PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Definisi
Pemfhigus berasal dari bahsa yunani yaitu dari kata pemphix yang artinya
gelembung atau bula. Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun bula
kronik,menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara histologik ditandai
dengan ditemukannya antibodi IgG yang bersirkulasi dan terikat pada permukaan
sel keratinosit,yang menyebabkan timbulnya reaksi pemisahan sel-sel epidermis
diakibatkan karena tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis, proses ini
disebut akantolisis. Terdapat 4 bentuk pemfigus ialah pemfigus vulgaris,pemfigus
eritematous,pemfigus follaseus,pemfigus vegetans.3
II. 2 Epidemiologi
Pemfigus vulgaris (P.V.) merupakan bentuk yang tersering dijumpai
( 80% semua kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai
semua bangsa dan ras. 3 Lebih umum pada orang-orang Yahudi dan orang-orang
dari keturunan Mediterania. Di Yerusalem kejadian diperkirakan 16 per juta,
sedangkan di Perancis dan Jerman itu adalah 1,3 per juta. Frekuensinya pada
kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai usia 40-60 tahun , tetapi dapat
juga mengenai semua umur, termasuk anak. 4
II. 3 Etiologi
Pemfigus ialah penyakit autoimun, karena pada serum penderita
ditemukan autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (drug-
inducedpemphigus), misalnya D-penisilamin dan kaptopril.Pemfigus yang
diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigusfoliaseus (termasuk
2
pemfiguseritematosus) atau pemfigus vulgaris.Pemfigus foliaseus lebih sering
timbul dibandingkan dengan pemfigus vulgaris. 3
II. 5 Patogenesis
Lesi yang terbentuk pada pemfigus vulgaris terjadi karena reaksi autoimun
terhadap antigen pemfigus vulgaris. Antigen ini merupakan transmembran
glikoprotein dengan berat molekul 130 kD yang terdapat pada permukaan sel
keratinosit dan 160 kD untuk pemfigus foliaesus. Target antigen pada pemfigus
vulgaris yang hanya dengan lesi oral adalah desmoglein 3, sedangkan yang
dengan lesi oral dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3, sedangkan pada pemfigus
foliaesus target antigennya adalah desmoglein 1. Desmoglein adalah salah satu
komponen desmosom. Fungsi desmosom adalah meningkatkan kekuatan
mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa. Pada
pemfigus vulgaris, autoantibodi yang menyerang desmoglein pada permukaan
keratinosit membuktikan bahwa autoantibodi tersebut bersifat patogenik. Pada
penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai antibodi subklas IgG dan
IgG4, tetapi yang patogenik ialah IG4. Pada pemfigus juga ada faktor genetik,
umumnya berkaitan dengan HLA-DR4.6,7
3
Antigen pemfigus vulgaris yang dikenali sebagai desmoglein 3,
merupakan desmosomal kaderin yang terlibat dalam perlekatan interseluler pada
epidermis. Antibodi yang berikatan dengan rantai amino pada desmogelin 3 ini
mempunyai efek langsung terhadap fungsi kaderin. Desmoglein 3 dapat
ditemukan pada desmosom dan pada membran keratinosit. Desmoglein 3 ini
dapat dideteksi pada setiap deferensiasi keratinosit terutamanya pada epidermis
bawah dan lebih padat pada mukosa bukal dan kulit kepala. Hal ini berbeda
dengan antigen pemfigus foliaseus yaitu desmoglein 1, yang dapat ditemukan
pada epidermis dan lebih padat pada epidermis atas (Gambar.1). Tanda utama
pada PV adalah dengan mencari autoantibodi IgG pada permukaan keratinosit.
Hal ini merupakan fungsi patogenik primer dalam mengurangi perlekatan antara
sel-sel keratinosit yang menyebabkan terbentuknya bula-bula, erosi dan ulser
4
II. 6 Gejala Klinis
a. Keadaan umum penderita umumnya buruk
b. Membran mukosa
1. Lesi pada pemphigus vulgaris pertama kali berkembang pada membrane
mukosa terutama pada mulut, yang terdapat 50-70% pasien. Bula yang
utuh jarang ditemukan di mulut disebabkan bula mudah pecah dan dapat
timbul erosi.
