Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP DASAR TEORI DAN ASUHAN

KEPERAWATAN INTENSIF PADA PASIEN DENGAN SYSTEMIC LUPUS


ERYTHEMATOSUS (SLE)

Oleh :
LUH PUTU RETIKAWATI
(P07120213007)
TINGKAT 4 SEMESTER VII

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIV REGULER
2016
LAPORAN PENDAHULUAN KONSEP DASAR TEORI DAN ASUHAN
KEPERAWATAN INTENSIF PADA PASIEN DENGAN SYSTEMIC LUPUS
ERYTHEMATOSUS (SLE)

A. Konsep Dasar Teori


1. Definisi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit kolagen autoimun
inflamasi yang sifatnya kronis yang disebabkan oleh gangguan pengaturan
imun yang mengakibatkan produksi antibodi yang berlebihan. (Brunner &
Suddarth, 2014)
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang
ringan sampai berat. Pada keadaan awal sering sekali sulit untuk dikenali
sebagai LES karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan (Mansjoer
Arif, 2010).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala
penyakit ini dapat bermacam-macam, dapat bersifat sementara, dan sulit untuk
didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang
oleh penyakit ini sulit untuk diperoleh (Price A. Sylvia, 2006).
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang menyerang
berbagai sistem tubuh dengan manifestasi klinis yang bervariasi.

2. Penyebab / Etiologi

Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun


diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun,
kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan.
a. Autoimun :
Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks
dimana sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T
menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha
mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi
limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk
untuk menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang sel
tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin.
Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang
peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh
sel B (Simon H, 2000).
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah
antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat
dua tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang
peranan penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya
spesifik untuk pasien SLE (Simon H, 2000). Dengan antigen yang spesifik,
ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga
pengaturan sistem imun pada SLE terganggu yaitu berupa gangguan klirens
kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam
hati, dan penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga
menyebabkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan
menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan
aktivasinya menghasilkan substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang
inilah yang menyebabkan keluhan pada organ yang bersangkutan.
Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid.
Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel.
Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin
berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah hitung
darah.
Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi
antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri
sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang
normal, namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi
antifosfolipid, dengan gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena
berulang, trombositopenia, kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada
pertengahan kedua kehamilan. Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau
bersamaan dengan SLE atau gangguan autoimun lainnya.
b. Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga
menderita SLE. Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien
memiliki manifestasi klinik yang berbeda) sedangkan non-identik 2-9%. Jika
seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk
menderita penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25.
Penelitian terakhir menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang mengkode
unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haptolip MHC tertentu, terutama
HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah
terbukti.
Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur
apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan
bahwa terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong
dibentuknya kompleks imun dan menyebabkan kerusakan ginjal.
c. Faktor lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun
pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu,
kelelahan, stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa
obat-obatan (Simon H, 2000).
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T
adalah virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus
Epstein-Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian
lain menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus,
misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan
menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak
mempengaruhi ginjal.
Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu
tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari
sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai
antigen asing dan memberikan respon autoimun.
Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan
tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom
ini adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi
nefritis dan gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat
terjadi perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil laoratoium.
Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan
menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi.
Sitokin berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE
biasanya memiliki hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang
menderita SLE memiliki level androgen yang abnormal (Simon H, 2000)
Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang
respon imun.

3. Patofisiologi
Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta
faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal.
Respon tersebut terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang
hiperaktif pula, dengan aktivasi poliklonal stimulasi antigenik spesifik pada
kedua sel tersebut. Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon
hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal
tersebut adalah produksi autoantibodi dan pembentukan imun kompleks.
Subset patogen autoantibodi dan deposit imun kompleks di jaringan serta
kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE.
Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan
berbagai keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh,
sedangkan beberapa antigen tubuh tidak dikenal (self antigen) contoh:
nucleosomes, U1RP, Ro/SS-A. Antigen tersebut diproses seperti umumnya
antigen lain oleh makrofag dan sel B. Peptida ini akan menstimulasi sel T dan
akan diikat sel B pada reseptornya sehingga menghasilkan suatu antibodi yang
merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk peptida ini dan antibodi yang
terbentuk oleh antigen external akan merusak target organ (glomerulus, sel
endotel, trombosit). Di sisi lain antibodi juga berikatan dengan antigennya
sehingga terbentuk imun kompleks yang merusak berbagai organ bila
mengendap.
Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan
protein RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa
autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut
dapat berikatan dengan glikoprotein II dan III di dinding trombosit dan
eritrosit. Pada sisi lain antibodi dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic
trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.
Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE dan ini
menyebabkan kerusakan jaringan bila mengendap. Imun kompleks juga
berkaitan dengan komplemen yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena
ikatannya pada receptor C3b pada eritrosit.
Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun
kompleks yang melibatkan berbagai aktivasi komplemen, PMN dan berbagai
mediator inflamasi.
Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita SLE adalah
ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Keadaan ini dapat
meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibodi.

