:penurunan curah jantung

15
Gangguan aliran darah

G3 aliran darah ke perifer Sianosi

Gangguan perfusi jaringan

Substansi pengangkutan 02 berkurang

G3 aliran darahmuskuluskleta

Kekurangan O2

Kelelahan

MK: Hipoksia MK toleransi

aktifitas

16
O2 menuju paru-paru berkurang

Sesak napas

Gangguan pola napas tidak efektif

DIAGNOSA

 MK: Penurunan Curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraksi otot


jantung .Ditandai dengan wajah pasien pucat,dada terasa berdebar-debar,suara jantung
abnormal,takikardi,hipotensi.
 MK: Toleransi Aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik ditandai dengan pasien
cepat lelah saat melakukan aktifitas
 MK: Hipertemi
 MK : Gangguan Integritas kulit
 MK; Gangguan perfusi jaringan
 MK:Hipoksia

17
INTERVENSI

No Diagnosa Tujuan NOC Intervensi NIC


keperawatan

1. Penurunan curah Goal: pasien tidak akan Perawatan jantung


jantung mengalami penurunan curah
1.lakukan penilaian
berhubungan jantung selama dalam perawatan
kompreherensif terhadap
dengan perubahan
Objektif: pasien tidak mengalami sirkulasi perifer(misalnya:cek
kontraksi jantung
perubahan kontraksi otot jantung nadi perifer,edema,pengisian
setelah dilakukan tindakan kapiler,dan suhu ekstermitas
keperawatan selama 3x24 jam
2.catat adanya disritmea, tanda
dengan kriteria hasil:
dan gejala penurunan curah
1. Tekanan darah dalam jantung
rentang normal
3.Observasi tanda-tanda vital
2. Toleransi terhadap
aktifitas 4.Kolaborasi dalam pemberian
3. Nadi perifer kuat terapi aritmia sesuai kebutuhan
4. Tidak ada disritmea
5. Instruksi klien dan keluarga
5. Tidak ada bunyi jantung
tentang pematasan aktifitas.
abnormal yaitu terdengar
bunyi mur-mur.
6. Tidak ada angina
Tidak ada kelelahan

7. Tidak ada kelelahan

18
Manajemen energy

2. Intoleransi aktifitas Goal: Pasien akan meningkatkan 1.Tentukan keterbatasan klien


toleransi terhadap aktifitas terhadap aktifitas
selama dalam perawatan
2.Dorong pasien untuk
Objektif:klien dapat mengungkapkan perasaan
menunjukkan toleransi terhadap tentang keterbatasan
aktifitas setelah dilakukan
3.Motivasi untuk melakukan
tindakan keperawatan selama
periode istrahat dan aktifitas
1x24 jam dengan kriteria hasil;
4.Rencanakan periode aktifitas
1.klien dapat menentuka aktifitas
saat klien memiliki banyak tenaga
yang sesuai dengan peningkatan
nadi,tekanan darah,dan frekuensi 5.Bantu klien untuk bangun dari
napas, tempat tidur atau duduk
disamping tempat tidur atau
2.Mempertahankan warna dan
berjalan
kehangatan kulit dan aktifitas
6.Bantu klien untuk
3.Melaporkan penigkatan
mengidentivikasi aktifitas yang
aktifitas harian.
lebih disukai

7. Evaluais program peningkatan

Tingkat aktifitas.

19
IMPLEMENTASI

Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang telah ditetapkan berdasarkan diagnose


keperawatan yang sudah ditegaskan

EVALUASI

Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah yang telah dilakukan berhasil untuk mengatasi
masalah pasien dan dilihat juga berdasarkan tujuan yang telah ditetapk

20
DARTAR PUSTAKA

Almazini Prima” Antibiotik


untuk Pencegahan Demam Reumatik Akut
dan Penyakit Jantung Reumatik”Continuing professional development
41.7(2014).

Fitriany Julia,Et all.”Demam Rematik Akut”5.2(2019)

21

Anda mungkin juga menyukai