Anda di halaman 1dari 9

Pemphigus vulgaris

PENGERTIAN
Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik, menyerang kulit dan membran mukosa yang secara histologik ditandai
dengan bula intraepidermal akibat proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibodi terhadap komponen desmosom pada
permukaan keratinosit jenis Ig G, baik terikat maupun beredar dalam sirkulasi darah.
Pemphix dalam bahasa Yunani artinya gelembung atau lepuh dan vulgaris dalam bahasa Latin artinya umum. Meskipun demikian
pemfigus adalah suatu penyakit yang jarang, pemphigus vulgaris adalah paling umum dari semua penyakit, berisikan 80% penyakit yang
ada. Kata pemfigus pertama kali disebutkan oleh Wichman pada 1791. Ditengahi oleh sirkulasi autoantibody yang langsung mengarah ke
sel permukaan keratinosit. Angka kematian dari pemfigus vulgaris sebelum perkembangan dengan terapi pengobatan adalah setinggi
90% dan yang fatal adalah sebagian besar dehidrasi atau infeksi sistemik sekunder. Sekarang dengan pengobatan, angka kematian kirakira 5 - 15%. Angka kematian dari PV adalah 75% pada rata-rata sebelum penggunaan dari kortikosteroids (CS) pada awal 1950s.
Pemfigus Vulgaris (PV) adalah suatu penyakit kronis mukokutaneus yang biasanya manifestasi pertama pada rongga mulut yang
kemudian menyebar ke kulit atau membran mukosa yang lain. Kondisi penyakit ini penting yang merupakan suatu ancaman, dokter gigi
mampu untuk mengenali manifestasi PV dari mulut dan pengobatan atau yang berhubungan dengannya. Selain dari ulkus, vesikel, bulla,
dan erosi, juga dapat terbentuk sebagai lesi pustula.
Pemfigus vulgaris (PV) dan pemfigus foliaseus (PF) adalah penyakit kulit autoimmune yang berpotensi fatal dimana autoantibodi
melawan desmoglein 3 (Dsg3) dan Dsg1, permukaan molekul sel desmosomal adhesi, menyebabkan sel keratinosit adhesi. PF ditandai
oleh hanya permukaan kulit yang melepuh, sementara PV secara khas menyajikan dengan melepuh suprabasilar dari membran mukosa,
yang mungkin meluas ke daerah kulit. Pembahasan ELISA bahwa semua Sera PF mengandung autoantibodi melawan Dsg1, dan serum
dari pasien dengan dominan mukosa PV mereaksi sebagian besar melawan Dsg3. Pasien PV yang menuju dari mukosa ke
mukokutaneous mengembangkan anti Dsg1 sebagai tambahan terhadap anti antibodi Dsg3.
EPIDEMIOLOGI
Pemfigus Vulgaris (P.V) merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua kasus). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat
mengenai semua bangsa dan ras. Frekuensinya pada kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai umur pertengahan (decade ke-4 dan
ke-5), tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak.
Puncak insiden dari pemphigus vulgaris terjadi di antara dekade keempat dan keenam dari hidup dengan rasio laki-laki dan perempuan
adalah 1:2.
Distribusi dari pemphigus vulgaris dari usia 15 sampai 70 tahun dengan rata-rata usia 42.73 tahun. pasien termuda adalah 15 tahun dan
usia pasien paling tua adalah 70 tahun. presentasi pada laki-laki adalah 47.50 tahun dan perempuan adalah 39.75 tahun. Mayoritas dari
sabar berada pada kelompok usia 41 - 50 tahun (28. 16%). Berikutnya angka tertinggi dari pasien berada dalam kelompok usia dari 31 40 tahun (23. 94%) diikuti oleh umur kelompok dari 21 - 30 tahun (16. 90%).
Pemfigus vulgaris tersebar diseluruh dunia, dapat mengenai semua ras, frekuensi hampir sama pada laki-laki dan perempuan. Pemfigus
vulgaris merupakan bentuk yang sering dijumpai kira-kira 70% dari semua kasus pemfigus, biasanya pada usia 50-60 tahun dan jarang
pada anak-anak. Insiden pemfigus bervariasi anta 0,5-3,2 kasus per 100.000 dan pada keturunan yahudi khususnya Ashkenazi jewish
insidennya meningkat.
ETIOLOGI
Pemfigus adalah penyakit autoimmun, karena pada serum penderita ditemukan autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (druginduced pemphigus), misalnya D-penisilamin dan kaptopril. Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigus foliaseus
(termasuk pemfigus eritomatosus) atau pemfigus vulgaris. Pemfigus foliaseus lebih sering timbul dibandingkan dengan pemfigus
vulgaris. Pada pemfigus tersebut, secara klinis dan histologik menyerupai pemfigus yang sporadik, pemeriksaan imunoflouresensi
langsung pada kebanyakan kasus positif, sedangkan pemeriksaan imunoflouresensi tidak langsung hanya kira-kira 70% yang positif.
Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplasma, baik yang jinak maupun yang maligna, dan disebut sebagai pemfigus paraneoplastik.
Pemfigus juga dapat ditemukan bersama-sama dengan penyakit autoimun yang lain, misalnya lupus eritematosus sistemik, pemfigoid
bulosa, miastenia gravis, dan anemia pernisiosa.
Penyebab pasti pemfigus vulgaris tidak diketahui, dimana terjadinya pembentukan antibody IgG, beberapa faktor potensial yang relevan
yaitu:
1. Faktor genetik: molekul major histokompatibility komplek (MHC) kelas II berhubungan dengan human leukosyte antigen DR4 dan
human leukocyte antigen DRw6
2. Pemfigus sering terdapat pada pasien dengan penyakit autoimun yang lain, terutama myasthenia gravis dan thyoma.
3. D-penicillamine dan katopril dilaporkan dapat menginduksi terjadinya pemfigus (jarang).