4. Manifestasi Klinis
a. Sistem Muskuloskeletal
Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti
oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan
kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi.
Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau
ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid. Nekrosis vaskular dapat
terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang
mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling
sering terkena ialah kaput femoris.
b. Sistem Integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa
pipi atau palatum durum.
c. Sistem Kardiak
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis,
endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi
sebagai akibat keadaan tersebut.
d. Sistem Pernafasan
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (perdangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari
kejadian tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
e. Sistem Vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
f. Sistem Perkemihan
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan
nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling
berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta
gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis lupus membranosa
lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan
fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung
cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah
pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu
penyebab kematian SLE kronik.
g. Sistem Saraf
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis
organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan
bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem lain-lainnya. Pasien
menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik otak seperti
sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar yang
pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak
dapat dibedakan dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru
dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang
dipakai. Psikosis lupus membaik jika dosis steroid dinaikkan dan
sebaliknya. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal.
Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah afasia, hemiplegia.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan
CT Scan direkomendasikan setelah stabilisasi jalan nafas dan sirkulasi.
Jika hasil pencitraan negatif, fungsi lumbal dapast dipertimbangkan untuk
menyingkirkan etiologi infeksia
b. Lumbal Punksi
Direkomendasikan hanya pada pasien SE yang memiliki manifestasi klinis
infeksi SSP
c. EEG (elektoensefalografi)
Sangat berperan untuk menunjukkan fokus dari suatu kejang di area
tertentu otak. Continuous EEG (cEEG) sangat berguna pada
penatalaksanaan SE di ruang intensive care unit (ICU), dilakukan dalam
satu jam sejak onset jika kejang masih berlanjut. Ini bermanfaat untuk
mempertahankan dosis obat antiepilepsi selama titrasi dan mendeteksi
berulangnya kejang. Indikasi penggunaan cEEG pada SE adalah kejang
klinis yang masih berlangsung atau SE yang tidak pulih dalam 10 menit,
koma, postcardiac arrest, dugaan nonconvulsive SE pada pasien dengan
perubahan kesadaran. Durasi EEG seharusnya paling sedikit dalam 48
jam.
d. Tes ANA (Anti Nuclear Antibody)
e. Tes Anti dsDNA (double stranded)
f. Tes Antibodi anti-S (Smith)
g. Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La
(antikoagulan lupus anti SSB, dan antibodi antikardiolipin).
h. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)
i. Tes sel LE
j. Tes anti ssDNA (single stranded)

