Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN BEDAH

HEMATOTHORAX

A. DEFINISI
Hemotorax adalah keadaan dimana kavitas paru-paru terisi oleh
darah. Akumulasi darah dalam dada, atau hemothoraks adalah masalah
yang relative umum, paling sering akibat cedera untuk struktur
intrathoracic atau dinding dada. (Bararah, 2013)
Hematothoraks merupakan suatu keadaan di mana darah
terakumulasi pada rongga pleura yang disebabkan karena adanya trauma
pada dada yang menjadi predisposisi terpenting perembesan darah
berkumpul di kantong pleura tidak bisa diserap oleh lapisan pleura.
(Muttaqin, 2012)
Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura.
Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau
pembuluh darah besar. Meskipun beberapa penulis menyatakan bahwa
nilai hematokrit minimal 50% diperlukan untuk membedakan hemothorax
dari perdarahan efusi pleura, kebanyakan penulis tidak setuju pada setiap
perbedaan spesifik (Mancini, 2015)

B. ETIOLOGI
Hemotorax disebabkan karena adanya trauma dada, baik trauma
tumpul maupun trauma tajam. Selain itu hemotorax dapat terjadi karena
keganasan neoplasma, rupture pembuluh darah akibat pebengkakan aorta,
dan komplikasi operasi. Trauma tumpul dapat menyebabkan hemotorax
karena tulang iga yang mengalami fraktur dapat melukai paru-paru. Ketika
terjadi fraktur iga, serpihan tulang iga maupun patahan tulang iga yang
msih ada di rongga dada dapat mencederai paru-paru. Biasanya cedera ini
mengenai alveolus. Alveolus sendiri adalah struktur yang banyak
dikelilingis oleh pembuluh darah. Pembuluh darah ini akan pecah setelah
trauma. Pembuluh darah yang pecah ini akan menyababkan perdarahan.
Darah yang keluar dari pembuluh akan berkumpul di rongga pleura. Suatu
keberadaan darah dalam pleura dapat diklasifikasikan sebagai hemotorax
apabila volume darah minimal 300-500 ml (Pooler,2009).

C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang muncul pada pasien dengan hemotoraks adalah
nyeri dada, pasien menunjukkan distres pernapasan berat, napas pendek,
takikardi, hipotensi, pucat, dingin, dan takipneu. Pasien juga dapat
mengalami anemia sampai syok (Boston Medical Centre, 2014)
1. Respon Hemodinamik
Ketika terjadi perdarahan dan volume darah masuk ke rongga
pleura, maka volume darah dalam pebuluh darah akan berkurang, sehingga
terjadi syok hipovolemik. Syok hipovolemik akan menyebabkan berbagai
macam manifestasi klinis. Syok hipovolemik akan menyebabkan
berkurangnya tekanan nadi, karena darah yang di pompa oleh jantung
sedikit. Selain itu syok hipovolemik akan menyebabkan darah sebagai
pembawa oksigen akan berkurang. Sehingga, tubuh akan kekurangan
oksigen, untuk kompensasi hal ini jantung akan memompa darah dengan
cepat (trakikardi) dan mempercepat pernafasan (trakipnea).
Akumulasi darah dalam rongga pleura pada akhirnya akan
menyebabkan tekanan pada jantung. Apabila jantung tertekan maka darah
akan sulit memasuki ruangan atrium jantung. Sehingga akan terjadi
pengumpulan darah di area vena kava. Selain darah kesulitan untuk
memasuki rongga jantung, jantung juga akan kesulitan dalam memompa
darah ke seluruh tubuh. Akibatnya kardiak output jantung akan menurun.
Keadaan ini dapat mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen karena ada
gangguan dalam proses distribusi oksigen ke seluruh tubuh.
2. Respon Respirasi
Akumulasi darah dalam rongga pleura akan menekan paru-paru
sehingga dapat menyebabkan paru-paru kolaps. Kolapsnya paru-paru
dapat menyebabkan gangguan oksigenasi. Paru-paru gagal mengembang
dan kolap sehingga menyebabkan udara tidak bisa masuk ke dalam paru-
paru. Nafas penderita akan mengalami dyspnea di mana nafas lambat dan
dangkal. Respon lain adalah ketika darah yang memenuhi rongga pleura
biasanya berasal dari jaringan parenkim paru (alveolus). Apabila kapiler
darah alveolus megeluarkan darahnya ke rongga pleura maka akan terjadi
gangguan pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh kapiler paru.
Akibatnya fungsi perfusi paru akan terganggu karena alveolus tidak bisa
melakukan pertukaran gas dengan kapiler.

