Anda di halaman 1dari 44

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Genodermatosis merupakan suatu istilah yang ditujukan kepada kelompok
penyakit/gangguan kulit yang diwariskan, dan dikarakterisasi oleh tanda atau
gejala berupa kelainan baik pada kulit maupun yang bersifat sistemik.
Karena termasuk dalam kategori penyakit yang jarang ditemukan, terlebih
lagi kurangnya kesadaran tenaga medis akan kondisi ini, berbagai kendala
akhirnya muncul khususnya dalam penanganan maupun penelitian untuk
penyakit ini. Namun demikian, dalam 25 tahun terakhir, kemajuan besar telah
dicapai dalam upaya untuk memahami dasar genetika dari genodermatosis.
Kemajuan ini, khususnya dalam bidang uji molekular, membawa
kemudahan bagi para spesialis penyakit kulit untuk mengkonfirmasi diagnosis
pada pasien dengan presentasi non-spesifik begitu pula pada kasus-kasus
klasik, sehingga memperluas area fenotip yang dikenali dalam kaitannya
dengan genodermatosis.
Sangat penting diingat bahwa gen bertanggung jawab untuk beberapa
penyakit genodermatosis. Beberapa genodermatosis memiliki keterlibatan
multi-sistem yang mengakibatkan morbiditas berat dan kematian yang
memerlukan perhatian khusus.
Beberapa penyakit yang kaitannya dengan genodermatosis antara lain:
Epidermolisis Bullosa, Inkontinensia Pigmentous, Iktiosis, Harlequin Fetus,
Penyakit Darier, Keratosis Palmoplantaris, Urtikaria Pigmentous dan
Xoderma Pigmentosum.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui secara lebih
dalam mengenai genodermatosis, seperti macam-macam penyakit
2

genodermatosis, definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis dan


penatalaksanaan.

C. Manfaat Penulisan
Dapat memahami tentang genodermatosis dan hal-hal yang berkaitan
dengan kejadian genodermatosis.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Genodermatosis
Genodermatosis merupakan suatu istilah yang ditujukan kepada
kelompok penyakit/gangguan kulit yang diwariskan, dan dikarakterisasi oleh
tanda atau gejala berupa kelainan baik pada kulit maupun yang bersifat
sistemik.25

B. Macam-macam penyakit kulit Genodermatosis, antara lain :


1. Epidermolisis Bullosa (E.B)
Definisi(E.B)
E.B merupakan kelainan genetic berupa gangguan/ ketidakmampuan
kulit dan epitel lain melekat pada jaringan konektif di bawahnya dengan
manifestasi tendensi terbentuknya bula dan vesikel setelah terkena trauma
atau gesekan ringan. Sinonim = Mechanobullous disease.1,2

Gambar 1. Epidermolisis Bullosa


4

Klasifikasi E.B
Mula-mula klasifikasi dibuat berdasarkan jaringan parut yang
terbentuk kemudian yaitu E.B nondistrofik (bula terletak diatas stratum
basal) dan distrofik (bula terletak dibawah stratum basal).Dengan
perkembangan imunologi dan pemeriksaan imunohistokimia, klasifikasi
lebih rinci disesuaikan dengan letak bula terhadap taut dermo-epidermal,
yaitu epidermolisis bulosa simpleks (E.B.S), E.B distrofik, dan E.B
junctional. Masing-masing memiliki bentuk variasi (subtype).1-4
a. E.B simpleks
Bentuk yang sering dijumpai, yaitu :
- E.B.S lokalisata pada tangan dan kaki (Weber Cockayne)
- E.B.S generalisata (Kobner)
- E.B.S herpetiformis (Dowling-Meara)
Bentuk yang jarang dijumpai, yaitu :
- E.B.S yang disertai atrofi otot
- E.B.S superfiasial
- Sindrom Kallin
- E.B.S disertai pigmentasi “mottled”
- E.B.S resesif autosom yang fatal
b. E.B junctional
- Bentuk letal (gravis, Herlitz)
- Nonletal (mitis, non-Herlitz)
- E.B inversa
c. E.B distrofik
- Distrofik (dermolitik) dominan
- Distrofik resesif generalisata
- Distrofik resesif lokalisata
- Bentuk varian
5

Patogenesis E.B
Beberapa penulis mengemukakan berbagai dugaan pathogenesis.1-4,10
a. E.B.S diduga terjadi akibat :
- Pembentukan enzim sitolitik dan pembentukan protein abnormal
yang sensitive terhadap perubahan suhu. Diduga defisiensi enzim
golactosylhidroxylysyl-glocosyltrans dan gelatinase (enzim
degradase kolagen) menyebabkan E.B.S.
- Selain diturunkan secara genetika autosom, diperkirakan 50%
terjadi akibat mutasi pada gen pembentukan keratin terutama
keratin 5 (K5) dan 14 (K14) yang terdapat di lapisan epidermis.
- Mutasi juga dapat terjadi gen plectin (plektin). Plektin adalah
protein yang terdapat di membrane basal pada attachement plague/
hemidesmosom yang berfungsi sebagai penghubung filament
intermediet ke membrane plasma.

Etiologi penyakit ini terjadi karena adanya mutasi gen


keratin.2-8 Mutasi terjadi kurang lebih 50% pada kode genetic
keratin 5 atau 14 yang merupakan struktur utama pada lapisan
keratin kulit.3,4,7 Beberapa peneliti menyatakan bahwa terjadi point
mutations gen keratin K5 dan K14 pada kromosom 12 dan 17.
Lebih jelas lagi terjadi mis-sense mutasi pada rangkaian asam
amino pada keratin K5 dan K14. Perubahan susunan asam amino ini
dapat menyebabkan perubahan struktur keratin.Keadaan ini dapat
mengakibatkan gangguan pembentukan jaringan filament
intermedia interseluler yang meluas dari inti ke membrane plasma
yang menghubungkan struktur hemidesmosom dan desmosome
dengan keratinosit basal. Hal ini dibuktikan dalam penelitian tikus
transgenik yang mengalami mutasi keratin 14, didapatkan bula-bula
di kulit tikus tersebut seperti pada pasien E.B.S. pada penelitian
tersebut dibuktikan adanya subtitusi asam amino dapat
6

menyebabkan rusaknya struktur jaringan filamen keratin


interseluler yang menyebabkan keratinosit basal rapuh sehingga
mudah terjadi bula interdermal karena trauma. Tidak semua pasien
E.B.S mengalami mutasi pada keratin 5 atau 14 namun dapat saja
terjadi pada keratin 15 dan 17 yang terdapat juga di basal keratin.
Dengan adanya mutasi pada gen keratin menyebabkan terbentuknya
struktur filamen keratin interseluler yang tidak stabil yang mudah
rusak karena trauma ringan pada kulit. Sitolisis keratinosit dan bula
inhadermal terjadi karena abnormalitas keratin.2
Pada pasien E.B.S with muscular dystrophy didapatkan mutasi
terjadi pada kode genetic plectin (PLEC 1) atau HD 1, plectin
sendiri adalah protein dengan berat molekul lebih dari 500 kDa
yang terdapat dalam cytoskeleton membrane plasmayang terletak
pada lapisan dalam hemidesmosom inner plague dan sarkolema
serta sarkomer dari otot.4
b. E.B letalis Herlitz terjadi akibat :1
- Berkurangnya jumlah hemidesmosom sehingga attachmen plague
tidak berfungsi dengan baik
- PEARSON dan SCACHNER menduga akibat membrane abnormal
sel pecah dan mengeluarkan enzim proteolitik sehingga terbentuk
celah di lamina lusida.
- Mutasi dapat terjadi pada gen yang mengkode lamina S, komponen
anchoring filament, yaitu protein polipeptida.
- Selain itu, mutasi gen pengkode antigen pemfigoid bulosa-2
(bullous pemphgoid antigen/ BPA-2) dijumpai pada E.B junctional
ringan yang disertai atrofi.
c. Sindrom BART, mungkin terjadi akibat perlekatan kulit fetus dengan
amnion yang disebut pita sinomart.1
d. E.B distrofik diduga terjadi akibat :1
- Berkurangnya archoring fibril
7

- Bertambahnya aktivitas kolagenase pada E.B yang diturunkan


secara RA.
- Terjadi mutasi pada gen kolagen VII (COL741), komponen utama
anchoring fibrils, sehingga fungsinya terganggu.

