Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN SLE

A. Pengertian
SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
(Albar, 2003)
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang

ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam
tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan.( Sudoyo Aru,dkk 2009 )
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas etiologinya,
yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan kompleks imun yang
ditunjukkan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel. Prevalensi penyakit ini pada wanita
usia subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka kelangsungan hidup 10 dan 20 tahun masing-masing
adalah 75 dan 50 persen, dengan infeksi, kekambuhan lupus, kegagalan organ ujung (endorgan), dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian. (Kenneth J. Leveno,
dkk, 2009)

B. Etiologi
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan
jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan antibodi
secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga
mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam
fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama
aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :
1. Infeksi
2. Antibiotik
3. Sinar ultraviolet
4. Stress yang berlebihan
5. Obat-obatan yang tertentu
6. Hormon
7. Faktor genetic memiliki peranan yang sangat penting dalam kerentanan penyakit SLE.
Sekitar 10% 20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang menderita SLE juga.

8.

Faktor lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang
terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta

9.

menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.


SLE dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang memiliki
gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi
di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan degan protein tubuh.
Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuclear (ANA) untuk menyaring benda asing tersebut. (Herfindal et al,

2000)
10. Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan
mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B
limfosit non spesifik yang akan memicu terjadinya SLE. (Herfindal et al, 2000)
C. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE,
peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi
akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi serangan antibodi tambahan dan siklus
tersebut berulang kembali.
Kerusaan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini menimbulkan
abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
1) Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2) Pembentukan sitokin yang berlebihan
3) Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin
b.
c.

dalam tubuh
Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena
adanya mimikri molekuler.

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang
disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang tersebut membentuk
kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan/organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
D. Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai
dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan
gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung
bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai gejala
umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun,
dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a) Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa artritis
(93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan
dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa
menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid.
Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang
mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena
ialah kaput femoris.
b) Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi
kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid, dan
livido retikularis. Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus
pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh
tanpa bekas luka. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit
yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut
yang khas berbentuk anular.

Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi.
Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin
disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk
silikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai
yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis
suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE.
c) Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal jarang terjadi,
hanya terdapat pada 25% kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis
lupus membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya
tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai
berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom
nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit

yang mungkin

berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.


Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis
kronik, tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE
kronik.
d) Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik
dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala
aktif SLE pada sistem lain-lainnya. Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping
gejala khas organik otak seperti sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali
gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat
dibedakan dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui
dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik
jika dosis steroid dinaikkan dan sebaliknya. Kejang-kejang yang timbul biasanya
termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah afasia, hemiplegia.

e) Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival dan adanya
badan sitoid di retina
f) Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis
maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
g) Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan
cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian tersebut sering timbul nyeri
dada dan sesak napas.
h) Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan

diare.

Gejalanya menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan


adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis
pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis
dapat juga menimbulkan pankreatitis.
i) Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal, dengan karakteristik
tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah splenomegali yang biasanya
disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau thrombosis berkaitan
dengan adanya lupus antikoagulan. Anemia dapat dijumpai pada periode perkembangan
penyakit LES, yang diperantai oleh proses imun dan non-imun.
E. Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus
erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala,
telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan
karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh
banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan
disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan
jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat,
obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga
tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing
tersebut (Herfindal et al., 2000).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorim yang dilakukan terhadap pasien SLE adalah:
1. Tes ANA (Anti Nuclear Antibody)
2. Tes Anti dsDNA (double stranded)
3. Tes Antibodi anti-S (Smith)
4. Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus anti
SSB, dan antibodi antikardiolipin).
5. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
6. Tes sel LE
7. Tes anti ssDNA (single stranded)
G. Penatalaksanaan
1. Secara Umum
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita
tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Bila
penyakit

ini

mengancam

nyawa

dan

mengenai

organ-organ

mayor,

maka

dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan
imunosupresan lainnya. Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari
terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan
dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh.
Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain (Sukmana,2004):
a. Kelelahan

Hampir setengah penderita SLE mengeluh

kelelahan. Sebelumnya kita harus

mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena
penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi
pengobatan dan emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan di samping
pemberian obat ialah: cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya
hidup.
b. Hindari merokok
Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita perokok.
Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud
yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada
sigaret/rokok.
c. Cuaca
Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada
dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan
artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses
inflamasi.
d. Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat
mempengaruhi sistem imun melalui: penurunan respons mitogen limfosit,
menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural
Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan
trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya
beberapa peneliti sependapat bahwa stress dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau
dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya.
e. Diet
Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES, makanan yang berimbang dapat
memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan
(fish oil) yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat
menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan
polimorfonuklear. Sedangkan

pada

penderita

dengan

hiperkolesterol

perlu

pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal.


f. Sinar matahari (sinar ultra violet)
Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari tiga
gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik. Gelombang

ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga semua pasien
SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu
tersebut.
g. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat LES,
akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada
penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan
2.

obat yang mengandung estrogen.


Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul. Pada keluhan
yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid
namun tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem
gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, dengan pemeriksaan kreatinin
serum secara berkala. Pemberian kortikosteroid dosis rendah 15 mg, setiap pagi.
Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas. Sebagian besar sunscreen
topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,
benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B atau
steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon
asetonid.

3. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5 mg/kgBB/hari,
sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5
mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB
selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi,
kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.
Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut :
a. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
b. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
c. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
d. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan
gejala artritis.

e. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort ) atau


triamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.
f. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria, seperti
hidroksikolorokuin sulfat ( plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel.
g. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan mencegah
eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang berhubungan dengan
sistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis lupus, faskulitis dan
gangguan pada SSP.

(Kowalak, Welsh, Mayer . 2002).

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi pada kulit
3. Hambatan Mobilitas fisik berhubungan dengan defometas skletal
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik
serta psikologis yang di akibatkan penyakit kronik
5. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi
A. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan

Rencana Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi

Nyeri akut berhubungan NOC :


dengan

inflamasi

kerusakan jaringan

dan

NIC :

Pain Level,

Paint management

pain control,

1. Lakukan

comfort level

nyeri

Setelah

dilakukan

tinfakan

pengkajian
secara

komprehensif termasuk

lokasi,

karakteristik,

Pasien tidak mengalami nyeri,

durasi,

frekuensi,

dengan kriteria hasil:

kualitas

keperawatan

selama

dan

faktor

presipitasi.
1. Mampu
nyeri
nyeri,

mengontrol
(tahu

penyebab
mampu

2. Observasi

reaksi

nonverbal

dari

menggunakan

tehnik

nonfarmakologi

untuk 3. Bantu

mengurangi

nyeri,

mencari bantuan).

pasien

dan

keluarga untuk mencari


dan

2. Melaporkan bahwa nyeri


berkurang

ketidaknyamanan.

menemukan

dukungan.

dengan 4. Kontrol

lingkungan

menggunakan

yang

dapat

manajemen nyeri.

mempengaruhi

nyeri

3. Mampu mengenali nyeri


(skala,
frekuensi

intensitas,
dan

tanda

nyeri).
setelah nyeri berkurang.
vital

rentang normal.
6. Tidak

pencahayaan

dan

kebisingan.
5. Kurangi

4. Menyatakan rasa nyaman


5. Tanda

seperti suhu ruangan,

dalam

faktor

presipitasi nyeri.
6. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervensi.

mengalami 7. Ajarkan tentang teknik

gangguan tidur

non farmakologi: napas


dala, relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin.
8. Berikan analgetik untuk
mengurangi

nyeri:

...
9. Tingkatkan istirahat.
10.

Berikan

tentang

informasi

nyeri

seperti

penyebab nyeri, berapa


lama

nyeri

akan

berkurang dan antisipasi


ketidaknyamanan
prosedur.

dari

11.

Monitor vital sign

sebelum dan sesudah


pemberian
pertama kali

analgesik

Kerusakan integritas kulit NOC :


berhubungan dengan lesi
pada kulit

NIC :

Tissue Integrity : Skin and


Mucous Membranes
Setelah

dilakukan

keperawatan
kerusakan

Pressure Management
1. Anjurkan

tindakan
selama..

integritas

untuk
menggunakan

kulit

pakaian

pasien teratasi dengan kriteria

longgar.

hasil:

pasien

yang

2. Hindari

1. Integritas kulit yang


baik

bisa

dipertahankan (sensasi,
elastisitas, temperatur,
hidrasi, pigmentasi)
2. Tidak

ada

luka/lesi

pada kulit.
3. Perfusi jaringan baik.
4. Menunjukkan
pemahaman

dalam

proses perbaikan kulit


dan

mencegah

terjadinya

sedera

berulang.
5. Mampu

melindungi

kulit

dan

mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami

kerutan

pada tempat tidur.


3. Jaga
kulit

kebersihan
agar

tetap

bersih dan kering.


4. Mobilisasi

pasien

(ubah posisi pasien)


setiap

dua

jam

sekali.
5. Monitor kulit akan
adanya kemerahan .
6. Oleskan lotion atau
minyak/baby

oil

pada derah yang


tertekan .
7. Monitor
dan

aktivitas
mobilisasi

pasien.
8. Monitor

status

nutrisi pasien.
9. Memandikan
pasien
sabun
hangat.

dengan
dan

air

10. Kaji

lingkungan

dan peralatan yang


menyebabkan
tekanan.
Hambatan Mobilitas fisik
berhubungan dengan
defometas skletal

NOC :

NIC :

Joint

Movement

: Exercise

Active.

therapy

ambulation

Mobility Level.

1. Monitoring

vital

sign

Self care : ADLs.

sebelm/sesudah

Transfer performance

dan lihat respon pasien

Setelah

dilakukan

tindakan

latihan

saat latihan.
2. Konsultasikan

keperawatan

dengan

selama.gangguan mobilitas

terapi

fisik

fisik teratasi dengan kriteria

rencana ambulasi sesuai

hasil:

dengan kebutuhan.
3. Bantu

1. Klien

meningkat

dalam aktivitas fisik


2. Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan
perasaan

dalam

meningkatkan
kekuatan

tentang

klien

untuk

menggunakan

tongkat

saat berjalan dan cegah


terhadap cedera.
4. Ajarkan

pasien

atau

tenaga

kesehatan

lain

tentang teknik ambulasi.