D. PATOFISIOLOGI
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai
berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma.
Kerusakan anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur
kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa
fraktur kosta multiple dengan komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks
dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan perobekan
pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung.
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya
dapat menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem
kardiovaskuler. Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat
ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal
pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan
gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada
trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah.
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua
gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic.
Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area
utama: hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan
oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah. Perubahan hemodinamik bervariasi,
tergantung pada jumlah perdarahan dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan
darah hingga 750 mL pada seorang pria 70 kg seharusnya tidak menyebabkan
perubahan hemodinamik yang signifikan. Hilangnya 750-1500 mL pada individu
yang sama akan menyebabkan gejala awal syok yaitu, takikardia, takipnea, dan
penurunan tekanan darah.

Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk


terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL). Karena
rongga pleura seorang pria 70 kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah,
perdarahan exsanguinating dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari kehilangan
darah. Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat
menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi
dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding
dada. Sebuah kumpulan darah yang cukup besar menyebabkan pasien mengalami
dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang
diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi tergantung
pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan cedera, dan
cadangan paru dan jantung yang mendasari.

Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax


berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk
penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk
menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan
utama. Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru,
dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat
defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa
jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura
dimulai.

Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan


pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik
tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan
sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan
cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi
besar dan gejala efusi pleura berdarah. Dua keadaan patologis yang berhubungan
dengan tahap selanjutnya dari hemothorax: empiema dan fibrothorax. Empiema
hasil dari kontaminasi bakteri pada hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak
ditangani dengan benar, hal ini dapat mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis.
(Mancini, 2015)
Pathway

Trauma pada Thorax

Perdarahan jaringan Cidera jaringan lunak,


interstitium, perdarahan intra cidera/hilangnya
alveolar, kolaps arteri dan kontinuitas struktur tulang
arteri-arteri kecil, hingga
tahanan perifer pembuluh
darah paru meningkat Adanya luka pasca trauma,
pergerakan fragmen tulang

Reabsorbsi darah oleh pleura


tidak memadai/tidak optimal MK: Nyeri Port de entry
Akut Mikroorganisme

Akumulasi darah di pleura


MK: MK: Risiko
Kerusakan Infeksi
Gangguan ventilasi: Integritas Kulit
Pengembangan paru tidak
optimal, gangguan difusi,
distribusi, dan transportasi Edema
oksigen trakheal/faringeal

Peningkatan produksi
MK: Ketidakefektifan Terpasang bullow
sekret dan penurunan
Pola Nafas drainase/WSD
kemampua batuk efektif