Epidermolisis Bulosa Distrofik (E.B.D) merupakan salah satu (E.B)


yaitu suatu kelompok kelainan kulit herediter dengan manifestasi
tendensi terbentuknya vesikel atau bula pada kulit dan mokosa setelah
terkena trauma ringan. Karakteristik klinis E.B.D adalah blister, skar
dan distrofi kuku. Penyakit ini diwariskan baik secara autosomal
dominan maupun resesif. Pada E.B.D dominan blister umumnya
relative lebih ringan dibandingkan pada E.B.D resesif. Beberapa
penderita E.B.D dominan menunjukkan papul dermal keputihan
sehingga disebut lesi albopapuloid (AP). Berdasarkan ada atau
tidaknya lesi AP tersebut, E.B.D dominan dibedakan menjadi varian
pasini (EBDD-P) dan Cockaine-Tourine (EBDD-CT) dominan terjadi
karena mutasi gen penyandi kolagen tipe VII yang berperan penting
dalam perlekatan epidermis pada zona membrane basalis.2-8
Epidermis bulosa distrofik resesif (varian Hallopeau Siemens)
adalah salah satu bentuk epidermolisis bulosa yang berat.Bula yang
tersebar secara luas meninggalkan jaringan parut dan milia.Awitan
penyakit ini sejak lahir. Dan biasanya melibatkan daerah akral disertai
jaringan parut atrofik pada permukaan sendi dan distrofik kuku, tetapi
sedikit sekali mengenai mukosa.1,2,4

Gejala Klinis E.B1-10


Kunci utama diagnosis E.B sacara klinis didasarkan lokalisasi bula
yang terbentuk yaitu ditempat yang mudah mengalami trauma walaupun
trauma yang ringan, misalnya trauma dijalan lahir.Bula yang terbentuk
biasanya jernih, kadang-kadang hemoragik, pada penyembuhan perlu
8

diperhatikan, apakah meninggalkan bekas jaringan parut.Selain kulit,


biasanya mukosa ikut terkena, demikian pula kuku dapat distrofik.Pada
tipe distrofik dapat disertai retradasi mental dan pertumbuhan, kontraktur,
dan pelekatan (fusi) jari-jari tangan.
a. Epidermolisis Bulosa Simpleks
- E.B.S lokalisata pada tangan dan kaki (tipe Weber-Cockayne)
Tipe ini paling sering dijumpai diantara varian E.B.S. onset
E.B.S tipe Weber-Cockayne terjadi awal kehidupan. Umumnya
bula timbul pertama kali sekitar usia 3-12 bulan awal kehidupan
sampai usia 2 tahun. Hal ini berhubungan dengan aktifitas motoric
anak jarang pada usia yang lebih tua atau dewasa.Sesuai namanya,
bula pada tipe ini terutama terletak dikedua tangan dan kaki,
khususnya didaerah palmaplantar.Pada anak yang baru lahir, bula
terutama terdapat pada tangan, kaki, leher dan tungkai
bawah.Sedangkan pada anak yang baru merangkak dan berjalan,
bula sering timbul di tangan siku, bokong, lutut, pergelangan
kaki.Bula timbul berulang karena adanya trauma mekanik seperti
gesekan antara kaki dengan sandal atau sepatu.Bula berukuran
sampai dengan diameter 2cm, umumnya tegang kadang-kadang
terdapat bula hemoragik dan daerah sekeliling bula tampak halo
eritematosa. Bula yang pecah akan menyebabkan erosi yang dapat
disertai infeksi sekunder. Lesi menjadi lebih sering terjadi pada
musim panas.Umumnya lesi kulit membaik tanpa meninggalkan
jaringan parut ataupun atrofi, hanya terdapat kurang lebih 10% lesi
kulit yang meninggalkan jaringan parut.
Hyperhidrosis pada telapak tangan dan kaki serta
hyperkeratosis dijumpai pada pasien E.B.S tipe Weber-
Cockayne.Berat ringannya hyperkeratosis terlihat ditempat bula
rekuren.Kelainan kulit berupa distrofi, kelainan gigi dan mukosa
mulut sangat jarang dijumpai pada pasien ini.
9

- E.B.S generalisata (tipe Koebner)


Penyakit ini timbul lebih awal pada periode perinatal atau
beberapa bulan pertama kehidupan, tidak jarang dijumpai pada saat
lahir. Penelitian Horn dan Tidman di inggris tahun 1999, didapatkan
onset rata-rata pada usia 1-6 bulan.
Pada periode perinatal, bula dan erosi terjadi hamper seluruh
tubuh yang terkena trauma.Lesi kulit cepat membaik tanpa jaringan
parut dan lesi baru timbul pada daerah yang sering terkana gesekan
terutama napkin area.Saat anak mulai merangkak dan berjalan, lesi
timbul pada daerah bokong, lutut, pergelangan kaki, siku dan
tangan serta daerah yang sering terkena gesekan karena
pakaian.Sedangkan pada anak yang lebih besar, lesi sering terjadi
pada tangan dan kaki. Pada usia yang lebih tua, lesi dapat timbul
didaerah manan saja yang terkena trauma. Bula berisi cairan serosa
tampak tegang dan tanda Nikolsky negating, bula sering timbul
pada cuaca panas dan bila tidak disertai infeksi sekunder, lesi cepat
menyembuh tanpa meninggalkan jaringan parut.
Pada tipe ini dapat disertai hyperhidrosis dan hyperkeratosis
ringan sampai sedang di telapak kaki dan bersifat ringan di telapak
tangan.Kelainan kuku dapat dijumpai sekitar 20% pasien berupa
distrofi kuku.Kadang disertai bula sublingual, umumnya kuku dapat
tumbuh kembali normal.Lesioral atau membrane mukosa jarang
terjadi atau bersifat ringan.Sedangkan pertumbuhan gigi dan rambut
normal.
- E.B.S herpetifomis (tipe Dowling-Meara)
Tipe ini jarang terjadi namun cukup berat dan sering
menimbulkan kematian oleh karena luasnya daerah erosit pada
masa neonates.Awitan tipe ini pada saat lahir sampai awal masa
anak-anak.Predileksi E.B.S Dowling-Meara terutama pada tangan,
kaki, muka dan leher.Bula cenderung tersusun herpetiformis,
10

kadang tersusun sirsiner, anular dan arsinar, berukuran bedar dan


kadang-kadang dijumpai bula hemotagik atau serosanginus, disertai
tepi lesi yang tampak eritem.
Pada periode neonatal, sebagian besar bula pertama timbul
didaerah tangan dan kaki terutama pada jari-jari. Bula berukuran
diameter 0,5-5cm, dapat soliter atau multiple, sering berupa bula
hemoragik dan terdapat disekeliling kuku, selanjutnya bula dapat
timbul di napkin area dan daerah lipatan-lipatan.
Pada masa bayi, bula tetap timbul di tangan dan kaki serta
periungual, kemudian mulai meluas kedaerah lain seperti proksimal
ekstremitas, leher, dagu dan aksila. Bula mulai tersusun
berkelompok, herpetiformis disertai vesikel, bula hemoragik yang
terjadi sesudah trauma maupun terjadi secara spontan didasar kulit
yang eritem maupun kulit sehat.Erosi yang luas sering tampak
didaerah telapak tangan dan kaki.Pada masa anak-anak, lesi mulai
tampak lebih tersusun herpetiformis dan letak lesi lebih proksimal,
seringkali mengenai dada, paha dan lengan atas.Bula mulai
berkurang di telapak tangan dan kaku. Kelompok bula menyembuh
dibagian tengah dan timbul kembali bula yang baru di tepi dareah
yang menyembuh tersebut, seringkali bula rekuren pada tempat
yang sama.
Dimasa dewasa, bula jarang terjadi secara spontan.Sebagian
besar bula terjadi karena trauma.Vesikel dan bula hemoragik
berkelompok lebih sedikit dan lebih cepat sembuh.Bula yang pecah
menimbulkan daerah erosi yang luas.Lesi yang menyembyh
biasanya meninggalkan macula hipo atau hiperpigmentasi, jarang
menimbulkan jaringan parut dan milia.
Hyperkeratosis palmoplantar mulai terjadi sekitar usia 1-3
tahun dan makin menjadi nyata setelah usia 6-7 tahun. Umumnya
asimptomatik.Kadang-kadang menimbulkan rasa seperti terbakar
11

dan sakit bila disertai bula pada daerah hyperkeratosis


tersebut.Hyperkeratosis ini sangat berat sehingga dapat
menimbulkan deformitas dan hilangnya fungsi fleksi jari tangan.
Kelainan kuku umumnya terjadi pada masa neonatal, berupa distrofi
disertai penebalan kuku iregulae yang akan tumbuh kembali
normal.
b. Epidermolisis Bulosa Junctional
- E.B tipe junctional adalah tipe E.B yang pembentukan bula terjadi
di lamina lusida di taut dermoepidermal, merupakan tipe E.B yang
paling berat serta mengancam kehidupan. Semua tipe di turunkan
secara resesif autosom. Imunoperoksidase memperlihatkan bula
terdapat di atas kologen tipe IV.
- Herlitz adalah bentuk yang paling berat diantara tipe junctionali
ditandai bula besar-besar terutama di bokong badan dan kepala,
tanpa meninggalkan sikatriks dan milia kecuali bila diikuti infeksi
sekunder. Meskipun hampir 50% pasien meninggal sebelum usia 2
tahun, namun sebagian dapat hidup sampai dewasa. Bentuk Herlitz
biasanya tangan dan kaki tidak terkena, mukosa dapat terkena dan
dapat terjadi afesia pilorik. Di perioral dapat terbentuk bula,
sedangkan bibir tidak terkena. Pada perkembangan pita suara serta
laring dapat terkena kemudian. Demikian pula kuku dapat terkena
serta terlepas dan sidertai paronikia. Tanda khas lainnya adalah
dysplasia gigi serta permukaannya berbenjol-benjol (cobblestone
appearance). Dengan pemeriksaan mikroskopis, biasa tampak celah
diatas membrane basal, dengan mikroskop elektron terlihat bula
terbentuk di lamina lusida disertai berkurangnya jumlah dan
berubahnya struktur hemidosmosom.
- E.B nonletal (mitis, non-Herlitz) bentuk ini dimulai pembentukan
bula serosa atau hemoragik saat lahir dan meninggalkan kulit yang
rapuh, tanpa pembentukan sikatriks dan milia. Umumnya dapat
12