PATOGENESIS
Proses utama yang terjadi pada semua bentuk pemfigus adalah :
1. Terjadinya keretakan dalam epidermis
2. Hilangnya adhesi sel-sel epidermis (akantolisis)
Lepuh pada pemfigus vulgaris akibat terjadinya reaksi autoimun terhadap antigen pemfigus vulgaris. Antigen ini merupakan
transmembran glikoprotein dengan berat molekul 160 kD untuk pemfigus foliaesus dan berat molekul 130 kD untuk pemfigus vulgaris
yang terdapat sel keratinosit.
Kelainan-kelainan ini bisa terjadi tepat di atas bagian basal (pemfigus vulgaris) atau pada tempat yang lebih tinggi (pemfigus foliaseus).
Varian yang paling sering adalah pemfigus vulgaris, dimana didapatkan adanya lepuhan yang lunak dan erosi pada kulit. Kelainan ini
bisa timbul dimana saja, tetapi pada lebih dari 50% pasien timbul didaerah mulut. Lesi di daerah perineum juga sering didapatkan.
Lepuhan ini mudah pecah dan erosi yang diakibatkannya sembuh dengan sangat lambat bahkan mungkin tidak terjadi sama sekali. Tanda
yang sangat khas adalah adanya tanda Nikolsky, kulit pada bagian tepi lepuhan akan bergerak meluncur bila ditekan dengan jari atau
diangkat dengan forseps. Tanda ini tampaknya adalah patognomonik karena hanya ditemukan pada pemfigus dan nekrolisis epidermal
toksik. Pemfigus vegetans merupakan salah satu varian pemfigus vulgaris, dimana didapatkan adanya massa yang bervegetasi, terutama
di daerah fleksor.
Desmoglein adalah salah satu komponen desmosom. Komponen yang lain, misalnya desmoplakin, plakoglobin, dan desmokolin. Fungsi
desmosom ialah meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa.
Target antigen pada pemfigus vulgaris yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein 3, sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah
desmoglein 1 dan 3. Sedangkan pada pemfigus foliaesus target antigennya ialah desmoglein 1.
Antigen utama dalam pemfigus vulgaris adalah Dsg - 3 tapi 50% pasien juga mempunyai auto antibodi ke Dsg - 1. Proporsi dari antibodi
Dsg - 1 dan Dsg-3 tampak berhubungan dengan kehebatan klinis dari pemfigus vulgaris itu dengan hanya antibodi Dsg - 3 punya
sebagian besar lesi oral.
Di selaput lendir, Dsg1 diekspresikan sebagian besar pada permukaan epitelium, sementara Dsg3 diekspresikan di bagian kulit. Di kulit,
Dsg1 diekspresikan sepanjang epidermis (sebagian besar permukaan atas), sementara Dsg3 diekspresikan hanya pada dasar dan lapisan
suprabasal langsung. Pada PF, anti antibodi lantaran Dsg1 melepuhkan pada permukaan atas epidermis , dimana Dsg1 tetapi bukan Dsg3,
tapi mereka tidak mempengaruhi mukosa mulut karena akibat adhesi yang disediakan oleh Dsg3 sepanjang epithelium. Di mukosa PV,
anti antibodi lantaran lepuh Dsg3 hanyalah pada lapisan dasar dari mukosa, dimana Dsg3 hadir tanpa Dsg1 untuk ganti kerugian.
Perkembangan dari anti Dsg1 sebagai tambahan terhadap anti - Antibodi Dsg3 di mukokutaneous PV dihasilkan pada ekstensi dari
suprabasilar melepuh ke epidermis.
GEJALA KLINIS
Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira
pada 60% kasus, berupa erosi yang disertai pembentukan krusta, sehingga sering salah didiagnosis sebagai prodermal pada kulit kepala
yang berambut atau dematitis dengan infeksi sekunder. Lesi ditempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum timbul bula
generalisata. Lesi mulut sering terjadi pada awal manifestasi klinik. Dengan demikian, penting untuk dokter gigi mampu mengenali
manifestasi PV dari mulut dan pengobatan atau yang berhubungan dengannya
Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang, yakni selaput lendir konjungtiva, hidung, farings, larings, esofagus, uretra,
vulva dan serviks. Kebanyakan penderita menderita stomatitis aftosa sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Lesi di mulut ini dapat meluas
dan dapat mengganggu penderita makan karena rasa nyeri.
Bula yang timbul berdinding kendur, mudah pecah dengan meninggalkan kulit terkelupas, dan diikuti oleh pembentukan krusta yang
lama bertahan diatas kulit yang tampak normal atau yang eritematosa dan generalisata. Tanda nikolski positif disebabkan oleh adanya
akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama dengan menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dan kulit tersebut
akan terkelupas, cara kedua dengan menekan bula, maka bula akan meluas karena cairan yang didalamnya mengalami tekanan.
PENGOBATAN
Obat utama adalah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Yang sering digunakan adalah prednison deksametason. Dosis
prednisone bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula yang menggunakan 3 mg/kgBB
sehari bagi pemfigus yang berat. Pada dosis yang tinggi sebaiknya diberikan deksametason i.m atau i.v. sesuai dengan ekuivalennya
karena lebih praktis. Keseimbangan cairan dan gangguan elektrolit diperhatikan.
Pengobatan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Sebelum kortikosteroid sistemik digunakan dalam pengobatan, kebanyakan pasien
meninggal, biasanya akibat penyakit berkepanjangan dan membuat badan menjadi lemah. Sistemik CS adalah pengobatan terbaik yang
digunakan untuk manajemen dari PV. Penggunaan CS pada awal 1950s dihasilkan angka kematian adalah rata-rata 30% dengan angka
kecepatan kesembuhan 1320%. Hasil lebih lanjut meningkat dan pada satu pembahasan terbaru, angka kematian adalah nol dan angka
kesembuhan adalah 29% pada pengobatan 17 pasien dengan steroid dan diikuti untuk 4 6 tahun.
Digunakan prednisolon dosis tinggi (60-120 mg per hari). Secara bertahap dosis dikurangi bila pembentukan lepuhan baru sudah berhenti