Risiko tinggi trauma MK: Ketidakefektifan


Aktivitas Port de Bersihan Jalan Nafas
terbatas entry
MK: Nyeri Akut kuman MK: Risiko
Infeksi
MK: Hambatan
Mobilitas Fisik
E. KOMPLIKASI
Hemotorax yang tidak segera ditangani akan menimbulkan
berbagai dampak yang berbahaya bagi pasien. Darah yang berkumpul
dalam rongga pleura apabila tidak dikeluarkan akan menjadi zat iritan.
Menurut Gourlay (2002) dalam Jones et.all (2005) darah yang
terakumulasi akan menyebabkan peningkatan efusi serum yang
meningkatkan volume rongga pleura. Darah yang dibiarkan akan
mengalami penggumpalan dalam rongga pleura (Jones et.all,2005). Pada
klien dengan posisi rekumben maka gumpalan akan terbentuk dan
menebal di area dasar posterior, apeks dan sedikit di bagian anterior
pleura. Setelah terjadi penggumpalan maka akanterbentuk hemotorax
terorganisasi. Hemotorax terorganisasi terdiri dari tiga lapisan. Lapisan
paling dalam berisi darah yang masih sedikit cair, lapisan tengah berisi
deposit jaringan fibrin yang sudah terorganisasi, sedangkan lapisan paling
luar berisi fibroblas yang menghasilkan matrix fibrin. Dalam matrix fibrin
akan terbentuk pertunasan pembuluh darah baru. Kumpulan fibroblas ini
akan menghasilkan jaringan kolagen yang menyebabkan fibrosis pada
paru-paru. Jaringan skar yang terbentuk akan menyebabkan paru-paru sulit
melakukan ekspansi, karena jaringan skar akan menekan paru-paru dan
menyebabkan paru-paru menjadi kaku atau mungkin mengalami contract.
Kondisi ini disebut fibrinothorax.
Selain fibrinothorax, komplikasi lain adalah terjadinya infeksi.
Darah yang terakumulasi merupakan media yang sangat subur untuk
perkembangan bakteri ataupun pagen infeksi lain. Apabila hemothorax
tidak ditangani segera maka akan berkembangn infeksi pada thorax.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto rontgen: menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleura. Pada
kasus trauma tumpul dapat terlihat pada foto toraks, seperti fraktur kosta
atau pneumotoraks.

1) Persiapan
1) Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan
2) Beritahu pasien melepaskan pakaian ketika petugas radiologi sedang
mempersiapkan pesawat rontgen
2) Pelaksanaan
Memberikan instruksi kepada pasien dengan posisi pemeriksaan:
- Posisi PA (Postero Anterior)
Pada posisi ini film diletakkan di depan dada, siku ditarik kedepan
supaya scapula tidak menutupi parenkim paru.

- Posisi AP (Antero Posterior)


Dilakukan pada anak-anak atau pada pasien yang tidak kooperatif. Film
diletakkan dibawah punggung, biasanya scapula menutupi parenkim
paru. Jantung juga terlihat lebih besar dari posisi PA.
- Posisi Lateral Dextra & Sinistra
Posisi ini hendaknya dibuat setelah posisi PA diperiksa. Buatlah
proyeksi lateral kiri kecuali semua tanda dan gejala klinis terdapat di
sebelah kanan, maka dibuat proyeksi lateral kanan,berarti sebelah kanan
terletak pada film. Foto juga dibuat dalam posisi berdiri.

3) Pasca
Beritahu pasien untuk menggunakan kembali pakaian (Misri, 2013)

