PEMFIGOID BULOSA
Disusun Oleh:
Trisia Windy 112021261
Edo Chandra S 112021262
Vania Hadi 112022104
Pembimbing
dr. Desidera Husadani, Sp. KK
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU DEPARTEMEN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT IMANUEL BANDAR LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN KRISTEN KRIDA WACANA
17 OKTOBER 2022 - 18 NOVEMBER 2022
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pemfigoid Bulosa
Definisi
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan
adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang tua
dengan erupsi bulosa yang kadang-kadang disertai rasa gatal menyeluruh dan
jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang tinggi.4,5
Manifestasi Klinis
Fase Non Bulosa
Manifestasi kulit PB bisa polimorfik. Dalam fase prodromal penyakit
non- bulosa, tanda dan gejala sering tidak spesifik, dengan rasa gatal ringan
sampai parah atau dalam hubungannya dengan eksema, papul dan atau urtikaria,
ekskoriasi yang dapat bertahan selama beberapa minggu atau bulan. Gejala non-
spesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda penyakit.8
4
Fase Bulosa
Tahap bulosa dari PB ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula pada
kulit normal ataupun eritematosa yang tampak bersama-sama dengan urtikaria
dan infiltrat papul dan plak yang kadang-kadang membentuk pola melingkar.
Bula tampak tegang, diameter 1 – 4 cm, berisi cairan bening, dan dapat bertahan
selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi seringkali
memiliki pola distribusi simetris, dan dominan pada aspek lentur anggota badan
dan tungkai bawah, termasuk perut. Perubahan post inflamasi memberi gambaran
hiper- dan hipopigmentasi serta, yang lebih jarang, miliar. Keterlibatan mukosa
mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah mukosa hidung mata, faring,
esofagus dan daerah anogenital lebih jarang terpengaruh.8
Lesi kulit
Eritem, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan
bula. Bula besar,tegang, oval atau bulat; mungkin timbul dalam kulit normal atau
yang eritema dan mengandung cairan serosa atau hemoragik. Erupsi dapat
bersifat lokal maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga berkelompok
dalam pola serpiginosa dan arciform.8 Tempat predileksi adalah pada aksila, paha
bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, dan tungkai bawah.
5
Gambar 3. Pemfigoid Bulosa lokal: dalam bentuk pretibial. Lesi pasca bulosa dan
lesi eksim pada tungkai bawah kanan8
Pemeriksaan Laboratorium
I. Histopatologi
Biopsi dari lepuh kecil yang baru memberi nilai diagnostik. Histologi dari
biopsi akan menunjukkan suatu lepuh subepidermal tanpa nekrosis epidermis
dan suatu infiltrat dermis superfisial yang berisikan limfosit, histiosit dan
eosinofil yang khas. Terdapat infiltrat dari yang padat sampai jarang dengan ciri
khas berisikan beberapa eosinofil. Biopsi lepuh yang berada pada dasar yang
eritema cenderung memiliki infiltrat yang lebih luas. Eosinofil juga sering
terlihat di dalam rongga lepuh. Netrofil mungkin tampak dalam infiltrat tetapi
jarang membentuk mikroabses pada ujung papila. 2,3,5,10
Lesi-lesi urtikaria bisa menunjukkan hanya suatu infiltrat dermis
superfisial dari limfosit, histiosit, dan eosinofil dengan edema papila dermis.
Histologi dari lesi urtikaria juga bisa memperlihatkan degranulasi eosinofil pada
dermal-epidermal junction dengan pemisahan dini dari sel basal individual dari
membran basal dan spongiosis eosinofilik. 2,3,5,10
6
Gambar 5. Histopatologi Pemfigus Vulgaris10
II. Imunologi
a. Imunofluoresensi direk
Imunofluoresensi direk tidak dapat dilakukan pada lesi yang lepuh
karena imunoreaktan sering hilang pada atap dari lepuh. Pengambilan biopsi
paling baik adalah pada daerah perilesi, yaitu daerah yang tidak lebih dari 2
cm dari lesi. Bila tidak terdapat lesi yang aktif, biopsi juga dapat diambil
pada daerah kulit yang secara klinis tidak terlibat pada daerah paha bagian
depan atau fleksor lengan bawah dan pada permukaan mukosa. Sebaiknya
digunakan biopsi punch berukuran 3-4 mm dan tidak perlu mengambil terlalu
dalam.2
Hasil imunofluoresensi direk dari kulit tepi lesi pemfigoid bulosa
akan menunjukkan endapan IgG dan C3 yang tersusun seperti pita di Basal
Membran Zone (BMZ).2,3,5,10
b. Imunofluresensi indirek
Imunofluoresensi indirek dapat dilakukan pada darah, cairan pada
bula dan urin. Cairan pada bula dan urin hanya dilakukan pada pasien yang
tidak koperatif karena hasil jarang menunjukkan positif.2
7
Diagnosis Banding
Pemfigus vulgaris biasanya mengenai usia pertengahan (dekade ke-4 dan
ke-5), tetapi juga dapat mengenai semua umur termasuk anak. Keadaan umum
penderita biasanya buruk. Pemfigus vulgaris biasanya timbul pertama kali di
mulut kemudian di sela paha, kulit kepala, wajah, leher, aksila, dan genital. Pada
awalnya hanya dijumpai sedikit bula, tetapi kemudian akan meluas dalam
beberapa minggu, atau dapat juga terbatas pada satu atau beberapa lokasi selama
beberapa bula hingga timbul bula generalisata.9
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan
kulit terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang lama bertahan di atas
kulit yang terkelupas tersebut. Bula dapat timbul di atas kulit yang tampak
normal atau yang eritematosa dan generalisata. Pada gambaran histopatologik
didapatkan bula intraepidermal suprabasal dan sel-sel epitel yang mengalami
akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan terbentuknya bula di suprabasal
dan membuat percobaan Tzanck positif. Pada pemeriksaan imunologi terdapat
gambaran deposit IgG lacelike yang terdapat pada permukaan sel dan C3,
didapatkan 95% kasus.9
8
pada papila dermal, dan eosinofil pada infiltrat dermal. Pada pemeriksaan
imunologi, didapatkan IgA pada papila dermal.1,9
9
Gambar 9. Gambaran Imunofloresensi Langsung pada Dermatitis
Herpetiformis.10
Tatalaksana
Pengobatan dengan kortikosteroid. Dosis prednison 40-60 mg sehari, jika
telah tampak perbaikan dosis diturunkan perlahan-lahan. Sebagian besar kasus
dapat disembuhkan dengan kortikosteroid saja.9
Jika dengan kortikosteroid belum tampak perbaikan, dapat
dipertimbangkan pemberian sitostatik yang dikombinasikan dengan
kortikosteroid. Cara dan dosis pemberian sitostatik sama seperti pemfigus. Dosis
Azatioprin 50-150 mg sehari atau 1-3 mg/kgBB. Obat sitostatik sebaiknya
diberikan, jika dosis prednison mencapai 60 mg sehari untuk mencegah sepsis
dan bronkopneumonia. Siklofosfamid sebenarnya merupakan obat yang paling
poten, tetapi karena efek sampingnya berat kurang dianjurkan. Dosisnya 50-
100mg sehari. Efek terapeutik siklofosfamid masih sedikit setelah pemebrian
beberapa jam, efek maksimum baru terjadi setelah 6 minggu. Efek samping yang
utama ialah toksisitas saluran kemih berupa sistitis hemoragik, dapat pula
menyebabkan sterilitas.9
Bila infiltrat lebih banyak mengandung sel neutrofil, dapat diberikan
DDS dengan dosis 200-300 mg/hari seperti pada pengobatan dermatitis
herpetiformis. Pengobatan kombinasi tetrasiklin (3 x 500 mg sehari) dengan
niasinamid (3 x 500 mg sehari) memberi respons yang baik pada sebagian kasus,
terutama yang tidak berat. Bila tetrasiklin merupakan kontraindikasi dapat
diberikan eritromisin.9
Pemfigoid bulosa dianggap sebagai penyakit autoimun, oleh karena itu,
memerlukan pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan mengalami efek
samping koortikosteroid sistemik. Untuk mencegahnya dapat diberikan
kombinasi tetrasiklin/eritromisin dan niasinamid setelah penyakitnya membaik.
Efek samping kedua obat tersebut lebih sedikit daripada kortikosteroid sistemik.9
Prognosis
Kematian jarang dibandingkan dengan pemphigus vulgaris, dapat terjadi
10
remisi spontan.9
BAB III
KESIMPULAN
11
Daftar Pustaka
12
967.
5. Wojnarowska F, Venning VA. Immunobullous Disease. Dalam : Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology.
Edisi ke-8. UK : Wiley Blackwell; 2012. h. 40.1-40.58.
6. James WD, Elston D, Treat JR, Rosenbach MA.. Andrews’ Diseases of The Skin.
Clinical Dermatology, Edisi ke-13. United States of America : Saunders Elsevier;
18 Januari 2019.
7. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Thieme Clinical Companions Dermatology. Edisi
ke-5. USA : Georg Thieme Verlag KG; 2015.
8. Schmidt, E., della Torre, R., & Borradori, L. 2011. Clinical Features and
Practical Diagnosis of Bullous Pemphigoid. Dermatologic Clinics, 29(3), 427–
438. DOI: 10.1016/j.det.2011.03.010.
9. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2019.
10. Kumar V, Abbas AK, Aster JC, editor. Robbins basic pathology. 9th ed. Kanada:
Saunders Elsevier; 2013.
13