terjadi alopesia, distrofik kuku atau kuku tidak tumbuh kembali,


hyperkeratosis palmoplantar, scalp atrofi. Mukosa mulut esophagus,
laring dan trakea serta mata dapat terkena ringan sampai berat tetapi
tidak terjadi struktur esophagus.
- E.B juntional tipe inversa terjadi pada saat lahir atau pada masa
neonatal, klinis mirip pioderma generalisata, kemudian
pembentukan bula lebih banyak di aksila, leher, inguinal dan
perianal (inversa), kuku mengalami distrofik, gigi dysplasia, laring
dapat terkena demikian juga pita usara (suara menjadi kasar). Pada
pemeriksaan dengan mikroskop electron, terlihat celah dibawah
lamina basal, disertai berkurangnya atau tidak adanya anchoring
fibrils yang pada bentuk resesif menyebabkan kerusakan atau
rupturnya integritas struktur taut dermoepidrmal sehingga terbentuk
celah atau bula.
c. Epidermolisis Bulosa Distrofik
- E.B distrofik dominan secara klinis terlihat bula terutama dibagian
dorsal ekstremitas dan meninggalkan bekas sikatriks, disertai
pembentukan milia. Bentuk ini lebih berat dibandingkan E.B.S,
tetapi lebih ringan daripada bentuk E.B distrofik resesif. Terjadi
pada saat lahir atau segera lahir, pada 20% kasus mukosa terkena,
konjungtiva dan kornea dapat juga terkena. Kuku terkena pada 80%
kasus, terjadi distrofik atau hancur. Gigi dan rambut tidak terkena.
Bentuk karakteristik adalah papul perifokular agak lunak, berwarna
keputih-putihan (ivory-white), lokasinya di tengkuk dan punggung,
serta terjadinya tidak berhubungan dengan pembentukan bula.
- E.B distrofik resesif terbagi atas bentuk ringan lokalisata (mitis),
berat (gravis, Hallopea Siemens), atau bentuk varian inversa. Pada
umumnya E.B distrofik resesif berat terjadi pembentukan bula
diikuti pembentukan sikatriks, mukosa mengalami gangguan yang
berat. Erosi segera tampak pada saat lahir, bula spontan terjadi
13

terutama ditempat yang mengalami trauma, misalnya di tangan,


kaki, bokong, scapula, muka, oksiput, siku dan lutut. Bula steril
besar-besar serta dapat hemoragik, erosi dan rasa nyeri, mirip pada
bentuk E.B letal. Tanda Nikolsky positif. Bayi mudah mengalami
infeksi sekunder dan sepsis. Penyembuhan bula disertau sikatriks,
hipopigmentasi dan atau hiperpigmentasi, disertai milia.

Penatalaksanaan3,7
- Perawatan kulit. Berikan penjelasan dan edukasi pada keluarga pasien
atau perawat. Dalam memilih pakaian maupun mainan harus yang
ringan dan lembut. Hindari penggunaan plester sehingga mencegah
terjadinya fusi jari-jari. Bula dirawat dengan film menusuknya dengan
jarum steril dan membiarkan atap bula sebagai pelindung. Pada anak-
anak, hindari sepatu yang sempit atau yang terbuat dari kulit yang
keras. Kaos kaki dari bahan katun yang menyerap keringat untuk
menghindari trauma gesekan. Suhu di lingkungan diusahakan agar
cukup dingin, tempat tidur yang lunak dan sprei yang halus. Bagian
yang erosi di krim atau salap antibiotic. Kerjasama dengan ahli
fisioterapi depat ditingkatkan cegah terjadinya fusi dan kontraktur
dengan mengatur posisi jari dan sendi.
- Makanan. Sebaiknya diberikan makanan tinggi protein dalam bentuk
yang lembut atau cair sehingga mudah ditelan terutama bila terdapat
luka di mukosa mulut. Hindarai penggunaan dot pada bayi.
- Pengobatan medikamentosa. Sebagai pengobatan topical dapat
digunakan kortikosteroid potensi sedang dan antibiotic bila terdapat
infeksi sekunder. Pemberian kortikosteroid sistemik yang bermanfaat
pada kasus yang berat dan fatal. Vitamin E dapat menghambat
aktivitas kolegenase atau merangsang produksi enzim lain yang dapat
merusak kolagenase. Dosis efektif 600-2000 IU/ hari. Pengobatan lain
14

adalah difenilhidantoin 2,5-5,0 mg/ kgBB/ hari, dosis maksimal 30


mg/ hari.
- Konseling genetic. Dianjurkan bila telah jelas ada penurunan
genetiknya, sehingga dapat diberitahukan besarnya resiko penyakit
pada setiap kelahiran. Pemeriksaan untuk menentukan diagnosis
prenatal dapat dilakukan dengan fetoskopi.

2. Inkontinensia Pigmentous
Definisi
Inkontinensia pigmenti, juga dikenal dengan istilah Bloch-Sulzberger
syndrome, merupakan genodermatosis yang terjadi akibat abnormalitas
pada kromosom X. Istilah inkontinensia pigmenti berasal dari tampilan
mikroskopik lesi pada fase ketiga dari penyakit ini, yang dikarakterisasi
oleh hilangnya pigmen di lapisan basal epidermis, seolah melanosit
menunjukkan adanya inkontinensia melanosit.25

Gambar 2. Inkontinensia Pigmentous

Etiologi
Defek pada kromosom X merupakan penyebab utama terjadinya
inkontinensia pigmenti. Pada mayoritas kasus, defek ini dipercaya
berdampak pada lengan panjang dari kromosom Xq28. Hampir 80%
pasien dengan inkontinensia pigmenti memiliki delesi yang melibatkan
15

ekson 4 dan 10 dari gen NEMO (NF-kappa B essential modulator),


sebuah gen yang terletak di porsi q28 kromosom Xq28 dan berfungsi
sebagai regulator aktivasi transkripsi faktor NF-KannaB (NF-kB). NF-kB
merupakan pusat regulasi dari sejumlah besar sistem imun, infamasi, jalur
apoptosis serta diferensiasi dan proliferasi jaringan yang berasal dari
ektoderm. Adapun penyebab pasti dari mutasi gen ini belum sepenuhnya
dipahami.25

Patofisiologi26
Inkontinensia pigmenti dapat dideskripsikan sebagai kelainan kulit
yang terdiri dari 4 tahapan, yakni :
- Tahap vesicular
Tahap vesikular (vesicobullous) atau dikenal juga dengan istilah
tahap inflamasi, merupakan tahap pertama yang muncul saat
lahir.Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa inkontinensia pigmenti
muncul sebagai konsekuensi dari mutasi pada kromosom X, atau lebih
spesifik lagi, Xq28. Pada porsi q28 kromosom ini, terdapat sebuah gen
yang disebut NEMO (NF-kappa B essential modulator). Gen ini
bertanggung jawab sebagai regulator aktivasi transkripsi faktor NF-
KannaB (NF-kB), pusat dari berbagai fungsi imunitas dan
pertumbuhan, seperti infamasi, jalur apoptosis serta diferensiasi dan
proliferasi jaringan yang berasal dari ectoderm.
Aktivasi dari NF-kB mencegah apoptosis yang muncul akibat
respons terhadap adanya sitokin family TNF (Tumor Necroting
Factor).Normalnya, aktivitas NF-kB diregulasi melalui protein
inhibitor kB.Adanya aktivasi reseptor TNF menghasilkan fosforilasi
dan inaktivasi inhibitor kB oleh IKK (inhibitor kappa kinase),
sehingga lebih jauh mengkatifkan NF-kB.Hilangnya fungsi IKK
menyebabkan defisiensi aktivitas NF-kB dan meningkatnya kepekaan
terhadap apoptosis.
16