b. AGD
Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan
mekanik pernapasan dan kemampuan mengompensasi. PCO2 kadang-kadang
meningkat > 45. PO2 mungkin normal atau menurun < 80, saturasi oksigen
biasanya menurun, berikut prosedur AGD.
1) Persiapan
a) Jelaskan prosedur dan tujuan dari tindakan yang dilakukan.
b) Jelaskan bahwa dalam prosedur pengambilan akan menimbulkan rasa
sakit.
c) Jelaskan komplikasi yang mungkin timbul.
d) Jelaskan tentang allen’s test.
Caranya :
Minta klien untuk mengepalkan tangan dengan kuat, berikan tekanan
langsung pada arteri radialis dan ulnaris, minta klien untuk membuka
tangannya, lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna jari-jari, ibu
jari, dan tangan. Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15 detik,
warna merah menunjukkan test allen’s positif. Apabila tekanan dilepas,
tangan tetap pucat, menunjukkan test allen’s negatif. Jika pemeriksaan
negatif, hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang lain.
2) Pelaksanaan
1) Menyiapkan posisi pasien :
a) Arteri Radialisi :
- Pasien tidur semi fowler dan tangan diluruskan.
- Meraba arteri kalau perlu tangan boleh diganjal atau ditinggikan.
- Arteri harus benar-benar teraba untuk memastikan lokalisasinya.
b) Arteri Dorsalis Pedis.
- Pasien boleh flat/fowler.
c) Arteri Brachialis
- Posisi pasien semi fowler, tangan di hyperekstensikan / diganjal
dengan siku.
d) Arteri Femoralis.
- Posisi pasien flat.
2) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
3) Raba kembali arteri untuk memastikan adanya pulsasi daerah yang akan
ditusuk sesudah dibersihkan dengan kapas bethadine secara sirkuler.
Setelah 30 detik kita ulangi dengan kapas alkohol dan tunggu hingga
kering.
4) Bila perlu obat anethesi lokal gunakan spuit 1 cc yang sudah diisi
dengan obat (adrenalin 1 %), kemudian suntikan 0,2-0,3 cc intracutan
dan sebelum obat dimasukkan terlebih dahulu aspirasi untuk mencegah
masuknya obat ke dalam pembuluh darah.
5) Lokalisasi arteri yang sudah dibersihkan difiksasi oleh tangan kiri
dengan cara kulit diregangkan dengan kedua jari telunjuk dan jari
tengah sehingga arteri yang akan ditusuk berada di antara 2 jari
tersebut.
6) Spuit yang sudah di heparinisasi pegang seperti memegang pensil
dengan tangan kanan, jarum ditusukkan ke dalam arteri yang sudah di
fiksasi tadi.
- Pada arteri radialis posisi jarum 45 derajat.
- Pada arteri brachialis posisi jarum 60 derajat.
- Pada arteri femoralis posisi jarum 90 derajat.
7) Sehingga arteri ditusuk, tekanan arteri akan mendorong penghisap spuit
sehingga darah dengan mudah akan mengisi spuit, tetapi kadang-
kadang darah tidak langsung keluar. Kalau terpaksa dapat
menghisapnya secara perlahan-lahan untuk mencegah hemolisis. Bila
tusukan tidak berhasil jarum jangan langsung dicabut, tarik perlahan-
