HEMATOTHORAX
A. DEFINISI
Hemotorax adalah keadaan dimana kavitas paru-paru terisi oleh
darah. Akumulasi darah dalam dada, atau hemothoraks adalah masalah
yang relative umum, paling sering akibat cedera untuk struktur
intrathoracic atau dinding dada. (Bararah, 2013)
Hematothoraks merupakan suatu keadaan di mana darah
terakumulasi pada rongga pleura yang disebabkan karena adanya trauma
pada dada yang menjadi predisposisi terpenting perembesan darah
berkumpul di kantong pleura tidak bisa diserap oleh lapisan pleura.
(Muttaqin, 2012)
Hemotoraks adalah kondisi adanya darah di dalam rongga pleura.
Asal darah tersebut dapat dari dinding dada, parenkim paru, jantung, atau
pembuluh darah besar. Meskipun beberapa penulis menyatakan bahwa
nilai hematokrit minimal 50% diperlukan untuk membedakan hemothorax
dari perdarahan efusi pleura, kebanyakan penulis tidak setuju pada setiap
perbedaan spesifik (Mancini, 2015)
B. ETIOLOGI
Hemotorax disebabkan karena adanya trauma dada, baik trauma
tumpul maupun trauma tajam. Selain itu hemotorax dapat terjadi karena
keganasan neoplasma, rupture pembuluh darah akibat pebengkakan aorta,
dan komplikasi operasi. Trauma tumpul dapat menyebabkan hemotorax
karena tulang iga yang mengalami fraktur dapat melukai paru-paru. Ketika
terjadi fraktur iga, serpihan tulang iga maupun patahan tulang iga yang
msih ada di rongga dada dapat mencederai paru-paru. Biasanya cedera ini
mengenai alveolus. Alveolus sendiri adalah struktur yang banyak
dikelilingis oleh pembuluh darah. Pembuluh darah ini akan pecah setelah
trauma. Pembuluh darah yang pecah ini akan menyababkan perdarahan.
Darah yang keluar dari pembuluh akan berkumpul di rongga pleura. Suatu
keberadaan darah dalam pleura dapat diklasifikasikan sebagai hemotorax
apabila volume darah minimal 300-500 ml (Pooler,2009).
C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang muncul pada pasien dengan hemotoraks adalah
nyeri dada, pasien menunjukkan distres pernapasan berat, napas pendek,
takikardi, hipotensi, pucat, dingin, dan takipneu. Pasien juga dapat
mengalami anemia sampai syok (Boston Medical Centre, 2014)
1. Respon Hemodinamik
Ketika terjadi perdarahan dan volume darah masuk ke rongga
pleura, maka volume darah dalam pebuluh darah akan berkurang, sehingga
terjadi syok hipovolemik. Syok hipovolemik akan menyebabkan berbagai
macam manifestasi klinis. Syok hipovolemik akan menyebabkan
berkurangnya tekanan nadi, karena darah yang di pompa oleh jantung
sedikit. Selain itu syok hipovolemik akan menyebabkan darah sebagai
pembawa oksigen akan berkurang. Sehingga, tubuh akan kekurangan
oksigen, untuk kompensasi hal ini jantung akan memompa darah dengan
cepat (trakikardi) dan mempercepat pernafasan (trakipnea).
Akumulasi darah dalam rongga pleura pada akhirnya akan
menyebabkan tekanan pada jantung. Apabila jantung tertekan maka darah
akan sulit memasuki ruangan atrium jantung. Sehingga akan terjadi
pengumpulan darah di area vena kava. Selain darah kesulitan untuk
memasuki rongga jantung, jantung juga akan kesulitan dalam memompa
darah ke seluruh tubuh. Akibatnya kardiak output jantung akan menurun.
Keadaan ini dapat mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen karena ada
gangguan dalam proses distribusi oksigen ke seluruh tubuh.
2. Respon Respirasi
Akumulasi darah dalam rongga pleura akan menekan paru-paru
sehingga dapat menyebabkan paru-paru kolaps. Kolapsnya paru-paru
dapat menyebabkan gangguan oksigenasi. Paru-paru gagal mengembang
dan kolap sehingga menyebabkan udara tidak bisa masuk ke dalam paru-
paru. Nafas penderita akan mengalami dyspnea di mana nafas lambat dan
dangkal. Respon lain adalah ketika darah yang memenuhi rongga pleura
biasanya berasal dari jaringan parenkim paru (alveolus). Apabila kapiler
darah alveolus megeluarkan darahnya ke rongga pleura maka akan terjadi
gangguan pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh kapiler paru.
Akibatnya fungsi perfusi paru akan terganggu karena alveolus tidak bisa
melakukan pertukaran gas dengan kapiler.
D. PATOFISIOLOGI
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai
berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma.
Kerusakan anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur
kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa
fraktur kosta multiple dengan komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks
dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan perobekan
pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung.
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya
dapat menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem
kardiovaskuler. Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat
ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal
pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan
gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada
trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah.
