Anda di halaman 1dari 17

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan

pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Oleh

Ni Putu Sri Anggreni


1302105021

Program Studi Ilmu Keperwatan


Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana
2016

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan
fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam
autoantibodi dalam tubuh. (Albar, 2003).
Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun,
dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh
sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi
seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam
tubuh.
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas
etiologinya, yaitu terjadinya kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan
kompleks imun yang ditunjukkan kepada salah satu atau lebih komponen inti sel.
Prevalensi penyakit ini pada wanita usia subur adalah sekitar 1 dari 500. Angka
kelangsungan hidup 10 dan 20 tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen, dengan
infeksi, kekambuhan lupus, kegagalan organ ujung (end-organ), dan penyakit
kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian. (Kenneth J. Leveno, dkk, 2009)
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa SLE merupakan
penyakit autoimun yang belum jelas diketahui etiologinya, dan mengakibatkan
kerusakan jaringan akibat sel autoantibody.
2. Epidemiologi
Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai
populasi yang berbeda-beda. Dari berbagai sumber diadapatkan data antara lain :
a. Prevalensi penyakit SLE adalah 0,06% dari populasi umum. (Kirsch,et all).
b. Di Amerika Serikat, insiden penyakit SLE adalah 14.6 50.8 kasus/100.000 orang
sedangkan prevalensinya 24-100/100.000 orang. The Lupus Foundation of America
( LFA ) memperkirakan sekitar 1,5 juta penduduk Amerika Serikat menderita
penyakit SLE dengan berbagai tipe terutama wanita. Orang Amerika keturunan
Afrika, Hispanik, orang Amerika asli dan orang Asia memiliki resiko besar untuk
menderita penyakit SLE.
c. Prevalensi penyakit SLE di Swedia adalah 36/100.000 orang.
d. Di Inggris prevalensinya hampir sama dengan orang Asia 40/100.000
e. Di negara Eropa prevalensi SLE 20/100.000 orang

f. Penyakit SLE lebih sering menyerang pada usia 15 40 tahun tetapi semua umur
bisa saja terkena, penyakit SLE lebih sering menyerang pada wanita daripada pria (
9 : 1 ) sedangkan pada anak-anak meningkat 10 : 1.
3. Penyebab/faktor predisposisi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang
paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor
predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE :
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita
SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5%
anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot,
risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang
memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan
pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas
II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE.
Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita
SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur
komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu:
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell)
akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur
maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali.
Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah
mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat
antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu
limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap
di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat.
Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran
pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
4. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Sistem imun tubuh kehilangan
kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Pada SLE
peningkatan produksi autoantibody diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor
yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang antibody tambahan
dan siklus tersebut berulang kembali. (Brunner & Suddart,2001) Pada pasien SLE
terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah
sel yang imun. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen
spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen
virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan
RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan
antibodi pada permukaan sel B.
Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus
menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga
mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan
tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem
pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan
menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan
tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun

5. Klasifikasi

Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic
lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
a. Discoid Lupus
Dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit lupus yang menyerang kulit. Lesi
berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala,
telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan
kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian
tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
b. Systemic Lupus Erythematosus
Adalah penyakit lupus yang menyerang kebanyakan sistem di dalam tubuh, seperti
kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati otak dan sistem saraf. SLE merupakan
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor
(Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai
macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan
komplemen (Epstein, 1998).
c. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat
banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk
berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh
sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah
pemakaian obat dihentikan (Herfindal et al., 2000).
6. Gejala Klinis
Gambaran klinis SLE meliputi lebih dari satu sistem tubuh. Sistem
musculoskeletal telibat dengan gejala artralgia dan arthritis (sinovisitis) yang
merupakan gambaran yang sering ditemukukan pada penyakit SLE. Pembengkakan
sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak merupakan gejala yang sering
terdapat dan akan disertai dengan rasa kaku pada pagi hari.