lahan sampai ada dibawah kulit kemudian tusukan boleh diulangi lagi
kearah denyutan.
8) Sesudah darah diperoleh sebanyak 2 cc jarum kita cabut dan usahakan
posisi pemompa spuit tetap untuk mencegah terhisapnya udara kedalam
spuit dan segera gelembung udara dikeluarkan dari spuit.
9) Ujung jarum segera ditutup dengan gabus / karet.
10) Bekas tusukan pungsi arteri tekan dengan kapas alkohol campur dengan
bethadine.
- Pada arteri radialis dan dorsalis pedis selama 5 menit.
- Pada arteri brachialis selama 7 – 10 menit.
- Pada arteri femoralis selama 10 menit.
- Jika pasien mendapat antikoagulan tekan selama 15 menit.
11) Lokalisasi tusukan tutup dengan kassa + bethadine steril.
12) Memberi etiket laboratorium dan mencantumkan nama pasien, ruangan,
tanggal, dan jam pengambilan, suhu, dan jenis pemeriksaan.
13) Bila pengiriman/pemeriksaannya jauh, darah dimasukkan kantong
plastik yang diisi es supaya pemeriksaan tidak berpengaruh oleh suhu
udara luar.
14) Kembali mencuci tangan setelah selesai melakukan tindakan.
3) Pasca
Rapikan pasien (Gallo, 2010)
a. Hemoglobin : Kadar Hb menurun < 10 gr %, menunjukkan kehilangan
darah
b. Volume tidal menurun < 500 ml, kapasitas vital paru menurun (Bararah,
2013)
c. Torakosentesis dan WSD
1. Persiapkan kulit dengan antiseptik
2. Lakukan infiltratif kulit, otot  dan pleura dengan lidokain 1 % diruang
sela iga yang sesuai, biasanya di sela iga ke 5 atau ke 6 pada garis mid
axillaris.
3. Perhatikan bahwa ujung jarum harus mencapai rongga pleura
4. Hisap cairan dari rongga dada untuk memastikan diagnosis
5. Buat incisi kecil dengan arah transversal tepat diatas iga, untuk
menghindari melukai pembuluh darah di bagian bawah iga
6. Dengan menggunan forceps arteri bengkok panjang, lakukan penetrasi
pleura dan perlebar lubangnya
7. Gunakan forceps yang sama untuk menjepit ujung selang dan
dimasukkan ke dalam kulit
8. Tutup kulit luka dengan jahitan terputus, dan selang tersebut di fiksasi
dengan satu jahitan.
9. Tinggalkan 1 jahitan tambahan berdekatan dengan selang tersebut tanpa
dijahit, yang berguna untuk menutup luka setelah selang dicabut nanti.
Tutup dengan selembar kasa hubungkan selang tersebut dengan sistem
drainage tertutup air Tandai tinggi awal cairan dalam botol drainage.
(Muttaqin, 2012)
d. Analisis Cairan Pleura
Pada analisis cairan pleura, setelah dilakukan aspirasi, cairan
tersebut diperiksa kadar hemoglobin atau hematokrit. Dikatakan
hemotoraks jika kadar hemoglobin atau hematokrit cairan pleura separuh
atau lebih dari kadar hemoglobin atau hematokrit darah perifer
e. CT scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang cukup akurat untuk mengetahui
cairan pleura atau darah, dan dapat membantu untuk mengetahui lokasi
bekuan darah. Selain itu, CT scan juga dapat menentukan jumlah bekuan
darah di rongga pleura (Mancini, 2015)

G. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
A. Pengkajian Primer
1. AIRWAY
Trauma laring dapat bersamaan dengan trauma thorax.walaupun
gejala kinis yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway karena trauma
laring merupakan cidera laring yang mengancam nyawa. Trauma pada
dada bagian atas, dapat menyebabkan dislokasi ke area posterior atau
fraktur dislokasi dari sendi sternoclavicular. Penanganan trauma ini dapat
menyebabkan sumbatan airway atas. Trauma ini diketahui apabila ada
sumbatan napas atas (stridor), adanya tanda perubahan kualitas suara dan
trauma yang luas pada daerah leher akan menyebabkan terabanya defek
pada regio sendi sternoclavikula. penanganan trauma ini paling baik
dengan reposisitertutup fraktur dan jika perlu dengan intubasi
endotracheal.
2.  BREATHING
Dada dan leher penderita harus terbuka selama dilakukan penilaian
breathing dan vena-vena leher. Pergerakan pernapasan dan kualitas
pernapasan pernapasan dinilai dengan diobservasi, palpasi dan
didengarkan. Gejala yang terpenting dari trauma thorax adalah hipoksia
termasuk peningkatan frekuensi dan perubahan pada pola pernapasan,
terutama pernapasan yang dengan lambat memburuk. Sianosis adalah
gejala hipoksia yang lanjut pada penderita. Jenis trauma yang
mempengaruhi breathing harus dikenal dan diketahui selama primary
survey.
3.      CIRCULATION
Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan
keteraturannya. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi
perifer dinilai melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan
temperatur. Adnya tanda-tanda syok dapat disebebkan oleh hematothorax
masif maupun tension pneumothorax. Penderita trauma thorax didaerah
sternum yang menunjukkan adanya disritmia harus dicurigai adanya
trauma miokard.
a. Open Pneumothorak
Usaha pertama jika open pneumothorad adalah menutup lubang pada
dinding dada ini sehingga open pneumothorax menjadi closed
pneumothrax (tertutup). Prinsip penutupan bersih. Harus segera
ditambahkan bahwa apabila selain lubang pada dinding dada, juga ada
lubang pada paru, maka usaha menutuo lubang ini secara total
(occlusive dressing) dapat mengkibatkan terjadinya tension
pneumothorax.
Dengan demikian maka yang harus dilakukan adalah :
1) Menutup dengan kasa 3 sisi. Kasa ditutup dengan plaster pada 3
sisinya, sedangkan pada sisi yang atas dibiarkan terbuka (kasa harus
dilapisi zalf/soffratule pada sisi dalamnya supaya kedap udara).
2) Menutup dengan kasa kedap udara. Apabila dilakukan cara ini maka
harus sering dievaluasi paru. Apabila ternyata timbul pada tension
pneumothorax maka kasa harus dibuka,
3) Pada luka yang besar dapat dipakai plastik infus yang digunting sesuai
ukuran.
b. Tension Pneumothorax
Penatalaksanaan tension pneumothorax adalah dengan dekompresi
“needle thoracosintesis”, yakni menusuk dengan jarum besar pada
ruang interncostal 2 pada garis midclavicularis. Terapi definitif dengan
pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 diantara garis
axillaris dan misaxillaris.
c. Hemathorax Masif
Jika klien mengalami hematothorax masif harus segera dibawa ke
rumah sakit untuk dilakukan tindakan operatif. Terapi awal yang harus
dilakukan adalah penggantian volume darah yang dilakukan bersama
dengan dekompresi rongga pleura dan kebutuhan thorakotomi diambil
bila didapatkan kehilangan darah awal lebih dari 1500 ml atau
kehilangan darah terus menerus 200 cc/jam dalam waktu 2-4 jam.
d. Flaill Chest
Terapi awal meliputi pemberian oksigen yang adekuat, pemberian
analgesik untuk mengurangi nyeri resusitasi cairan. Sesak nafas berat
akibat kerusakan perenkim paru mungkin harus dilakukan ventilasi
tambahan. Di rumah sakit akan dipasang respirator apabila analisis gas
darah menujukkan pO2 yang rendah atau pCO2 yang tinggi.
e.  Tamponade Jantung
Pemasangan CVP dan USG abdomen dapat dilakukan pada penderita
temponade jantung tetapi tidak boleh menghambat untuk dilakukannya
resusitasi. Metode yang cepat untuk menyelamatkan penderita ini adalah
dilakukan pericardiosintesis (penusukan rongga perikardium) dengan
jarum besar untuk mengeluarkan darah tersebut. Tindakan definitif adalah
dilakukan perikardiotomi yang dilakukan oleh ahli bedah.
B.      Pengkajian Sekunder
Pengkajian pasien dengan trauma thoraks meliputi :
a.    Aktivitas istirahat
Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
b.    Sirkulasi
Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical
berpindah, tanda Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ; DVJ.
c.    Integritas ego
Tanda : ketakutan atau gelisah.   
d.   Makanan dan cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.
e.    Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri uni lateral, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan,
tajam dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam,
kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan
wajah.
f.     Keamanan
Gejala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk keganasan.
g.    Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedah
intratorakal/biopsy paru.
C.      DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Gangguan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Hipoksia, tidak
adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan
2.      Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru
yang tidak maksimal karena trauma, hipoventilasi
3.      Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan
keletihan
4.      Perubahan kenyamanan : Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
dan reflek spasme otot sekunder.
5.      Resiko terjadinya syok Hipovolemia berhubungan dengan perdarahan
yang  berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler
6.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik
terpasang bullow drainage
7.      Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan
kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.

