Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Pemvigus vulgaris merupakan bentuk penyakit autoimun berbula kronik yang


paling sering dijumpai, sekitar 80% dari semua kasus.1 Penyakit ini menyerang kulit
dan lapisan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula
intraepidermal akibat proses akantolisis (hilangnya daya kohesi antar sel-sel
epidermis) dan secara imunopatologik akan ditemukan antibodi terhadap komponen
desmosom pada permukaan keratinosit.1
Pemvigus vulgaris tersebar diseluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa
dan ras. Didapatkan frekuensi yang tidak jauh berbeda antara laki-laki dan
perempuan.1 Angka kejadian pemvigus vulgaris bervariasi 0,5-3,2 kasus per 100.000
populasi. Pemvigus vulgaris merupakan penyakit bula autoimun yang sering terjadi di
negara-negara timur seperti India, Malaysia, China dan Timur tengah.2
Penyebab pasti penyakit pemfigus vulgaris belum diketahui. Kemungkinan
yang masih relevan adalah pengaruh genetik dan lebih sering menyerang pasien yang
telah memiliki penyakit autoimun lainnya sebelumnya.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Definisi
Pemfhigus berasal dari bahsa yunani yaitu dari kata pemphix yang artinya
gelembung atau bula. Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun bula
kronik,menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara histologik ditandai
dengan ditemukannya antibodi IgG yang bersirkulasi dan terikat pada permukaan
sel keratinosit,yang menyebabkan timbulnya reaksi pemisahan sel-sel epidermis
diakibatkan karena tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis, proses ini
disebut akantolisis. Terdapat 4 bentuk pemfigus ialah pemfigus vulgaris,pemfigus
eritematous,pemfigus follaseus,pemfigus vegetans.3

II. 2 Epidemiologi
Pemfigus vulgaris (P.V.) merupakan bentuk yang tersering dijumpai
( 80% semua kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai
semua bangsa dan ras. 3 Lebih umum pada orang-orang Yahudi dan orang-orang
dari keturunan Mediterania. Di Yerusalem kejadian diperkirakan 16 per juta,
sedangkan di Perancis dan Jerman itu adalah 1,3 per juta. Frekuensinya pada
kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai usia 40-60 tahun , tetapi dapat
juga mengenai semua umur, termasuk anak. 4

II. 3 Etiologi
Pemfigus ialah penyakit autoimun, karena pada serum penderita
ditemukan autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (drug-
inducedpemphigus), misalnya D-penisilamin dan kaptopril.Pemfigus yang
diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigusfoliaseus (termasuk

2
pemfiguseritematosus) atau pemfigus vulgaris.Pemfigus foliaseus lebih sering
timbul dibandingkan dengan pemfigus vulgaris. 3

II. 4 Faktor Resiko


Penyebab pasti pemphigus vulgaris tidak diketahui, dimana terjadinya
antibody IgG, beberapa faktor potensial yang relevan yaitu:

1. Faktor genetik: molekul major histocompability complex (MHC) kelas II


berhubungan dengan human leukocyte antigen DR4 dan human leukocyte
antigen DRw6
2. Pemphigus sering terdapat pada pasien dengan penyakit autoimun yang
lain, terutama pada myastenia gravis dan tymoma.
3. D-penicillamine dan captopril dilaporkan dapat menginduksi terjadinya
pemphigus (jarang).3,5

II. 5 Patogenesis
Lesi yang terbentuk pada pemfigus vulgaris terjadi karena reaksi autoimun
terhadap antigen pemfigus vulgaris. Antigen ini merupakan transmembran
glikoprotein dengan berat molekul 130 kD yang terdapat pada permukaan sel
keratinosit dan 160 kD untuk pemfigus foliaesus. Target antigen pada pemfigus
vulgaris yang hanya dengan lesi oral adalah desmoglein 3, sedangkan yang
dengan lesi oral dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3, sedangkan pada pemfigus
foliaesus target antigennya adalah desmoglein 1. Desmoglein adalah salah satu
komponen desmosom. Fungsi desmosom adalah meningkatkan kekuatan
mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa. Pada
pemfigus vulgaris, autoantibodi yang menyerang desmoglein pada permukaan
keratinosit membuktikan bahwa autoantibodi tersebut bersifat patogenik. Pada
penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai antibodi subklas IgG dan
IgG4, tetapi yang patogenik ialah IG4. Pada pemfigus juga ada faktor genetik,
umumnya berkaitan dengan HLA-DR4.6,7