(biasanya dalam waktu sekitar 4-6 minggu). Obat-obatan imunosupresi seperti azatiopron, klorambusil, siklofosfamid, atau metotreksat
dapat diberikan sebagai tambahan untuk mendampingi obat-obat steroid.
Perawatan yang baik dan penanganan metabolisme tubuh merupakan hal yang mendesak karena pasien-pasien pemfigus mungkin juga
menderita penyakit sistemik. Erosi-erosi yang tersebar luas dapat menyebabkan terjadinya kehilangan protein serta cairan tubuh, dan
sering kali terjadi infeksi sekunder. Bila mulut terserang erosi secara hebat, pasien tidak bisa makan dan dapat terjadi katabolisme yang
berat.
Jika belum ada perbaikan, yang berarti masih timbul lesi baru setelah 5-7 hari dengan dosis inisial, maka dosis dinaikkan 50%. Kalau
telah ada perbaikan dosis diturunkan secara bertahap. Biasanya setiap 5-7 hari turunkan 10-20mg ekuivalen prednisone tegantung pada
respons masing-masing, jadi bersifat individual. Cara yang terbaik adalah memantau titer antibody karena antibody tersebut
menunjukkan keaktifan penyakit. Jika titernya stabil, penurunan dosis lambat, bila titernya menurun, penurunan dosis lebih cepat. Jika
pemberian prednisone melebihi 40 mg sehari harus disertai antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder.
Cara pemberian kortikosteroid yang lain dengan terapi denyut. Caranya bermacam-macam yang lazim digunakan ialah dengan methyl
prednisolon sodium succinate (solumedrol), intravena selama 2-3 jam, diberikan jam 8 pagi untuk lima hari. Dosis sehari 250-1000mg
(10-20 mg) per kgBB), kemudian dilanjutkan dengan kortikosteroid per os dengan dosis sedang atau rendah. Efek samping yang berat
pada terapi denyut tersebut, diantaranya ialah hipertensi, elektrolit sangat terganggu, infark miokard, aritmia jantung sehingga dapat
menyebabkan kematian mendadak dan pancreatitis.
Pasricha mangobati pemfigus dengan cara kombinasi deksametason dan siklosfamid dosis tinggi secara intermitten dengan hasil baik.
Dosis deksametason 100 mg dilarutkan dalam 5% glukosa diberikan selama 1 jam i.v., 3 hari berturut-turut . siklosfamid diberikan i.v.,
500mg hanya pada hari I, dilanjutkan per os 50 mg sehari. Pemberian deksametason dengan cara tersebut diulangi setiap 2-4 minggu.
Setelah beberapa bulan penyakit tidak relaps lagi, pemberian deksametason dijarangkan menjadi setiap 6-9 bulan. Kemudian dihentikan
dan pemberian siklofosfamid 50mg/hari diteruskan. Setelah kira-kira setahun pengobatan dihentikan dan penderita diamati terjadinya
relaps.
Untuk mengurangi dosis kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan ajuvan yang terkuat ialah sitostatik. Efek samping kortikosteroid
yang berat atrofi kelenjar adrenal bagian korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur kolumna vertebra
pars lumbalis.