D.    INTERVENSI 
1.      Diagnosa : Gangguan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Hipoksia,
tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan dapat
mempertahankan perfusi jaringan dengan,
Kriteria hasil :
a.Tanda-tanda vital dalam batas normal  
b.Kesadaran meningkat
c.menunjukkan perfusi adekuat
Intervensi Dx 1: Gangguan Perfusi Jaringan berhubungan dengan
Hipoksia, tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan.
1)      Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab
penurunan perfusi  jaringan.
Rasional : Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status
neurologi/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan
atau tindakan pembedahan
2)      Monitor GCS dan mencatatnya
Rasional : Menganalisa tingkat kesadaran
3)      Monitor keadaan umum pasien.
Rasional : Memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi
jaringan dan membantu menentukan keb. intervensi.
4)      Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasional : Memaksimalkan transport oksigen ke jaringan
5)      Kolaborasi pengawasan hasil pemeriksaan laboraturium. Berikan sel
darah merah lengkap/packed produk darah sesuai indikasi.
Rasional : Mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan /respons
terhadap terapi

2.      Diagnosa : Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan


ekpansi paru yang tidak maksimal karena trauma, hipoventilasi.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan dapat
mempertahankan  jalan nafas pasien dengan
Kriteria hasil :
a. Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru
b. Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive
c. Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab
Intervensi Dx 2: Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan
ekpansi paru yang tidakmaksimal karena trauma, hipoventilasi
1)      Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala
tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak
mungkin.
Rasional : Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru
dan ventilasi  pada sisi yang tidak sakit
2)      Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau
perubahan tanda-tanda vital.
Rasional  : Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat
terjadi sebgai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan
terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia
3)      Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk
menjamin keamanan.
Rasional  : Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas
dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
4)      Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan
menggunakan  pernapasan lebih lambat dan dalam.
Rasional  : Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat
dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
5)      Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1  – 2 jam
Rasional  : Mempertahankan tekanannegatif intrapleural sesuai yang
diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
3.      Diagnosa : Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan
dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat
nyeri dan keletihan.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama diharapkan jalan
nafas  pasien normal,dengan
Kriteria hasil :
a.Menunjukkan batuk yang efektif.
b.Tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan
c.Klien tampak nyaman.
Intervensi Dx 3: Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan
dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat
nyeri dan keletihan.
1)      Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa
terdapat  penumpukan sekret di saluran Pernapasan.
Rasional : Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik
2)      Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
Rasional : Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak
efektif, menyebabkan frustasi
3)      Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
Rasional : Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya
batuk klien.
4)      Dorong atau berikanperawatan mulut yang baik setelah batuk
Rasional : Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan
mencegah  bau mulut.
5)      Kolaborasi dengan tim kesehatan lain Pemberian antibiotika atau
expectorant. Rasional : Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan
lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan
parunya

4.      Diagnosa : Nyeri berhubungan dengan trauma  jaringan dan reflek spasme


otot sekunder.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama diharapkan
nyeri berkurang, dengan
Kriteria hasil :
a.Nyeri berkurang/ dapat diatasi
b.Dapat mengindentifikasia aktivitas yang meningkatkan/ menurunkan
nyeri
c.Pasien tidak gelisah.
Intervensi Dx 4 : Perubahan kenyamanan : Nyeri berhubungan dengan
trauma  jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
1)        Jelaskan dan bantu klien dnegan tindakan pereda nyeri
nonfarmakologi dan non invasive
Rasional: Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri
2)      Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan
posisi yang nyaman ; misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil
Rasional: Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan
meningkatkan kenyamanan.
3)      Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan
menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung
Rasional: Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi
nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana teraupetik -Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan
berkurang
4)      Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik
Rasional: Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan
berkurang
5)      Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah
pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2
jam setelah tindakan  perawatan selama 1 - 2 hari.
Rasional: Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang
obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan
intervensi yang tepat

