A. Pengertian
SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
(Albar, 2003)
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam
tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan.( Sudoyo Aru,dkk 2009 )
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas etiologinya,
yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan kompleks imun yang
ditunjukkan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel. Prevalensi penyakit ini pada wanita
usia subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka kelangsungan hidup 10 dan 20 tahun masing-masing
adalah 75 dan 50 persen, dengan infeksi, kekambuhan lupus, kegagalan organ ujung (endorgan), dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian. (Kenneth J. Leveno,
dkk, 2009)
B. Etiologi
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan
jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan antibodi
secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga
mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam
fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama
aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :
1. Infeksi
2. Antibiotik
3. Sinar ultraviolet
4. Stress yang berlebihan
5. Obat-obatan yang tertentu
6. Hormon
7. Faktor genetic memiliki peranan yang sangat penting dalam kerentanan penyakit SLE.
Sekitar 10% 20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang menderita SLE juga.
8.
Faktor lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang
terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta
9.
2000)
10. Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan
mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B
limfosit non spesifik yang akan memicu terjadinya SLE. (Herfindal et al, 2000)
C. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE,
peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi
akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi serangan antibodi tambahan dan siklus
tersebut berulang kembali.
Kerusaan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini menimbulkan
abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
1) Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2) Pembentukan sitokin yang berlebihan
3) Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin
b.
c.
dalam tubuh
Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena
adanya mimikri molekuler.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang
disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang tersebut membentuk
kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan/organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
D. Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai
dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan
gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung
bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai gejala
umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun,
dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a) Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa artritis
(93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan
dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa
menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid.
Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang
mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena
ialah kaput femoris.
b) Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi
kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid, dan
livido retikularis. Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus
pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh
tanpa bekas luka. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit
yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut
yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi.
Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin
disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk
silikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai
yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis
suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE.
c) Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal jarang terjadi,
hanya terdapat pada 25% kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis
lupus membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya
tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai
berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom
nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit
yang mungkin
e) Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival dan adanya
badan sitoid di retina
f) Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis
maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
g) Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan
cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian tersebut sering timbul nyeri
dada dan sesak napas.
h) Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan
diare.
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat,
obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga
tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing
tersebut (Herfindal et al., 2000).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorim yang dilakukan terhadap pasien SLE adalah:
1. Tes ANA (Anti Nuclear Antibody)
2. Tes Anti dsDNA (double stranded)
3. Tes Antibodi anti-S (Smith)
4. Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus anti
SSB, dan antibodi antikardiolipin).
5. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
6. Tes sel LE
7. Tes anti ssDNA (single stranded)
G. Penatalaksanaan
1. Secara Umum
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita
tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Bila
penyakit
ini
mengancam
nyawa
dan
mengenai
organ-organ
mayor,
maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan
imunosupresan lainnya. Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari
terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan
dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh.
Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain (Sukmana,2004):
a. Kelelahan
mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena
penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi
pengobatan dan emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan di samping
pemberian obat ialah: cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya
hidup.
b. Hindari merokok
Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita perokok.
Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud
yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada
sigaret/rokok.
c. Cuaca
Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada
dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan
artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses
inflamasi.
d. Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat
mempengaruhi sistem imun melalui: penurunan respons mitogen limfosit,
menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural
Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan
trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya
beberapa peneliti sependapat bahwa stress dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau
dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya.
e. Diet
Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES, makanan yang berimbang dapat
memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan
(fish oil) yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat
menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan
polimorfonuklear. Sedangkan
pada
penderita
dengan
hiperkolesterol
perlu
ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga semua pasien
SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu
tersebut.
g. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat LES,
akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada
penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan
2.
3. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5 mg/kgBB/hari,
sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5
mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB
selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi,
kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.
Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut :
a. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
b. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
c. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
d. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan
gejala artritis.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi pada kulit
3. Hambatan Mobilitas fisik berhubungan dengan defometas skletal
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik
serta psikologis yang di akibatkan penyakit kronik
5. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi
A. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan
Rencana Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
inflamasi
kerusakan jaringan
dan
NIC :
Pain Level,
Paint management
pain control,
1. Lakukan
comfort level
nyeri
Setelah
dilakukan
tinfakan
pengkajian
secara
komprehensif termasuk
lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi,
kualitas
keperawatan
selama
dan
faktor
presipitasi.
1. Mampu
nyeri
nyeri,
mengontrol
(tahu
penyebab
mampu
2. Observasi
reaksi
nonverbal
dari
menggunakan
tehnik
nonfarmakologi
untuk 3. Bantu
mengurangi
nyeri,
mencari bantuan).
pasien
dan
ketidaknyamanan.
menemukan
dukungan.
dengan 4. Kontrol
lingkungan
menggunakan
yang
dapat
manajemen nyeri.
mempengaruhi
nyeri
intensitas,
dan
tanda
nyeri).
setelah nyeri berkurang.
vital
rentang normal.
6. Tidak
pencahayaan
dan
kebisingan.
5. Kurangi
dalam
faktor
presipitasi nyeri.
6. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervensi.
gangguan tidur
nyeri:
...