Sel-sel yang mempertahankan aktivitas IKK dapat menghasilkan


sitokin tambahan yang memicu apoptosis pada sel disekitarnya yang
mengalami defisiensi IKK, sehingga menciptakan lingkaran
amplifikasi yang akhirnya menyebabkan kematian semua sel-sel
tersebut.Mekanisme ini, diyakini sebagai penyebab munculnya
manifestasi dari tahap vesikular inkontinensia pigmenti, yang
dikarakterisasi oleh adanya makula, vesikel dan papula, atau bahkan
pustula dengan dasar eritema di sepanjang garis Blaschko.
Lesi ini dapat ditemukan di berbagai bagian tubuh, namun
umumnya terlihat di daerah lengan, kaki dan tubuh bagian tengah. Lesi
tahap pertama umumnya mengalami involusi dalam beberapa hari dan
dapat digantikan oleh lesi veruka-squamous, sebuah penanda khas
yang menjadi karakter inkontinensia pigmenti tahap ke-2.
- Tahap verrucous-squamous
Tahap ini merupakan tahap kedua dari inkontinensia pigmenti,
dimana penyembuhan dari tahap pertama terjadi.Sejumlah studi
menyatakan bahwa mekanisme yang mendasari terjadinya tahap dua
dihubungkan dengan proliferasi sel normal yang tidak mengalami
defisiensi IKK (disebut dengan istilah IKK-positive cells). IKK-
positive cells berproliferasi dan menekan proses inflamasi sehingga
lesi yang muncul di tahap pertama mengalami penyembuhan. Proses
penyembuhan ini kemudian menghasilkan lesi verukosa dan
hyperkeratosis. Lesi dengan porsi linear umumnya dapat sembuh,
dengan lesi hiperkeratosis yang tidak bertahan lama. Namun demikian,
lesi vesikel pada tahap pertama dapat muncul kembali sepanjang usia
pertumbuhan bayi, baik akibat paparan sinar matahari atau akibat
faktor lain yang belum sepenuhnya teridentifikasi.
- Tahap hiperpigmentasi
Tahap hiperpigmentasi merupakan tahap ketiga yang dikarakterisasi
oleh lesi berpigmen coklat ataupun keabu-abuan yang mengikuti garis
17

Blaschko, lebih sering ditemukan di badan dan ekstremitas. Lesi


paralel yang berada pada 1 garis lurus seringkali terhubung satu sama
lainnya oleh gambaran perpendikular berpigmen, membentuk tampilan
khas yang disebut dengan istilah ‘rail-sleepers’ yang tampak seperti
retikulat. Lesi berpigmen menghilang pada kebanyakan pasien selama
masa kanak-kanak atau remaja, namun kadang dapat menetap
sepanjang kehidupan.Adapun patogenesis terbentuknya lesi ini belum
sepenuhnya dipahami.
- Tahap atrophic-hypopigmentasi
Sebuah tahap yang dikarakterisasi oleh garis translusen berwarna
putih dan hilangnya folikel rambut.Sama halnya dengan tahap ketiga,
patogenesis dari tahap keempat belum dipahami sepenuhnya. Namun
demikian, para peneliti meyakini bahwa perubahan pasca inflamasi
memainkan peranan penting dalam proses ini.

Gejala Klinis11,26,27
Penting untuk ditekankan bahwa istilah Bloch-Sulzberger syndrome
juga digunakan sebagai istilah lain untuk inkontinensia pigmenti
karenasuatu alasan, yakni sindrom itu sendiri merupakan sekumpulan
gejala klinis. Meskipun Inkontinensia pigmenti merupakan gangguan
yang manifestasi utamanya ditemukan pada kulit, kelainan ini juga
menimbulkan manifestasi ekstradermal.
Manifestasi ini ditemukan pada >50% kasus inkontinensia pigmenti,
yang antara lain meliputi :
- Manifestasi pada sistem saraf pusat (muncul pada 25% kasus
inkontinensia pigmenti) yang meliputi kejang, retardasi mental,
paralisis spastik, mikroensefali dan perkembangan motorik yang
lambat. Selain itu, kelainan seperti hemiplegiadan tetraplegia spastik
juga ditemukan pada beberapa pasien dengan inkontinensia pigmenti.
18

- Defek pada gigi (Dental defect) yang dapat ditemukan dalam bentuk
anodontia parsial, pegged teeth dan tanggalnya gigi, khususnya pada
lateral atas incisivus dan premolar.
- Pada temuan ophthalmology, mungkin ada kebutaan, strabismus,
katarak infantil, ablasio retina, atrofi optik dan mikroptalmia.
- Abnormalitas skeletal dapat muncul dalam bentuk deformitas tulang
tengkorak, dwarfisme, spina bifida, club foot, extra ribs, kelainan
anatomis pada palatum dan bibir (sumbing atau labioschisis).
- Manifestasi lainnya : seperti distrofi pada kuku (40% kasus dan
muncul dalam bentuk pitting ringan hingga onychogryphosis dengan
berbagai ekspresi) dan alopesia yang disertai luka parut (muncul
sebagai akibat dari inflamasi di tahap awal).

Penatalaksanaan
Tatalaksana tidak selalu diperlukan untuk lesi kutaneus, meskipun
penggunaan tacrolimus dan kortikosteroid topikal telah dilaporkan
mempercepat resolusi dari tahap inflamasi.Higienitas oral dan perawatan
gigi rutin sangat diperlukan pada kasus inkontinensia pigmenti, dan
restorasi gigi juga disarankan.Kejang harus ditangani dengan
antikonvulsan.Sebagai tambahan, pemeriksaan perkembangan fungsi
saraf dapat dilakukan pada pasien dengan inkontinensia pigmenti,
tentunya dengan merujuk pasien ke spesialis yang
bersangkutan.pemeriksaan ophthalmology rutin juga dibutuhkan,
khususnya selama tahun pertama kehidupan, dengan maksud untuk
mendiagnosa dan menangani komplikasi ophthalmology yang mungkin
muncul.26,27

3. Iktioisis
Definisi Iktiosis
19

Merupakan suatu kelainan keratinasi dimana kulit menjadi sangat


kering dan berskuama, sebagian kasus bersifat herediter terkadang
didapat.11

Gambar 3. Iktiosis

Etiologi dan Patogenesis12,13


Keratin pada tiap individu tidak dapat dilihat maupun memperlihatkan
suatu formasi keratin yang abnormal.Pada DIV dan XLI, formasi
ketebalan stratum korneum disebabkan karena adanya peningkatan daya
rekat dari sel stratum korneum dan atau kegagalan dari pemisahan sel
normal.Hasil abnormalitas formasi stratum koneum ini meningkat pada
keadaan kehilangan cairan antar epidermis.Etiologi pada ichtiosis yang
paling sering terjadi, DIV sebenarnya tidak diketahui.Pada XLI biasanya
diakibatkan oleh defisiensi steroid sulfatase. Pada LI terlihat adanya
peningkatan pertumbuhan hyperplasia sel dan meningkatkan jarak rata-
rata ketebalan pada epidermis dan terdapat defisiensi transglutaminase,
pada EH, terdapat mutasi pada koding gen keratin 1 atau 10, dan ini
mengganggu perbandingan epidermal serta memperlihatkan abnormalitas
gen keratin pada vakuola di lapisan atas epidermis, sehingga melepuh dan
terjadi hyperkeratosis.

Klasifikasi Iktiosis
a. Dominant Ichtyosis Vulgaris (DIV)
20

Epidemiologi DIV
Sama insiden pada pria dan wanita. Pewarisan autosomal
dominan bersifat umum.11,13Iktiotis vulgaris biasanya tidak ada pada
saat lahir. Yang banyak muncul kebanyakan pasien yang terjadi
selama tahun pertama kehidupan dan sebagian besar terjadi pada usia
5 tahun. Biasanya jumlah meningkat sampai pubertas dan kemudian
menurun dengan pertambahan usia.13

Etiologi DIV
Iktiosis vulgaris merupakan penyakit autosomal inherediter
biasanya muncul pada awal masa anak-anak yaitu pada umur antara 3-
12 bulan.6 Dalam beberapa studi disebabkan oleh bahan biokimia, hal
ini hanya dapat berefek pada kulit saja. Penurunan produksi asam
amino dan beberapa metabolisme ion dapat menurunkan kadar air
dalam stratum korneum sehingga dapat menyebabkan kulit kering dan
dapat memperparah penyakit ini, tidak ada pengaruh kelainan produksi
lipid yang mempengaruhi iktiosis vulgaris.12,13

Patofisiologi DIV
Iktiosis vulgaris diklasifikasikan sebagai hyperkeratosis
retensi.Satu-satunya marker molecular yang dikenal pada iktiosis
vulgaris herediter dipengaruhi oleh profilaggrin, berat moleku fillagrin
yang tinggi.Profilaggrin, di sintesis dilapisan granular epidermis,
merupakan komponen utama keratohyalin.Melalui berbagai modifikasi
posttranstional, profilaggrin dikonversikan ke filaggrin, yang
menggabungkan antara filament keratin di lapisan bawah
corneum.Filaggrin adalah proteolyzed dan di metabolism
menghasilkan asam amino bebas yang dapat berperan penting sebagai
senyawa yang mengikat air diatas stratum corneum. Siklus normal dari
21

kulit, hidrasi dan dehidrasi berperan dalam desquamation normal.