Beberapa tipe

manifestasi kulit yang berbeda dapat terjadi pada penderita SLE yang mencakup
subacute cutaneous lupus erytematosus (SCLE) dan lupus eritematosus discoid
(DLE). Manifestasi kulit yang paling dikenal adalah lesi akut pada kulit yang
terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.
Lesi sering memburuk pada saat eksaserbasi penyakit sistemik dan dapat dipicu
oleh cahaya matahari atau sinar ultraviolet artificial
Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum. Ulkus ini sering
dengan eksaserbasi dan mungkin disertai lesi kulit.

Perikarditis merupakan

manifestasi kardiak yang paling sering ditemukan. Kelainan ini disertai dengan
efusi pleura. Sistem vaskuler dapat terlibat dengan proses inflamasi pada arteriole
terminalis yang menimbulkan lesi papuler eritematous dan purpura. Semua lesi ini
dapat timbul pada ujung jari tanga, siku, jari kaki serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan dapat berlanjut menjadi nekrosis. Limfadenopati
terjadi 50% dari seluruh pasien SLE pada waktu tertentu selama perjalanan
penyakit tersebut. Gangguan renal biasanya mengenai glomerulus renal (Brunner
& Suddart,2001)
7. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Pengamatan secara seksama setatus kesehatan Klien dari kepala sampai kaki.
Pada Klien dengan SLE mungkin akan ditemukan antara lain:
- Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) pada daerah pipi dan hidung.
- Lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya sirkulasi dan hipoksia kronik
- Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung, pada beberapa penderita
-

ditemukan eritema atau sikatrik.


Luka-luka di selaput lender mulut atau pharing.
Dapat terlihat tanda peradangan satu atau lebih persendian yaitu pembengkakan,

warna kemerahan dan rentang gerak yang terbatas.


Perdarahan sering terjadi terutama dari mulut atau bercampur urina (urine

kemerahan)
Gerakan dinding thorak mungkin tidak simetris atau tampak tanda tanda sesak
(Napas cuping hidung,Retraksi supra sterna, bahkan intercostals,apabila terdapat

ganguan organ paru)


Palpasi
Pemeriksaan dengan meraba klien
- Sklerosis, yaitu terjadi pengencangan dan pengerasan kulit jari-jari tangan
- Nyeri tekan pada daerah sendi yang meradang
- Oedem mata dan kaki, mungkin menandakan keterlibatan ginjal dan hipertensi
Perkusi

Pemeriksaan pisik dengan mengetuk bagian tubuh tertentu; untuk mengetahui


Reflek, atau untuk mengetahui kesehatan suatu organ tubuh misalnya : Perkusi organ
dada untuk mengetahui keadaan Paru dan jantung.
Auskultasi
Pemeriksaan pisik dengan cara mendengar, biasanya menggunakan alat Stetoskup,
antara lain untuk mendengar denyut jantung dan Paru-paru.
8. Pemeriksaan diagnostik/Penunjang
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Darah Rutin dan urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik
( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan
darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik,trombositopenia,
limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio
albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil
pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria, hematuria,
peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah
pada urin. (Zvezdanovic,2006)
Pemeriksaan Autoantibodi
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai proses
imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat
lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di 18 dalamnya LES,
Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi termasuk
autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun
evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan. Pembentukan
autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang mampu menjelaskan
secara utuh mekanisme patofisiologiknya.
Demikian pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir,
dikatakan terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada
Thelper dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen,
kemiripan atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive
peptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan
sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan
mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan ini

semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya usia


seseorang. Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit.
Oleh karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers)
proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau
turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi.
Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian penyakit
autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi baru
dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik autoimun
apabila ia berperan dalam proses patologiknya. . (Zvezdanovic et all,2006)
Antibodi Antinuklear.
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang
spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective
tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease
(MCTD) dan sindrom sjogrens primer. ANA pertama kali ditemukan oleh
Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita LES. Dengan
perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang
baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-B. ANA
dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan
sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease. Dengan
pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan pemeriksaan yang
positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita
skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun. .
(Zvezdanovic et all,2006)
Antibodi terhadap DNA.
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang
reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan
kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan
prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan pada sindrom Sjogrens,
arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA 20 menunjukkan peningkatan
aktifitas penyakit. Pada LES,anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan
nefritis lupus dan aktifitas penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan
dengan metode radio immunoassay, ELISA dan C.luciliae immunofluoresens. .
(Zvezdanovic et all,2006)

Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.
Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi
aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai
mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen
merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan bekerja
secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah dan
fibrinolisis. Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus
kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat
beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada penderita
dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding
gejala klinis. (Zvezdanovic et all,2006)

Pemeriksaan penunjang tergantung dari manifestasi organ yang terkena:

Foto Thorax
Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
Pemeriksaan setiap 3-6 bulan bila keadaan stabil. Pemeriksaan Foto Thorax dilakukan
jika terdapat kelainan paru-paru pada LES, yang

seringkali bersifat subklinik

sehingga foto toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk,

sesak nafas atau kelainan respirasi lainnya. (Zvezdanovic et all,2006)


Biopsi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai ada
atau tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum
dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO
membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik
dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi

ginjal. (Zvezdanovic et all,2006)


Elektroensefalografi (EEG) dan CT scan
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati
perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi antifosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES.
Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai
dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh
terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran
yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. CT scan otak

kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.

(Zvezdanovic et all,2006).
Foto Rotgen
Ditemukan peningkatan SGOT dan SGPT dan dapat berupa hepatomegali, nyeri perut
yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial,
pankreatitis. (Zvezdanovic et all,2006).

9.

Theraphy/tindakan penanganan
Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh
pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu
diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan
penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari
paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan
perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya
osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien
SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan
modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.
c. Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non
Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi
lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.
1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan yang
ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan jaringan lain.
Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan tersebut dapat
menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti mual, muntah,
diare dan perdarahan lambung.
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian
lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai tingkat keparahan
penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan
secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh: Metilprednisolon. Kesalahan

yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol
dan dalam waktu yang lama. Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid
terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya
resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi
dan moon face.
3. Antimalaria
Antimalaria

yang

dapat

digunakan

untuk

terapi

SLE

terdiri

dari

hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan


dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat
antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk
mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada
mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak
melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan
ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama
pengobatan.
4. Immuno supresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan system
imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien
SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate,
cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.
10. Komplikasi
Lupus myelitis mengarah pada disfungsi dari spinal cord. Hal ini merupakan
komplikasi yang serius dari lupus SSP yang dapat menyebabkan paralisis atau
kelemahan dan bervariasi mulai dari kesulitan menggerakkan anggota badan sampai
terjadinya paraplegia. Penyakit lupus juga bermanifestasi pada sistem saraf otonom
(SSO), dimana SSO merupakan bagian dari sistem saraf yang mengontrol fungsi tubuh
yang tidak disadari, seperti pengaturan detak jantung, bernafas, berkeringat,dll.
Nefritis lupus (NL) adalah komplikasi ginjal pada lupus eritematosus sistemik (LES).
Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan, yang dibuktikan secara histopatologis pada
kebanyakan pasien dengan LES dengan biopsi dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien
dewasa akan mengalami komplikasi ginjal yang nyata, walaupun pada awal LES
kelainan ginjal hanya didapatkan pada 25%-50% kasus. Gejala nefritis lupus secara
umum adalah proteinuri, hipertensi, dan gangguan ginjal.
Eritematosus Sejauh ini tidak ada pengobatan yang berhasil penuh pada penderita
lupus eritematosa sistemik, seperti yang bermanifestasi pada ginjal paling banyak