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua
gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic.
Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area
utama: hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan
oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah. Perubahan hemodinamik bervariasi,
tergantung pada jumlah perdarahan dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan
darah hingga 750 mL pada seorang pria 70 kg seharusnya tidak menyebabkan
perubahan hemodinamik yang signifikan. Hilangnya 750-1500 mL pada individu
yang sama akan menyebabkan gejala awal syok yaitu, takikardia, takipnea, dan
penurunan tekanan darah.
Peningkatan produksi
MK: Ketidakefektifan Terpasang bullow
sekret dan penurunan
Pola Nafas drainase/WSD
kemampua batuk efektif
1) Persiapan
1) Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan
2) Beritahu pasien melepaskan pakaian ketika petugas radiologi sedang
mempersiapkan pesawat rontgen
2) Pelaksanaan
Memberikan instruksi kepada pasien dengan posisi pemeriksaan:
- Posisi PA (Postero Anterior)
Pada posisi ini film diletakkan di depan dada, siku ditarik kedepan
supaya scapula tidak menutupi parenkim paru.
3) Pasca
Beritahu pasien untuk menggunakan kembali pakaian (Misri, 2013)
b. AGD
Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi, gangguan
mekanik pernapasan dan kemampuan mengompensasi. PCO2 kadang-kadang
meningkat > 45. PO2 mungkin normal atau menurun < 80, saturasi oksigen
biasanya menurun, berikut prosedur AGD.
1) Persiapan
a) Jelaskan prosedur dan tujuan dari tindakan yang dilakukan.
b) Jelaskan bahwa dalam prosedur pengambilan akan menimbulkan rasa
sakit.
c) Jelaskan komplikasi yang mungkin timbul.
d) Jelaskan tentang allen’s test.
Caranya :
Minta klien untuk mengepalkan tangan dengan kuat, berikan tekanan
langsung pada arteri radialis dan ulnaris, minta klien untuk membuka
tangannya, lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna jari-jari, ibu
jari, dan tangan. Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15 detik,
warna merah menunjukkan test allen’s positif. Apabila tekanan dilepas,
tangan tetap pucat, menunjukkan test allen’s negatif. Jika pemeriksaan
negatif, hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang lain.
2) Pelaksanaan
1) Menyiapkan posisi pasien :
a) Arteri Radialisi :
- Pasien tidur semi fowler dan tangan diluruskan.
- Meraba arteri kalau perlu tangan boleh diganjal atau ditinggikan.
- Arteri harus benar-benar teraba untuk memastikan lokalisasinya.
b) Arteri Dorsalis Pedis.
- Pasien boleh flat/fowler.
c) Arteri Brachialis
- Posisi pasien semi fowler, tangan di hyperekstensikan / diganjal
dengan siku.
d) Arteri Femoralis.
- Posisi pasien flat.
2) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
3) Raba kembali arteri untuk memastikan adanya pulsasi daerah yang akan
ditusuk sesudah dibersihkan dengan kapas bethadine secara sirkuler.
Setelah 30 detik kita ulangi dengan kapas alkohol dan tunggu hingga
kering.
4) Bila perlu obat anethesi lokal gunakan spuit 1 cc yang sudah diisi
dengan obat (adrenalin 1 %), kemudian suntikan 0,2-0,3 cc intracutan
dan sebelum obat dimasukkan terlebih dahulu aspirasi untuk mencegah
masuknya obat ke dalam pembuluh darah.
5) Lokalisasi arteri yang sudah dibersihkan difiksasi oleh tangan kiri
dengan cara kulit diregangkan dengan kedua jari telunjuk dan jari
tengah sehingga arteri yang akan ditusuk berada di antara 2 jari
tersebut.
6) Spuit yang sudah di heparinisasi pegang seperti memegang pensil
dengan tangan kanan, jarum ditusukkan ke dalam arteri yang sudah di
fiksasi tadi.
- Pada arteri radialis posisi jarum 45 derajat.
- Pada arteri brachialis posisi jarum 60 derajat.
- Pada arteri femoralis posisi jarum 90 derajat.
7) Sehingga arteri ditusuk, tekanan arteri akan mendorong penghisap spuit
sehingga darah dengan mudah akan mengisi spuit, tetapi kadang-
kadang darah tidak langsung keluar. Kalau terpaksa dapat
menghisapnya secara perlahan-lahan untuk mencegah hemolisis. Bila
tusukan tidak berhasil jarum jangan langsung dicabut, tarik perlahan-
lahan sampai ada dibawah kulit kemudian tusukan boleh diulangi lagi
kearah denyutan.
8) Sesudah darah diperoleh sebanyak 2 cc jarum kita cabut dan usahakan
posisi pemompa spuit tetap untuk mencegah terhisapnya udara kedalam
spuit dan segera gelembung udara dikeluarkan dari spuit.
9) Ujung jarum segera ditutup dengan gabus / karet.
