Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

Kata pemfigus pertama kali disebut oleh Wichman pada tahun 1791. Sehingga

definisi dari pemfigus adalah suatu prototipe penyakit autoimun dengan manifestasi

bula yang bersifat kronik yang terjadi akibat gangguan adhesi sel-sel intradermal atau

adesi dermo-epidermal junction yang dapat menyebabkan terjadinya influks cairan.

Penyakit ini menimbulkan kerusakan pada permukaan mukosa dan kulit.1,2. Pada

dasarnya pemfigus dibagi menjadi 2 tipe utama, yaitu Pemfigus Vulgaris (PV) dengan

variasinya Pemfigus Vegetans (Pveg) dan Permfigus Foliaceus (PF) dengan

variasinya Pemfigus Eritematous (PE).3

Prevalensi pemfigus pada wanita sedikit tinggi dibandingkan pria. Pemfigus

dapat terjadi pada semua kelompok umur. Pemfigus paling sering didiagnosa antara

usia 40 dan 60 tahun, sedangankan usia rata-rata saat onset penyakit sekitar 50-60

tahun. Pemfigus juga dapat muncul pada usia lanjut dan anak-anak. 3,4. Secara umum

prevalensi insiden pemfigus bervariasi menurut geofragis dan kelompok etnis. Insiden

tertinggi didunia terdapat pada Amerika Serikat dengan frekuensi insiden tahunan 32

per 1000000 populasi. Sedangkan pada negara-negara Asia insiden tahunan dengan

frekuensi tertinggi dilaporkan pada Israel dengan insiden 16 per 1000000 populasi.

Dibandingkan dengan negara-negara lain benua Eropa memiliki frekuensi lebih

rendah dengan insiden tahunan 8 per 1000000 populasi. 4. Sedangkan prevalensi dan

insiden pada permfigus vulgaris dibanding pemfigus foliaceus sangat tergantung pada

populasi. Pemigus vulgaris lebih sering dijumpai pada ras Yahudi dan penduduk di

daratan Laut Tengah, berhubungan dengan human leukocyte antigen (HLA) DR4 dan

DR6. Untuk pemfigus foliaceus tidak dijumpai adanya predominasi ras.3

1
Pemfigus dimulai adanya antibodi imunoglobulin G (IgG) menyebabkan

protein desmosomal menghasilkan bula mukokutan. Hal ini terjadi dengan cara

terikatnya IgG pada sel keratinosit sehingga menyebabkan akantolisis (reaksi

pemisahan sel epidermis).3 Desmoglein 3 dan desmoglein 1 diduga berperan

menyebabkan pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaceus. Pada umumnya keadaan

umum penderita pemfigus vulgaris lebih buruk dibandingkan dengan pemfigus

foliaceus.5. Gejala klinis pemfigus vulgaris diawali oleh lesi pada kulit kepala yang

berambut dan dirongga mulut untuk 60 % kasus. Sedangkan pemfigus foliaceus tidak

terdapat lesi pada mukosa atau rongga mulut, gejala khas dari pemfigus foliaseus

adalah bersisik, terdapat erosi krusta pada dasar eritematosus terbatas terutama pada

wilayah seborhoik.2,3

Dari permasalahan yang ada diatas, maka dalam makalah ini akan membahas

Definisi, Epidemiologi, Etiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, Diagnosis,

Diagnosis Banding, Tatalaksana, dan Prognosis dari Pemfigus Vulgaris dan Pemfigus

Foliaseus pada BAB II Tinjauan Pustaka, guna untuk membantu mengetahui lebih

dalam tentang Pemfigus Vulgaris dan Pemfigus Foliaseus.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pemfigus merupakan kelainan autoimun berupa bulla atau vesikel di kulit

ataupun mukosa, berasal dari lapisan suprabasal epidermis dan disebabkan oleh

proses akantolisis, secara imunopatologi terdapat imunglobulin yang menyerang sel

keratinosit.2 Pemfigus dibagi menjadi 2 kelompok utama, yaitu pemfigus vulgaris dan

2
pemfigus foliaceus. Pada pemfigus vulgaris, bulla muncul dari lapisan suprabasal

epidermis, sedangkan pada pemfigus foliaceus, bulla muncul pada lapisan

granulosum. 3

2.2 Epidemologi

Secara umum prevalensi insiden pemfigus bervariasi menurut geofragis dan

kelompok etnis. Insiden tertinggi didunia terdapat pada Amerika Serikat dengan

frekuensi insiden tahunan 32/juta populasi. Sedangkan pada negara-negara Asia

insiden tahunan dengan frekuensi tertinggi dilaporkan pada Israel dengan insiden

16.1/juta populasi. Dibandingkan dengan negara-negara lain benua Eropa memiliki

frekuensi lebih rendah dengan insiden tahunan 8/juta populasi.4

Pemfigus vulgaris merupakan tipe pemfigus yang paling sering dijumpai kira-

kira 80% dari total kasus pemfigus. Insiden tahuanan dari keseluruhan pemfigus

vulgaris adalah 6.4/juta populasi dan secara epidemologi wanita (8,4/juta populasi)