Siklus ini terganggu pada iktiosis vulgaris.14
Normal ekspresi gen pada profilaggrin dapat pertama kali di
deteksi pada lapisan granular. Dalam iktiosis vulgaris, ekspresi
profilaggrin tidak ada atau kurang dalam epidermis. Abnormalitas
biokimia ini berkorelasi dengan jumlah penurunan keratohyalin dan
keparahn kondisi klinis.14

Gejala DIV
Kulit kering dan berat, scaly skin (bersisik), kemungkinan
penebalan kulit, gatal-gatal ringan pada kulit.Kulit kering bersisik
biasanya paling berat pada laki-laki, tetapi mungkin juga terdapat pada
lengan, tangan, dan bagian tengah tubuh. Orang dengan kondisi ini
mungkin juga memiliki banyak garis-garis halus diatas telapak
tangan.11,18
Efloresensi sisik-sisik putih mengkilat, kulit mongering. Gambaran
histopatologi reduksi lapisan granular.11,15

Penatalaksanaan DIV15
Perawatan
- Topical retinoid (misalnya tretinoin) dapat mengurangi
kekompakan sel-sel epitel, merangsang mitosis dan onset, dan
menekan sintesis protein.
- Alpha-hydroxy acids (misalnya laktat, glikolat atau asam piruvat).
Yang efektif untuk hydrating kulit. Obat ini bekerja dengan
menyebabkan disagregasi dari corneocytes di tingkat bawah pada
pembentukan lapisan stratum corneum yang baru. Asam laktat
tersedia sebagai laktat 12% ammonium lotion atau bisa dicampur
pada resep dalam konsentrasi 5-10% dalam wadah yang cocok.
22

Penggunaan sehari 2 kali telah menunjukan hasil yang lebih baik


pada krim petrolatum untuk pengendalian iktiosis vulgaris.
- Penghapusan sisik pada kulit padat dibantu oleh keratotilik
(misalnya asam salisilat) yang menyebabkan disagregasi corneocyte
di corneum lapisan atas. Pada sediaan 6% gel asam salisilat dapat
digunakan pada daerah yang terbatas.
- Over the counter produk yang sering mengandung urea atau
propilen glikol. Pelembab yang mengandung urea dalam kekuatan
lebih rendah (10-20%) menghasilkan strata corneum yang lebih
lentur dengan bertindak sebagai Humectant. Propylene glycol
menarik air melalui stratum corneum dengan membentuk gradien
air.
b. X-Linked Ichtyosis (XLI)
XLI hanya dialami atau terjadi pada laki-laki dan karakteristik
penderitanya mencolok, kulit tampak kotor dan coklat.Biasanya pada
leher, ekstremitas, badan dan bokong dengan onset cepat setelah
kelahiran.Lesi pada kulit biasanya terjadi antara 2-6 minggu setelah
kelahiran.Diagnosis dapat ditegakkan dengan riwayat keluarga dan
penemuan klinis seperti hyperkeratosis, lapisan granular,
hipergranulosis serta pemeriksaan laboratorium.Efloresensi sisik tebal
dan besar berwarna coklat.Gambaran histopatologi penebalan lapisan
granular dan infiltrasi perivascular. Penatalaksanaan dengan
pemberian terapi topical Propylena glycyl 44-60% pada air
(keratolitik), Salycyl acid serta terapi sistemik dengan pemberian
acitretin 0,5-1 mg/ kgBB oral.
c. Lamellar Ichtyosis (LI)
Biasanya terjadi saat lahir, dimana kulit bayi seperti dibungkus
oelh lapisan membrane.Kulit yang kesat melapisi seluruh tubuh,
termasuk semua area fleksural.Selama masa anak-anak dan dewasa,
kulit penderita terlihat seperti priring (polos).Autosomal resesif diduga
23

menjadi penyebab kelainan ini.Efloresensi sisik-sisik besar datar


berwarna gelap.Gambaran histopatologi parakeratosis fokal.Pada
pemeriksaan fisik ditemukan :
- Pada bayi baru lahir, bayi collodion, ektropion, eklabion dan
eritroderma generalisata.
- Pada anak dan dewasa, hyperkeratosis yang luas pada hamper
seluruh tubuh, hiperkeratotik yang pecah, lapisan kulit yang
menebal dan coklat hamper diseluruh tubuh, keratoderma pada
tangan dan kaki, eritoderma juga mungkin ditemukan.
Penatalaksanaan anak atau dewasa diberikan hydrat
petrolatum. Propylene glycol 44-60% pada air (keratolitik),
Salycylic acid serta terapi sistemik dengan pemberian acitretin 0,5-1
mg/ kgBB oral.
d. Epidermolytic Hyperkeratosis (EH)
Terjadi saat atau beberapa saat setelah lahir dengan
lepuhan.Beberapa waktu kemudian, kulit menjadi keratotik dan
terkadang terdapat veruka, biasanya pada daerah fleksural, lutut dan
siku.Onset pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir dan dapat
mengenai bayi laki-laki maupun perempuan.Efloresensi sisik-sisik
kecil berwarna kuning dan melekat.Gambaran histopatologi
papilomatosis, akantosis, dan vakuolisasi.Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan fisik (kulit melepuh, papilomatosis,
akantosis, dan hyperkeratosis).Penatalaksanaan dapat diberikan
aplikasi topical dari a-hidroxy acid, terapi anti mikroba, dan retinoid
sistemik.

4. Harlequin Fetus
Definisi
Harlequin fetus merupakan kelainan kulit yang sangat jarang dijumpai,
termasuk dalam golongan autosomal recessive congenital ichthyoses
24

(ARCI) yang diwariskan, dan juga menjadi bentuk paling berat dari
gangguan keratinisasi yang dikarakterisasi oleh penebalan stratum
korneum atau hiperkeratinisasi pada kulit. Istilah “harlequin” berasal dari
gaun yang dikenakan oleh badut harlequin.Seiring meningkatnya
kemungkinan untuk bertahan hidup pada bayi dengan penyakit tersebut,
istilah harlequin fetus kemudian digantikan oleh harlequin ichthyosis
(HI). Istilah lain yang juga digunakan adalah “ichthyosis congenital” atau
“keratosis diffusa foetalis”.28

Gambar 4. Harlequin Fetus

Etiopatogenesis
Hingga detik ini, kausa dari HI masih kontroversial, namun demikian,
mutasi atau defek pada gen ABCA12 dianggap sebagai penyebab yang
mendasari kelainan ini. Selain menjadi penyebab HI, mutasi gen
ABCA12 juga dihubungkan dengan lamellar ichthyosis tipe 2, subtipe
ARCI lainnya.28
Gen ABCA12 merupakan gen yang terletak pada kromosom 2 dan
bertanggungjawab untuk transport lipid dalam tubuh. Formasi lapisan
lipid interselular sangatlah esensial untuk fungsi penghalang (barrier) dari
epidermis dan formasi defektif dari lapisan lipid dianggap sebagai hasil
dari hilangnya fungsi tersebut serta hiperkeratosis yang abnormal. Mutasi
25

pada protein transport lipid (ABCA12) menyebabkan sekresi lipid menuju


granul-granul lamelar menjadi kurang efektif sehingga molekul lipid
tersebut justru mengalami ekspulsi dari permukaan apikal keratinosit.
Proses inilah yang mendasari terjadinya HI dan juga LI.28
Gejala klinis
Tubuh penderita gangguan ini ditutupi oleh lapisan menyerupai sisik
yang tebal sehingga tampak seperti “perisai”, atau tampak terbungkus
dalam selaput tipis-ketat, yang hanya memungkinkan sedikit pergerakan
dengan posisi khas (semi fleksi) sembari memegang kaki (posisi
harlequin fetus). Fitur lain dari harlequin fetus adalah deformitas kranial
maupun fascial, seperti telinga bagian belakang yang kurang berkembang,
hipoplasia nasal, dan ektropion bilateral dengan oklusi mata dan
eklabium. Neonatus dengan harlequin ichthyosis umumnya meninggal
dalam hitungan beberapa hari pertama kehidupan akibat infeksi dan
dehidrasi yang dihubungkan dengan berbagai komplikasi.26,27

Penatalaksanaan
Saat ini penatalaksanaan harlequin ichthyosis utamanya melibatkan
penggunaan inkubator humidifikasi, regulasi temperatur, penggantian
nutrisi, perawatan kulit dan mata, kontrol nyeri, fisioterapi dan kontrol
infeksi.Keratinolitik topikal sering digunakan pada dewasa (asam salisil,
asam alfa hidroksil dan urea) tidak sesuai untuk digunakan pada bayi baru
lahir karena adanya potensi toksisitas sistemik dari peningkatan absorbsi
kutaneus.Terlebih lagi, karena terapi sistemik retinoid dapat mencapai
efek keratinolisis yang adekuat, penggunaan obat-obatan topikal di atas
tidak lagi diperlukan.Selain itu, mandi dan menggosok badan dapat
menurunkan risiko infeksi kulit, membantu melembutkan kulit dan
meningkatkan pergantian stratum korneum yang tebal.Fisura kutaneus
yang dalam pada HI sangatlah nyeri, membuat tatalaksana nyeri menjadi
masalah yang penting dalam tatalaksana pasien harlequin ichthyosis.
26

Ektropion ditangani dengan air mata artificial yang diteteskan pada


mata khususnya konjungtiva setiap 2 jam, disertai pemberian salep
antibiotik.Kontraktur tangan, komplikasi lainnya yang dikaitkan dengan
HI, mungkin membutuhkan konsultasi bedah, karena gangren di bagian
distal jari dapat muncul jika kontraktur tidak ditangani
semestinya.Sebagai tambahan, fisioterapi menjadi aspek penting
penanganan lini pertama dan tatalaksana jangka panjang, karena ini
mengurangi kontraktur dan meningkatkan kemampuan gerak
sendi.Meskipun profilaksis dengan antibiotik dan atifungal terlihat intuitif
pada pasien dengan HI, hanya ada sedikit bukti yang menyatakan bahwa
profilaksis demikian sangat berguna. Di atas semua ini, pemberian
retinoid sistemik merupakan terapi yang wajib dilakukan.27,28