6. Penatalaksanaan medis

Ada dua tujuan pokok pengobatan yaitu mengurangi peradangan pada


jaringan tubuh yang tertera dan menekan ketidaknormalan sistem kekebalan
tubuh.
Ada beberapa kategori obat yang digunakan dalam pengobatan lupus:
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid (steroid) merupakan hormon yang berfungsi mencegah
peradangan (anti inflamatori) dan merupakan pengatur kekebalan tubuh,
bentuknya krim, salep, pil atau disuntikkan. Homon ini dapat mengendalikan
berbagai fungsi metabolisme di dalam tubuh. Kortikosteroid untuk
mengurangi peradangan dan menekan aktivitas berlebihan dari sistem
kekebalan. Penggunaan obat ini tergantung pada kebutuhan pasien, misalnya
pasien dengan gejala demam, radang sendi (atritis), atau radang selaput
dada/paru yang tidak bereaksi terhadap obat-obat non steroid. Umumnya, di
beri obat kortikosteroid oral dengan dosis rendah, seperti prednisone atau
motil prednisolone (prednisolone). Pada pasien tingkat serius diberikan seperti
radang ginjal dengan protein yang sangat banyak pada air seni, amoniak,
jumlah trombosit rendah (trombositopenia) dan kejang-kejang. Pemberian
obat dalam dosis tinggi bisa melalui oral, suntikan atau infus intravena (bolus
terapi). Begitu gejala beraksi terhadap pengobatan ini, dosis berangsur
dikurangi. Contoh obat:
1) Prednison
Indikasi : menekan reaksi radang dan reaksi alergi.
Efek samping : gejala saluran cerna, mual, cegukan, perut kembung,
pankreatitis akut.
Dosis : (oral) dosis awal 10-20 mg/hari, kasus berat sampai 60 mg/hari,
sebaiknya dimakan pagi hari setelah sarapan ; dosis pemeliharaan, 2,5-15
mg/hari ; injeksi IM, prednisolon asetat 25-100 mg sekali atau 2 kali
seminggu.
2) Hidrokortison Butirat
Indikasi : kelainan radang kulit yang hebat seperti eksim tidak
menunjukkan respon pada kortikosteroid yang kurang kuat.
Efek samping : luka kulit akibat bakteri, jamur atau viral yang tak diobati:
cara penggunaan: dioleskan tipis 1-2 x/hari dengan kadar 1%.
b. Non Steroidal Antiinflamatory Drugs (NSAIDS)
Merupakan obat-obatan anti radang dan imunosupresif yang kuat dan
manjur seperti steroid (kortison dan prednisone). Obat-obat anti radang dan
penghilang anti sakit (analgesik) dapat digunakan khususnya bagi kelompok
obat-obatan anti radang non steroid (NSAIDS). Tujuan khususnya adalah
meringankan gejala-gejala, seperti demam ringan, rasa lelah, atritis, dan
radang selaput dada atau paru. Contoh obat:
Natrium Diklofenak
Indikasi : nyeri dan radang pada penyakit rematik (termasuk juvenil
artritis) dan gangguan otot skelet lainnya, gout akut, nyeri pasca bedah.
Efek samping : porfiria, supositoria bisa mengakibatkan iritasi rektum.
Dosis : (oral) 75-150 mg/hari dalam 2-3 dosis sebaiknya setelah makan;
injeksi IM dalam, 75 mg/hari.
c. Antimalaria
Obat antimalaria efektif mengobati atritis (radang sendi, ruam kulit, dan
sariawan di mulut). Serta juga efektif untuk mengobati gejala kulit dan sendi
ini dikarenakan fungsinya yang meredakan sakit di otot, sendi, paru, radang
pada selaput jantung dan gejala lain seperti rasa lelah dan demam tinggi.
Contoh obat:
Hidroksiklorofin
Dosis : 3-7 mg/kg/hari sebagai garam sulfat (maksimal 400 mg/hari).
d. Imunosupresan
Obat ini membantu meredakan aktivitas penyakit pada organ utama,
seperti ginjal. Kedua, mengurangi atau menghilangkan kebutuhan pasien lupus
akan steroid. Contoh obat:
Siklofosfamid
Indikasi : digunakan dalam terapi leukimia limfositik kronik, limfoma, dan
tumor solid.
Efek samping : sistitis hemorogika.
Dosis : induksi 40-50 mg/kg ; (oral) 1-5 mg/kg/hari ; injeksi IV, 10-15
mg/kg tiap 7-10 hari.
e. Azathioprinc (Imuran)
Indikasi : digunakan luas untuk pasien yang menjalani transplantasi dan untuk
penyakit autoimun yang tidak dapat dikendalikan dengan kortikosteroid saja.
Efek samping : reaksi hipersensitifitas (malaise, pusing, mual, demam, nyeri
otot, nyeri sendi, aritmia, hipotensi), rambut rontok.
Dosis : oral 3 mg/kg/hari.

7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita SLE adalah sebagai berikut:
a. Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita SLE.
Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada
glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan
cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III
b. Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikadium yang
mengelilingi jantung)
c. Peradangan membran pleura yang mengelilngi paru dapat membatasi
perapasan. Sering terjadi bronkhitis.
d. Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.
e. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan
kepribadian, termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan
kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya
(Elizabeth, 2009).

