Anda di halaman 1dari 13

I.

Pendahuluan Pada manusia proses pelnuaan itu sebenarnya terjadi sejak manusia dilahirkan dan berlangsung terus sampai mati. Pada wanita proses penuaan berlangsung dramatis karena adanya proses reproduksi dalam kehidupannya. Banyak wanita yang mengalami gejala dan keluhan akibat perubahan tersebut diatas. Gejala-gejala tersebut biasanya berangsur-angsur menghilang, tidak menyebabkan kematian namun menimbulkan rasa tak nyaman dan kadang-kadang menyebabkan gangguan dalam pekerjaan sehari-hari. Setelah lahir, kehidupan wanita dapat dibagi dalam beberapa masa, yakni masa bayi, masa anak-anak, pubertas, reproduksi dan masa senium. Masing-masing masa itu memiliki kekhususan sendiri.1 Masa klimakterium dimulai dari akhir masa reproduksi sampai awal masa senium, yaitu antara 40 - 65 tahun. Bila terjadi di bawah usia 40 tahun disebut klimakterium prekoks. Masa ini terdiri dari tiga fase, yaitu: pramenopause, menopause, dan pasca menopause.2,3,4Pramenopause dimulai sejak 4 -5 tahun sebelum menopause. Pada masa ini mulai ada keluhan klimakterik. Estrogen masih dibentuk, namun dalam jumlah yang kecil. Dengan keadaan demikian, menstruasi secara perlahan-lahan menjadi kurang teratur dan akhirnya berhenti.2, 3 , 4, 5 Menopause secara sederhana berarti akhir menstruasi (haid) yang permanen. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yaitu men (bulan) dan pausis (berhenti). Seorang wanita didiagnosis menopause apabila wanita tersebut tidak mendapatkan haid lagi selama 12 bulan berturut-turut. Menopause adalah suatu fenomena alami yaitu terhentinya siklus ovulasi dan produksi hormon estrogen oleh sel folikuler ovarium. 3, 5, 6 Usia menopause berkisar antara 45 55 tahun. Di negara maju, usia menopause seorang wanita berkisar pada usia 51 tahun, pada negara sedang

berkembang usia menopause lebih awal yaitu berkisar pada usia 48 50 tahun. Perubahan kehidupan ini mengakibatkan hormon-hormon yang mengatur siklus menstruasi kadang-kadang tidak seimbang sehingga menimbulkan sindroma menopause sebagai suatu tanda dari tubuh seorang wanita, yang menggambarkan mengenai apa yang sedang terjadi dalam kehidupan setengah baya.2, 3, 4

Pada abad XX diperkirakan usia harapan hidup wanita Indonesia berkisar pada usia 70 tahun. Apabila usia rata-rata menopause 47 48 tahun maka wanita tersebut akan menjalani pascamenopause selama 22-23 tahun dan selama itu pula mereka berada pada situasi kekurangan hormon estrogen. Salah satu akibat kekurangan estrogen akan menimbulkan masalah urogenital. Pada pasien-pasien tertentu dampak yang ditimbulkan akibat gangguan urogenital begitu besar, seperti gangguan psikis dan psikososial. Salah satu upaya yang dilakukan agar wanita menopause tetap hidup sehat dan kreatif adalah dengan cara mengobati keluhan urogenital yang banyak dikeluhkan dan dialami wanita-wanita menopause. 3,4,5, 6

II.

Gejala-gejala Klimakterik (Sindroma Kekurangan Estrogen) Keluhan-keluhan klimakterium sangat bervariasi dan bersifat individual. Keluhan berupa hot flushes dan berkeringat pada malam hari tetap merupakan gejala yang klasik. Di negara barat 75 % wanita menopause mengalami keluhan hot flushes.7 Gejala-gejala yang berkaitan dengan penurunan kadar hormon estrogen seperti atrofi vagina, nyeri sanggama dan infeksi saluran kemih (ISK) juga banyak dikeluhkan. Gejala-gejala kejiwaan antara lain mudah tersinggung, depresi, susah tidur, panik, cepat marah, sering kali menimbulkan kesulitan dalam diagnosis, karena keadaan ini mungkin mempunyai dasar hormonal yang disertai perubahan sosial lingkungan dari usia setengah baya.1,2,3,5,7,8,9 Diantara sekian banyak gejala di atas, pada pasien-pasien tertentu dampak yang ditimbulkan akibat gangguan urogenital menimbulkan keluhan psikis dan psikososial. Gejala urogenital umumnya ditemukan 4 5 tahun setelah berhenti haid. Meskipun gejala ini berpengaruh besar terhadap kualitas hidup dan hubungan seksual wanita, diperkirakan hanya seperempatnya yang berobat karena adanya perasaan malu dan kurangnya pengetahuan. 3,4,5

III.

Perubahan-perubahan Traktus Urinaria dan Traktus Genitalia Secara embrional uretra dan vagina sama- sama berasal dari sinus urogenital dan duktus Mulleri Selain itu, di uretra dan vagina banyak dijumpai reseptor estrogen, sehingga kedua organ tersebut akan mudah mengalami gangguan pada saat kadar estrogen serum mulai berkurang. Gangguan-gangguan tersebut dapat berupa berkurangnya aliran darah, turgor jaringan yang berkurang akibat berkurangnya jaringan kolagen, juga terjadi retensi cairan serta retensi natrium ekstraseluler.
10,11,12

Dengan bertambahnya umur, vulva hanya memiliki sedikit jaringan lemak subkutan dan jaringan kolagen, sehingga memberikan efek samping berupa rambut pubis pada vulva menjadi jarang dan kasar, labia mayora menyusut lebih kecil dari labia minora pada keadaan normal, begitu pula pada klitoris dan kelenjar Bartolini yang hanya menghasilkan sedikit pelumas sehingga dapat menimbulkan efek vagina terasa kering, gatal, kemerahan. Keadaan ini disebut dengan atrofi vulvitis kronik. Demikian halnya yang terjadi pada vagina, seperti tergambar pada tabel 1.10,11,12 Pada usia menopause, dinding vagina menjadi lebih tipis, lebih kering dan kurang elastis serta rentan terhadap infeksi. Hal ini disebabkan oleh mukosa vagina kehilangan papilanya, rugae vagina menjadi rata. Perubahan ini menyebabkan hubungan seksual menjadi tidak nyaman karena vagina terasa nyeri dan terbakar, terkadang juga timbul perdarahan setelah berhubungan. Kebanyakan wanita dapat tertolong dengan bantuan lubrikasi vagina. Lubrikasi yang larut dalam air lebih dipilih karena akan membantu mengurangi terjadinya infeksi. Sedangkan jelly yang terbuat dari minyak bumi dapat menimbulkan alergi dan merusak kondom. 10,11,12, 15 Semakin menurunnya produksi estrogen, glikogen di vagina berkurang dan pH vagina meningkat, sehingga laktobasilus yang merupakan flora normal pertumbuhannya terhambat, sedangkan flora normal lainnya tumbuh dengan pesatnya seperti stafilococcus, streptococcus, difteri dan coliform. Flora inilah yang menyebabkan infeksi pada vagina dan menyebabkan discharge pada vagina. Serviks juga mengalami atrofi, tertarik kedalam dinding vagina keadaannya sama rata 10,11,12 dan menyusut. Biasanya terjadi

setelah beberapa tahun, dimana tidak ada lagi tonjolan serviks ke vagina dan antara

Tabel 1. Perubahan vagina pada keaadaan atrofi


dikutip dari : 10. Schering. Hormone Replacement therapy and the Menopause. Fourth Edition. Berlin:Shering AG, 2002: 53 - 56

Perubahan vagina pada keadaan atrofi Penurunan dalam panjang terkadang diameter Perubahan warna menjadi merah muda pucat karena beruranagnya vaskularisasi Vagina kering karena berkurangnya jumlah mucus dari kelenjar Perubahan populasi sel, dimana sel parabasal lebih banyak daripada sel superficial Produksi glikogen sedikit Menyusutnya jumlah laktobasilus, dan pH vagina meningkat dari 4,0 5,5 menjadi 6,0 8,0 Berkembangnya streptokokus, stafilokokus dan Basilus koliform.

Gambar 1. Atrofi pada epitel vagina


dikutip dari 10. Schering. Hormone Replacement therapy and the Menopause. Fourth Edition. Berlin:Shering AG, 2002: 53 - 56

Traktus urinarius bagian distal, terutama uretra dan pintu masuk bldader sangat tergantung pada estrogen. Dinding uretra terdiri dari receptor estrogen dan bladder juga menunjukkan ketergantungan terhadap estrogen tersebut. Jaringan di traktus urinaria juga berubah seiring bertambahnya umur. Pada uretra sel-selnya mengalami atrofi, meskipun atrofi yang terjadi pada uretra merupakan suatu proses penuaan, tetapi berkurangnya estrogen merupakan suatu faktor yang bermakna dalam hal gangguan pada uretra dan bladder. 10,11,12 Pada uretra tampak otot yang menonjol keluar seperti prolaps yang kadangkadang disalah artikan sebagai prolaps uretra. Keadaan ini terkadang

menyebabkan wanita lebih rentan terhadap inkontinensia, terutama jika ada riwayat penyakit kronis infeksi saluran kemih. Kondisi batuk, tertawa, mengangkat benda berat atau gerakan apapun yang menimbulkan tekanan pada kandung kemih dapat menyebabkan sejumlah kecil urin keluar. Kurangnya olahraga dapat berperan dalam terjadinya kondisi ini. Inkontinensia adalah kondisi yang perlu mendapatkan

pengobatan dan evaluasi medis. Stenosis uretra juga sering dijumpai. Hal ini dapat menimbulkan keluhan Reizblase (irritable vesika) atau sindroma uretra berupa polakisuria, disuria bahkan dapat menimbulkan gangguan berkemih, disamping itu juga dapat menimbulkan infeksi yang berulang-ulang.10.11.12

Gambar 2. Perubahan jaringan pada uretra


dikutip dari 10. Schering. Hormone Replacement therapy and the Menopause. Fourth Edition. Berlin:Shering AG, 2002: 53 - 56

IV. Terapi Sulih Hormon Terapi sulih hormon adalah pemberian obat hormon estrogen saja (dapat diberi bersama-sama dengan progesteron) atau yang mempunyai khasiat yang sama seperti estrogen/progesteron untuk perempuan pada masa klimakterium, sebagai pengganti hormon estrogen yang mulai atau telah menghilang sebagai akibat menurunnya fungsi ovarium.3,13 Estrogen Replacement Therapy (ERT) didokumentasikan dengan baik pada tahun 1950, dimana estrogen diketahui dapat menghilangkan gejala vasomotor menopause serta mempunyai dampak yang baik terhadap densitas tulang. Pada tahun 1970 banyak dijumpai dampak yang serius yang bermakna meningkatnya kejadian kanker endometrium pada perempuan menopause yang mendapat pengobatan estrogen.(unopposed estrogen). Banyak sekali perempuan menopause yang mendapatkan ERT pada tahun 1970 menghentikan pengobatan karena merasa takut dengan kejadian kanker endometrium. 3,12.13 Pada tahun 1980 dikemukakan dengan jelas bahwa penambahan progesteron pada pemberian ERT dapat mencegah efek negatif pada uterus. Penggunaan dosis progesteron yang cukup, ternyata dapat menghilangkan dampak negatif dari estrogen. Keadaan ini meningkatkan pengetahuan yang lebih baik tentang pemberian TSH, serta mempunyai dampak yang menguntungkan terhadap pencegahan penyakit jantung, osteoporosis, Alzheimer serta kanker colorektal. Sejak saat ini pengetahuan tentang TSH berkembang dengan pesat. 3, 10. 11, 12, 13, 14, 15 TSH pada dasarnya adalah mengganti hormon estrogen endogen dalam tubuh yang mulai menurun atau menghilang dengan pemberian hormon estrogen eksogen. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, jenis estrogen menjadi bervariasi serta cara pemberiannyapun berbedabeda, akan tetapi dasarnya sama.5,
10, 11, 12, 15

Sebelum kita akan memberikan

TSH pada seorang wanita, kita perlu

mengikuti urutan pengobatan yang sering disebut sebagai The ABC of HRT: A. Attention and information 1. Terangkan dengan baik maksud dan tujuan pemberian TSH kepada pasien