3
Antigen pemfigus vulgaris yang dikenali sebagai desmoglein 3,
merupakan desmosomal kaderin yang terlibat dalam perlekatan interseluler pada
epidermis. Antibodi yang berikatan dengan rantai amino pada desmogelin 3 ini
mempunyai efek langsung terhadap fungsi kaderin. Desmoglein 3 dapat
ditemukan pada desmosom dan pada membran keratinosit. Desmoglein 3 ini
dapat dideteksi pada setiap deferensiasi keratinosit terutamanya pada epidermis
bawah dan lebih padat pada mukosa bukal dan kulit kepala. Hal ini berbeda
dengan antigen pemfigus foliaseus yaitu desmoglein 1, yang dapat ditemukan
pada epidermis dan lebih padat pada epidermis atas (Gambar.1). Tanda utama
pada PV adalah dengan mencari autoantibodi IgG pada permukaan keratinosit.
Hal ini merupakan fungsi patogenik primer dalam mengurangi perlekatan antara
sel-sel keratinosit yang menyebabkan terbentuknya bula-bula, erosi dan ulser

yang merupakan gambaran pada penyakit pemfigus vulgaris.6,7

Gambar 1.Desmoglein 3 pemfigus vulgaris.

4
II. 6 Gejala Klinis
a. Keadaan umum penderita umumnya buruk
b. Membran mukosa
1. Lesi pada pemphigus vulgaris pertama kali berkembang pada membrane
mukosa terutama pada mulut, yang terdapat 50-70% pasien. Bula yang
utuh jarang ditemukan di mulut disebabkan bula mudah pecah dan dapat
timbul erosi.
2. Pada umumnya erosi terdapat pada buccal, ginggiva, palatum, dengan
bentuk yang tidak teratur, sakit dan lambat untuk menyembuh. Erosi
dapat dapat meluas ke laring yang menyebabkan sakit tenggorokan dan
pasien kesulitan untuk makan ataupun minum. Permukaan mukosa lain
yang terlibat yaitu konjungtiva,esophagus, labia, vagina,serviks, penis,
uretra, dan anus.

Gambar 2. Erosi pada mulut pada pasien Pemfigus Vulgaris.

c. Kulit
1. Kelainan kulit dapat bersifat lokal maupun generalisata, terasa panas,
sakit tanpa disertai pruritus dan tempat predileksinya adalah badan,
umbilicus, kulit kepala, wajah,ketiak dan daerah tekanan serta lipatan
paha.
2. Timbul pertama kali berupa bula yang lembek (berdinding kendur) berisi
cairan jernih pada kulit normal dengan dasr eritematous. Bula mudah
pecah dan yang utuh jarang didapatkan disebabkan atap bula yang terdiri

5
dari sebagian kecil bagian atas epidermis. Kemudian dapat timbul erosi
yang nyeri, mudah berdarah dan cenderung meluas. Kemudian erosi
teresut akan ditutupi oleh krusta. Lesi yang menyembuh meninggalkan
daerah hiperpigmentasi tanpa jaringan parut.

Gambar 2. Pemfigus vulgaris. Erosi luas akibat lepuh pada kulit

3. Pada bula yang aktif dapat ditemukan Nikolsky sign yang mengambarkan
tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis yaitu dengan cara:
- Menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dengan ujung jari,
mengakibatkan kulit yang terlihat normal akan terkelupas
- Menekan diatas bula dengan ujung jari, akibatnya cairan bula kan
melebar dari tempat penekanan disebut bula spread phenomenon.5,8

Gambar 3. Bula flaksid pada pemfigus Vulgaris

6
II. 7 Diagnosis
Penyakit autoimun kulit yang menyebabkan kerusakan pada perlekatan
antar sel telah banyak ditemukan dan sukar untuk dibedakan karena memiliki
manifestasi klinis yang mirip. Ciri klinis seperti tanda Nikolsky tidaklah spesifik
untuk penyakit ini saja. Karena itu, selain dari anamnesis yang baik dan
pemeriksaan fisik lesi yang muncul, pemeriksaan biopsi, histopatologi dan
immunologi yang baik merupakan hal yang perlu diindikasikan.6

1) Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesis pasien berupa keluhan yang membawa pasien datang untuk
berobat. Biasanya keadaan umum pasien tampak buruk. Anamnesis
dilengkapi dengan mengetahui perjalanan penyakit pasien. Kemudian
pemeriksaan fisik terhadap lesi yang timbul dimulai dari awal timbulnya lesi
berupa erosi dan krusta hingga terdapat bula generalisata. Pemeriksaan awal
biasanya dilakukan pada tempat yang sering muncul di awal perjalanan
penyakit yaitu di kulit kepala yang berambut dan di rongga mulut. Tanda khas
penyakit ini berupa tanda nikolsky yang positif yang disebabkan adanya
akantolisis.1,11
2) Biopsi dan histopatologi