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan SLE


1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa
yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
- Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari
pertolongan atau berobat ke rumah sakit.
- Biasanya klien mengeluh kencing berwarna seperti cucian daging,
bengkak sekitar mata dan seluruh tubuh. Tidak nafsu makan, mual,
muntah dan diare. Badan panas hanya sutu hari pertama sakit.
c. Pengkajian B6
1) B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan
otot bantu napas, dan penngkatan frekuensi pernapasan yang sering
didapatkan pada klien epilepsy disertai dengan gangguan system
pernapasan.
2) B2 (Bleeding)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien
epilepsy tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok
3) B3 (Brain)
a. Tingkat kesadaran
Tingkat kesedaran klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator
paling sensitif untuk menilai disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
kesadaran.
b. Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien, nilai gaya
bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas motorik pada klien epilepsi
tahap lanjut biasanya mengalami perubahan status mental seperti adanya
gangguan perilaku, alam perasaan dan persepsi
c. Pemeriksaan saraf cranial
a) Saraf I. Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman
b) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan dalam kondisi normal
c) Saraf III, IV, dan VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien epilepsi
mengeluh mengalami fotofobia, (sensitif yang berlebihan terhadap cahaya)
d) Saraf V. Biasanya tidak didapatkan paralisis otot wajah dan reflex kornea
biasanya tidak ada kelainan
e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
g) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik
h) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
i) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d. Sistem motorik
Kekutan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada epilepsi
tahap lanjut mengalami perubahan
e. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, dan
periosteum, derajat reflex pada respons normal
f. Sistem sensorik
Perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh,
perasaan propriosetif normal, dan perasaan diskriminatif normal. Pada
rangsang cahaya merupakan tanda khas dari epilepsi. Pascakejang sering
dikeluhkan adanya nyeri kepala yang bersifat akut.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem kemih didapatkan berkurangnya volume output
urin, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien pada epilepsi menurun karena
anoreksia dan adanya kejang
6) B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang biasanya didapatkan adanya penurunan
kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga mengganggu
aktivitas perawatan diri.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mukus


berlebih
b. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak ditandai dengan faktor risiko
tumor otak (penyakit neurologis)
c. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera biologis
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan imunologis

3. Rencana Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil
1 Ketidakefektifan NOC: NIC:
bersihan jalan napas Respiratory Status: Airway Management
berhubungan dengan Airway Patency a. Buka jalan nafas
mukus berlebih Setelah dilakukan menggunakan head tilt
tindakan keperawatan chin lift atau jaw thrust
selama 3x24 jam jalan bila perlu
b. Posisikan pasien untuk
nafas pasien paten
memaksimalkan ventilasi
dengan kriteria hasil:
c. Identifikasi pasien
- Klien menunjukkan
perlunya pemasangan alat
jalan napas paten
jalan nafas buatan (NPA,
(frekuensi napas
OPA, ETT, Ventilator)
dalam rentang normal. d. Lakukan fisioterapi dada
- Kedalaman napas jika perlu
e. Bersihkan secret dengan
dalam rentang normal,
suction bila diperlukan
pola napas normal)
f. Auskultasi suara nafas,
catat adanya suara
tambahan
g. Kolaborasi pemberian
oksigen
h. Kolaborasi pemberian
obat bronkodilator
i. Monitor RR dan status
oksigenasi (frekuensi,
irama, kedalaman dan
usaha dalam bernapas)
j. Anjurkan pasien untuk
batuk efektif
k. Berikan nebulizer jika
diperlukan

2 Risiko NOC : NIC :


ketidakefektifan Ci Seizure Precaution
perfusi jaringan otak rculation status - Catat apakah pasien
ditandai dengan Tis memiliki riwayat
faktor risiko tumor sue Prefusion : pengobatan dan frekuensi
otak (penyakit cerebral terjadinya kejang.
neurologis) Setelah dilakukan asuhan - Instruksikan keluarga
keperawatan selama 3x24 mengenai pertolongan
jam diharapkan perfusi pertama pada kejang
otak baik dengan kriteria - Sediakan nasopharyngeal
hasil : di dekat pasien
- Tekanan darah - Beritahu pasien mengenai
(sistolik dan pengobatan dan efek
diastolik) dalam batas sampingnya
normal - Monitor level penggunaan
- MAP dalam batas obat anti-epilepsi.
normal
- Sakit kepala
NIC :
berkurang/hilang
- Tidak gelisah Cerebral perfusion
- Tidak mengalami promotion
muntah Konsultasi dengan
- Tidak mengalami
dokter untuk menentukan
penurunan kesadaran
parameter hemodinamik,
dan mempertahankan
hemodinamik dalam
rentang yg diharapkan
Monitor MAP
Berikan agents yang
memperbesar volume
intravaskuler misalnya
(koloid, produk darah,
atau kristaloid)
Konsultasi dengan
dokter untuk
mengoptimalkan posisi
kepala (15-30 derajat) dan
monitor respon pasien
terhadap pengaturan posisi
kepala
Berikan calcium
channel blocker,
vasopressin, anti nyeri,
anti coagulant, anti
platelet, anti trombolitik
Monitor nilai PaCO2,
SaO2 dan Hb dan cardiac
output untuk menentukan
status pengiriman oksigen
ke jaringan