menyebabkan kecacatan dan kematian, dan pada beberapa kasus perlu dilakukan dialisis
dan transplantasi ginjal. Lebih dari 85% penderita lupus mengalami kelainan darah
seperti trombositopeni dan anemi hemolitik. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah
stroke, emboli paru-paru, perikarditis, dan miokarditis.
11. Prognosis Penyakit
Prognosis penderita lupus pada kulit, seperti diskoid lupus lebih baik, meskipun lesi
secara kosmetik kurang bagus tapi tidak membahayakan jiwa dan biasanya tidak
membuat penderita harus mengubah pola hidupnya. Hanya 10% penderita diskoid lupus
yang berkembang menjadi sistemik lupus
Prognosis penyakit lupus pada anak kurang bagus, karena kematian lebih banyak
terjadi, seperti yang dilaporkan pada sebuah studi retrospektif di Brazil yang
menyatakan kematian selama 16 tahun berjalan adalah sebesar 24%, kematian biasanya
terjadi karena pengaruh adanya infeksi (sebanyak 58%), penyakit SSP (36%), penyakit
ginjal (7%). Bila penyakit mulai timbul sebelum usia 15 tahun, maka keterlibatan ginjal
dan hipertensi diprediksi dapat menyebabkan kematian. Pada pasien lupus dengan
pengobatan steroid jangka panjang juga beresiko terkena osteoporosis, sehingga dosis
steroid perlu dikurangi. Keterlibatan organ pencernaan meskipun ringan, dapat pula
menyebabkan beberapa komplikasi yang bisa menyebabkan kematian, yaitu seperti
hemoragi, perforasi, ulserasi.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
A. Data dasar
Identitas pasien
Nama
:
Umur
:
Jenis kelamin
:
Status perkawinan
:Agama
:
Suku bangsa
:
Pendidikan
:
Pekerjaan
:
Alamat
:
Diagnosa medis
: SLE
Sumber informasi
:
Hubungan dengan pasien
Tanggal masuk
:
Tanggal pengkajian
:

Penanggung jawab

B. Riwayat keperawatan
1. Keluhan utama
Selama mengumpulkan riwayat, perawat menanyakan tentang tanda dan gejala
pada pasien. Kaji apakah klien mengeluh badannya kaku dan nyeri sendi dikaki
maupun tangan disertai demam dan muntah?
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji apakah gejala terjadi pada waktu kapan saja sebelum atau sesudah bergerak
maupun beraktivitas, setelah terkena sinar UV terlalu lama, atau setelah
mengkonsumsi obat-obat tertentu? Kaji apakah klien mengeluh badannya kaku,
nyeri sendi dikaki dan tangan, merasa lemah, demam, muntah, terdapat lesi akut
pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi atau tidak, nafsu makan menurun dan rambut rontok atau
tidak?
3. Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stress, alergi, makan atau
minum, atau karena mengkonsumsi obat-obatan tertentu? Kaji adakah riwayat
penyakit tersebut sebelumnya?
4. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji riwayat kesehatan keluarga klien apakah ada anggota keluarga yang pernah
menderita penyakit tersebut sebelumnya?
5. Riwayat Psikososial
Psikologis pasien terganggu, karena pengaruh dari penyakit yang diderita.
C. PengkajianPola Gordon
a. Pemeliharaan dan Persepsi Terhadap Kesehatan
Kaji persepsi pasien tentang berat ringannya sakit, persepsi tentang tingkat
kesembuhan, pendapat pasien tentang keadaan kesehatan saat ini dan bagaimana
pasien mengatasi keluhan yang ditimbulkan dari SLE
b. Nutrisi dan Metabolik
Kaji pola kebiasaan makan, makanan yang disukai dan tidak disukai, adakah
suplemen makanan yang dikonsumsi, jumlah makan yang masuk, adakah nyeri
telan, fluktuasi BB 6 Bulan terakhir naik atau turun, diet khusus.
c. Pola Eliminasi
Kaji kebiasaan BAB (Frekuensi, kesulitan, ada / tidak ada darah, penggunaan obat
pencahar). Kebiasaan BAK (frekuensi, bau, warna, kesulitan BAK : disuria,
nokturia, inkontenensia)