Metode biopsi dilakukan dengan cara sampel diambil pada daerah


erosi atau bula setelah kulit atau mukosa dianestesi dengan injeksi anastesi
lokal. Sampel kemudiannya diperiksa secara histologik dibawah mikroskop
untuk melihat adakah sel terpisah antara satu sama lain. Pada gambaran
histopatologik didapatkan bula intraepidermal suprabasal dan sel-sel epitel
yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan terbentuknya
bula di suprabasal dan menyebabkan uji Tzanck positif (Gambar.3).
Percobaan ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi
bukan diagnostik pasti untuk penyakit pemfigus.11

7
Gambar 3. Histopatologi Pemfigus Vulgaris. Satu dari sel epitel terlihat
berjauhan antara satu sama lain dan membuat cairan dalam lepuhan.

3) IMUNOPATOLOGI

a. Imunofloresensi langsung
Pada pemeriksaan imunoflouresensi langsung didapatkan
antibodi interselular tipe IgG dan C3 di subtansi interselluler
epidermis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mencampurkan
spesimen jaringan mukosa yang dibiopsi dengan beberapa siri
imunoglobulin. Imunoglobulin ini telah ditandai dengan bahan
floresensi (fluorochrome) yang digunakan untuk menunjukkan
kehadiran autoantibodi yang melekat pada sel jaringan pasien.11
b. Imunofloresensi tidak langsung
Test ini dilakukan dengan mengukur jumlah autoantibodi di
dalam darah. Pada test ini biasanya ditemukan antibodi pemfigus tipe
IgG interseluler, terdapat pada 80-90% penderita.12

II. 8 Diagnosis Banding


a. Dermatitis herpetiformis
Dermatitis herpetiformis ialah penyakit yang menahun dan residif.
Penyakit ini dapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umumnya baik,
keluhannya sangat gatal, ruam polimorfik, dinding vesikel/bula tegang dan
berkelompok (Gambar. 4). Tempat presdileksinya ialah di punggung, daerah
sakrum, bokong, daerah ekstensor di lengan atas, sekitar siku dan lutut. Ruam
berupa eritema, papulo-vesikel, dan vesikel sampai bula yang berkelompok

8
dan sistemik.
Pada pemfigus vulgaris keadaan umum pasien buruk, kelainan
utamanya ialah bula yang berdinding kendur, generalisata dan eritema bisa
terdapat atau tidak. Pada gambaran histopatologik dermatitis herpetiformis,
letak vesikel/bula di subepidermal sedangkan pada pemfigus vulgaris terletak
di intraepidermal dan terdapat akantolisis.12

Gambar 4. Dermatitis Herpetiformis.

b. Pemfigoid Bulosa
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh
adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang dan pada

pemeriksaan imonupatologik ditemukan C 3 (komponen komplemen ke-3) pada


epidermal basement membrane zone. Keadaan umum pasien baik, dijumpai pada
semua umur terutama pada orang tua. Kelainan kulit terutama terdiri atas bula
dapat bercampur dengan vesikel, berdinding tegang sering disertai eritema,
tempat predileksinya pada ketiak, lengan bagian fleksor dan lipat paha. Jika bula
pecah terdapat daerah erosif yang luas, tetapi tidak bertambah seperti pada
pemfigus vulgaris (Gambar. 5).13,14

9
Gambar 5. Pemfigoid Bulosa.

Perbedaan antara pemfigus vulgaris, dermatitis herpetiformis dan pemfigoid


bulosa dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel.1 Perbedaan pemfigus vulgaaris, pemfigoid bulosa dan dermatitis


herpetiformis

NO. Pemfigus Vulgaris Pemfigus Bulosa Dermatitis


Herpetiformis
1. Etiologi Autoimun autoimun Belum jelas
2. Usia 30-60 tahun Biasanya usia tua Anak atau dewasa
3. Keluhan Biasanya tidak gatal Biasanya tidak gatal Sangat gatal
4. Kelainan Kulit Bula berdinding Bula berdinding Vesikel
kendur, krusta tegang berkelompok
bertahan lama berdinding tegang
5. Tanda Nikolsky + - -
6. Tempat Biasanya Perut, lengan fleksor, Simetrik: tengkuk,
Predileksi generalisata lipat paha, tungkai bahu, lipat ketiak,
medial posterior, lengan
ekstensor, daerah
sakrum, bokong
7. Kelainan 60% 10-40% jarang
Mukosa Mulut
8. Histopatologi Bula intermedial, Celah di taut dermal- Celah
akantolisis epidermal, bula di subepidermal,
subepidermal, terutama neutrofil
terutama eosinofil
9. Imunofluoresensi IgG dan komplemen IgG seperti pita di IgA granular di
di epidermis membran basal papila dermis
10. Terapi Kortikosteroid Kortikosteroid DDS (diamino
(prednisolon 60-150 (prednisolon 40-60 mg difenil sulfon) 200-
mg sehari), sitostatik sehari), sitostatik 300 mg sehari
II. 9 Tatalaksana
1) Pengobatan sistemik

