Pemfigus Vulgaris
2.1.1. Definisi
Pemfigus vulgaris merupakan kelainan autoimun berupa vesikel atau bulla pada
kulit ataupun mukosa yang berasal dari lapisan suprabasal epidermis. Pemfigus
merupakan kelainan autoimun yang manifestasi klinisnya berupa bulla atau vesikel di
kulit ataupun mukosa, memiliki karakteristik histologi pembentukan vesikel dan bulla
yang disebabkan proses akantolisis dan secara imunopatologi terdapat imunglobulin
yang menyerang sel keratinosit permukaan kulit. Pemfigus vulgaris merupakan
penyakit yang jarang tetapi dapat berakibat fatal karena risiko infeksi sekunder.4
Pemfigus dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu pemfigus vulgaris dan
pemfigus foliaceus. Pada pemfigus vulgaris, bulla muncul dari lapisan suprabasal
epidermis, sedangkan pada pemfigus foliaceus, bulla muncul pada lapisan granulosum.4
2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi pemfigus vulgaris 1-4 kasus per 100.000, dengan insidens 0,5-4 kasus
per 1 juta orang per tahun; kejadian tertinggi di dunia terdapat di Amerika Serikat dan
Eropa. Dapat terjadi pada seluruh kelompok usia, umumnya pada kelompok usia 50-60
tahun, sama antara pria dan wanita. Angka mortalitas kasus pemfigus vulgaris mencapai
75% pada tahun pertama.4
2.1.3. Etiopatologi
2.1.5. Diagnosis
Diagnosis pemfigus vulgaris dapat ditegakkan jika ditemukan hasil positif pada
pemeriksaan klinis, pemeriksaan histologi, dan uji imunologik, atau dua tanda yang
mengarah diagnosis pemfigus vulgaris dan adanya uji imunologik.4
2.1.7. Tatalaksana
Obat utama ialah kortikosteroid karena sifat imunosupresif yang sering
digunakan adalah prednisone dan deksametason. Dosis prednisone bervariasi
bergantung pada berat ringannya penyakit yakni 60-150mg perharinya. Pada dosis
tinggi sebaiknya diberikan deksametason intramuscular atau invena.
Jika belum ada perbaikan yang berarti masih timbul esi 5-7 hari dengan dosis
inisial dinaikan 50%. Jika sudah terdapat perbaikan dosis diturunkan secara bertahap.
Bisanya 507 hari diturunkan 10-20 mg ekivalen prednisone tergantung dengan respons
masingmasing, bersifat individual. Cara yabg terbaik ialah dengan memantau titer
antibodi. Jika pemberian prednisone lebih daei 40 mg sehari harus disertai dengan
pemberian antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder.
Untuk mengurangi efek samping dari kortikosteroid dapat dikombinasikan
dengan ajivan yang terkuat yaitu sitostatik. Terdapat dua pendapat untuk penggunaan
sitostatik pada pengobatan pemphigus, yaitu ajuvan dapat diberikan sejak awal
pemberian kortikosteroid, agar dosis kortikosterod tidak tinggi agar efek samping
minimal. Yang kedua adalah sitostatik diberikan apabila kortikosteroi dosis tinggi tidak
memberi respons yang baik, dan pasien memiliki kontraindikasi pemberian
kortikosteroid dosis tinggi seperti pasie dengan ulkus peptikum, diabetess militus,
katarak, osteoporosis.
Sitostatik yang dapat digunakan adalah Azatrioprin 50-150 mg/ hari ,
siklosfosfamid 50-150 mg/hari, Mikrofenolat mofetil lx1 grm/hari, Metrotreksat 25 mg/
minggu IM atau oral, atau ajuvan lain yaitu DDS : 100-300 mg/hari, klorokuin
2x200mg/hari atau minosiklin 2x50mg sehari.
Pengobatan topikal sebenarnya tidak terlalu penting dibandingkan dengan
pengobatan sistemik. Pada daerah yang erosi dapat diberikan obat topikal seperti
sulfadiazine perak 1% dapat mencegah infeksi sekunder.2
2.1.8. Prognosis
Prognosis pemfigus vulgaris jika tidak diobati berisiko tinggi kematian, sebagian
besar disebabkan oleh sepsis dan gangguan keseimbangan cairan. Penggunaan
kortikosteroid akan mengurangi angka kematian 5% hingga 15%. Morbiditas dan
mortalitas berkaitan dengan beratnya penyakit, efek dosis maksimum kortikosteroid
untuk mencapai remisi, dan adanya infeksi lain. Kasus relaps umumnya terjadi pada 2
tahun pertama.4