3 Nyeri akut NOC: NIC:


Pain Level Analgesic Administration
Setelah dilakukan asuhan a. Tentukan lokasi,
keperawatan selama 3x24 karakteristik, kualitas,
jam diharapkan nyeri dan derajat nyeri sebelum
dapat terkontrol dengan pemberian obat
kriteria hasil : b. Cek riwayat alergi
1. Tidak menunjukkan terhadap obat
respon non verbal c. Pilih analgesik yang tepat
adanya nyeri. atau kombinasi dari
2. Menggunakan terapi
analgesik lebih dari satu
analgetik dan non
jika diperlukan
analgetik.
d. Tentukan analgesik yang
3. Tanda-tanda vital
diberikan (narkotik, non-
dalam batas normal.
narkotik, atau NSAID)
berdasarkan tipe dan
keparahan nyeri
e. Tentukan rute pemberian
analgesik dan dosis untuk
mendapat hasil yang
maksimal
f. Pilih rute IV
dibandingkan rute IM
untuk pemberian
analgesik secara teratur
melalui injeksi jika
diperlukan
g. Evaluasi efektivitas
pemberian analgesik
setelah dilakukan injeksi.
Selain itu observasi efek
samping pemberian
analgesik seperti depresi
pernapasan, mual
muntah, mulut kering dan
konstipasi.
h. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali

4 Kerusakan integritas NOC : NIC : Pressure


kulit berhubungan Tissue Integrity : Skin Management
dengan defisit and Mucous a. Hindari kerutan pada
imunologi Membranes tempat tidur
Setelah dilakukan b. Jaga kebersihan kulit
tindakan keperawatan agar tetap bersih dan
selama 3x24 jam kering
kerusakan integritas kulit c. Monitor kulit akan
pasien teratasi dengan adanya kemerahan
kriteria hasil: d. Oleskan lotion atau
Integritas kulit yang minyak/baby oil pada
baik bisa derah yang tertekan
dipertahankan e. Kaji lingkungan dan
(sensasi, elastisitas, peralatan yang
temperatur, hidrasi, menyebabkan tekanan
pigmentasi) f. Observasi luka : lokasi,
Tidak ada luka/lesi dimensi, kedalaman luka,
pada kulit karakteristik, warna
Perfusi jaringan baik
cairan, granulasi, jaringan
nekrotik, tanda-tanda
infeksi lokal, formasi
traktus
g. Berikan posisi yang
mengurangi tekanan pada
luka
DAFTAR PUSTAKA

Kusuma, Hardi & Amin Huda Nurarif. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis
Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai
Kasus. Jogjakarta: Mediaction Jogja.
Gloria M. Bulechek, (et al).2013. Nursing Interventions Classifications (NIC) 6th
Edition. United States of America: Elsevier.
Moorhead, Sue. et al. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). Fifth
Edition. United States of America: Elsevier.
Bruner and Sudarth, (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8,
Volume 2. Jakarta: EGC
Price and Wilson, (2006) Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit.
Edisi 6, volume 1. Jakarta: EGC
Underwood, (1996) Patologi umum dan sistematik. Edisi 2, volume 2. Jakarta:
EGC
Carpenito and Moyet, (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10.
Jakarta: EGC
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC
Denpasar, 26 Desember 2016
Pembimbing Praktik (CI) Mahasiswa

() ( Luh Putu Retikawati )


NIP. NIM. P07120213007

Pembimbing Akademik (CT)

(Ns. IGK Gede Ngurah, S.Kep., M.Kes.)


NIP.196303241983091001
Pathway :
Faktor idiopatik Trauma lahir, cedera kepala, demam,
gangguan metabolik, tumor otak

Fungsi sel T-supresor abnormal sehingga terjadi peningkatan produksi autobodi

Kerusakan neuron Terganggunya regulasi


kekebalan

stabilisasi membran sinaps


sinapsmembra Pembengkakan pada
muskuloskeletal
Influks Na ke intraseluler

Ketidak seimbangan neurotransmiter


Nyeri Akut
Na dalam intra sel berlebihan

Ketidakseimbangan ion Na & Ka


GABA zat inhibitif
Depolarisasi asetilkolin
Ketidakseimbangan elektrolit (zat eksitatif)
G3 polarisasi (hypo/hiper polarisasi)

G3b depolarisasi (kelistrikan saraf)


KEJANG

Parsial Umum

sederhana kompleks
absens mioklonik Tonik klonik atonik

kesadaran Gangguan peredaran darah


di otak dan jaringan

Tirah baring lama Refleks menelan Suplai darah ke otak dan


jaringan menurun
Akumulasi mukus
Kerusakan
Integritas Kulit Risiko Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan Otak
Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Nafas
nafas

Anda mungkin juga menyukai