lebih tinggi dari pada laki-laki (4.3/juta populasi).3.4 Selain itu insiden tahunan

pemfigus foliaseus rata- rata 0.8/juta populasi, berbeda dengan pemfigus vulgaris

secara epidemologi pemfigus foliaseus lebih tinggi pada laki-laki (1.1/juta populasi)

dari pada wanita (0.6/juta populasi).4

Pemfigus dapat terjadi pada semua kelompok umur. Pemfigus paling sering

didiagnosa antara usia 40 dan 60 tahun, sedangankan usia rata-rata saat onset penyakit

sekitar 50-60 tahun. Pemfigus juga dapat muncul pada usia lanjut dan anak-anak.3,4

2.3 . Etiologi

Pemfigus ialah autoimun, karena pada serum penderita ditemukan

autoantibodi, juga dapat di sebabkan oleh obat ( drug-induced pemphigus), misalnya

3
D-penisilamin dan kaptopril. Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk

pemfigus follaseus ( termasuk pemfigus eritematosus) atau pemfigus vulgaris.

Pemfigus foliaceus lebih sering timbul dibandingkan dengan pemfigus vulgaris. Pada

pemfigus tersebut secara klinis dan histologik menyerupai pemfigus yang sporadic,

pemeriksaan imunofluoresensi langsung pada kebanyakan kasus positif. Sedangkan

imunofluoresensi tidak langsung hanya kira-kira 70% yang positif.5

Pemfigus dapat menyertai penyakit neoplasma baik yang jinak maupun yang

maligna dan disebut sebagai pemfigus paraneoplastik. Pemfigus juga dapat ditemukan

sama-sama dengan penyakit autoimun yang lain, misalnya lupus eritematosus

sistemik, pemfigoid bulosa, miastenia gravis dan anemia pernisiosa.6

2.4 Patofisiologi

2.4.1 Faktor Penyebab

Faktor penyebab terjadinya pemfigus foliaceus merupakan suatu proses

autoimun.2 Beberapa faktor seperti medikasi dan sinar UV diketahui dapat

merangsang pengikatan autoantibodi pada epidermis yang dapat merangsang

terjadinya akantolisis. 3 Selain itu, faktor lingkungan turut memainkan peran dalam

salah satu faktor penyebab pemfigus, ini dibuktikan dengan terjadinya pemfigus

endemik yang sangat ekslusif hanya pada populasi yang menghuni daerah terpencil di

Brazil. 4

2.4.2 Gangguan adhesi desmoglein dan hilangnya adhesi antar keratosit

Reaksi Hipersensitivitas tipe II, dalam hal ini igG diketahui berperan dalam

terjadinya lepuh pada pemfigus foliaceus. 1 IgG 4, Suatu antibodi yang ditunjuk

4
langsung pada lapisan adhesi desmoglein I yang terutama ditemukan pada stratum

granulosum diepidermis. Antibodi ini merupakan autoantibodi karena bereaksi

terhadap sel pasien itu sendiri, sehingga antibodi ini dapat menyebabkan hilangnya

adhesi antar keratinosit dan menimbulkan lepuh.1

Gangguan adhesi keratinosit yang terjadi pada pasien pemfigus dimungkinkan

karena autoantibodi berikatan dengan molekul-molekul dan mengganggu adhesinya

didesmosom. Desmosom sendiri merupakan struktur adhesi sel yang dominan pada

epidermis dan membran mukosa. Pada kasus pemfigus foliaceus, autoantibodi

merusak desmoglein I yang mana terdapat pada lapisan epidermis. Gangguan adhesi

keratinositlah yang menyebabkan proses akantolisis. 5

2.4.3 Akantolisis dan terbentuknya bula

Akibat Gangguan adhesi desmoglein dan hilangnya adhesi antar keratosit

mengakibatkan terbentuk dan dilepaskannya plasminogen activator sehingga merubah

plasminogen menjadi plasmin. Plasmin yang terbentuk menyebabkan kerusakan

desmosom sehingga terjadi penarikan tonofilamen dari sitoplasma keratinosit,

akibatnya terjadi pemisahan sel-sel keratinosit (tidak adanya kohesi antara sel-sel)

proses ini disebut akantolisis. Kemudia terbentuk celah disuprabasal dan akhirnya

terbentuk bula.11,12,13

Bula yang kendur dan mudah pecah membedakan antara pemfigus dengan

penyakit dermatosis vesikobulosa kronik lainnya. Bula yang pecah akan

meninggalkan kulit yang terkelupas sehingga terbentuk krusta. 14

2.5 Manifestasi Klinis

5
2.5.1 Pemfigus Foliaseus

Manifestasi klinis pada pemfigus foliaseus tampak adanya lesi berskuama

pada kulit, krusta yang erosi dengan dasar yang eritem, pada stadium awal ataupun

pada manifestasi lokal penyakit ini, lesi bersifat sirkumskrip dan menyebar pada

sebaran seborrheik terutama pada wajah, kulit kepala dan tubuh bagian atas. Lesi

primer berupa bulosa yang flasid ,namun sangat sukar ditemukan disebabkan letaknya

pada bagian epidermis bagian atas, maka lebih mudah pecah dan mengalami erosi.