2. Pada umumnya erosi terdapat pada buccal, ginggiva, palatum, dengan
bentuk yang tidak teratur, sakit dan lambat untuk menyembuh. Erosi
dapat dapat meluas ke laring yang menyebabkan sakit tenggorokan dan
pasien kesulitan untuk makan ataupun minum. Permukaan mukosa lain
yang terlibat yaitu konjungtiva,esophagus, labia, vagina,serviks, penis,
uretra, dan anus.
c. Kulit
1. Kelainan kulit dapat bersifat lokal maupun generalisata, terasa panas,
sakit tanpa disertai pruritus dan tempat predileksinya adalah badan,
umbilicus, kulit kepala, wajah,ketiak dan daerah tekanan serta lipatan
paha.
2. Timbul pertama kali berupa bula yang lembek (berdinding kendur) berisi
cairan jernih pada kulit normal dengan dasr eritematous. Bula mudah
pecah dan yang utuh jarang didapatkan disebabkan atap bula yang terdiri
5
dari sebagian kecil bagian atas epidermis. Kemudian dapat timbul erosi
yang nyeri, mudah berdarah dan cenderung meluas. Kemudian erosi
teresut akan ditutupi oleh krusta. Lesi yang menyembuh meninggalkan
daerah hiperpigmentasi tanpa jaringan parut.
3. Pada bula yang aktif dapat ditemukan Nikolsky sign yang mengambarkan
tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis yaitu dengan cara:
- Menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dengan ujung jari,
mengakibatkan kulit yang terlihat normal akan terkelupas
- Menekan diatas bula dengan ujung jari, akibatnya cairan bula kan
melebar dari tempat penekanan disebut bula spread phenomenon.5,8
6
II. 7 Diagnosis
Penyakit autoimun kulit yang menyebabkan kerusakan pada perlekatan
antar sel telah banyak ditemukan dan sukar untuk dibedakan karena memiliki
manifestasi klinis yang mirip. Ciri klinis seperti tanda Nikolsky tidaklah spesifik
untuk penyakit ini saja. Karena itu, selain dari anamnesis yang baik dan
pemeriksaan fisik lesi yang muncul, pemeriksaan biopsi, histopatologi dan
immunologi yang baik merupakan hal yang perlu diindikasikan.6
7
Gambar 3. Histopatologi Pemfigus Vulgaris. Satu dari sel epitel terlihat
berjauhan antara satu sama lain dan membuat cairan dalam lepuhan.
3) IMUNOPATOLOGI
a. Imunofloresensi langsung
Pada pemeriksaan imunoflouresensi langsung didapatkan
antibodi interselular tipe IgG dan C3 di subtansi interselluler
epidermis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mencampurkan
spesimen jaringan mukosa yang dibiopsi dengan beberapa siri
imunoglobulin. Imunoglobulin ini telah ditandai dengan bahan
floresensi (fluorochrome) yang digunakan untuk menunjukkan
kehadiran autoantibodi yang melekat pada sel jaringan pasien.11
b. Imunofloresensi tidak langsung
Test ini dilakukan dengan mengukur jumlah autoantibodi di
dalam darah. Pada test ini biasanya ditemukan antibodi pemfigus tipe
IgG interseluler, terdapat pada 80-90% penderita.12
8
dan sistemik.
Pada pemfigus vulgaris keadaan umum pasien buruk, kelainan
utamanya ialah bula yang berdinding kendur, generalisata dan eritema bisa
terdapat atau tidak. Pada gambaran histopatologik dermatitis herpetiformis,
letak vesikel/bula di subepidermal sedangkan pada pemfigus vulgaris terletak
di intraepidermal dan terdapat akantolisis.12
b. Pemfigoid Bulosa
Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh
adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang dan pada
9
Gambar 5. Pemfigoid Bulosa.
