KEPERAWATAN ANAK II
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
Disusun Oleh :
Kelompok 3 – V A Keperawatan
A. PENGERTIAN PENYAKIT
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan multisistem
autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dan
berbagai manifestasi klinis (Krishnamurthy, 2011).
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik
(LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya
diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).
Systemic lupus erytematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
pada jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa sistem imun menyerang jaringan
tubuh sendiri. Pada SLE ini, sistem imun terutama menyerang inti sel (Matt,
2003).
Jadi menurut kami Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit
autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ
atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi
dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.
B. ETIOLOGI PENYAKIT
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi
dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Di antara beberapa
faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling
dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi
yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak
kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE,
sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%.
Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility
Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2),
telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur
komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang
dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q
homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan
bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko
lebih tinggi menderita SLE. Diketahui peneliti dari Australian National
University (ANU) di Canberra berhasil mengidentifikasikan untuk pertama
kalinya penyebab genetik dari penyakit lupus. Dengan pendekatan yang
digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil
mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang
diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu
yang disebut interferon-alpha.
2. Faktor Imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada
penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga
pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali
perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T
dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun.
Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga
menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak
normal.
c. Kelainan antibody
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada
SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali
sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi
dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan
tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh
atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan
sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan
respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan
stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang
sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
C. EPIDEMIOLOGI
Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai 50,8
per 100.000. di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya.
Sedangkan di RS ciptomangunkusumo Jakarta, dan 71 kasus yang ditangani
sejak awal 1991 sampai akhir 1996, 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki.
Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahunnya
ditemukan lebih dari 100.000pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki dan
perempuan. 90% kasus SLE menyerang wanita muda dengan insiden puncak
pada usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-
laki 5:1.
D. PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh penyakit yang biasanya terjadi selama
usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, stres, infeksi). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat
fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks
imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun di dalam tubuh, yaitu :
A. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
B. Pembentukan sitokin yang berlebihan
C. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun yaitu :
1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun
maupun sitokin dalam tubuh
2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
3) Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekuler
E. MANIFESTASI KLINIS
Pada dasarnya setiap orang bisa saja mengalami gejala penyakit lupus
yang berbeda-beda tergantung usia, keparahan penyakit, riwayat medis, serta
kondisi tubuh masing-masing.
Gejala penyakit lupus juga biasanya dapat berubah-ubah setiap waktu.
Namun, ada beberapa tanda dan gejala khas dari penyakit lupus yang mungkin
bisa Anda amati dan waspadai. Beberapa tanda dan gejala khas SLE adalah:
- Lemas, lesu, dan tidak bertenaga
- Nyeri sendi dan bengkak atau kekakuan, biasanya di tangan, pergelangan
tangan dan lutut
- Memiliki bintil merah pada bagian tubuh yang sering terkena matahari,
seperti wajah (pipi dan hidung)
- Fenomena Raynaud membuat jari berubah warna dan menjadi terasa sakit
ketika terkena dingin
- Sakit kepala
- Rambut rontok
- Pleurisy (radang selaput paru-paru), yang dapat membuat bernapas terasa
menyakitkan, disertai sesak napas
F. KLASIFIKASI
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik (SLE) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia,
atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain
itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast,
heme granular atau sel darah merah pada urin
b. Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita dengan SLE
aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang
tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai
sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik dan
lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier.
Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat
meningkat pada penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis.
Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang.
Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari antibody
antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibody anti DNA yaitu yang
menyerang double stranded DNA ( anti ds-DNA ) dan yang menyerang
single stranded DNA ( anti ss-DNA ). Anti ss-DNA kurang sensitif dan
spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain.
Kompleks antibody-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk
diagnosis saja tetapi merupakan kontributor yang besar dalam
perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi
system komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik
local maupun sistemik (Pagana, 2002)
c. Antinuklear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain.
ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti
dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE , hasil
yang positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik
untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan
penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi
maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan
menurun. Jika hasil tes negatif, maka pasien belum tentu negatif
terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan tes
laboratorium yang lain, jika hasil test positif maka sebaiknya dilakukan
tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut
menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP
(anti-ribonukleoprotein), dan anti –SSA (Ro) atau anti-SSB (La)
(Pagana, 2002 )
H. PENATALAKSANAAN
Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan Reumatologi
Indonesia (2011 : 10-11) :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan
oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri.
Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan
fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan
mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar
matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan
perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia
atau terjadinya osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh
pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi
fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan
lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011 : 10-11)
c. Terapi Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini. Terapi
gen adalah cara yang efisien dan menguntungkan dengan memberikan
imunomodulator dan mediator anti-inflamasi, yang meliputi alami atau
rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi (anticytokines), atau sitokin
anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh karena itu adanya kebutuhan
besar untuk menemukan lebih banyak perawatan efektif, jika
memungkinkan dengan efek samping yang rendah. Dengan
perkembangan yang sedang berlangsung, berikut adalah beberapa
macam terapi gen yang dilakukan pada penyakit lupus erythematosus :
1) NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs (obat anti inflamasi non steroid) merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan
ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering
menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak
fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan
resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga
mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam kehamilan (setelah 20
minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin. (Syamsi dhuha, 2012:
5-6)
2) Kortikosteroid
Syamsi dhuha (2012 : 6) menyatakan bahwa penggunaan dosis steroid
yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis
yang diberikan dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit,
namun kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis terlalu
tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang disebabkan oleh
steroid adalah masalah yang umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga
dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemeriksaan serial
kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti
kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi digunakan untuk
pencegahan atau pengobatan osteoporosis karena meningkatkan risiko
kanker payudara dan penyakit jantung. Bifosfonat tidak baik
digunakan selama kehamilan dan dianjurkan bahwa kehamilan harus
ditunda selama enam bulan setelah penghentian bifosfonat.
Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama
dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi
obat imunosupresan. Steroid juga dapat memperburuk hipertensi,
memprovokasi diabetes dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang
mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat penyakit
jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan
gastrointestinal dan terjadi pada dosis yang lebih rendah jika
digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga
cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan
penggunaan steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena.
Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap
merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian aktivitas
penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus.
Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik.
3) Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah.
Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian dan
kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, risiko tersebut sangat kecil.
Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan
untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini
pemberian terapi hydroxychloroquine dianjurkan untuk semua kasus
lupus dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat
untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan
dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap serta cukup
aman pada kehamilan.
I. Pathway
Genetic Lingkungan (cahaya matahari,infeksi stres) Hormonal Obat-obatan
A. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
a) Nyeri
b) Gatal-gatal
2) Riwayat kesehatan dahulu
a) Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah
b) Riwayat pemakaian obat-obatan hidralazin, prokainamid,isoniazid,
kontrasepsi oral dll
c) Riwayat terinfeksi virus
d) Terekspos bahan kimia
3) Riwayat kesehatan keluarga
a) Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun
b) Riwayat keluarga dengan infeksi berulang
4) Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mengatakan:
a) nyeri sendi karena gerakan
b) kekakuan pada sendi
c) kesemutan pada tangan dan kaki
d) sakit kepala
e) Demam
f) merasa letih, lemah
g) limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu
senggang,pekerjaan
h) keputusasaan dan ketidakberdayaan
i) kesulitan untuk makan
j) nausea, vomitus
k) sesak nafas
l) nyeri dada
m) ancaman pada konsep diri, citra diri
B. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas dan latihan
a) Keterbatasan rentang gerak
b) Deformitas
c) Kontraktur
2) Nyeri dan kenyamanan
a) Pembengkakan sendi
b) Nyeri tekan
c) Perubahan gaya berjalan/pincang
d) Gerak otot melindungi yang sakit
3) Kardiovaskuler
a) Fenomena raynoud
b) Hipertensi
c) Edeme
d) Pericardial friction rub
e) Aritmia
f) Murmur
g) Nutrisi dan metabolic
h) Lesi pada mulut
i) Penurunan berat badan
4) Pola eliminasi
a) Peningkatan pengeluaran urin
b) Konstipasi /diare
J. PENEGAKAN DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernapasan
2. Nyeri akut berhubungan dengan cedera biologis (inflamasi dan kerusakan
jaringan).
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imunodefisiensi
4. Risiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
K. Rencana Tindakan Keperawatan
2 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan NIC Label: Manajemen Nyeri
dengan cedera biologis selama ... x 24 jam, diharapkan nyeri pasien a) Lakukan pengkajian nyeri
dapat teratasi dengan kriteria hasil: komprehensif yang meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
NOC Label: Kepuasan Klien: Manajemen kualitas, intensitas, atau beratnya
Nyeri nyeri dan faktor pencetus
a) Nyeri terkontrol dari skala 1 (tidak b) Gunakan strategi komunikasi
puas) puas ditingkatkan ke skala 4 terapeutik untuk mengetahui
(sangat puas) pengalaman nyeri dan sampaikan
penerimaan pasien terhadap nyeri
b) Tingkat nyeri dipantau secara reguler c) Bantu keluarga dalam mencari dan
dari skala 1 (tidak puas) ditingkatkan menyediakan dukungan
ke skala 4 (sangat puas) d) Kurangi atau eliminasi faktor-
c) Mengambil tindakan untuk faktor yang dapat mencetuskan atau
mengurangi nyeri dari skala 1 (tidak meningkatkan nyeri, (misalnya
puas) ditingkatkan ke skala 4 (sangat ketakutan, kelelahan, keadaan
puas) monoton, atau kurang
d) Informasi disediakan untuk pengetahuan)
mengurangi nyeri dari skala 1 (tidak NIC Label: Menghadirkan Diri
puas) ditingkatkan ke skala 4 (sangat a) Bina rasa percaya dan penghargaan
puas) positif
b) Temani pasien dengan tujuan untuk
mendukung keamanan dan
menurunkan rasa takut pasien
c) Yakinkan dan dukung orang tua
terkait dengan peran suportif
mereka terhadap anak-anak mereka
d) Temani pasien dan berikan jaminan
rasa aman selama periode cemas
3 Kerusakan integritas NOC Label: Integritas Kulit dan Membran NIC Label: Perawatan Luka
kulit berhubungan Mukosa a) Monitor karakteristik luka,
dengan imunodefisiensi a) Suhu kulit pada skala 2 (banyak termasuk drainase, warna, dan bau
terganggu) ditingkatkan ke skala 4 b) Ukur luas luka yang sesuai
(sedikit terganggu) c) Oleskan salep yang sesuai dengan
b) Elastisitas pada skala 2 (banyak kulit/lesi
terganggu) ditingkatkan ke skala 4 d) Pertahankan teknik balutan steril
(sedikit terganggu) ketika melakukan perawatan luka
c) Eritrema pada skala 2 (banyak dengan tepat
terganggu) ditingkatkan ke skala 4 e) Anjurkan pasien dan anggota
(sedikit terganggu) keluarganya untuk mengenal tanda
dan gejala infeksi
f) Anjurkan pasien dan anggota
keluarganya berhubungan dengan
prosedur perawatan luka