d. Pola Aktivitas dan Latihan


Kaji rutinitas mandi, kebersihan sehari-hari, aktivitas sehari-hari, kemampuan
perawatan diri. Pada pasien yang mengalami SLE akan merasa lemas.
e. Pola Tidur dan Istirahat
Kaji bagaimana pola istirahat dan tidur klien selama sakit dan bandingkan dengan
pola tidur klien sebelum sakit, apakah terjadi perubahan atau tidak. Kaji kepuasan
klien terhadap istirahat dan tidur klien tersebut.
f. Pola Kognitif dan Perseptual
Kaji apakah pasien dengan SLE mengalami gannguan berpikir atau tidak
g. Pola Persepsi Diri / Konsep Diri
Kaji persepsi pasien mengenai dirinya, gambaran diri, identitas diri apakah ada
perbedaan sebelum dan sesudah pasien mengalami SLE
h. Pola Seksual dan Reproduksi
Kaji masalah menstruasi, papsmear terakhir, perawatan payu dara setiap
bulan,apakah ada kesukaran dalam berhubungan seksual, apakah penyakit
sekarang menggagu fungsi seksual.
i. Pola Peran dan Hubungan
Kaji peran pasien dalam keluarga dan masyarakat, apakah klien punya teman
dekat, siapa yang paling seling diberitahu jika keluhan muncul, kemudian setelah
sakit apakah perannya ada yang menggantikan atau tidak. Kaji apakah pasien
merasa malu karena penyakit yang dideritanya.
j. Pola Manajemen Koping Stres
Kaji tingkat stress pasien, kecemasan, dan cara mengatasi masalah tersebut apakah
menagrah pada koping adaptif atau maladaptif. Kaji juga apakah pasien optimis
untuk sembuh atautidak
k. Pola Keyakinan-Nilai
Kaji hubungan pasien dengan Tuhan, dalam keadaan sakit apakah klien
mengalami hambatan dalam ibadah atau tidak, apakah pasien merasa Tuhan akan
memberikan yang terbaik atau malah menyalahkan
2. Diagnosa keperawatan dan masalah kolaborasi yang mungkin muncul
berdasarkan NANDA
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agens cedera zat kimia ditandai dengan meringis
dan melaporkan nyeri secara verbal

2. Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan penurunan imunologis ditandai


dengan kerusakan lapisan kulit
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
ditandai dengan edema, penambahan berat badan secara singkat dan perubahan
tekanan darah
4. Hipertermia berhubungan dengan Penyakit ditandai dengan peningkatan suhu tubuh
di atas kisaran normal dan kulit terasa hangat
5. Gangguan Citra Tubuh berhubungan dengan penyakit ditandai dengan
mengungkapkan perasaan sedih akan kondisi tubuh dan mengungkapkan persepsi
yang mencerminkan perubahan pandangan tentang tubuh

Daftar Pustaka
Adnyana, Losen.2015. Slide Presentation Kelainan Sistem Imun dan Hematologi pada
Dewasa:SLE
Bulecheck. Butcher. (2008). Nursing Intervention Classification (NIC) Fifth Edition. St.
Louis: Mosby-Year Book.
Brunner & Suddart.2001. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta:EGC
Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Dharmeizar. 2009. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Nefritis Lupus.. Jakarta: Pusat


Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK-UI.
Gill JM, Quisel AM, Rocca PV, Walters DT. Diagnosis of Systemic Lupus Eythematosus.
American family Physician. 2003.
Leveno Kenneth J, dkk. 2009. Obstetri Williams Panduan Ringkas. Jakarta: EGC
Martin A., Hofmann H.D., Kirsch M. (2003) Glial reactivity in ciliary neurotrophic factordeficient mice after optic nerve lesion. J. Neurosci 23:541624.
McCloskey, J.C. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC), fourth edition, Mosby,
Philadelphia.
Moorhead. Johnson. (2008). Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition. St. Louis:
Mosby-Year Book.
NANDA, 2012-2014. Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2012-2014, NANDA
International, Philadephia.
Price & Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Prof. dr. H. M. Sjaiffoellah Noer .1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Ketiga.
Penerbit ; Balai Penerbit FKUI:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai