Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Epidermosis bulosa (EB) merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan


secara genetic autosom (dominan atau resesif), dapat timbul spontan atau akibat
trauma ringan. Pada EB kejadian trauma ringan, misalnya di jalan lahir sudah cukup
untuk menimbulkan bula, terutama pada kulit bayi yang lebih mudah terjadinya lepuh
(bula). Dalam perkembangan ilmu, diketahui bahwa bula tidak hanya selalu terletak
di epidermis namun juga dapat menegenai dermis dan mukosa1,3,4.
Prevalensi EB yang sebenarnya sulit untuk diketahui, namun diperkirakan
mencapai 1:50.000 kelahiran, sedangkan bentuk EB yang parah diduga 1:500.000
populasi/tahun. Di Indonesia sesuai data yang dikumpulkan oleh Kelompok Studi
Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI), dari tahun ke tahun EB termasuk ke dalam
lima kelompok genodermatosis yang sering ditemukan setelah iktiosis,
neurofibromatosis, tuberosklerosis, dan inkontinensia pigmenti1,2,3,5,6.
Epidermosis bulosa berbeda dengan kelompok penyakit vesikobulosa kronik
non-herediter atau penyakit autoimun misalnya dermatitis herpetiformis Duhring,
IgA linear dermatosis, pemfigoid bulosa, dan pemphigus vulgaris atau foliaseus.
Diagnosis EB ditegakkan anamnesis terdapat riwayat penyakit serupa dalam
keluarga, baik resesif autosom (RA) maupun dominan autosom (DA), berdasarkan
gejala dan tanda klinis, pemeriksaan histopatologis untuk melihat letak bbulosa
terhadap stratum basal. Selain itu penentuan klasifikasi EB juga dianggap penting
karena berpengaruh terhadap penentuan prognosis dan sikap dalam perawatan
pasien1,6.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Epidermolisis bulosa (EB) merupakan penyakit bulosa kronik yang diturunkan
secara genetik autosom, dapat timbul spontan atau akibat trauma ringan. Istilah
epidermolisis sebenarnya kurang tepat, karena mengandung arti lisis lapisan
epidermis, yaitu terjadinya kegagalan perlekatan epidermis dengan dermis, namun
dengan mikroskop elektron diketahui lisis pada EB dapat terjadi
intraepidermal1,2,3.

2.2 KLASIFIKASI
Mula-mula klasifikasi dibuat berdasarkan atas jaringan parut yang terbentuk
kemudian, yaitu EB non-distrofik ( bula terletak diatas stratum basal) dan disrtofik
(bula terletak dibawah statum basal). Dengan perkembangan imunologi dan
imunohistokimia, klasifikasi lebih rinci disesuaikan dengan letak bula terhadap
taut dermo-epidermal, yaitu epidermolisis bulosa bulosa simpleks (EBS) atau tipe
epidermolytic, EB distrofik atau dermolytic, dan EB juctional atau lucydolytic1,2,3.
E.B. simplek
Bentuk yang sering dijumpai, yaitu:
1. E.B.S. lokalisata pada tangan dan kaki (Weber Cockayne)

2. E.B.S. generalisata (Kobner)

3. E.B.S. herpetiformis (Dowling-Meara)


Bentuk E.B.S. yang jarang dijumpai, yaitu:
1. E.B.S. yang disertai atrofi otot

2. E.B.S. superfiasial

3. Sindrom Kallin

4. E.B.S disertai pigmentasi “mottled”

2
5. E.B.S. resesif autosom yang fatal

E.B. junctional
Bentuk varian yang sering dijumpai :
1. Bentuk letal (gravis,Herlitz)

2. Nonletal (mitis, non-Herlitz)

3. E.B. inversa
E.B. distrofik
1. Distrofik (dermolitik) dominan

2. Distrofik resesif generalisata

3. Distrofik resesif lokalisata

4. Bentuk varian
Taut Dermoepidermal
Pengetahuan tentang taut dermo-epidermal penting agar dapat memahami
patogenesis atau mekanisme terjadinya bula pada EB serta letak bula terhadap taut
dermo-epidermal. Pengetahuan tersebut akan berpengaruh dalam menentukan
diagnosis, dan prognosis serta pengelolaan pasien EB. Pewarnaan imunohistokimia
bertujuan untuk melihat ekspresi kolagen tipe VII yang dapat dilakukan dengan
melabel antibody LH-7.2, GB3 untuk laminin 5, sedangkan struktur lainnya dapat
dilihat dengan mikroskop electron1,3.
Tabel 1. Klasifikasi Epidermolisis Bulosa
Klasifikasi EB Penurunan Lokasi Bula Kerusakan Struktur Dan
Genetik Kerusakan Pada Gen Pengkode

1. EB Simpleks
a. Lokalisata (Weber DA Basal / suprabasal Lisis keratinosis, mutasi gen KB,
Cockayne) atau K14
b.Generalisata DA Sel basal Lisis keratinosis, mutasi gen KB,
(Koebner) atau K14
c.Herpatiformis DA Sel basal /sitoplasma Sitolisis sel basal, gen K5, atau K14
(Dowling Meara) subkorneal dan mutasi gen plektin
d. Ogna DA Intraepidermal Sitolisis sel basal, gen K5, atau K14

e.EB simpleks + DA Intraepidermal Sitolisis sel basal, gen K5, atau K14

3
pigmentasi
2. Letal Juctional
a. Gravis/Herlitz RA Lamina lusida Hemidesmosom berkurang atau
mutasi genlaminin dan subbasal
dense plate
b. Non-letal (mitis, RA Lamina lusida Jumlah hemidesmosom abnormal
non-Herlitz) atau berkurang, mutasi gen laminin,
kolagen XVII
c. Juctional EB inversa RA Lamina lusida Hypoplasia hemidesmosom,
abnormalitas gen integrin α6β2
3. EB distrofik
a.Dominan DA Bawah lamina basal Reduksi jumlah anchoring fibrils,
(generalisata, gen kolagen VII
lokalisata) RA Bawah lamina basal Achoring fibrils berkurang dan
b. Resesif-generalisata terjadi lisis kolagen VII
RA Bawah lamina basal Jumlah anchoring fibrils dan
c. Resesif-lokalisata kolagen VII berkurang
Keterangan : DA (dominan autosom), RA (resesif autosom)
Dikutip dari kepustakaan nomor 1

Tabel 2. Klasifikasi Epidermolisis Bulosa (Lanjutan)

Dikutip dari kepustakaan nomor 4

4
2.3 ETIOPATOGENESIS

Sampai sekarang etiologi dan patogenesis EB belum diketahui. Beberapa


penulis mengemukakan berbagai dugaan patogenesis, diantaranya sebagai
berikut1,4,6,7 :
1. EBS diduga terjadi akibat :
a. Pembentukan enzim sikolitik dan pembentukan protein abnormal yang
sensitive terhadap perubahan suhu. Diduga defisiensi enzim
galactosylhidroxylysyl-glocoxyltransfarase dan gelatinase (enzim
degradase kolagen) menyebabkan EBS. Contoh pada EBS herpetiformis
Dowling Meara (EBS-HDM) dengan mikroskop electron terlihat bula
disertai gumpalam tonofilamen intrasitoplasmik didalam sel basal.
b. Mutasi juga dapat terjadi gen plectin (plektin). Plektin adalah protein yang
terdapat di membran basal pada hemidesmosom
2. EB letalis Herlitz terjadi akibat :
a. Berkurangnya jumlah hemidesmosom sehingga attachment plaque tidak
berfungsi dengan baik
b. Pearson dan Scachner menduga akibat membrane sel pecah dan
mengeluarkan enzim proteolitik sehingga terbentuk celah dilamina lusida
c. Mutasi dapat terjadi pada sel yang mengkode laminin 5, komponen
anchoring filament, yaitu protein polipeptida. Fitzpatrick’s dan beberapa
penulis lain mengemukakan pada EB Herlitz gravis dan mitis terjadi
mutasi pada gen lamininβ (LAMB3) α (LAMA3) dan γ (LAMG2).
Sedangkan pada EB juctional yang generalisata dan lokalisata disertai
mutasi kolagen XVIIIA
d. Pada beberapa kasus mutasi ditemukan integrin α6β4 yang abnormal atau
bahkan tidak ada. Integrin tersebut dihemidesmosom merupakan molekul
adhesi laminin.
e. Selain intu, mutasi gen pengkode antigen pemfigoid bulosa-2 dijumpai
pada EB junction ringan yang disertai alopesia dan atrofi.

5
3. Sindrom BART mungkin terjadi akibat perlekatan kulit fetus dengan amnion
yang disebut pita sinomart
4. EB distrofik diduga terjadi akibat :
a. Berkurangnya anchoring fibril
b. Bertambahnya aktivitas kolagen pada EB yang diturunkan secara RA
c. Terjadi mutasi pada gen kolagen VII yang terletak pada kromosom 3 pada
lokus 3p21.1. kolagen VII memiliki triple helix. Molekul kolagen VII
adalah molekul besar yang dibentuk dan disekresi oleh keratinosit dan
fibroblast.
2.4 GEJALA KLINIS DAN GAMBARAN HISTOPATOLOGIS
Kunci utama diagnosis EB secara klinis didasarkan lokalisasi bula yang
terbentuk yaitu ditempat yang mudah mengalami trauma walaupun trauma yang
ringan, misalnya trauma dijalan lahir. Bula yang terbentuk biasanya jernih,
kadang-kadang hemoragik, pada penyembuhan perlu diperhatikan, apakah
meninggalkan bekas jaringan parut. Selain kulit, biasanya mukosa ikut terkena,
demikian pula kuku dapat distrofik. Pada tipe distrofik resesif dapat disertai
retardasi mental dan pertumbuhan, kontraktur, dan pelekatan (fusi) jari-jari
tangan1,2,3,4.
Pemeriksaan histopatologis dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE) biasa
tidak cukup dapat memastikan diagnosis EB. Pemeriksaan mikroskop electron
merupakan baku emas untuk kepastian diagnosis. Dengan perkembangan
imunohistokimia dapat dilakukan pemeriksaan berbagai antibody monoclonal.
Untuk mengetahui ekspresi berbagai antigen di taut demo-epidermal sehingga
dapat ditentuka klasifiksai EB. Penemuan yang lebih rinci tentang komposisi
molekul membrane basalis ditemukan oleh Eady (1994) dan Bergman (1999)2,3.

6
Gambar 1. Komposisi Molekular dan Letak Bula Terhadap Taut-
Dermoepidermal
Dikutip dari kepustakaan nomor 4

7
Gambar 2. Perbandingan tingkat pemisahan kulit di EB dengan temuan klinis
Dikutip dari kepustakaan nomor 4

8
2.5 DIAGNOSIS
Bila ada kasus terduga EB, perlu di tindak lanjuti dengan anamnesis yang
cermat apakah anggota keluarga ada yang menderita penyakit yang serupa. Buat
pedigri yang dilengkapi dengan tanda-tanda baku sampai dengan 3 generasi untuk
melihat pewarisan genetiknya. Bila tidak diketahui atau masih ragu-ragu sedapat
mungkin anggota keluarga diperiksa, mungkin kasus mutasi baru, penetrans tak
lengkap atau, merupakan kasus form fruste. Lengkapi dengan pulasan HE dari
jaringan biopsy kulit, dilanjuti dengan immunohistokimia yang dilabel dengan
antibody monoclonal yang sesuai atau bila ada dengan menggunakan mikroskop
electron transmisi. Diagnosis pranatal telah dapat dilakukan sejak tahun 1980,
dengan sampel jaringan biopsy dari kulit fetus usia kehamilan 17-21 minggu yang
diperiksa dengan mikroskop cahaya atau mikroskop electron dan
immunohistokimia. Diagnosis EB distorfik sudah dapat ditegakkan berdasarkan
penglepasan taut dermo-epidermal sehingga terbentuk celah dengan atap lamina
densa, ada atau berkurangnya pembentukan anchoring fibrils, berkurangnya
ekspirasi kolagen VII2,3. Berikut beberapa bentuk EB yang sering dijumpai1,2,3,4,5,6
:

1. Epidermolisis bulosa simpleks


Pada EBS bula terbentuk di tempat trauma dan terletak di intraepidermal
sehingga tidak meninggalkan bekas. Pada kesepakatan Badan Registrasi
Epidermolisis Bulosa Nasional (Amerika) terdapat sembilan tipe EBS.
Pemeriksaan imunofluoresesnsi dengan pewarnaan antobodi monoclonal
terdapat molekul taut dermo-epidermal dapat memastikan tipe EBS4,5,6.
Dibawah ini akan dijelaskan beberapa bentuk yang sering di jumpai yaitu :

9
a. EBS lokalisata (Weber-Cockayne)
Bula yang terbentuk biasanya distarum spinosum telapak tangan dan kaki,
serta pembentukannya membutuhkan tekanan dan gesekan yang kuat
(ambang rangsang tinggi). Mekanisme bula diduga berhubungan dengan
pembentukan enzim sitolitik dan berkaitan
dengan diskeratosis. Biasanya mukosa dan
gigi tidak terkena dan kuku jarang terkena.
Bula yang terbentuk berukuran kecil dan bila
sembuh tidak meninggalkan bekas. Terjadi
pada usia dua tahun kehidupan, umumnya
setelah masa remaja dan dewasa tidak
muncul lagi. Pada anak bula terjadi biasanya
akibat gesekan kaki dengan sepatu karena berjalan jauh, lutut atau tangan
akibat gesekan setelah bermain atau berolahraga. Prognosis EB lokalisata
umumnya baik, kualitas hidup dapat meningkat dan pasiennya dapat bekerja
sesuai dengan keterbatasannya1,4,6.

b. EBS generalisata (Kobner)


Walaupun luas dan mukosa ikut terkena, serta telah tampak sejak bayi baru
lahir atau sesaat setelah lahir, namun biasanya tergolong ringan. Kuku dapat
terkena (20%) setelah terlepas umumnya dapat
tumbuh kembali tanpa distrofik, meskipun
pada beberapa kasus kuku tidak berkilat lagi.
Bula biasanya sembuh tanpa sikatriks. Setelah
dewasa dapat sembuh dan menjalani
kehidupan normal. Pada masa neonatus bula
terdapat ditempat yang mudah tergesek yaitu
dileher, lengan, siku, tangan, tungkai, lutut,
punggung, bokong. Setelah usia 3 tahun bula lebih terbatas di tangan dan
kaki, sering disertai hyperhidrosis dan hyperkeratosis. Pada pemeriksaan

10
mikroskop electron celah tanpak jelas disuprabasal di atas membrane basal,
demikian pula pada pewarnaan dengan periodic-acid-Schiff-positive (PAS)
1,4,6
.

c. EBS herpetiformis (Dowlin-Meara)


Gambaran klinis disertai oleh bula bergerombol (herpetiformis) yang terjadi
setelah lahir atau beberapa saat setelah lahir dan dapat disertai keratoderma
palmoplantar. Bula biasanya disertai peradangan dan diikuti oleh
pembentukan milia sementara, terkadang bula hemoragik ditangan dan kaki,
bula spontan bergerombol sering terdapat dibadan dan ekstremitas. Setelah
usia 6-7 tahun dipalmoplantar berkembang menjadi hyperkeratosis, walupun
mukosa dan kuku terkena, kuku dapat tumbuh kembali tanpa distorfik.
Walaupun prognosis baik namun pada neonatal dapat berbentuk distorfik
berat atau bentuk junction, karena bula yang luas diseluruh badan dapat
mengancam kehidupan. Setelah melalui masa tersebut, pada masa anak dan
dewasa pembentukan bula cenderung
makin berkurang. Berbeda dengan
bentuk EB yang lain, pembentukan bula
tidak dipengaruhu dengan suhu yang
panas. Pada beberapa kasus EBS-HDM
bula dapat muncul diwajah, punggung,
leher, aksila dan ekstremitas. Bula
dengan tepi eritematosa berbentuk bulat atau arkuata (mirip bulan sabit atau
sosis) tidak mirip herpetiformis. Terdapat kecenderungan bula muncul pada
suhu lingkungan yang panas. Mukosa dapat terkena walaupun jarang terjadi.
Bila mengenai mukosa saluran pencernaan bagian atas, dapat terjadi
gangguan menelan, suara terdengar serak1,4,6.

11
d. EBS varian ogna
Terjadi pada bayi ditandai oleh bula serosa atau hemoragik ditangan dan
kaki, atau dimana saja serta sembuh dan tanpa meninggalkan bekas. Berbeda
dengan EB simpleks lainnya, terdapat onikogrifosis di ibu jari kaki (terbentuk
kemudian), kecenderungan mengalami hematom, dan secara genetic
berkaitan dengan lokus erythrocyte glutamic pyruvic transaminase (GPT)
1,4,6
.

Perawatan pada EB simpleks


Edukasi :
Penjelasan kepada orang tua tentang penyakit serta menghindari berbagai faktor
yang dapat memperberat penyakit. tata cara perawatan luka (bula yang pecah)
dapat dikompres atau dibersihkan dengan cairan NaCl dan diolesi cairan antiseptic
ringan atau salap antibiotic. Pasien diharuskan mengenakan pakaian lembut,
ringan, dapat menyerap keringat dan hindari kancing yang keras. Kaos kaki atau
sepatu berbahan lembut, tidak menekan atau mengikat erat, disesuaikan dengan
bentuk dan ukuran kaki. Pada tahun pertama kehidupan gunakan pendingin
ruangan (AC) 1,4,6.
Bula yang besar dipecahkan dengan jarum atau gunting steril digunting dengan
bentuk v dibagian bawah bula (sesuai gravitasi) sehingga bula mudah kempis.
Oleskan salap antibiotic mengandung asam fusidat, mupirosin, povidion-iodine.
Rasa sakit dapat dikurangi dengan menggunakan obat golongan amitriptilin dosis
rendah 0,5 mg/kgBB/hari. Dapat juga diberikan siprohptadin. Metilprednisolon
dapat digunakan pada EBSHDM atau kasus yang parah lainnya1,4,6.

2. Epidermolisis Bulosa tipe junctional


a. EB tipe junctional
Ini adalah tipe EB dengan pembentukan bula dilamina lusida pada taut
dermo-epidermal, merupakan tipe EB yang paling parah serta mengancam
kehidupan (letal). Semua tipe diwariskan secara resesif autosom. Dengan
pemeriksaan immunohistokimia dapat dilihat bula diatas kolagen tipe IV1,4,6.

12
b. EB Herlitz
Ini merupakan bentuk yang paling parah di
antara EB juctional ditandai dengan bula
berukuran besar dibokong, badan dan kepala
tanpa meninggalkan sikatriks dan milla
kecuali bila diikuti infeksi sekunder. Meskipun hamper 50% pasien
meninggal sebelu uisa 2 tahun, namun sebagian dapat hidup sampai dewasa.
Pada bentuk Herlitz biasanya tangan dan kaki tidak terkena, mukosa dapat
terkena dan dapat terjadi atresia pilorik. Di perioral dapat terbentuk bula
sedangkan bibir tidak terkena. Pada perkembangannya pita suara dan laring
dapat terkena kemudian. Demikian pula kuku dapat terkena dan terlepas
disertai paronikia. Tanda khas berikutnya berupa displasia gigi dengan
permukaan berbenjo-benjol. Pada bentuk Herlitz terjadi anemia rekalsiltrans
dan retardasi mental. Dengan mikroskop biasanya tanpak celah diatas
membrane basal, dengan mikroskop electron terlihat bula terbentuk dilamina
lucida disertai berkurangnya jumlah dan perubahan struktur hemidesmosom.
Dengan pemeriksaan immunohistokimia tanpak laminin 5 berkurang atau
menghilang, juga reduksi kolagen XVII. Namun sampai sekarang patogenesis
belum semua diketahui1,4,6.

c. EB non-letal (mitis, non-Herlitz)


Bentuk ini dimulai pembentukan bula serosa atau hemoragik saat lahir dan
meninggalkan kulit yang rapuh, tanpa pembentukan sikatriks dan milia.
Umumnya dapat terjadi alopesia, distrofik kuku atau kuku tidak tumbuh
kembali, hiperkeratosis palmoplantar, skalp atrofi. Mukosa mulut esofagus,
laring dan takea serta mata, dapat terkena ringan sampai berat tetapi tidak
terjadi struktur esofagus. Berbeda dengan tipe junctional pada tipe non-Herliz
tidak terjadi retardasi mental dan anemia. Gambaran patologi anotomik mirip
dengan tipe Herlith. Pada kasus E.B. nonletal dapat sembuh dengan
bertanbahnya umur1,4,6.

13
d. EB junctional tipe inversa
Tejadi pada saat lahir atau pada masa neonatal, klinis mirip pioderma
generalisata, kemudian pembentukan bula lebih banyak di aksila, leher,
inguinal, dan perianal (inversa), kuku mengalami distrofik, gigi displasia,
laring dapat terkena demikian juga pita suara (suara menjadi kasar).
Umumnya pada E.B. bentuk dominan, bayi yang terkena sehat dan tumbuh
normal,rambut dan kuku tidak terganggu. Pada bentuk desesif dapat
pertumbuhan dan perkembangan tidak terganggu, gigi tumbuh abnormal,
rambut berkurang sampai alopesia. Gambaran histopatologi menunjukkan
bula di taut dermoepidermal (subepidermal),terjadi fragmentasi bundel
kolagean, ifiltrat polimorfonuklear disertai ekstravasasi eritrosit. Pada
pemeriksaan dengan mikroskop elektron terlihat celah di bawah lamina basal,
disertai berkurangnya atau tidak adanya anchoring fibrils yang pada bentuk
resesif meayebabkan kerusakan atau rupturnya integritas struktur taut
dermoepidermal sehingga terbentuk celah atau bula. Berkurang atau
ketidakadaan anchoring frbrilsI dapat terlihat baik pada kulit dengan atau
tanpa bula. Hal tersebut berbeda dengan bentuk EB distrofik dominan, ada
laporan yang menyatakan anchoring fibrils tampak normal, baik pada kulit
dengan ataupun tanpa bula. Pada bentuk EB distrofik terjadi kerusakan pada
kologen tipe VII yang berkaitan dengan berkurangnya fungsi onchoring
fibrils1,4,6.

14
3. Epidermolisis Bulosa Tipe Distrofik
EB distrofik diklasifikasikan berdasarkan pewarisan genetic yaitu bentuk
dominan dan resesif, biasanya bentuk resesif merupakan bentuk yang paling parah.
Pada EB destorfik terjadi dermolisis, sehingga istilah dermolisis bula kurang tepat.
Umumnya pada EB bentuk dominan bayi yang terkena sehat dan tumbuh normal,
rambut dan kuku tidak terganggu. Pada bentuk resesif pertumbuhan dan
perkembangannya bisa tidak terganggu, gigi tumbuh abnormal, rambut berkurang
sampai alopesia. Pemeriksaan histopatologis menunjukkan bula terletak di taut
dermo-epidermal (subepidermal), terjadi fragmentasi berkas kolagen, infiltrate
polimorfonuklear disertai ekstravasasi eritrosit1,4,6.
Pada pemeriksaan mikroskop electron terlihat celah dibawah lamina basal,
disertai berkurangnya atau tidak adanya anchoring
fibrils yang pada bentuk resesif menyebabkan
kerusakan atau rupture integritas struktur taut dermo-
epidermal sehingga terbentuk celah atau bula.
Anchoring fibrils berkurang atau tidak ada dapat
terlihat pada kulit dengan atau tanpa bula. Hal
tersebut berbeda dengan bentuk EB distrofik dominan, anchoring fibrils tanpak
normal baik pada kulit dengan ataupun tanpa bula. Pada bentuk EB distorfik
terjadi kerusakan pada kolagen tipe VII yang berkaitan dengan berkurangnya
fungsi anchoring fibrils1,4,6.
a. EB distrofik dominan
Secara klinis terlihat bula terutama di bagian dorsal ekstremitas dan
meninggalkan bekas sikatrik, disertai pembentukan milia. Bentuk ini lebih
berat dibandingkan E.B.S. tetapi lebih ringan daripada bentuk E.B.distropik
resesif. Terjadi pada saat lahir atau segera setelah lahir, pada 20 % kasus
mukosa terkena, kongyungtiva dan kornea dapat juga terkena. Kuku terkena
pada 80% kasus, terjadi distrofik atau hancur. Gigi dan rambut tidak
terkena1,4,6.

15
Albupapuloid adalah bentuk varian yang dapat terjadi baik pada E.B. distrofik
dominan maupun resesif, Varian ini dapat terjadi pada bayi, tetapi lebih sering
pada masa anak, remaja, atau dewasa. Bentuk karakteristik adalah papul
perifokular agak lunak, berwarna keputih-putihan (ivori-white), lokasinya di
tengkuk dan punggung, serta terjadinya tidak berhubungan dengan
pembentukan bula1,4,6.

b. EB distrofik resesif
Terbagi atas bentuk ringan lokalisata (mitis), berat (gravis, Hallopea
Siemens), atau bentuk varian inversa. Pada umumnya bentuk E.B. distrofik
resesif berat terjadi pembentukan bula diikuti pembentukan sikatrik, mukosa
mengalami gangguan yang berat. Erosi segera tampak pada saat lahir, bula
spontan terjadi terutama ditempat yang mengalami trauma, misalnya di
tangan, kaki, bokong, skapula, muka, oksiput, siku dan lutut. Bula steril besar-
besear serta dapat hemoragik, erosi dan rasa nyeri, mirip pada bentuk E.B.
etal. Tanda Nikolski positif. Bayi mudah mengalami infeksi sekunder dan
sepsis. Penyembuhan bula disertai sikatriks, hipopigmentasi dan atau
hiperpigmentasi, disertai milia. Sikatriks yang atrofi mirip kertas sigaret. Pada
bula berulang, lama kelamaan kulit menjadi sikatriks hiprsofi. Bila jari-jari
tangan yang luka jarang digerakan untuk waktu yang lama, dapat terjadi
perlekatan satu dengan yang lain sehingga pada penyembuhan dapat
mengalami fusi mirip pseudosindaktili, atau mirip sarung tinju tangan. Posisi
tangan dan pergelangan berubah menjadi fleksi dan kontraktur. Kuku
mengalami kerusakan parah degenerasi atau hilang sama sekali. Mata terkena
berupa bleparitis, simbleparon, konyingtivitis, vesikal dan menjadi opak dan
atau keratitis. Suara kasar sampai tidak terdengar, sulit menelan sehingga
kekurangan nutrisi dan dapat meninggal. Bila bayi bertahan dan tumbuh, berat
penyakit makin berkurang, selanjutnya di anjurkan untuk menghindari
makanan yang panas, keras, ukuran besar, apapun yang memungkinkan
pembentukan bula di mulut, faring maupun osefagus. Erupsi gigi biasanya

16
terlambat dan tumbuh dengan bentuk abnormal. Rambut tumbuh normal,
alopesia terjadi akibat sikatrik. Kematian dapat terjadi saat neonatus atau anak
akibat kurang nutrisi, kehilangan cairan, infeksi bakteri dan sepsis, ataau
pneumonia1,4,6.

2.6 DIAGNOSIS BANDING


Diusia 30 hari awal kehidupan, terkadang sulit dibedakan dengan kelompok
vesiko bulosa lainnya, yaitu piodermal oleh stafilokokus, staphylococcal scalded
skin syndrome, nekrolisis epidermal toksik, eritrodermal eksfoliativa, sifilis
kongenital, infeksi herpes simpleks intrauteri, bullous mastocytosis, maternal
bullous disease (pemphiguma vulgaris), pemfigoid bulosa dan incontinentia
pigmenti1.
1. Inkontinensia pigmenti adalah kelainan multisistem terutama banyak diderita
oleh wanita, diturunkan secara X-linked dominant. Gambaran klinis pada kulit
sangat khas terdiri dari 4 stadium yaitu vesikuler, verukosa, hiperpigmentasi
dan atrofi kulit. Lesi dapat berbentuk linier sepanjang ekstremitas dan
mengelilingi badan. Bula menyembuh dalam beberapa minggu dan dapat
timbul kembali. Gambaran klinisnya pada stadium vesikuler sangat mirip
pada lesi awal EBS2,5.
2. Pemfigus neonatorum adalah pemfigus pada masa neonatal yang terjadi
karena adanya subtansi otoantibodi interseluler dari ibu melalui transplasenta.
Gambaran klinis timbul pada saat lahir berupa bula, vesikel disertai erosi pada
kulit, namun membran mukosa jarang terkena. Pada pemeriksaan
histopatologi dengan imunoflouresensi langsung ditemukan deposit
interseluler Ig G dan C3 pada kulit2,5.
3. Pemfigoid gestationes gejala klinisnya terjadi saat lahir atau sekitar usia 3
hari. Lesi berupa eritem atau papul eritem pada hampir seluruh tubuh. Bula
berukuran diameter 34 cm kadang tersusun setengah lingkaran, tanda Nikolski
negatif, dan dasar bulan tanpa eritem. Gambaran histopatologi temukan bula
subepidermal disertai serbukan sel eosinofil dan pada pemeriksaan

17
imunoflouresensi langsung didapatkan deposit Ig G dan C3 pada membran
basalis2,5.

2. 7 TATALAKSANA
Prinsip dasar perawatan untuk semua pasien EB adalah menghindari lepuhan
(menggunakan lapisan pelindung kulit yang bagus) dan pencegahan infeksi
sekunder (dengan perawatan luka yang teliti, yang difasilitasi oleh penggunaan
dressing hidrokoloid non perekat steril sintetis). Strategi terapeutik baru termasuk
penggunaan dressing biologis atau mirip kulit dikarenakan panas dan keringat
merupakan faktor yang memperparah EBS8,9,10. Pasien dengan subtype EB yang
diketahui memiliki risiko tertinggi untuk komplikasi ekstrasutan spesifik
memerlukan surveilans yang cermat untuk kejadiannya, dan penerapan intervensi
yang tepat (medis, bedah, gizi, psikologis, dan yang lainnya) sebelum jaringan
tersebut terkena cedera yang parah2,3,5,6,7. Sebagian besar terapi untuk
epidermolisis bulosa sangat mendukung. Regimen ini disesuaikan dengan tingkat
keparahan dan tingkat keterlibatan kulit, dan biasanya memerlukan kombinasi
antara manajemen luka, pengendalian infeksi, manajemen bedah sesuai kebutuhan
dan dukungan nutrisi. Perawatan kulit dan perawatan suportif untuk organ lain
sistem pada subtipe EB tertentu paling terkoordinasi secara optimal melalui
pendekatan multidisiplin. Terapi topikal merupakan andalan pengobatan di EB,
dengan menghindari trauma sebagai tujuan utama. Penyembuhan luka terganggu
oleh faktor endogen, termasuk benda asing, bakteri, kekurangan nutrisi, anemia,
dan trauma berulang. Karena itu, optimalkan penyembuhan luka pada pasien EB
melibatkan kontrol semua faktor4,8,9,10.
1. Perawatan Kulit1,2,3
Berikan penjelasan dan edukasi pada keluarga pasien atau perawat. Perawatan
memerlukan kesabaran dan ketelitian, hindari trauma dan gesekan. Dalam memilih
pakaian maupun mainan harus yang ringan dan lembut. Hindari penggunaan
plester sehingga mencegah terjadinya fusi jari-jari. Bula dirawat dengan film
menusuknya dengan jarum steril dan membiarkan atap bula sebagai pelindung.

18
Pada anak-anak hindari sepatu yang sempit atau yang terbuat dari kulit yang keras.
Kaos kaki dari bahan katun yang menyerap keringat untuk menghindari trauma
gesekan. Suhu lingkungan diusahakan agar cukup dingin tempat tidur yang lunak
dan seprei yang halus. Bagian yang erosi diolesi krim atau salap antibiotik. Kerja
sama dengan ahli fisioterapi dapat di tingkatkan. Cegah terjadinya fusi dan
kontraktur dengan mengatur posisi jari dan sendi. Mata harus diperhatikan,
pemberian air mata buatan dan salap antibiotic perlu dioleskan bila terdapat erosi
kornea mata. Konsulkan kebagian mata untuk mendapatkan terapi yang akurat.
Kerjasama dengan ahli fisioterapi harus ditingkatkan. Orang tua dapat diajarkan
untuk membantu anak dalam aktivitas sehari-hari, agar tidak terjadi
kontraktur2,4,6,8.
Daerah luas kulit yang dilipat dapat menyebabkan hilangnya penghalang yang
diberikan oleh stratum korneum. Penetrasi mikroba selanjutnya bisa berakibat
pada akumulasi serum dan kelembaban yang semakin meningkatkan
perkembangan bakteri lebih lanjut. Faktor-faktor di atas dikombinasikan dengan
terapi imunosupresif memudahkan pengembangan infeksi. Pencegahan infeksi
dengan strategi pilihan solusi dakin yang dimodifikasi (0,025% natrium
hipoklorit) dapat membantu dalam mengurangi bakteri pada kulit pasien.
Merendam luka dalam larutan ini selama 20 menit sebelum mengganti dressing
juga membantu untuk membebaskan perban yang melekat yang telah kering oleh
luka. Setelah direndam, luka bisa diberikan mupirocin atau antibiotik topikal
lainnya, dan ditutup dengan dressing nonadhesive semioklas. Namun dapat
menyebabkan lepuhan lebih lanjut dan pengelupasan kulit, karena itu penting
untuk menggunakan kasa yang kuat (melekat) atau kain kasa tipe yang melekat
pada tubuh. Untuk pasien dengan subtipe EBS yang umum atau terlokalisasi,
mengendalikan paparan terhadap panas dapat membantu dalam mengendalikan
pembentukan blister. Memberi saran kepada pasien untuk menggunakan sepatu
yang lembut dan berventilasi baik juga dianjurkan. Untuk pasien DEB, gunakan
finger splinting atau rajin membungkus tangan dan perlindungan tangan yang tepat
terhadap trauma sangat membantu, terutama setelah operasi tangan1,4,6,8.

19
2. Infeksi
Penatalaksanaan infeksi kulit merupakan bagian penting dari perawatan pasien
EB. Pasien dengan subtipe EB berat seperti DEB resesif mungkin juga memiliki
kelainan imunologis termasuk penurunan produksi limfosit karena status gizi
buruk yang menurunkan resistensi pasien terhadap infeksi. Staphylococcus aureus
dan Streptococcus pyogenes adalah agen infeksi yang umum. Infeksi gram-negatif
dengan Pseudomonas aeruginosa juga bisa terjadi. Sepsis adalah penyebab umum
kematian pada pasien Herpes JEB Herlitz. Kultur kulit dan penggunaan antibiotik
sistemik yang tepat diindikasikan untuk infeksi luka. Untuk mencegah infeksi pada
luka kronis, rejimen yang melibatkan terapi rutin diikuti dengan antibiotik topikal
adalah strategi pilihan. Rotasi antibiotik topikal juga merupakan cara yang sangat
membantu untuk melawan bakteri resisten1,2,4.

3. Pembedahan
Di antara populasi pasien EB, mereka dengan varian DEB yang resesif
umumnya paling membutuhkan intervensi bedah. Mitten pseudosyndactyly pada
pasien ini dapat dilepaskan dengan operasi, namun prosedur ini mungkin harus
diulang secara berkala karena kecenderungan kuat kondisi ini terulang kembali.
Pemantauan setelah operasi sangat penting untuk mengurangi kekambuhan
kelainan bentuk tangan. Pembedahan juga dapat digunakan untuk memperbaiki
kelainan struktur anggota badan, perioral, dan perineum namun tingkat
kekambuhan yang tinggi sering terjadi. Perhatian ekstra harus dilakukan untuk
meminimalkan trauma pada mukosa mulut pada pasien EB selama intubasi1,2,4.

4. Makanan
Sebaiknya di berikan makanan tinggi kalori tinggi protein dalam bentuk yang
lembut atau cair sehingga mudah ditelan terutama bila terdapat luka di mukosa
mulut. Hindari penggunaan dot pada bayi karena dapat menimbulkan gelembung

20
dan luka dimulut sehingga untuk mencegah trauma bila makan gunakan
sendok.pemberian makanan dapat sedikit-demisedikit, frekuensi makan dapat
lebih dari 3 kali pemberian, mengingat gesekan pada waktu makan menyebabkan
rasa nyeri sehingga hanya sedikit yang tertelan. Pada bayi baru lahir dengan EB
parah atau letalis makanan diberikan melalui nasogastric feeding atau intravena
bergantung pada kondisi. Perlu dipertimbangkan setiap tindakan tersebut karena
dapat merupakan trauma. Selain kekurangan gizi dapat diperhatikan pula bahwa
pada EB dapat terjadi anemia defisiensi1,4,6,8.

5. Pengobata
Terapi sistemik tidak efektif dalam memperbaiki kecenderungan melepuh yang
mendasar pada pasien EB. Tetrasiklin dan fenitoin telah digunakan di masa lalu
untuk EB namun saat ini tidak diindikasikan sebagai pengobatan. Kortikosteroid,
baik topikal atau sistemik, tidak bermanfaat dalam penggunaan jangka panjang
pada EB yang diwariskan1,2,4. Menghindari trauma sangat penting untuk mengatasi
rasa sakit, obat analgesic harus diberikan sesuai dengan tingkat keparahan nyeri,
dengan penggunaan asetaminofen, NSAI, dan bahkan morfin jika terjadi rasa sakit
yang parah. Meskipun usulan terapeutik topical dan sistemik baru telah
disarankan, seperti penggunaan aluminium klorida topical 20%, krim bufexamac
5%, oral oksitosetrilat 1-1,5g setiaphari untuk mengobati EBS dan penggunaan
fenitoin atau trimethoprim sistemik untuk pengobatan DEB, namun tak satupun
dari pengobatan itu efektif dalam penyembuhan lesi2,3,4,5.
Pengobatan yang ideal dan memuaskan sampai saat ini belum ada, umumnya
terapi di lakukan secara paliatif. Beberapa hal perlu di pertimbangkan mengingat
penyakit ini berlangsung kronik sampai dewasa. Perawatan luka yang luas sebaik
nya dilakukan secara terbuka, apa bila diperlukan dapat diberikan kortikosteroid
sistemik. Pada pengobatan topical dapat digunakan kortikosteroid potensi sedang
dan bila terdapat infeksi sekunder dapat diberikan salap dengan bahan aktif asam
fusidat, mupirosin, dan basitrasin1,4,5,6. Pemberian kortikosteroid bermanfaat pada
kasus yang berat dan fatal, antara lain untuk mencegah mutilasi, distrofik, serta life

21
saving. Vitamin E (tokoferol) dapat menghambat aktivitas kolagenase atau
merangsang produksi enzim lain yang dapat merusak kolagenase. Dosis efektif
600-2000 IU/hari. Obat lain yang dapat diberikan adalah difenilhidantoin 2,5-5,0
mg/hari dengan dosis maksimal 300 mg/hari. Obat ini juga menghambat aktivitas
kolagenase namun diberikan secara hati-hati karena jarak antara dosis terapeutik
dan dosis letal sangat dekat1,3,4,5,6.
6. Konseling Genetik
Konseling genetic dianjurkan bila telah ada diagnosis pasti serta pewarisan
genetiknya, sehingga dapat diberitahukan kepada pasien atau keluarga pasien
mengenai risiko penyakit pada setiap kelahiran1,3,4,5,6.

2.8 PROGNOSIS
Pada umumnya tipe EB Herlitz yang letal, menunjukkan mortalitas yang
sangat tinggi, EB yang diwariskan resesif autosom cenderung parah, sedangkan
yang diwariskan secara dominan autosom prognosis lebih baik terutama EB
simpleks1,4.

22
BAB III
PENUTUP

Epidermolisis bulosa merupakan genodermatosis yang dapat diwariskan secara


dominan autosom atau resesif autosom. Klasifiksai dari yang paling ringan (EB
simpleks), sedang/parah (EB distrofik), dan yang parah/letal (EB tipe junctional).
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan atas riwayat penyakit, lesi vesikobulosa saat
atau beberapa saat setelah kelahiran, riwayat penyakit dikeluarga (pedigri), gambaran
klinis dan histopatologis. Pemeriksaan immunohistokimia dan mikroskop electron
merupakan baku emas kepastian diagnostic. Prinsip terapi paliatif, menghindari
trauma dan infeksi, edukasi perawatan kulit pada kedua orangtua pasien. Tatalaksana
memerlukan kerjasama antar atau multi disiplin1,2,3,4,5,6.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Aisah, S. 2016. Epidermolisis Bulosa (Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin). Edisi Ketujuh, Cetakan Ketiga. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
2. David, J. 2010. Inherited Epidermolysis Bullosa. Orphaned Journal Of Rare
Diseases. https://ojrd.biomedcentral.com/articles/10.1186/1750-1172-5-12
(Diakses pada 12 Desember 2017)
3. Vanessa Lys Simas Yamakawa Boeira, Erica Sales Souza, Bruno de Oliveira
Rocha, Pedro Dantas Oliveira, Maria de Fátima Santos Paim de Oliveira,Vitória
Regina Pedreira de Almeida Rêgo, and Ivonise Follador. 2013. Inherited
epidermolysis bullosa: clinical and therapeutic aspects. Anais brasileiros de
dermatologia (official publication of the Brazilian society of dermatology).
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3750879/#!po=94.2308 (Diakses
pada 12 Desember 2017)
4. Marinkovich, M.P. Inherited Epidermolysis Bullosa. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine, VII ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p. 649-665
5. Kee Cheol Shin, M.D., Bo Young Park, M.D., Han Koo Kim, M.D., Ph.D., Woo
Seob Kim, M.D., Ph.D., and Tae Hui Bae, M.D., Ph.D. 2011. The Use of Cultured
Allogenic Keratinocyte Grafting in a Patient with Epidermolysis Bullosa Simplex.
Annals of dermatology (US National Library of Medicine National Institutes of
Health Search database).
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3276806/#!po=22.0000 (Diakses
pada 12 Desember 2017
6. Marinkovich, M.D. 2016. Epidermolysis Bullosa Medication. Medscape
Referance. https://emedicine.medscape.com/article/1062939-overview (Diakses
pada 12 Desember 2017)
7. John E. Wagner, M.D., Akemi Ishida-Yamamoto, M.D., Ph.D., John A. McGrath,
M.D., Maria Hordinsky, M.D., Douglas R. Keene, B.S., David T. Woodley, M.D.,
Mei Chen, Ph.D., Megan J. Riddle, B.A., Mark J. Osborn, Ph.D., Troy Lund,

24
M.D., Ph.D., Michelle Dolan, M.D., Bruce R. Blazar, M.D., and Jakub Tolar,
M.D., Ph.D. 2010. Bone Marrow Transplantation for Recessive Dystrophic
Epidermolysis Bullosa. The new egland journal of medicine.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmoa0910501#discussion (Diakses pada
12 Desember 2017)
8. Atherton DJ. Epidermolysis Bullosa (Dalam Harper J. Oranje A, Prose N, editor
Texbook of Peditric Dermatology ). London : Blackwell, Scicnce Ltd. 2000
9. Karniawati Y, Diana JA, Rahmatdinatai Epidermolosis Bullous Simolex-bullous
Dermato-Venelogical Indonesia 2002:29/3 ; 145-152.
10. Tidman MJ. Horn HM. The chinical speetrum of epidermolysis bullous simplex.
Br. J. Detmatol 2000:142-72

25

Anda mungkin juga menyukai