5. Penyakit Darier
Definisi Penyakit Darier
Penyakit darier adalah penyakit autosomal dominan, yang ditandai
adanya papel-papel hyperkeratotik pada daerah seboroik serta adanya
perubahan pada kuku dan membrane mukosa. Penyakit ini bersifat
progresif lambat, ditemukan pada decade pertama dan decade kedua dari
kehidupan, terbanyak usia 11-15 tahun. Penyakit ini diperberat oleh sinar
matahari.16,17
27

Gambar 5. Penyakit Darier

Etiologi
Penyakit darier merupakan gangguan kulit autosom dominan, yang
disebabkan oleh mutasi gen ATP2A2, sebuah gen yang terletak pada
kromosom 12q2324.1.18Gen ini memiliki 2 varian, yakni ATP2A2a dan
ATP2A2b. Hoi C di tahun 2004 melakukan studi untuk menganalisis
mutasi gen tersebut secara spesifik pada 28 pasien yang menderita
penyakit darier di China. Melalui studinya, diketahui bahwa sebagian
besar mutasi ini, merupakan tipe mutasi nonsense, suatu mutasi yang
merubah kodon atau asam amino menuju terminasi atau berhentinya
kodon, dan akhirnya proses ini menuntun ke arah terminasi translasi
prematur. Adapun beberapa faktor yang dihubungkan dengan mutasi gen
ATP2A2 adalah paparan sinar matahari, panas, keringat, lithium dan
menstruasi.19

Patogenesis
Gen ATP2A2 merupakan gen yang mengkoding pompa kalsium
adenosin trifosfat retikulum sarko/endoplasma (sarco/endoplasmic
reticulum calcium adenosine triphosphate pump) atau disingkat pompa
28

SERCA 2. Pompa SERCA 1, 2, 3 merupakan Pompa kation yang


memasangkan hidrolisis ATP dengan transpor kation melewati membran
sel. Pompa ini menjaga agar konsentrasi Ca2+ sitosolik tetap rendah dan
fungsi ini sangat penting dalam proses pembentukan desmosome.20
Mutasi pada gen ini, pada akhirnya akan menyebabkan homeostasis
Ca2+ yang abnormal, ini diikuti penurunan protein anti-apoptotis seperti
ekspresi Bcl-2, Bel-x dan Bax pada epidermis dari kulit dimana lesi darier
ditemukan. Selain konsekuensi ini, mutasi gen ATP2A2 juga
menyebabkan gangguan pada proses pertukaran desmoplakin ke
permukaan sel keratinosit, dan juga peningkatan regulasi P-cadherin di sel
basal maupun suprabasal kulit dengan lesi darier. Ketiga konsekuensi di
atas menimbulkan konsekuensi lanjut pada tahap berikutnya, dimana
akanterjadi apoptosis dan pembentukan desmosom yang abnormal. Hasil
akhir dari proses ini adalah diskeratosis dan akantolisis.21

Gejala Klinis
Kelainan yang dijumpai pada kulit berupa papel-papel sewarna kulit
yang dapat berubah menjadi kecoklatan atau keabu-abuan, hyperkeratotik,
dapat bersatu membentuk plak berkrusta dan disertai skuama
berminyak.Mudah terjadi infeksi sekunder terutama pada daerah lipatan-
lipatan tungkai bawah, sehingga berbau. Kuku biasanya berwarna lebih
putih, mudah patah pada bagian distal, juga didapatkan gambaran seperti
huruf V dibagian kuku yang bebas dan subungual keratosis. Kadang-
kadang terdapat garis-garis longitudinal merah dan putih. Pada membrane
mukosa terdapat gambaran papel-papel putih dengan penekanan ditengah
(umbilikasi).16,17
Pada pemeriksaan histopatologi, didapat hyperkeratosis, parakeratosis
dan akantosis tidak teratur serta akantolisis yang ditandai adanya celah
suprabasal. Sel diskeratotik berupa corps ronds stratum spinosum dan
grains di stratum corneum.16,17
29

Penatalaksanaan
Hasil pengobatan biasanya tidak selalu memuaskan.Banyak pasien
penyakit Darier tidak memerlukan pengobatan khusus, hanya diberikan
emolien, sunblock dan menghindari pajanan sinar matahari. Topical
retinoid acid dapat membantu dan efektif meskipun berpotensi untuk
terjadi iritasi tapi dapat diminimalkan dengan penurunan konsentrasi dan
dikombinasi dengan topical kortikosteroid.16,17

6. Keratosis Palmoplantaris
Definisi Keratoderma
Yaitu suatu kondisi pembentukan keratin pada telapak tangan dan kaki
yang berlebihan. Sinonim = Keratoma, hyperkeratosis, tilosis.6,7

Gambar 6. Keratosis Palmoplantaris

Klasifikasi Keratoderma
Ada 2 bentuk, yaitu didapat dan kongenital.Keratoma didapat ialah
keratoderma klimakterium dan keratoma plantar sulkatum.Sedangkan
30

keratoderma kongenital ialah keratoderma palmoplantar, keratoderma


familial dengan karsinoma pada esophagus. Pembagian keratoderma
menurut FRANCESHETTI dan SCHNDER anatara lain X-Linked
dominant dan X-Linked recessive.12

Gejala Klinis Keratosis Palmoplantaris


Pada penyakit ini yang khas ialah penebalan menyeluruh yang nyata
pada telapak tangan dan kaki yang simetrik. Kadang-kadang penebalan
meluas ke lateral atau dorsal, terutama pada punggung sendi jari tangan.
Lekukan telapak kaki, umumnya bebas.Epidermis menjadi tebal, kering,
verukosa, dan bertanduk.Bentuk strie dan berlubang dapat terlihat.Sering
terdapat hyperhidrosis.Kadang-kadang terlihat kelainan pada kuku yang
menjadi tebal, kabur dan berubah bentuk.Secara histopatologik, pada
palmoplantar terdapat akantosis. Pada keratosis pungtata terdapat
sumbatan keratotik berbentuk cone-shaped keratotic plug.7,13

Penatalaksanaan6,7,13
- Propilen glikol 60% dalam air dioleskan pada lesi dengan oklusi tiap
malam selama 2-3 malam. Larutan sebaiknya dioleskan pada kulit
yang telah dibasahi. Dengan meningkatnya hidrasi ke stratum korneum
maka skuama menjadi lunak dan mudah lepas.
- Keratoliti misalnya salep salisil (4-6%), salep aapol, salep withfield.
- Krim atau losio yang mengandung asam retinoat 0,05%, berfungsi
menormalkan proliferasi epidermal juga mempunyai daya keratolitik
ringan.
- Kortikosteroid topical potensi kuat sampai sangat kuat berfungsi
menekan proliferasi epidermal.
- Krim urea (10-20%) berfungsi menambah hidrasi dan keratolitik.

7. Urtikaria Pigmentosa
31

Definisi
Suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang berlangsung
sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.11

Gambar 7. Urtikaria Pigmentosa


Etiologi23
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya.
Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain:
- Obat: Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik
secara imunologik maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin,
sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan urtikaria secara imunologik
tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung
merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan
zat kontras.
- Makanan: Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut,
umumnya akibat reaksi imunologik. Makanan yang sering
menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang, coklat,
tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.
- Gigitan atau sengatan serangga: Gigitan atau sengatan serangga dapat
menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih banyak diperantarai oleh
IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV).
32

- Bahan fotosenzitiser: Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin,


fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik, dan sabun germisid sering
menimbulkan urtikaria.
- Inhalan: Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu,
asap, bulu binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan
urtikaria alergik (tipe1).
- Kontaktan: Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu
binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-
buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent (penangkis serangga),
dan bahan kosmetik.
- Trauma Fisik: Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin,
faktor panas, faktor tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik,
baik secara imunologik maupun non imunologik. Dapat timbul urtika
setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai beberapa
jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena
Darier.
- Infeksi dan infestasi: Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan
urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi
parasit.
- Psikis: Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .
- Genetik: Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria,
walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominant.
- Penyakit sistemik: Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat
menimbulkan urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi
kompleks antigen-antibodi.

Patogenesis23
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas
kapiler yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang
33

mengakibatkan pengumpulan cairan setempat.Sehingga secara klinis


tampak edema setempat disertai kemerahan.Vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting
substance of anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan
atau basofil.
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu
merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut
(gambar 10).Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP
(adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada
pelepasan mediator.Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan
derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan
beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini.Bahan kolinergik
misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang
mekanismenya belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel
mast untuk melepaskan mediator.Faktor fisik misalnya panas, dingin,
trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel
mast.Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol
dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga
terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut
daripada yang kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast
dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc bila ada antigen yang
sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga
mampu melepaskan mediator.Keadaan ini jelas tampak pada reaksi
tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan.Komplemen
juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara
alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang
mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat
venom atau toksin bakteri.
34

Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat


reaksi sitotoksik dan kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan
zat anafilatoksin.Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi misalnya
setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik, dan
sefalosporin.Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik
menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.