10
Pengobatan sistemik kortikosteroid merupakan cara terbaik dalam
terapi pemfigus vulgaris. Steroid mengurangi inflamasi dengan cara menekan
sistem kekebalan tubuh. Perbaikan klinis akan terlihat setelah beberapa hari
pengobatan kortikosteroid kira-kira 2-3 pekan, dan 6-8 pekan untuk hasil yang
lebih baik.2,
Pemakaian dosis tinggi diperlukan pada pengobatan pertama kali,
kadang-kadang dosis tinggi diberikan dengan cara i.m atau i.v. dosis dikurangi
bila lepuh telah berhenti terbentuk. Tujuannya adalah untuk menemukan dosis
terendah yang diperlukan untuk mengendalikan gejala dimana dosis yang
diperlukan bervariasi antara pasien. Yang sering digunakan adalah prednison
dan deksametason. Dosis prednison bergantung pada berat ringannya
penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula yang menggunakan 3 mg/kgbb
sehari untuk pemfigus yang berat. Pada dosis yang tinggi sebaiknya diberikan
deksametason i.m atau i.v. jika tidak ada respon perbaikan, yang berarti masih
timbul lesi baru setelah 5-7 hari, dosis pengobatan ditingkatkan 50-100%
sampai ada perbaikan. Kalau sudah ada perbaikan, dosis diturunkan 10-20 mg
ekuivalen prednison atau diturunkan hingga 50% setiap 2 pekan.15
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasikan
dengan ajuvan yang terkuat ialah sitostatik. Efek samping kortikosteroid yang
berat adalah atrofi kelenjar adrenal bagian korteks, ulkus peptikum, dan
osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur. Obat sitostatik yang
direkomendasikan adalah azitioprin karena cukup bermanfaat dan tidak begitu
toksik. Dosis azatioprin 50-150 mg sehari atau 1-3 mg per kgBB. Efek
terapeutik azatioprin baru terjadi setelah 2-4 pekan. Obat-obat sitostatik
diberikan jika dosis prednison mencapai 60 mg sehari untuk mencegah sepsis
dan bronkopneumonia. Jika telah tampak perbaikan dosis prednison
diturunkan lebih dahulu, kemudian dosis azatioprin diturunkan secara
bertahap. Obat sitostatik yang lainnya adalah siklofosfamid, metrotreksat, dan
mikofenolat mofetil.4
Pada kasus diberikan antibiotik eritromisin dengan dosis 4 kali dalam
11
sehari, selama 10 hari. Eritromisin termasuk golongan makrolida, bekerja
dengan menghambat sintesis protein bakteri, bersifat bakteriostatik atau
bakterisid, tergantung dari jenis bakteri dan kadarnya dalam darah.
Eritromisin efektif terhadap kuman gram-positif seperti S. aureus (baik yang
menghasilkan penisillinase maupun tidak), Streptococcus group A,
Enterococcus, C. diphtheriae dan Pneumococcus. Juga efektif terhadap
kuman gram-negatif seperti Neisseria, H. influenzae, B. pertusis, Brucella
juga terhadap Riketsia, Treponema dan M. pneumoniae. Resistensi silang
dapat terjadi antar berbagai antibiotika golongan makrolida.15
2) Pengobatan topikal
Pada pasien dengan lesi ringan hingga sedang dan didapatkan sebatas
pada permukaan mukosa bisa menggunakan terapi steroid topikal saja. Pada
pemfigus oral, penggunaan sikat gigi yang lembut sangat disarankan untuk
mengurangi trauma lokal. Analgesik dan anastesi topikal seperti benzydamine
hydrochloride 0,15% bisa digunakan untuk menghilangkan nyeri pada lesi
oral, terutama sebelum membersihkan mulut dan gigi. Kebersihan rongga
mulut penderita pemfiggus vulgaris harus dijaga untuk mencegah lesi yang
lebih luas. Saat menyikat gigi sebisanya untuk menggunakan larutan kumur
antiseptik seperti chlorhexidine glukonat 0,2%. Untuk erosi oral yang banyak,
digunakan obat kumur seperti larutan betamethasone sodium phosphate 0,5
mg tablet dicampurkan dalam 10 ml air dan dapat digunakan 4 kali sehari
selama 5 menit setiap pemakaian. Pada daerah lesi yang erosif dapat juga
diberikan silver sulfadiazine, yang berfungsi sebagai antiseptik dan astringen.