2. Terangkan dan tekankan masalah-masalah khusus misalnya lama pemberian TSH, kemungkinan pola dan gangguan haid yang mungkin terjadi selama pengobatan, kemungkinan efek samping yang dapat terjadi, retensi cairan, mastopathy, risiko kemungkinan terjadi kanker payudara ataupun

endometrium, perubahan berat badan, dan lain-lain. B. Basic examination Sebelum memberikan TSH sebaiknya dilakukan pemeriksaan dasar: 1. Pemeriksaan ginekologi dasar/pelvis. 2. Hati-hati bila ada perdarahan pervaginam yang tidak diketahui

penyebabnya. 3. Pemeriksaan payudara, paling sedikit palpasi dan bila mungkin USG atau mammography. C. Control sheme Evaluasi setelah tiga bulan pertama: 1. Tekanan darah. 2. Pola haid dan perdarahan pervaginam. 3. Efek samping yang terjadi. Evaluasi berikutnya adalah setiap 6 12 bulan setelah pemberian TSH, yang perlu kita perhatikan adalah : 1. Perhatikan dan usahakan kepatuhan pasien. 2. Berikan motivasi yang baik kepada pasien. 3. Bila mungkin mammography setiap tahun..3,11 Sebelum pemberian TSH perlu diketahui prinsip dasar pemberian TSH: 1. Wanita yang masih memiliki uterus, maka pemberian estrogen harus selalu dikombinasikan dengan progestogen. Tujuan penambahan progestogen adalah untuk mencegah kanker endometrium 2. Wanita tanpa uterus, maka cukup pemberian estrogen saja dan estrogen diberikan secara kontinu (tanpa istirahat). 3. Pada wanita perimenopause yang masih haid dan masih tetap menginginkan haid, TSH diberikan secara sekuensial. Misalnya estrogen diberikan mulai hari pertama haid sampai hari ke-26 haid, dan progestogen diberikan mulai hari ke-

13 haid sampai hari ke-26 haid. Dua sampai tiga hari setelah obat habis, biasanya akan terjadi perdarahan lucut, dan setelah itu, antara hari pertama sampai hari ke-5 haid dimulai lagi dengan TSH yang baru. Pada pemberian secara sequential, progestogen harus diberikan 10 14 hari 4. Pada wanita pascamenopause yang masih menginginkan haid, TSH diberikan secara sekuensial. Bila dengan pemberian secara sekuential ternyata tidak juga terjadi haid, maka TSH diberikan secara kontinyu saja. 5. Pada wanita pascamenopause yang tidak menginginkan haid lagi, TSH diberikan secara kontinyu. 6. Jenis estrogen yang digunakan adalah jenis estrogen alamiah, dan jenis

progestogen yang diberikan adalah jenis yang mirip dengan progestogen alamiah. 7. Mulailah selalu dengan dosis rendah. 8. Pada wanita dengan gangguan libido, estrogen dapat dikombinasikan dengan androgen, atau diberikan TSH yang salah satu komponennya memiliki sifat androgenik.

Jenis-jenis Terapi sulih hormon: A. Estrogen Estrogen yang digunakan dalam TSH: 1. Estradiol (E2) alami dan yang paling tepat untuk terapi dan estrogen lainnya ialah estron (E1) dan estriol (E3) keduanya lebih lemah dari E2, hormon ini identik dengan yang dihasilkan oleh ovarium. 2. Estradiol valerat: suatu modifikasi ringan dari molekul alami (bentuk esterivikasi) 3. Conjugated Equine Estrogen (CEE): suatu campuran estrogen berasal dari kencing kuda hamil terutama terdiri dari estron sulfat dan equilin sulfat. Estrogen sintetik merupakan molekul-molekul sintetik dengan sifat terutama digunakan pada

estrogenik seperti etinil estradiol. Estrogen ini

kontrasepsi oral, hormon sintetik ini mempunyai potensi yang tinggi terhadap efek yang buruk pada hati dan mempunyai resiko untuk terjadinya hipertensi

dan penyakit tromboemboli. Potensi terhadap hepar dari estrogen sintetik 4-8 kali lebih kuat dibandingkan dengan estrogen alami.5 B. Progestogen/ Progestagen/Progestin Semua progestogen yang tersedia tampaknya efektif dalam melindungi endometrium dari efek proliferasi endometrium akibat terapi estrogen dengan dosis dan lamanya terapi yang adekuat. Progestogen berasal dari dua gugusan kimia yaitu golongan 19 nonprogestogen dan C-21 progstogen. Pilihan tentang progestogen untuk digunakan dalam terapi sulih hormon tergantung sekali pada pertimbangan keamanan dan toleransi.5 Gejala samping progestogen, khususnya pengaruhnya terhadap metabolisme karbohidrat dan lemak dalam darah, berhubungan terutama dengan potensi androgenik disamping juga tergantung pada dosis yang digunakan. Yang mempunyai potensi androgenik yang tinggi misalnya levo-norgestrel, norethisteron, derivat dari 19-nonprogestogen secara potensial androgenik

rendah atau tanpapotensi yaitu dari derivat C-21 progestogen, masing-masing medroxy progestorone acetate(MPA) dan progesteron dan didrogesterone. Cara pemberian terapi sulih hormon merupakan salah satu faktor penting untuk keberhasilan pengobatan. Terapi sulih hormon dapat diberikan dengan berbagai cara seperti: oral, vaginal, transdermal, subkutan, dan intranasal. Masingmasing cara pemberian ini ada keuntungan dan kerugiannya. Ada dua cara pemberian secara transdermal yaitu berupa plester (koyok) dan gel.1-15

V. Pengaruh Terapi Sulih Hormon pada keluhan urogenitalia Seperti telah diuraikan diatas, organ-organ pada traktus urinarius dan traktus genitalia sangat terpengaruh dengan estrogen. Karena banyak reseptor estrogen yang ditemui pada kedua organ traktus urinaria dan traktus genitalia. Meskipun atrofi yang terjadi pada traktus urinarius dan traktus genitalia merupakan suatu proses penuaan, tetapi berkurangnya estrogen merupakan suatu faktor yang bermakna dalam hal gangguan pada traktus urinarius dan traktus genitalia. 10-13 Beberapa literatur menyebutkan untuk keluhan urogenital lebih baik diberikan terapi sulih hormon secara topikal. Sebagian besar dari preparat topikal

terdiri dari estrogen yang lemah seperti estriol (E3), dimana preparat estrogen ini diserap oleh dinding vagina.dengan baik. Preparat estrogen untuk vagina, sediaannya berupa: krem, suppositoria dan ring. 10,11,12 Pemberian secara topikal juga sering digunakan pada wanita-wanita yang memiliki gangguan gastrointestinal, . karena preparat ini tidak dimetabolisme

melalui hati, sehingga tidak memicu pembentukan Stimulating Hormone Binding Globulin, Thyroid Binding Globulin, Renin dan faktor hemostasis. Pemberian preparat topikal dapat berbagai bentuk yaitu berupa; plester, gel (krem), suppositoria, ring, baik ditempelkan lansung atau di organ-organ tertentu 15, 16, 17 Pada pemberian berupa plester, maupun krem (gel) dijumpai kadar didalam serum relatif tinggi. Hal ini terjadi karena pada pemberian ini, tidak terjadi metabolisme di mukosa usus dan hati. Pemberian cara ini juga tidak memerlukan dosis tinggi karena kulit tidak memiliki enzim yang dapat menghancurkan estrogen tersebut. Jadi dengan dosis rendah sekalipun dapat diperoleh kadar yang cukup di dalam serum. 19, 20 Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan kalau penggunaan terapi sulih hormon topikal lebih sering digunakan karena tidak dimetabolisme di usus dan hati, serta tidak membutuhkan dosis yang tinggi.

Bila wanita tidak tahan terhadap efek samping pemberian terapi sulih hormon secara oral misalnya timbul mual, muntah, atau lainnya maka dapat dipikirkan pemberian cara lain yaitu estrogen topikal berupa plester (koyok) dengan dosis 2550 g/hari, diletakkan di bokong dan diganti 2 x/minggu, dan gel 1,5 mg perhari dioleskan pada lengan, tungkai dan abdomen.21, 22, 23, 24, Pada suatu uji klinik yang dilakukan Baziad, penggunaan estrogen topikal pada 40 pasien pasca menopause selama 6 bulan, didapatkan tidak seorangpun mengalami adanya perubahan warna kulit. Hanya satu orang dari 40 subyek (2,5%) yang mengalami eritema berat, yang terjadi pada akhir minggu ke-12, dan sebanyak 36 orang (90%), tidak mengalami eritema, sedangkan sisanya 3 orang mengalami eritema ringan sampai sedang. Van de Ven mendapatkan hanya sedikit reaksi kulit, yaitu 96 % tidak menemukan reaksi kulit apapun. Dari 948 pemakai, 760 pemakai (80,17%) tidak menimbulkan rasa gatal, selebihnya 188 pemakai (19,83%)

menimbulkan reaksi gatal ringan. Van den Ven mendapatkan 4535 dari 4648 pemakai (96,8%) tanpa rasa gatal. 22 Seperti telah dijelaskan diatas, kadar estrogen di dalam serum sangat tinggi pada pemberian secara topikal, sehingga sangat cepat menghilangkan keluhan klimakterik. Penelitian Sidabutar dan Baziad tahun 1999 terhadap 40 pasien pasca menopause yang diberikan plester, satu kali/minggu, dosis 50g/24 jam, didapatkan hasil sebagai berikut: pada awal penelitian, jumlah gejolak panas yang terjadi setiap minggunya 388 serangan rata-rata 8,02.20,21, 22 Pemberian secara oral tergantung pada kepatuhan pasien untuk

menggunakan terapi sulih hormon setiap hari, sehingga dapat menimbulkan kebosanan, pemberian secara oral dapat menimbulkan gangguan gastrointestinal. 17,
18, 23

Dari berbagai macam survei dan pernyataan pasien, penggunaan preparat secara topikal dengan sediaan krem (gel) lebih digemari, dan penggunaan tidak langsung di organ urogenoital tetapi di tungkai, lengan dan abdomen. 10, 11, 12, 21, 22,
23, 24

VI. Kesimpulan 1. Organ-organ pada traktus urinarius dan traktus genitalia sangat terpengaruh dengan estrogen 2. Meskipun atrofi yang terjadi pada traktus urinarius dan traktus genitalia merupakan suatu proses penuaan, tetapi berkurangnya estrogen merupakan suatu faktor yang bermakna dalam hal gangguan pada traktus urinarius dan traktus genitalia. 3. Terapi sulih hormon adalah pemberian obat hormon estrogen saja ( dapat diberi bersama dengan progesteron) atau yang mempunyai khasiat yang sama seperti estrogen/progesteron untuk perempuan pada masa klimakterium, sebagai pengganti hormon estrogen yang mulai atau telah menghilang sebagai akibat menurunnya fungsi ovarium 4. Sebelum kita akan memberikan TSH pada seseorang, perlulah kita ikuti urutan yang sering sebut sebagai The ABC of HRT, dan perlu diperhatikan prinsip

dasar pemberian HRT 5. Dari beberapa literatur untuk keluhan urogenital lebih baik diberikan terapi sulih hormon secara topikal. Sebagian besar dari preparat topikal terdiri dari estrogen yang lemah seperti estriol (E3), dimana preparat estrogen ini diserap oleh dinding vagina.dengan baik. Preparat estrogen untuk vagina, sediaannya berupa: krem, suppositoria dan ring 6. Dari berbagai macam survei dan pernyataan pasien, penggunaan preparat secara topikal dengan sediaan krem(jel) lebih digemari, dan penggunaan tidak langsung di organ urogenoital tetapi di tungkai, lengan dan abdomen.