5. Kaji kemampuan pasien

dan

kemampuan berpindah
4. Memperagakan

dalam mobilisasi.
6. Latih

pasien

pemenuhan

dalam

kebutuhan

penggunaan alat Bantu

ADLs

untuk

sesuai kemampuan.

(walker)

mobilisasi

secara

7. Dampingi

dan

mandiri
Bantu

pasien saat mobilisasi


dan

bantu

penuhi

kebutuhan ADLs ps.


8. Berikan alat Bantu jika
klien memerlukan.
9. Ajarkan

pasien

bagaimana
posisi
Gangguan citra tubuh
berhubungan dengan
perubahan dan
ketergantungan fisik serta
psikologis yang di
akibatkan penyakit kronik

berikan

bantuan jika diperlukan


NIC :

NOC:
Body image

Body

dilakukan

keperawatan

image

enhancement

Self esteem
Setelah

dan

merubah

tindakan 1. Kaji secara verbal dan

selama

nonverbal respon klien


terhadap tubuhnya.

gangguan body image


pasien teratasi dengan kriteria
hasil:

2. Monitor

frekuensi

mengkritik dirinya.
3. Jelaskan

tentang

1. Body image positif

pengobatan, perawatan,

2. Mampu

kemajuan

dan

prognosis penyakit.

mengidentifikasi
kekuatan personal.

4. Dorong

klien

mengungkapkan

3. Mendiskripsikan

perasaannya.

secara

faktual

perubahan

fungsi 5. Identifikasi

tubuh.
4. Mempertahankan
interaksi sosial

pengurangan

arti
melalui

pemakaian alat bantu.


6. Fasilitasi

kontak

dengan individu lain


Keletihan berhubungan
dengan peningkatan
aktivitas penyakit, rasa

NOC:
Activity Tollerance
Energy Conservation

dalam kelompok kecil


NIC :
Energy Management
1. Monitor

respon

nyeri, depresi

Nutritional

Status:

terhadap

Energy
Setelah

dilakukan

keperawatan
kelelahan

kardiorespirasi

tindakan

disritmia, dispneu,

teratasi

diaphoresis, pucat,
tekanan

dengan kriteria hasil:


1. Kemampuan aktivitas
adekuat

dan

jumlah

tidur pasien.

3. Keseimbangan
aktivitas dan istirahat
tehnik

energi konservasi

lokasi

ketidaknyamanan
atau nyeri selama
dan

aktivitas.

interaksi sosial

4. Monitor

6. Mengidentifikasi
faktor-faktor fisik dan
psikologis

3. Monitor

bergerak

5. Mempertahankan

yang

menyebabkan

intake

nutrisi.
5. Monitor pemberian
dan efek samping
obat depresi.

kelelahan

6. Instruksikan

7. Mempertahankan
konsentrasi

dan

jumlah respirasi).
pola

nutrisi adekuat

4. Menggunakan

hemodinamik

2. Monitor dan catat

2. Mempertahankan

kemampuan

(takikardi,

selama
pasien

aktivitas

untuk

pada

pasien

untuk

mencatat

tanda-

tanda

gejala

dan

kelelahan.
7. Ajarkan tehnik dan
manajemen
aktivitas
mencegah
kelelahan.

untuk

8. Jelaskan
pasien

pada
hubungan

kelelahan

dengan

proses penyakit.
9. Kolaborasi dengan
ahli

gizi

tentang

cara meningkatkan
intake

makanan

tinggi energi.
10. Dorong pasien dan
keluarga
mengekspresikan
perasaannya.
11. Catat aktivitas yang
dapat
meningkatkan
kelelahan.
12. Anjurkan

pasien

melakukan

yang

meningkatkan
relaksasi
(membaca,
mendengarkan
musik).
13. Tingkatkan
pembatasan bedrest
dan aktivitas.
14. Batasi

stimulasi

lingkungan
memfasilitasi
relaksasi

untuk

B. PENATALAKSANAAN : TINDAKAN KRITIS


Tindakan Keperawatan di lakukan sesuai dengan intervensi yang telah di buat.
C. EVALUASI
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan), melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri serta mampu mengenali nyeri
2.
3.
4.
5.

(skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri).


Kerusakan integritas kulit pada pasien teratasi.
Gangguan mobilitas fisik pada pasien teratasi.
Gangguan body image pasien teratasi.
Pasien tidak mengalami kelelahan.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito and Moyet, (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta: EGC
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC
Kowalak. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi
8. Volume 3. Jakarta : EGC.
Sukmana, Nanang. 2011. Systemic Lupus Erytemathossus : Pathogenesis. Upload : www.New
England Of Medicine Journals (diakses 30 April 2013)

Anda mungkin juga menyukai