Pada lesi pemfigus yang sedikit dapat diberikan kortikosteroid secara
intradermal dengan triamsinolon asetonid 0,1%.1,10
II. 10 Prognosis
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50%
12
penderita dalam tahun pertama.Sebab kematian ialah sepsis, kakeksia, dan
ketidakseimbangan elektrolit. Pengobatan dengan kortikosteroid membuat
prognosisnya lebih baik.3
BAB III
KESIMPULAN
13
Pemfigus vulgaris merupakan suatu kumpulan penyakit autoimun berbula
kronik yang tersering dijumpai (80% dari semua kasus), menyerang kulit dan
membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat
proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi terhadap komponen
desmosom pada permuakaan keratinosit jenis IgG. Keadaan umum pasien biasanya
buruk. Gambaran umum dari lesi pemphigus vulgaris ialah munculnya ulser yang
menyakitkan, ditandai dengan bula dan vesikel yang sudah pecah dan kemunculan
lesi baru bila lesi lama mula membaik.
Untuk mendiagnosis pemfigus vulgaris dapat dilakukan pemeriksaan Tzanck
smear, histopatologi, dan imunologi. Pengobatan pada pemfigus dapat menggunakan
terapi kortikosteroid yang didukung dengan terapi ajuvan dan dengan terapi topikal
berupa steroid,antiseptik maupun astringen.
DAFTAR PUSTAKA
14
1. Benny E,W. Dermatosis vesikobulosa kronik. Dalam: Mochtar H, Siti A,
editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7. Jakarta : EGC;2015. H 204-
208.
2. Muhammad A,S. A 56 years old man with pemphigus vulgaris. J Medula
Unila 2014; vol.3(2): 68-72
3. Djuanda, adhi Prof.Dr.dr.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Keenam.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2010;204-08.
4. Stanley JR. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ (eds). Fitzpatrick's dermatology in general medicine
(two vol. set). 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008: 459-74
5. Domonkos AN, Amold HN, Odom RD, Chronik Blistering Dermatoses in
Andrews Disease of the Skin,7th edition, Philadelphia, W.B. Saunderes
Company,2000: 574-79
6. Wardhana M, Rusyati L. Prevalence and quality of life of pemphigus patients
at sanglah general hospital Bali-Indonesia. Bali Medical Journal(BMJ) 2013;
Vol.2(1). p. 42-45.
7. Suran L. Fernando, Jamma Li, dan Mark Schifte. Pemfigus Vulgaris and
Pemfigus Foliaceus. Chapter 5, NTCH 2013.
8. Habif TP, ed. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy.
4th edition. Mosby.2003;568
9. Kariosentono H, Epidermolisis Bulosa dalam HarahapM, Penyunting Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta, Hipokrates, 2000 : 134-37.
10. Kelompok Studi Imuno Dermatologi Indonesia. Dalam: Suriadiredja A,
Thoruan TL, Widaty S, Listyawan Y, Siswati AS, Danarti R, Rosita C,
Nopriyanti. Editor. Panduan Pelayanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi
dan Venerologi. Jakarta : PERDOSKI; 2014. BAB D. p. 155-158.
11. Ramona DL. Gambaran Histopatologis Pemphigus Vulgaris. Repository
USU;2009.
12. William, Vincencius. Pemfigus Vulgaris: Diagnosis dan Tatalaksana Dokter
RSUD Karangasem Bali. Jurnal CDK-247. Vol. 43 No. 12; Bali, 2016.
15
13. Pradeep AR, Manojkumar ST, Arjun R. Pemphigus Vulgaris associated with
significant periodontal findings: Acase report. J Calif Dent Assoc:2010.
38:343–6.
14. Rezeki S, Titiek S. Pemphigus vulgaris : Pentingnya diagnosis dini,
penatalaksanaan yang komrehensif dan adekuat (Laporan kasus). Indonesian
Journal of Dentistry 2009; 16(1):17
15. Singh S. Evidence-based treatments for pemphigus vulgaris, pemphigus
foliaceus and bullous pemphigoid: A systematic review. Indian J Dermatol
Venereol Leprol. 2011;77(4): 456–69.
16