1.1 Pendahuluan
Pemphigus vulgaris merupakan kelainan kulit berlepuh yang diawali dengan adanya vesikel dengan dasar yang
eritematus. Pemphigus vulgaris sangat jarang (1/1000000) merupakan penyakit lepuh autoimun intraepidermal.
Penyakit ini menyerang kulit dan selaput lendir, serta berpotensi mengancam kehidupan. Pemphigus vulgaris
ditemukan terutama dalam masyarakat keturunan Yahudi Ashkenazi dan umumnya timbul usia 60 tahun.1
1.2 Definisi
Pemphigus adalah penyakit berlepuh yang dapat mengenai kulit dan membran mukosa, ditandai dengan bula
intraepidermal yang terjadi akibat proses akantolisis, dan disertai adanya sirkulasi antibodi IgG terhadap permukaan sel
keratosit. Perjalanan pemphigus bersifat kronik, sering diikuti kekambuhan akut, dan kadang dapat berakibat fatal.2
1.3 Insidensi
Seringkali terjadi pada pasien berusia 40-60 tahun. Pemphigus sering dikaitkan dengan kanker, dan penyakit autoimun
lainnya, seperti Myasthenia gravis.1
1.4 Penyebab
Penyebab pasti pemphigus vulgaris belum diketahui. Banyak teori yang mendasari timbulnya penyakit ini, antara lain
karena virus, namun hal ini tidak dapat dibuktikan. Hal lain, seperti kelainan metabolisme, intoksikasi, dan psikogenik,
lebih merupakan akibat, bukan penyebab pemphigus. Beutner dan Jordan (1964) dengan teknik imunofluresensi (IF),
mendemonstrasikan adanya zat antiIgG yang beredar di dalam serum penderita. Zat anti ini beraksi atau terikat pada
substansi yang melekatkan sel-sel epidermis (substansia intraseluler). Ini spesifik untuk pemphigus vulgaris. Titer zat
anti atau antibodi ini berhubungan dengan aktifitas/ berat ringannnya penyakit, sehingga mungkin dapat dipakai untuk
mengevaluasi pengobatan. Pada pemeriksaan imunofloresensi langsung dengan menggunakan epitel berlapis sebagai
antigen, misalnya selaput lendir kerongkongan kera atau bibir marmut, komplek antigen antibodi terlihat sebagai
susunan retikuler di sepanjang stratum spinosum. Pemeriksaan IF langsung ini mempunyai arti penting untuk
diagnosis, karena hasilnya positif pada awal penyakit dan tetap positif untuk waktu lama atau beberapa tahun setelah
penyakit sembuh atau tanpa pengobatan. Dari pengamatan IF, jelas adanya peran mekanisme autoimun di dalam
patogenesis pemphigus. Namun walaupun antibodi yang timbul spesifik terhadap pemphigus ternyata antibodi
antiepitel tersebut bisa pula didapatkan pada penderita luka bakar, pemfigoid, NET, mikosis fungiodes, dan erupsi kulit
karena penisilin. Hubungan pemphigus dengan HLA terlihat pada studi populasi terhadap penderita pemphigus yang