VII. Rujukan 1. Parson L, Sommer SC. Gynecology 2nd edition. Philadelphia: WB. Saunders, 1978: 1470-1491 2. Berek JS, Adashi EY, Hillard PA. Novaks gynecology. 12th edition. Baltimore: William &
Wilkin. 1996: 981- 1003 3. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Postmenopausal hormone therapy. Sixth Edition. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkin, 1999: 725 780 4. Baziad A, Rachman IA. Klimakterium dan Menopause. Dalam: Baziad A, Jakoeb TZ, Alkaff Z. Endokrinologi ginekologi. Jakarta. Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi Indonesia, 1993: 147-154 5. Agoestina T, Hidup sehat, kreatif di usia menopause. PIT XII POGI. Palembang, 2001 6. Wiknjosastro H, Sarifuddin AB, Rachimhadhi T, Ilmu Kandungan. Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1997: 127 130 7. Hidayat A. Tetap sehat dan ceria di usia pascamenopause: antara keperhainan tantangan dan harapan. PIT XII POGI. Palembang. 2001 8. Hadisaputro S, Martono HH. Infeksi pada Usia Lanjut. Dalam: Darmadjo RB, Martono HH. Buku ajar geriatric. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2000; 331-345. 9. Gallo JJ, Reichel W, Andersen LM. Buku saku gerontology. Edisi 2. Jakarta. Penerbit BUku Kedokteran EGC. 1998: 289 292 10. Schering. Hormone Replacement therapy and the Menopause. Fourth Edition. Berlin:Shering AG, 2002: 53 - 56 11. Baziad A, Santoso BI, Josoprawiro MJ. Terapi hormone pengganti (THP) dan sindroma urogenital Dalam: Baziad A. Affandi B. Panduan Menopause. Edisi pertama. Jakarta: POGI/PERMI, 1997: 52 60 12. Becker K. L., Menopause. On Principles and Practice of endocrinology and Metabolism. Second Edition. Philadelpia: J. B. Lippincott Company, 1995: 915-24. 13. Hardywinoto, Setiabudi T. Panduan Gerontologi tinjauan dari berbagai aspek. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 199: 23-36 14. Soehartono DS, Terapi Sulih Hormon. Dalam: PERMI. Kumpulan makalah PIT XIII POGI Malang. Malang: PERMI, 2002: 1 - 35 15. Baziad A. Affandi B. Panduan Menopause. Edisi pertama. Jakarta: POGI/PERMI, 1997: 1 10 16. Affandi B. Masalah kesehatan pada menopause: Dalam: Baziad A, Affandi B. Panduan Menopause. Edisi pertama. Jakarta: POGI/PERMI, 1997: 11 20 17. Baziad A, Enud JS, Hestiantoro A, Alkaff Z. Terapi hormone pengganti (THP) dengan seks steroid (estrogen-progesteron). Dalam: Baziad A. Affandi B. Panduan Menopause. Edisi pertama.

Jakarta: POGI/PERMI, 1997: 21 29

18. Baziad A, Surjana EJ, Hestiantoro A, Rachman IA. Pengobatan dan pencegahan osteoporosis
dengan terapi hormone pengganti pada wanita menopause Dalam: Baziad A. Affandi B. Panduan Menopause. Edisi pertama. Jakarta: POGI/PERMI, 1997: 1 10 19. Baziad A. Terapi hormone pengganti (THP) kenyamanan dan ketakutan Dalam: Baziad A. Affandi B. Panduan Menopause. Edisi pertama. Jakarta: POGI/PERMI, 1997: 66 69 20. Agoestina T. Estradiol hormone alamiah pada terapi sulih hormone. Medicinalis Jurnal Kedokteran 2001; 3: 37 - 45 21. Lippert TH, Seeger H, Mueck AO. Postmenopausal estrogen therapy pharmalogical treatment or substitution of the missing hormone?. Medicinal Jurnal Kedokteran 2001; 3: 37 45 22. Baziad A. Oral Terapi Sulih Hormon atau transdermal. Makalah lunch symposium . KOGI Bali, 2000; 1- 4 23. Cameron ST, Critchley HO. Contionous transdermal oestrogen and interrupted progesterone as a novel bleed-free regimen of hormone replacement therapy for postmenopausal wwomen B J Obstet Gynaecol 1997, 104; 1184-1190 24. Darmstadt. Transdermal7- day estradiol matrix patch active ingredient: estradiol hemihydrate Born: MERCK, 1998: 50 -57

Anda mungkin juga menyukai