5.      Diagnosa : Resiko terjadinya syok Hipovolemia berhubungan dengan


perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler
ke ekstravaskuler
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama diharapkan klien
tidak mengalami syok hipovolemik, dengan
Kriteria hasil : Tanda Vital dalam batas normal (N: 120-60 x/menit, S :
36-3oC, RR : 20x/menit)
Intervensi Dx 5 : Resiko terjadinya syok Hipovolemia berhubungan
dengan perdarahan yang berlebihan, pindahnya cairan intravaskuler ke
ekstravaskuler.
1) Monitor keadaan umum pasien
Rasional: Untuk memonitor kondisi pasien selama perawatan terutama
saat terjadi  perdarahan. Perawat segera mengetahui tanda-tanda presyok /
syok
2)      Observasi vital sign setiap 3 jam atau lebih
Rasional: Perawat perlu terus mengobaservasi vital sign untuk memastikan
tidak terjadi presyok / syok
3)      Jelaskan pada pasien dan keluarga tanda perdarahan, dan segera
laporkan jika terjadi  perdarahan
Rasional: Dengan melibatkan pasien dan keluarga maka tanda-tanda
perdarahan dapat segera diketahui dan tindakan yang cepat dan tepat dapat
segera diberikan.
4)      Kolaborasi : Pemberian cairan intravena
Rasional: Cairan intravena diperlukan untuk mengatasi kehilangan cairan
tubuh secara hebat
5)      Kolaborasi : pemeriksaan : HB, PCV, trombosit
Rasionali:Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang
dialami pasien dan untuk acuan melakukan tindakan lebih lanjut.

6.      Diagnosa : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma


mekanik terpasang bullow drainage.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama diharapkan dapat
mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
Kriteria hasil :
a.    Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus
b.    Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor
c.    Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi Dx 6: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma
mekanik terpasang bullow drainage.
1)      Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka
Rasional : mengetahui sejauhmanaperkembangan luka mempermudah
dalam melakukan tindakan yang tepat
2)      Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka
Rasional : mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah
intervensi
3)      Pantau peningkatan suhu tubuh
Rasional : suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai
adanya proses  peradangan
4)      Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa
kering dan steril, gunakan plester kertas
Rasional : tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka dan
mencegah terjadinya infeksi
5)      Kolaborasi tindakan lanjutan sepertimelakukandebridemen
Rasional : agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar
luas pada area kulit normal lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Albanese, C.T., dan J.T Anderson et al., 2006. Current Surgery Diagnosis and
Treatment. Mc Graww Hill Companies.

Alizadeh, A. H. M.. 2017. Cholangitis: Diagnosis, Treatment and Prognosis


Journal of Clinical and Translational Hepatology. Vol. 5 | 404–413.

Black, J.m., Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah; Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan. Singapore: Elsevier

Brunicardi, F.C., dan D.K Andersen. 2007. Schwartz Principle’s of Surgery. 8th
Ed. Mc Graww Hill Companies.

Bulechek, Gloria M. et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). 6th ed.
Elsevier Mosby.

Caroline, Nancy, Eling, Bob. (2011). Caroline’s Emergency Care in the Street.
London: Jones and Barlett Publisher

Herdman, T.H. dan Kamitsuru, S. 2018. NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions & Classification, 2018–2020. 10nd ed. Oxford:
Wiley Blackwell.

Herlinda, Elsa. 2018. Askep Gadar Terauma Dada. Sekolah Tinngi Ilmu
Kesehatan Muhammadiyah. Kelaten

Jones, Riyad Karmy, et.all.(2005).Thoracic Trauma and Critical Care.


Massacushet: Kluwer Academic Publisher.

Moorhead, Sue et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th ed.
Elsevier Mosby.

Pooler, Charlotte. (2009). Porth Pathophysiology: Concept of Altered Healt State.


Philladhelphia: Lippincott Willian & Wilkins

Townsend, C.M., dan R.D Beauchamp. 2004. Sabiston Textbook of Surgery,


Biological Basis of Modern Surgical Practice. 17th Ed. Elsevier-
Saunders

Anda mungkin juga menyukai