menunjukan kenaikan HLA-A10 pada orang Jepang dan Yahudi yang menderita pemphigus. Dan ada hubungan kuat
dengan HLA-DR4 pada orang Yahudi yang menderita pemphigus.2
1.5 Tanda dan Gejala
Keadaan umum penderita umumnya buruk. Penyakit dapat mulai sebagai lesi di kulit kapala yang berambut atau di
rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, sehingga sering salah didiagnosis sebagai pioderma pada kulit kepala yang
berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder. Lesi di tempat tersebut dapat berlangsung berbulan-bulan sebelum
timbul bula generalisata.3
Gejala klinis pemphigus vulgaris biasanya didahului dengan keluhan subjektif berupa malaise, anoreksia, subfebris,
kulit terasa panas dan sakit serta sulit menelan. Rasa gatal (pruritus) jarang didapat. Kelainan kulit ditandai dengan
bula berdinding kendur yang timbul di atas kulit normal atau pada selaput lendir. Bila lesi mengenai paru akan timbul
kesukaran menelan karena sakitnya. Selaput lendir lain juga dapat terkena, seperti konjungtiva, hidung, vulva, penis,
dan mukosa hidung-anus.
Daerah predileksi biasanya mengenai muka, badan, daerah yang terkena tekanan, lipat paha, dan aksila. Bula
berdinding kendur mula-mula berisi cairan jernih kemudian menjadi keruh (seropurulen) atau hemoragik. Dinding bula
mudah pecah dan menimbulkan daerah-daerah erosi yang meluas (denuded area), basah, mudah berdarah, dan
tertutup krusta. Bila terjadi penyembuhan, lesi meninggalkan bercak-bercak hiperpirmentasi tanpa jaringan parut.
Daerah-daerah erosi pada tubuh dan mulut menimbulkan bau yang merangsang dan tidak sedap. Tanda nikolsky dapat
ditemukan dengan cara: kulit yang terlihat normal akan terkelupas apabila ditekan dengan ujung jari secara hati-hati
atau isi bula yang masih utuh melebar bila kita lakukan hal yang sama (bulla spread phenomenon). Hal ini
menunjukkan bahwa kohesi antar sel-sel epidermis telah hilang.2
1.6 Diagnosis
Pemphigus vulgaris biasanya terjadi pada usia lanjut dan disertai keadaan umum yang lemah. Selain itu, diagnosis
dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Gambaran klinis yang khas dan tanda dari nikolsky positif.
2. Test tzanck positif dengan membuat apusan dari dasar bula dan dicat dengan giemsa akan terlihat sel tzanck atau
sel akantolitik yang berasal dari sel-sel lapisan spinosum berbentuk agak bulat dan berinti besar dengan dikelilingi
sitoplasma jernih (halo).
3. Pemeriksaan hitopatologik: terlihat gambaran yang khas, yakni bula yang terletak supra basal dan adanya
akantolisis.
4. Pemerikssaan imunofluoresensi.2
Pada tes imunofluoresensi langsung didapatkan antibodi intraseluler tipe IgG dan C3. Pada tes imunofluoresensi
secara langsung didapatkan antibodi pemphigus tipe IgG. Tes pertama lebih terpercaya daripada tes kedua, karena
telah positif pada penuaan penyakit. Kadar titernya pada umumnya sejajar dengan beratnya penyakit dan akan
menurun dan menghilang dengan pengobatan kortikosteroid.3
1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan utama adalah kortikosteroid, karena bersifat imunosupresif. Yang sering digunakan adalah prednisone dan
dexametasone. Dosis prednisone bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada
pula yang menggunakan 3 mg/ kgBB perhari bagi pemphigus yang berat. Pada dosis yang tinggi sebaiknya diberikan
deksametasone i.m. atau i.v. sesuai dengan equivalennya karena lebih praktis. Keseimbangan cairan dan gangguan
elektrolit perlu diperhatikan.3
Lever dan White mengajukan dosis 180-360 mg prednisone setiap hari sampai remisi lengkap, biasanya 6-10 minggu.
Contoh: bila dosis awal prednisone 180 mg perhari diberikan sampai 6 minggu dan terjadi remisi lengkap, dosis segera
diturunkan menjadi 90 mg perhari selama 1 minngu. Dan kemudian berturut-turut dosis diturunkan sebagai berikut:
45 mg setiap hari selama 1 minggu
30 mg setiap hari selama 2 minggu
20 mg setiap hari selama 3 minggu
15 mg setiap hari selama 4 minggu
Selanjutnya dosis bertahan (maintenance) sampai kurang dari 15 mg/ hari.2
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan adjuvant yang terkuat ialah sitostatika.
Efek samping kortikosteroid yang berat berupa atrofi kelenjar adrenal bagian korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis
yang dapat menyebabkan fraktur kolumna vertebrae pars lumbalis.
Tentang penggunaan sitostatika sebagai adjuvant terdapat 2 pendapat:
1. Sejak mula diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.
2. Sitostatika diberikan:

a. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kurang memberi respon.