Gejala Klinis
Ruam terdiri dari bintik-bintik coklat kemerahan berubah menjadi luka
ketika digaruk, kadang bintik tersebut melepuh. Efloresensi macula
coklat-kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh
tubuh, dapat juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.11

Penatalaksanaan
- Terapi simptomatik, pada keadaan ringan hanya diberikan
antihistamin. Pada keadaan berat dapat diberikan kortikosteroid
sistemik.
- Topical: bedak antipruritus seperti mentol 0,5-1%, asam salisilat 0,5-
1%, dan kamfer 1-2%.11

8. Xoderma Pigmentosum
Definisi
Xoderma pigmentosum adalah penyakit herediter yang mengakibatkan
kerusakan pada gen DNAyang bertanggung jawab memperbaiki
kerusakan sel yang diakibatkan oleh sinar ultraviolet, sehingga
meningkatkan resiko terjadinya kanker pada kulit setelah terpapar sinar
matahari.7,13
35

Gambar 8. Xoderma Pigmentosum

Etiologi
Adanya mutasi genetic terhadap gen yang berperan terhadap jalur
Nucleoide Excision Repair (NER), yang merupakan jalur perbaikan bagi
DNA yang rusak. XP dibawa oleh autosom resesif. Gen pembawa sifat ini
terletak pada kromosom 3p25, 9q22.3, 11p12-p11 dan 19q13.2-q13.3.
penyakit ini bersifat genetic, tidak menular, melainkan menurun dari
orang tua kepada anak. Namun, ini tidak berarti penderita XP pasti orang
tuanya juga menderita XP. Karena XP dibawa oleh autosom resesif.12,13,14

Patofisiologi12,13
Sinar UV terdiri daripada UVA, UVB, UVC.Sinar UV dapat
memberikan efek buruk terhadap kulit.Diantaranya adalah mengahambat
defisi sel, inaktivasi enzim, menggalakkan mutasi, dan menyebabkan
kematian sel. Sinar UV yang paling membahayakan manusia sehingga
dapat merusakkan kulit biasanya disebabkan UVB.UVB menyebabkan
terbentuknya pyrimidine dimer pada DNA. Dalam keadaan normal,
kerusakan DNA ini akan diperbaiki oleh jalur NER (Nucleotide Excision
Repair) dengan cara :
- Pengenalan terhadap lesi DNA
- Pemotongan ikatan pada kawasan yang rusak
- Pembuangan nucleotide yang rusak
- Sintesis nucleotide yang baru dan ikatannya.
36

Gejala klinis
- Timbulnya bintik-bintik pigmen yang multiple dan lesi atrofi yang
lebih besar
- Kulit sangat mudah menjadi hitam setelah terpapar cahaya matahari
- Timbulnya freckles (bercak pigmen kecil pada kulit) pada usia muda
- Kulit menjadi tipis
- Kulit menjadi sangat kering
- Solar keratoses dan kanker kulit
- Mata sangat sakit dan sensitive pada cahaya (photosensitive)
- Pada paparan dengan pancaran matahari yang sedikit, dapat juga
menyebabkan blister dan freckles
- Pematangan kulit, bibir, mata, mulut, dan lidah yang premature.
Diagnosis xoderma pigmentosum dapat ditegakkan sejak tanda/ gejala
mulai terlihat, yakni pada usia sekitar 1-2 tahun.7,12,13

Penatalaksanaan
Manajemen pasien dengan XP didasari oleh diagnosis awal,
perlindungan seumur hidup dari paparan radiasi UV, dan deteksi dini dan
pengobatan terhadap neoplasma. Diagnosis didasarkan pada karakteristik
gambaran klinis dan di konfirmasi dengan tes laboratorium dan
hipersensitivitas selular untuk UV dan kegagalan perbaikan DNA.22
37

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Genodermatosis merupakan suatu istilah yang ditujukan kepada
kelompok penyakit/gangguan kulit yang diwariskan, dan dikarakterisasi oleh
tanda atau gejala berupa kelainan baik pada kulit maupun yang bersifat
sistemik.
Macam-macam penyakit terkait genodermatosis, antara lain:
1. Epidermolisis Bullosa, yaitu kelainan genetic berupa gangguan/
ketidakmampuan kulit dan epitel lain melekat pada jaringan konektif di
bawahnya dengan manifestasi tendensi terbentuknya bula dan vesikel
setelah terkena trauma atau gesekan ringan. Klasifikasi E.B antara lain:
a. Epidermolisis tanpa jaringan parut:
- Epidermolisis bulosa simpleks (EBS)
- Epidermolisis bulosa simpleks setempat
- Epidermolisis bulosa simpleks menyeluruh
38

- Epidermolisis bulosa junctional


b. Epidermolisis dengan pembentukan jaringan parut:
- Epidermolisis bulosa distrofik dominan (EBDD)
- Epidermolisis bulosa distrofik resesif (EBDS)
- Epidermolisis bulosa didapat
Dengan gejala klinis, bula akan timbul pada tempat yang mengalami
tekanan mulai sejak lahir hingga dewasa. Bula berisi cairan jernih dengan
dinding yang tegang dan terkadang hemoragik.Bula dapat juga timbul di
selaput lendir; pada kuku menyebabkan distrofi kuku.Pada tipe distrofi
resesif terdapat retradasi mental dan pertumbuhan tubuh yang
terhambat.Prognosis umumnya kurang baik.
2. Inkontinensia Pigmentous, yaitu penyakit kulit yang ditandai dengan
bintik hitam yang menyebar pada tubuh, sebelumnya didahului oleh
urtikaria, vesikula, peradangan verikosa pada bayi-bayi wanita yang baru
lahir.Dengan gejala klinis, lesi dimulai dengan urtikaria/ vesikula yang
segera berubah menjadi bercak-bercak hitam. Bercak-bercak hitam ini
tampak aneh menyerupai laba-laba dengan tepi tak geratur.Sesudah
beberapa bulan/ tahun bercak-bercak hitam ini menghilang, berubah
menjadi daerah hipopigmentasi dan atrofi. Prognosis umumnya kurang
baik, stadium akhir umumnya berakhir dengan kematian pada usia 2
tahun/ menjelang remaja.
3. Iktiosis, yaitu suatu kelainan keratinasi dimana kulit menjadi sangat kering
dan berskuama, sebagian kasus bersifat herediter terkadang didapat.
Klasifikasi iktiosis antara lain:
- Dominant Ichtyosis Vulgaris (DIV), Kulit kering dan berat, scaly skin
(bersisik), kemungkinan penebalan kulit, gatal-gatal ringan pada kulit.
Kulit kering bersisik biasanya paling berat pada laki-laki, tetapi
mungkin juga terdapat pada lengan, tangan, dan bagian tengah tubuh.
Orang dengan kondisi ini mungkin juga memiliki banyak garis-garis
halus diatas telapak tangan
39

- X-Linked Ichtyosis (XLI), hanya dialami atau terjadi pada laki-laki


dan karakteristik penderitanya mencolok, kulit tampak kotor dan
coklat. Biasanya pada leher, ekstremitas, badan dan bokong dengan
onset cepat setelah kelahiran. Lesi pada kulit biasanya terjadi antara 2-
6 minggu setelah kelahiran.
- Lamellar Ichtyosis (LI), Biasanya terjadi saat lahir, dimana kulit bayi
seperti dibungkus oelh lapisan membrane. Efloresensi sisik-sisik besar
datar berwarna gelap
- Epidermolytic Hyperkeratosis (EH), Terjadi saat atau beberapa saat
setelah lahir dengan lepuhan. Beberapa waktu kemudian, kulit menjadi
keratotik dan terkadang terdapat veruka, biasanya pada daerah
fleksural, lutut dan siku. Efloresensi sisik-sisik kecil berwarna kuning
dan melekat. Prognosis kurang baik.
4. Harlequin Fetus, yaitu kelainan kulit yang sangat jarang dijumpai,
termasuk dalam golongan autosomal recessive congenital ichthyoses
(ARCI) yang diwariskan, dan juga menjadi bentuk paling berat dari
gangguan keratinisasi yang dikarakterisasi oleh penebalan stratum
korneum atau hiperkeratinisasi pada kulit.Dengan gejala klinis, Tubuh
penderita gangguan ini ditutupi oleh lapisan menyerupai sisik yang tebal
sehingga tampak seperti “perisai”, atau tampak terbungkus dalam selaput
tipis-ketat, yang hanya memungkinkan sedikit pergerakan dengan posisi
khas (semi fleksi) sembari memegang kaki (posisi harlequin fetus).
Prognosis umumnya buruk.
5. Penyakit Darier, yaitu penyakit autosomal dominan, yang ditandai adanya
papel-papel hyperkeratotik pada daerah seboroik serta adanya perubahan
pada kuku dan membrane mukosa. Dengan gejala klinis, Kelainan yang
dijumpai pada kulit berupa papel-papel sewarna kulit yang dapat berubah
menjadi kecoklatan atau keabu-abuan, hyperkeratotik, dapat bersatu
membentuk plak berkrusta dan disertai skuama berminyak. Mudah terjadi
infeksi sekunder terutama pada daerah lipatan-lipatan tungkai bawah,
40