9. Tingkatkan istirahat.
10.
Berikan
tentang
informasi
nyeri
seperti
nyeri
akan
dari
11.
analgesik
NIC :
dilakukan
keperawatan
kerusakan
Pressure Management
1. Anjurkan
tindakan
selama..
integritas
untuk
menggunakan
kulit
pakaian
longgar.
hasil:
pasien
yang
2. Hindari
bisa
dipertahankan (sensasi,
elastisitas, temperatur,
hidrasi, pigmentasi)
2. Tidak
ada
luka/lesi
pada kulit.
3. Perfusi jaringan baik.
4. Menunjukkan
pemahaman
dalam
mencegah
terjadinya
sedera
berulang.
5. Mampu
melindungi
kulit
dan
mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami
kerutan
kebersihan
agar
tetap
pasien
dua
jam
sekali.
5. Monitor kulit akan
adanya kemerahan .
6. Oleskan lotion atau
minyak/baby
oil
aktivitas
mobilisasi
pasien.
8. Monitor
status
nutrisi pasien.
9. Memandikan
pasien
sabun
hangat.
dengan
dan
air
10. Kaji
lingkungan
NOC :
NIC :
Joint
Movement
: Exercise
Active.
therapy
ambulation
Mobility Level.
1. Monitoring
vital
sign
sebelm/sesudah
Transfer performance
Setelah
dilakukan
tindakan
latihan
saat latihan.
2. Konsultasikan
keperawatan
dengan
selama.gangguan mobilitas
terapi
fisik
hasil:
dengan kebutuhan.
3. Bantu
1. Klien
meningkat
dalam
meningkatkan
kekuatan
tentang
klien
untuk
menggunakan
tongkat
pasien
atau
tenaga
kesehatan
lain
dan
kemampuan berpindah
4. Memperagakan
dalam mobilisasi.
6. Latih
pasien
pemenuhan
dalam
kebutuhan
ADLs
untuk
sesuai kemampuan.
(walker)
mobilisasi
secara
7. Dampingi
dan
mandiri
Bantu
bantu
penuhi
pasien
bagaimana
posisi
Gangguan citra tubuh
berhubungan dengan
perubahan dan
ketergantungan fisik serta
psikologis yang di
akibatkan penyakit kronik
berikan
NOC:
Body image
Body
dilakukan
keperawatan
image
enhancement
Self esteem
Setelah
dan
merubah
selama
2. Monitor
frekuensi
mengkritik dirinya.
3. Jelaskan
tentang
pengobatan, perawatan,
2. Mampu
kemajuan
dan
prognosis penyakit.
mengidentifikasi
kekuatan personal.
4. Dorong
klien
mengungkapkan
3. Mendiskripsikan
perasaannya.
secara
faktual
perubahan
fungsi 5. Identifikasi
tubuh.
4. Mempertahankan
interaksi sosial
pengurangan
arti
melalui
kontak
NOC:
Activity Tollerance
Energy Conservation
respon
nyeri, depresi
Nutritional
Status:
terhadap
Energy
Setelah
dilakukan
keperawatan
kelelahan
kardiorespirasi
tindakan
disritmia, dispneu,
teratasi
diaphoresis, pucat,
tekanan
dan
jumlah
tidur pasien.
3. Keseimbangan
aktivitas dan istirahat
tehnik
energi konservasi
lokasi
ketidaknyamanan
atau nyeri selama
dan
aktivitas.
interaksi sosial
4. Monitor
6. Mengidentifikasi
faktor-faktor fisik dan
psikologis
3. Monitor
bergerak
5. Mempertahankan
yang
menyebabkan
intake
nutrisi.
5. Monitor pemberian
dan efek samping
obat depresi.
kelelahan
6. Instruksikan
7. Mempertahankan
konsentrasi
dan
jumlah respirasi).
pola
nutrisi adekuat
4. Menggunakan
hemodinamik
2. Mempertahankan
kemampuan
(takikardi,
selama
pasien
aktivitas
untuk
pada
pasien
untuk
mencatat
tanda-
tanda
gejala
dan
kelelahan.
7. Ajarkan tehnik dan
manajemen
aktivitas
mencegah
kelelahan.
untuk
8. Jelaskan
pasien
pada
hubungan
kelelahan
dengan
proses penyakit.
9. Kolaborasi dengan
ahli
gizi
tentang
cara meningkatkan
intake
makanan
tinggi energi.
10. Dorong pasien dan
keluarga
mengekspresikan
perasaannya.
11. Catat aktivitas yang
dapat
meningkatkan
kelelahan.
12. Anjurkan
pasien
melakukan
yang
meningkatkan
relaksasi
(membaca,
mendengarkan
musik).
13. Tingkatkan
pembatasan bedrest
dan aktivitas.
14. Batasi
stimulasi
lingkungan
memfasilitasi
relaksasi
untuk
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito and Moyet, (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC
Kowalak. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi
8. Volume 3. Jakarta : EGC.
Sukmana, Nanang. 2011. Systemic Lupus Erytemathossus : Pathogenesis. Upload : www.New
England Of Medicine Journals (diakses 30 April 2013)