b. Terdapat kontra indikasi, misalnya ulkus peptikum, diabetes mellitus, katarak, dan osteoporosis.
c. Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang diharapkan.
Obat sitostatika untuk pemphigus adalah:
1. Azatioprin: obat yang paling lazim dan tidak begitu toksik seperti siklofospamid. Dosisnya 50-150 mg sehari (1-3 mg/
KgBB). Kemudian diturunkan bertahap.
2. Siklofospamid: paling poten, tetapi efek sampingnya berat, jadi tidak dianjurkan. Dosisnya 50-100 mg perhari.
3. Metotreksat: jarang digunakan karena kurang bermanfaat. Dosisnya 25 mg perminggu i.m. atau per os.
Pengobatan lain pada pemfigus adalah plasmaferesis, dan dengan siklosporin dengan dosis 5-6 mg/ KgBB per os.3
1.8 Prognosis
Sebelum kortikosteroid digunakan, maka kematian terjadi pada 50% penderita dalam tahun pertama. Sebab kematian
adalah sepsis, kaheksia, dan ketidakseimbangan elektrolit. Dengan ditemukannya kortikosteroid dan imunostatik, maka
prognosis pemphigus vulgaris sekarang ini lebih baik.3,6

2 pemphigus vulgaris
3

Setiap stase kita ada tugas untuk mbikin jurnal, karena sedang di bangsal yang khusus untuk penyakit kulit, sehingga
kita tertarik ngambil kasus ini.
perawatan luka pada Pemphigus Vulgaris
setauku, sebelum masuk ke bangsal, penyakit kulit taunya cuma panu kadas kurap aja. *udah tau dong ya kayak
gimana* jadi gak perlu gambar lah..
nah, ternyata penyakit kulit gak terbatas disitu aja guys...ada yang namanya pemphigus vulgaris..apa sih itu?
ini gambarnya

5
gambar ini diambil dari: http://manbir-online.com/diseases/Pemphigus_Vulgaris.html
sekarang kita masuk untuk ngebahas pemphigus vulgaris dan dressing lukanya.... check this out..

6
7
8

1. PEMPHIGUS VULGARIS
a. Definisi
Pemphigus vulgaris berasal dari bahasa Yunani, pemphix yang berarti lepuhan.
Kelainannya perupa penyakit bula atau lepuhan yang dimana antibodi yang bersirkulasi pada
pasien melawan sel pada permukaan jaringan yang dikenal sebagai keratosit dan terjadi
leupan pada kulit dan membrana mukosa. Hal ini diakibatkan oelh hilangnya integritas pada
perlekatan interseluler yang normall antara epidermis kulit dan epitel mukosa yang
berhubungan dengan kehadiran antibodi desmoglein-3. Leppuhan pada Pemphigus Vulgaaris
terlihat menyerupai lesi terbakar dan batas keparahannya dari ringan sampai berat sehingga
dapat menyebabkan kematian.

9
10
11

b. Klasifikasi
Pemphigus terdiri dari beberapa subklas dan varian yaitu Pemphigus Vulgaris, Pemphigus
Vegetans, Pemphigus Foliaceus, Fogo Selvagam, Pemphigus Erythematosus, drug-induced
pemphigus dan Pemphigus Paraneoplastik.

12
13
14

c. Etiologi
Etiologi penyakit ini adalah autoimun dimana terjadi perikatan antara IgG autoanibodi
dengan permukaan sel keratinosit. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan dengan cara
pewarnaan indirect imunoflurescence, telah ditemukan anutoantibodi di dalam serum
penderita pemphigus vulgaris dan ini membuktikan penyakit ini mempunyai kaitan dengan
imunitas.