10
Pengobatan sistemik kortikosteroid merupakan cara terbaik dalam
terapi pemfigus vulgaris. Steroid mengurangi inflamasi dengan cara menekan
sistem kekebalan tubuh. Perbaikan klinis akan terlihat setelah beberapa hari
pengobatan kortikosteroid kira-kira 2-3 pekan, dan 6-8 pekan untuk hasil yang
lebih baik.2,
Pemakaian dosis tinggi diperlukan pada pengobatan pertama kali,
kadang-kadang dosis tinggi diberikan dengan cara i.m atau i.v. dosis dikurangi
bila lepuh telah berhenti terbentuk. Tujuannya adalah untuk menemukan dosis
terendah yang diperlukan untuk mengendalikan gejala dimana dosis yang
diperlukan bervariasi antara pasien. Yang sering digunakan adalah prednison
dan deksametason. Dosis prednison bergantung pada berat ringannya
penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula yang menggunakan 3 mg/kgbb
sehari untuk pemfigus yang berat. Pada dosis yang tinggi sebaiknya diberikan
deksametason i.m atau i.v. jika tidak ada respon perbaikan, yang berarti masih
timbul lesi baru setelah 5-7 hari, dosis pengobatan ditingkatkan 50-100%
sampai ada perbaikan. Kalau sudah ada perbaikan, dosis diturunkan 10-20 mg
ekuivalen prednison atau diturunkan hingga 50% setiap 2 pekan.15
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasikan
dengan ajuvan yang terkuat ialah sitostatik. Efek samping kortikosteroid yang
berat adalah atrofi kelenjar adrenal bagian korteks, ulkus peptikum, dan
osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur. Obat sitostatik yang
direkomendasikan adalah azitioprin karena cukup bermanfaat dan tidak begitu
toksik. Dosis azatioprin 50-150 mg sehari atau 1-3 mg per kgBB. Efek
terapeutik azatioprin baru terjadi setelah 2-4 pekan. Obat-obat sitostatik
diberikan jika dosis prednison mencapai 60 mg sehari untuk mencegah sepsis
dan bronkopneumonia. Jika telah tampak perbaikan dosis prednison
diturunkan lebih dahulu, kemudian dosis azatioprin diturunkan secara
bertahap. Obat sitostatik yang lainnya adalah siklofosfamid, metrotreksat, dan
mikofenolat mofetil.4
Pada kasus diberikan antibiotik eritromisin dengan dosis 4 kali dalam

11
sehari, selama 10 hari. Eritromisin termasuk golongan makrolida, bekerja
dengan menghambat sintesis protein bakteri, bersifat bakteriostatik atau
bakterisid, tergantung dari jenis bakteri dan kadarnya dalam darah.
Eritromisin efektif terhadap kuman gram-positif seperti S. aureus (baik yang
menghasilkan penisillinase maupun tidak), Streptococcus group A,
Enterococcus, C. diphtheriae dan Pneumococcus. Juga efektif terhadap
kuman gram-negatif seperti Neisseria, H. influenzae, B. pertusis, Brucella
juga terhadap Riketsia, Treponema dan M. pneumoniae. Resistensi silang
dapat terjadi antar berbagai antibiotika golongan makrolida.15

2) Pengobatan topikal
Pada pasien dengan lesi ringan hingga sedang dan didapatkan sebatas
pada permukaan mukosa bisa menggunakan terapi steroid topikal saja. Pada
pemfigus oral, penggunaan sikat gigi yang lembut sangat disarankan untuk
mengurangi trauma lokal. Analgesik dan anastesi topikal seperti benzydamine
hydrochloride 0,15% bisa digunakan untuk menghilangkan nyeri pada lesi
oral, terutama sebelum membersihkan mulut dan gigi. Kebersihan rongga
mulut penderita pemfiggus vulgaris harus dijaga untuk mencegah lesi yang
lebih luas. Saat menyikat gigi sebisanya untuk menggunakan larutan kumur
antiseptik seperti chlorhexidine glukonat 0,2%. Untuk erosi oral yang banyak,
digunakan obat kumur seperti larutan betamethasone sodium phosphate 0,5
mg tablet dicampurkan dalam 10 ml air dan dapat digunakan 4 kali sehari
selama 5 menit setiap pemakaian. Pada daerah lesi yang erosif dapat juga
diberikan silver sulfadiazine, yang berfungsi sebagai antiseptik dan astringen.
Pada lesi pemfigus yang sedikit dapat diberikan kortikosteroid secara
intradermal dengan triamsinolon asetonid 0,1%.1,10

II. 10 Prognosis
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50%

12
penderita dalam tahun pertama.Sebab kematian ialah sepsis, kakeksia, dan
ketidakseimbangan elektrolit. Pengobatan dengan kortikosteroid membuat
prognosisnya lebih baik.3

BAB III
KESIMPULAN

13
Pemfigus vulgaris merupakan suatu kumpulan penyakit autoimun berbula
kronik yang tersering dijumpai (80% dari semua kasus), menyerang kulit dan
membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat
proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi terhadap komponen
desmosom pada permuakaan keratinosit jenis IgG. Keadaan umum pasien biasanya
buruk. Gambaran umum dari lesi pemphigus vulgaris ialah munculnya ulser yang
menyakitkan, ditandai dengan bula dan vesikel yang sudah pecah dan kemunculan
lesi baru bila lesi lama mula membaik.
Untuk mendiagnosis pemfigus vulgaris dapat dilakukan pemeriksaan Tzanck
smear, histopatologi, dan imunologi. Pengobatan pada pemfigus dapat menggunakan
terapi kortikosteroid yang didukung dengan terapi ajuvan dan dengan terapi topikal
berupa steroid,antiseptik maupun astringen.

DAFTAR PUSTAKA

14
1. Benny E,W. Dermatosis vesikobulosa kronik. Dalam: Mochtar H, Siti A,
editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7. Jakarta : EGC;2015. H 204-
208.
2. Muhammad A,S. A 56 years old man with pemphigus vulgaris. J Medula
Unila 2014; vol.3(2): 68-72
3. Djuanda, adhi Prof.Dr.dr.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Keenam.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2010;204-08.
4. Stanley JR. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ (eds). Fitzpatrick's dermatology in general medicine
(two vol. set). 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008: 459-74
5. Domonkos AN, Amold HN, Odom RD, Chronik Blistering Dermatoses in
Andrews Disease of the Skin,7th edition, Philadelphia, W.B. Saunderes
Company,2000: 574-79
6. Wardhana M, Rusyati L. Prevalence and quality of life of pemphigus patients
at sanglah general hospital Bali-Indonesia. Bali Medical Journal(BMJ) 2013;
Vol.2(1). p. 42-45.
7. Suran L. Fernando, Jamma Li, dan Mark Schifte. Pemfigus Vulgaris and
Pemfigus Foliaceus. Chapter 5, NTCH 2013.
8. Habif TP, ed. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy.
4th edition. Mosby.2003;568
9. Kariosentono H, Epidermolisis Bulosa dalam HarahapM, Penyunting Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta, Hipokrates, 2000 : 134-37.
10. Kelompok Studi Imuno Dermatologi Indonesia. Dalam: Suriadiredja A,
Thoruan TL, Widaty S, Listyawan Y, Siswati AS, Danarti R, Rosita C,
Nopriyanti. Editor. Panduan Pelayanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi
dan Venerologi. Jakarta : PERDOSKI; 2014. BAB D. p. 155-158.
11. Ramona DL. Gambaran Histopatologis Pemphigus Vulgaris. Repository
USU;2009.
12. William, Vincencius. Pemfigus Vulgaris: Diagnosis dan Tatalaksana Dokter
RSUD Karangasem Bali. Jurnal CDK-247. Vol. 43 No. 12; Bali, 2016.

15
13. Pradeep AR, Manojkumar ST, Arjun R. Pemphigus Vulgaris associated with
significant periodontal findings: Acase report. J Calif Dent Assoc:2010.
38:343–6.
14. Rezeki S, Titiek S. Pemphigus vulgaris : Pentingnya diagnosis dini,
penatalaksanaan yang komrehensif dan adekuat (Laporan kasus). Indonesian
Journal of Dentistry 2009; 16(1):17
15. Singh S. Evidence-based treatments for pemphigus vulgaris, pemphigus
foliaceus and bullous pemphigoid: A systematic review. Indian J Dermatol
Venereol Leprol. 2011;77(4): 456–69.

16

Anda mungkin juga menyukai