10) Bekas tusukan pungsi arteri tekan dengan kapas alkohol campur dengan
bethadine.
- Pada arteri radialis dan dorsalis pedis selama 5 menit.
- Pada arteri brachialis selama 7 – 10 menit.
- Pada arteri femoralis selama 10 menit.
- Jika pasien mendapat antikoagulan tekan selama 15 menit.
11) Lokalisasi tusukan tutup dengan kassa + bethadine steril.
12) Memberi etiket laboratorium dan mencantumkan nama pasien, ruangan,
tanggal, dan jam pengambilan, suhu, dan jenis pemeriksaan.
13) Bila pengiriman/pemeriksaannya jauh, darah dimasukkan kantong
plastik yang diisi es supaya pemeriksaan tidak berpengaruh oleh suhu
udara luar.
14) Kembali mencuci tangan setelah selesai melakukan tindakan.
3) Pasca
Rapikan pasien (Gallo, 2010)
a. Hemoglobin : Kadar Hb menurun < 10 gr %, menunjukkan kehilangan
darah
b. Volume tidal menurun < 500 ml, kapasitas vital paru menurun (Bararah,
2013)
c. Torakosentesis dan WSD
1. Persiapkan kulit dengan antiseptik
2. Lakukan infiltratif kulit, otot dan pleura dengan lidokain 1 % diruang
sela iga yang sesuai, biasanya di sela iga ke 5 atau ke 6 pada garis mid
axillaris.
3. Perhatikan bahwa ujung jarum harus mencapai rongga pleura
4. Hisap cairan dari rongga dada untuk memastikan diagnosis
5. Buat incisi kecil dengan arah transversal tepat diatas iga, untuk
menghindari melukai pembuluh darah di bagian bawah iga
6. Dengan menggunan forceps arteri bengkok panjang, lakukan penetrasi
pleura dan perlebar lubangnya
7. Gunakan forceps yang sama untuk menjepit ujung selang dan
dimasukkan ke dalam kulit
8. Tutup kulit luka dengan jahitan terputus, dan selang tersebut di fiksasi
dengan satu jahitan.
9. Tinggalkan 1 jahitan tambahan berdekatan dengan selang tersebut tanpa
dijahit, yang berguna untuk menutup luka setelah selang dicabut nanti.
Tutup dengan selembar kasa hubungkan selang tersebut dengan sistem
drainage tertutup air Tandai tinggi awal cairan dalam botol drainage.
(Muttaqin, 2012)
d. Analisis Cairan Pleura
Pada analisis cairan pleura, setelah dilakukan aspirasi, cairan
tersebut diperiksa kadar hemoglobin atau hematokrit. Dikatakan
hemotoraks jika kadar hemoglobin atau hematokrit cairan pleura separuh
atau lebih dari kadar hemoglobin atau hematokrit darah perifer
e. CT scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang cukup akurat untuk mengetahui
cairan pleura atau darah, dan dapat membantu untuk mengetahui lokasi
bekuan darah. Selain itu, CT scan juga dapat menentukan jumlah bekuan
darah di rongga pleura (Mancini, 2015)
D. INTERVENSI
1. Diagnosa : Gangguan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Hipoksia,
tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan dapat
mempertahankan perfusi jaringan dengan,
Kriteria hasil :
a.Tanda-tanda vital dalam batas normal
b.Kesadaran meningkat
c.menunjukkan perfusi adekuat
Intervensi Dx 1: Gangguan Perfusi Jaringan berhubungan dengan
Hipoksia, tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan.
1) Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab
penurunan perfusi jaringan.
Rasional : Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, mengkaji status
neurologi/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan
atau tindakan pembedahan
2) Monitor GCS dan mencatatnya
Rasional : Menganalisa tingkat kesadaran
3) Monitor keadaan umum pasien.
Rasional : Memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi
jaringan dan membantu menentukan keb. intervensi.
4) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasional : Memaksimalkan transport oksigen ke jaringan
5) Kolaborasi pengawasan hasil pemeriksaan laboraturium. Berikan sel
darah merah lengkap/packed produk darah sesuai indikasi.
Rasional : Mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan /respons
terhadap terapi
Albanese, C.T., dan J.T Anderson et al., 2006. Current Surgery Diagnosis and
Treatment. Mc Graww Hill Companies.
Black, J.m., Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah; Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan. Singapore: Elsevier
Brunicardi, F.C., dan D.K Andersen. 2007. Schwartz Principle’s of Surgery. 8th
Ed. Mc Graww Hill Companies.
Bulechek, Gloria M. et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). 6th ed.
Elsevier Mosby.
Caroline, Nancy, Eling, Bob. (2011). Caroline’s Emergency Care in the Street.
London: Jones and Barlett Publisher
Herlinda, Elsa. 2018. Askep Gadar Terauma Dada. Sekolah Tinngi Ilmu
Kesehatan Muhammadiyah. Kelaten
Moorhead, Sue et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th ed.
Elsevier Mosby.