15
16
17

d. Manifestasi klinis
Sebagian besar pasien pada mulanya ditemukan dengan lesi oral yang tampak sebagai erosi
yang bentuk ireguler terasa nyeri, mudah berdarah dan sembuhnya lambat. Bulla pada kulit
akan membesar, pecah dan meninggalkan daerah-daerah erosi yang lebar serta nyeri yang
disertai dengan pembentukan kusta dan perembesan cairan. Bau yang menusuk dan khas
akan memancar dari bulla dan serum yang merembes keluar. Kalau dilakukan penekanan
yang minimal akan terjadi pembentukan lepuh atau pengelupasan kulit yang normal (tanda
Nicolsky) kulit yang erosi sembuh dengan lambat sehingga akhirnya daerah tubuh yang
terkena sangat luas , superinfeksi bakteri sering yang terjadi. Komplikasi yang sering pada
pemfigus vulgaris terjadi ketika proses penyakit tersebut menyebar luas. Sebelum
ditemukannya kortikosteroid dan terapi imunosupresif, pasien sangat rentan terhadap infeksi
sekunder. Bakteri kulit mudah mencapai bula karena bula mengalami perembesan cairan,
pacah dan meninggalkan daerah terkelupas yang terbuka terhadap lingkungan. Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit karena kehilangan cairan serta protein ketika bula
mengalami rupture. Hipoalbuminemia lazim dijumpai kalu proses mencapai kulit tubuh dan
membrane mukosa yang luas.

18
19
20
21
22

23
24

25
26
27

e. Faktor predisposisi
Para ahli menyatakan kemungkinan adanya faktor eksternal atu faktor lingkungan yang
bertindak sebagai pencetus atau faktor predisposisi sehingga penyakit ini dapat terjadi, yaitu:
a) Genetik
Berdasarkan hasil penelitian, penyakit ini muncul lebih banyak pada orang Yahudi Askenazi
dibandingkan dengan prevalensi rata-rata. Studi serologi HLA menunjukkan hubungan yang
kuat antara kehadiran haplotypes HLA-DR4 dan HLA-DR6 dengan terjadinya pemphigus
vulgaris.
b) Psikologik
Hubungan antara sistem imun dan sistem saraf akan meningkatkan kecenderunagn untuk
mendapatkan kelainan psikoneural yang seterusnya dapat mempengaruhi terjadinya penyakit
autoimun. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peranan stres emosional sebagai faktor
predisposisi dalam pemphigus.
c) Makanan
Makanan yang merupakan golongan dari phenol sperti mangga, pisang, kentang dan tomat,
es krim, lada hitam, gula, perasa tambahan.
d) Endokrin dan biologik

28

29
30
31
32

33
34

Kehamilan mempunyai kaitan erat dengan penyakit autoimun demikian juga


penyakitimunoblistering, hubungan ini memperparahkan pemphigus vulgaris selama
kehamilan. Kehamilan atau setlah melahirkan menyebabkan antobodi pathogenik dapat
melewati plasenta menuju ke sasarannya yaitu antigen plasenta berlainan atau antigen kulit
pada bayi baru lahir.
Rasio kedua jenis kelamin sama namun pada waktu pubertas, wanita lebih sering mendapat
pemphigus vulgaris dibandingkan dengan laki-laki.
Penyakit ini sering muncul sekitar 50-60 tahun, namun dapat juga timvul pada individu yang
lebih tua atau pada anak-anak.
e) Obat
Yang mencetuskan terjadinya penyakit ini adalah obat yang mengandung
radikalsulfhydryl seperti penililamin, mengandung phenol seperti rifampin, levodopa, dan
aspirin, dan obat nonthiol nonphenol sperti calcium channl blockers, angiotensin converting
enzyme inhibitors, NSAIDS, dipiron, dan glibenklamid.
f) Lingkungan
Virus, pestisida, bakteri coagulase staphilokokus aureus, kebiasaan merokok.

35
36
37
38

39
40
41
42
43
44
45
46
47
48

f. Komplikasi
1. Secondary infection
Salah satunya mungkin disebabkan oleh sistemik atau local pada kulit. Mungkin terjadi
karena penggunaan immunosupresant dan adanya multiple erosion. Infeksi cutaneus
memperlambat penyembuhan luka dan meningkatkan resiko timbulnya scar.
2. Malignansi dari penggunaan imunosupresif
Biasanya ditemukan pada pasien yang mendapat terapi immunosupresif.
3. Growth retardation
Ditemukan pada anak yang menggunakan immunosupresan dan kortikosteroid.
4. Supresi sumsum tulang
Dilaporkan pada pasien yang menerima imunosupresant. Insiden leukemia dan lymphoma
meningkat pada penggunaan imunosupresif jangka lama.
5. Osteoporosis
Terjadi dengan penggunaan kortikosteroid sistemik
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Erosi kulit yang luas, kehilangan cairan serta protein ketika bulla mengalami rupture akan
menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kehilangan cairan dan natrium
klorida ini merupakan penyebab terbanyak gejala sistemik yang berkaitan dengan penyakit
dan harus diatasi dengan pemberian infuse larutan salin. Hipoalbuminemia lazim dijumpai
kalau proses mencapai kulit tubuh dan membrane mukosa yang luas.