sehingga berbau. Kuku biasanya berwarna lebih putih, mudah patah pada
bagian distal, juga didapatkan gambaran seperti huruf V dibagian kuku
yang bebas dan subungual keratosis. Kadang-kadang terdapat garis-garis
longitudinal merah dan putih. Pada membrane mukosa terdapat gambaran
papel-papel putih dengan penekanan ditengah (umbilikasi). Prognosis
umumnya kurang baik, dapat menimbulkan kecacatan sosial. Selain itu
keparahan sebuah kondisi penyakit juga tergantung pada dampaknya
terhadap keadaan sosial masing-masing individu sehingga diperlukan
pendekatan per kasus.
6. Keratosis Palmoplantaris, yaitu suatu kondisi pembentukan keratin pada
telapak tangan dan kaki yang berlebihan.Dengan gejala klinis, penebalan
menyeluruh yang nyata pada telapak tangan dan kaki yang simetrik.
Kadang-kadang penebalan meluas ke lateral atau dorsal, terutama pada
punggung sendi jari tangan. Lekukan telapak kaki, umumnya bebas.
Epidermis menjadi tebal, kering, verukosa, dan bertanduk. Bentuk strie
dan berlubang dapat terlihat. Sering terdapat hyperhidrosis.
7. Urtikaria Pigmentosa, yaitu Suatu erupsi pada kulit berupa
hiperpigmentasi yang berlangsung sementara, kadang-kadang disertai
pembengkakan dan rasa gatal. Dengan gejala klinis, Ruam terdiri dari
bintik-bintik coklat kemerahan berubah menjadi luka ketika digaruk,
kadang bintik tersebut melepuh. Efloresensi macula coklat-kemerahan
atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat juga
berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel. Prognosis pada anak-anak
lebih baik.
8. Xoderma Pigmentosum, yaitu penyakit herediter yang mengakibatkan
kerusakan pada gen DNA yang bertanggung jawab memperbaiki
kerusakan sel yang diakibatkan oleh sinar ultraviolet, sehingga
meningkatkan resiko terjadinya kanker pada kulit setelah terpapar sinar
matahari. Dengan gejala klinis, Timbulnya bintik-bintik pigmen yang
multiple dan lesi atrofi yang lebih besar, kulit sangat mudah menjadi
41

hitam setelah terpapar cahaya matahari, timbulnya freckles (bercak


pigmen kecil pada kulit) pada usia muda, kulit menjadi tipis, kulit menjadi
sangat kering, solar keratoses dan kanker kulit, mata sangat sakit dan
sensitive pada cahaya (photosensitive), pada paparan dengan pancaran
matahari yang sedikit, dapat juga menyebabkan blister dan freckles,
pematangan kulit, bibir, mata, mulut, dan lidah yang premature.
Prognosis, menurut laporan di London (2013) rata-rata kematian pasien
dengan XP adalah pada usia 32 tahun yang disebabkan oleh dua penyebab
utama yaitu kanker kulit sebanyak 34% dan neurodegenerasi sebanyak
31%.

B. Saran
Penyakit yang terkait dengan genodermatosis harus diperbanyak lagi karena
dapat menambah wawasan dan kepustakaan khususnya bagi mahasiswa dan
juga masyarakat umum.
42

DAFTAR PUSTAKA

1. Boodiardja S.A. Epidemolisis Bulsa, Dalam: Djuanda A, Hamzah M,


Boediardjo S.A, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-3. Jakarta:
balai Penerbit FKUI, 2002.
2. Hurwitz S. Bullous disorders of Childhood. Clinical pediatric dermatology, a
textbook of skin disorders of Childhood and alolennsceence. Edisi ke-2
Philadelphia, W.B. Sauders. Co 1993: 432-5, 439-41.
3. Atherton D.J. Epidemolysis Bullosa, Dalam: Harper J. Oranje A, Prose N.
Editor Textbook of Pediatric Dermatology. London: Balckwell, Science Ltd.
2000, 1075-80.
4. Marinhovich Herroon G.S. Khavari P.A. Bauer E.A. Hereditary epidarmolysis
bullosa, Dalam: Fredbeerg I.M. Eisen A.Z Wolff K, Austen K.F, Goldsmith
L.A. Katz S.I et al. editor Flitzpatrick’s dermatology in general medicine.
Edisi ke-5 New York. Mc Graw – Hill, Inc, 1999:690-701.
43

5. Pey R.J Bullous eruptions, Dalam: Champions R.H. BURTON J.L, Ebling
FJG, editor. Textbook of dermatology. Edisi ke-5. London: Blackwell
Scientific Publ. 1992-1635-6.
6. Arnold H.L. Odom B.R. James W.D. Andrew’s. disease of the skin, clinical
dermatology. Edisi ke-8. Philadelphia WB. Sauders Co. 1990:646-50.
7. Habif T.P Chinical dermatology, a color guide to diagnosis and therapy. Edisi
ke-3. St. Louse: Mosby-Year. Inc 1996:521.
8. Fine J.D. Bullous Disease. Dalam: Mosechella, Hurley H.J, editor.
Dermatology. Edisi ke-3 Philadelphis: W.B. Souders Co. 1992:681-9.
9. Tidman M.J. Horn H.M. The Clinical Spectrum of Epidemolysis Bullous
Simplex. Br. J. Detmatol 2000:142-72.
10. Karniawati Y, Diana J.A, Rahmatdinatai Epidermolisis Bullous Simplex-
Bullous Dermato-Venerlogical Indonesia 2002:29/3; 145-152.
11. Siregar. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. EGC. Jakarta.
12. Flizpatrick T.B, Wolf, Klaus, MD, FRCP, Lowell A, Goldsmith, MD, Stephen
I, Katz, MD, PHD, ed. Flizpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th
edition. New York: McGraw-Hill; 2008.
13. Flizpatrick T.B, Johnson RA, Wolff K. Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology, 6th edition. New York: McGraw-Hill; 2001. P.72-75
14. Burn Tony, Stephen Breathnach, Neil Cox, Christopher Griffiths. Rook’s
Textbook of Dermatology. Oxford: Blackwell Scientific Publications. 2004.
P.37-7 – 34-9.
15. Hunter, J.A.A, J.A. Savin, M.V. Dahl. Clinical Dermatology, 3th edition.
Oxford: Blackwell Scientific Publications. 2002. P.41-42
16. Burge. S. Darrier’s Disease, Dalam: Harper J, Oranje A, Prose N, editor.
Textbook of Pediatric Dermatology. Oxford: Blackwell Science. 2002, 1153-
7.
17. Hurwitz, S. Keratosis Follicularis (darier Disease), Dalam: Clinical Pediatric
Dermatology, Textbook of Skin Disorders of Chilhood and Adolescence W.B
Sauders company, 1993: 188-90.
44

18. Bchetnia M, Charfeddine C, Kassar S, Zribi H, Guettiti HT, Ellouze F.


Clinical and mutational heterogeneity of Darier disease in Tunisian families.
Arch Dermatol. Jun 2009;145(6):654-6.
19. Hoi c. Darier’s disease (keratosis follicularis) A local survey, studyof life
impact, mutation analysis of the ATP2A2 gene and review. Hongkong.
Dermatology & Venereology Department. Hong Kong College of Physicians.
2004.
20. Shi HJ, Li M, Zhang GL, et al. Novel splice-site and frameshift ATP2A2
mutations in Chinese patients with Darier disease. Clin Exp Dermatol. 2012
21. Wang Y, Bruce AT, Tu C, et al. Protein aggregation of SERCA2 mutants
associated with Darier disease elicits ER stress and apoptosis in keratinocytes.
J Cell Sci. Nov 2011;124:3568-80.
22. Roxburgh’s. Xoderma pigmentous. In: Common Skin Disease 17 Ed,
University of Miami: USA. 2003. 218-219
23. Djuanda, Adhi. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. FKUI.
Jakarta
24. Dyer J. New Findings in Genodermatoses. Dermatologic Clinics, Volume 31,
Issue 2, 2013;303 – 315
25. Escobedo J. Incontinentia Pigmenti without Systemic Malformations: a case
report and description for primary care clinicians. Proceedings of UCLA
Health Care. 2000;4:10-2
26. Caputo R, Tadini Gianluca. Atlas of GENODERMATOSES. London and
Newyork. Taylor & Francis e-Library, 2006.
27. Anstey AV. Disorders of skin colour. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, eds. Rook’s Textbook of Dermatology: Volume 3, Eighth edition,
Wiley-blackwell publishing 2010.p.58.15.
28. Arikan II, Harma M, Barut A, Harma MI, Bayar U. Harlequin ichthyosis: A
case report and review of literature. Anatol J Obstet Gynecol 2010; 1:3.

Anda mungkin juga menyukai