49
50
51

52

g. Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah untuk mengendalikan penyakit secepat mungkin, mencegah infeksi
sekunder dan meningkatkan pembentukan tulang epitel kulit (pembaharuan jaringan epitel).
Kortikosteroid diberikan dengan dosis tinggi untuk mengendalikan penyakit dan menjaga
kulit dari bulla. Kadar dosis yang tinggi dipertahankan sampai kesembuhan terlihat jelas.
Pada sebagian kasus, terapi kortikosteroid harus dipertahankankan seumur hidup
penderitanya.
Kortikosteroid diberikan bersama makanan atau segera sesudah makan dan dapat disertai
dengan pemberian antacid sebagai profilaksis untuk mencegah komplikasi lambung. Yang

penting pada penatalaksanaan terapeutik adalah evaluasi berat badan, tekanan darah, kadar
glukosa darah dan keseimbangan darah setiap hari . Preparat imunosupresif (azatioprin,
ziklofosfamid, emas) dapat diresepkan dokter untuk mengendalikan penyakit dan
mengurangi takaran ktikosteroid. Plasmaferesis (pertukaran plasma). Secara temporer akan
menurunkan kadar antibody serum dan pernah dihasilkan keberhasilan yang bervariasi
sekalipun tindaka ini dilakukan untuk kasus yang mengancam jiwa pasien.
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65

2. PENERAPAN DRESSING LUKA PADA PEMPHIGUS VULGARIS


a. Penerapan pada bangsal di RSS
Persiapan Alat-alat dan Bahan
a) 1 buah bak instrumen besar:
b) Kassa besar (secukupnya sesuai permukaan kulit pasien yang berbula)
c) Air NaCl (secukupnya sesuai permukaan kulit pasien yang berbula)
d) Sarung tangan steril/bersih
e) Masker (mengurangi bau)
f) Salep MEBO
g) Cotton bud
h) Plastik transparan
i) Ember sampah medis

66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76

Tindakan:
a) Perawat mencuci tangan
b) Perawat memakai masker dan sarung tangan steril
c) Buka bak instrumen steril
d) Mengisi masing-masing bak instrumen steril dengan: NaCl 0,9%, dan kassa besar yang
dibutuhkan sesuai dengan kondisi kulit pasien
e) Memeras kassa besar tersebut dan taruh ke semua permukaan kulit pasien yang berbula
f) Biarkan selama 15 menit
g) Ambil kassa tersebut, buang ke ember sampah medis dan kemudian oleskan salep Mebo
ke semua permukaan kulit yang berbula dengan cotton bud
h) Lapisi kulit yang disalepi dengan plastik transparan
i) Lakukan dua kali sehari seperti mandi(pengganti mandi), karena belum boleh terkena
air bila belum kering

77
78
79
80
81
82
83

b. Evaluasi penerapan
Pasien dengan diterapkan dengan sistem tradisional ini didapatkan:
a) Pada saat membuka kasa, maka pasien akan mengeluhkan sakit dan beberapa jaringan
kulit yang telah baik ikut terkelupas.
b) Kulit yang telah diberikan krim, tidak ditutup, sehingga memungkin kontak dengan
bakteri yang akan memperpanjang masa sembuh luka.
c) Kulit yang tidak ditutup akan memungkin juga kontak dengan bakteri sehingga akan
menyebabkan perluasan pada luka dan akan memperpanjang masa sembuh luka.
d) Kegiatan ini dilakukan setiap hari dengan memakan waktu hampir 45 menit, sehingga
memakan waktu terlalu lama, hal ini juga diperhatikan dengan perhitungan tenaga perawat
yang ada pada bangsal.

84

85

86

e) Luka lebih baik saat dressing diganti dengan cara membalutkan kasa pada tubuh dan
setiap 10 menit disirami dengan NaCl sehingga menimbulkan keadaan lingkungan yang
lembab, dan ini dapat mempercepat masa penyembuhan luka.
f) Harga relatif lebih murah, karena hanya membutuhkan kasa dan cairan NaCl. Namun
yang belum dihitung adalah harga pasien harus membayar tenaga keperawatan untuk
melakukan tindakan setiap hari, sehingga harus diperhitungkan lagi untuk segi ekonomisnya.

Anda mungkin juga menyukai