Kelainan bisa bersifat lokal bertahun tahun lamanya, ataupun berkembang cepat

menghasilkan eritoderma ekfoliatif. (Gambar 2.3)

Paparan sinar UV dan suhu bisa merangsang perjalanan penyakit. Keluhan

utama yang dirasakan adalah nyeri dan panas pada lesi.Selain itu berbeda dengan

pemfigus vulgaris kelainan pada membran mukosa pada pemfigus tipe ini sangat

jarang walaupun pada lesi yang generalisata.7

6
Gambar 2.3 Manifestasi klinis pada bagian badan yang berbeda8

2.5.2 Pemfigus Vulgaris

Manifestasi klinis ditandai oleh erosi lapisan mukosa dan bulla di kulit dan

mukosa dengan dasar dapat berupa kulit normal atau eritema, dapat mengenai

kulit seluruh tubuh. Bulla berdinding tipis dan mudah pecah (Gambar 2.4). 2

Awalnya dapat berisi cairan jernih, jika bertambah berat dapat berisi cairan

mukopurulen atau darah. Pada sekitar 60% kasus lesi pertama kali muncul di

mulut, sisanya muncul pertama kali di kulit kepala, wajah, leher, ketiak atau

genital. Lesi tidak gatal tetapi nyeri.9

7
Gambar 2.4 Lesi Kulit Pemfigus Vulgaris9

Bulla yang pecah akan membentuk erosi kemudian krusta, merupakan

jalan untuk infeksi sekunder yang dapat meningkatkan mortalitas. Krusta sulit

sembuh; jika sembuh akan membentuk lesi hiperpigmentasi tanpa scar, karena

lapisan dermis tidak terlibat. Lesi mukosa dapat merupakan satu-satunya tanda

pemfigus vulgaris sebelum adanya lesi kulit yang dapat muncul 5 bulan

hingga1 tahun setelah adanya lesi mukosa. Lesi mukosa dapat mengenai

mukosa oral, mukosa hidung, konjungtiva, penis, dan mukosa vagina. Lesi

pada mulut dapat berlanjut hingga ke tenggorokan, menimbulkan suara serak

dan sulit menelan (Gambar 2.5). Pada beberapa kasus dapat terjadi esofagitis

meskipun gangguan kulit terkontrol. Pada umumnya pemfigus vulgaris

mengenai mukosa terlebih dahulu sebelum lesi kulit. Kasus yang hanya

mengenai kulit tanpa mengenai lapisan mukosa jarang terjadi.6

Gambar 2.5 Lesi Mukosa Oral Pemfigus Vulgaris 6

8
2.6 Histopatologi

2.6.1 Pemfigus Foliaseus

Pada pemfigus foliaseus, akantolisis terjadi dibawah stratum korneum

pada stratum granulosum, berbeda pada pemfigus vulgaris yang terjadi di

suprabasalis.Sedangkan lapisan lebih dalam daripada stratum granulosum ini

masih intak. Selain itu, temuan yang tersering juga adalah penemuan pustula

subkornenal dengan sel neutrophil dan akantolitik dalam ruangan bulosa.

Selain itu, sepertimana pada pemfigus vulgaris, lesi awal mungkin

menunjukkan spongiosis easonifilik (Gambar 2.6).10

Gambar 2.6 A. Akantolisis pada lapisan stratum granulosum

B. Pustula subkorneum dengan akantolisi

2.6.2 Pemfigus Vulgaris

Gambaran histologi pada biopsi lesi pemfigus vulgaris berupa gambaran

bulla suprabasiler dengan akantolisis.6 Lapisan antara stratum basale epidermis

dan bagian epidermis lain yang lebih superfisial tampak lepas dan membentuk

bulla. Kadang tampak sel keratinosit yang lepas ke dalam bulla. Bagian

superfisial epidermis terlihat intak(Gambar 2.7).9

9
Gambar 2.7 histopatologi pemfigus vulgaris9

2.7 Diagnosis

Diagnosis pemfigus dapat ditegakkan jika ditemukan hasil positif pada

pemeriksaan klinis, pemeriksaan histologi, dan uji imunologik. Pada pemeriksaan fisik

terdapat Nikolsky sign, tanda ini sensitif tetapi tidak spesifik. Nikolsky sign dilihat

dengan cara menggosokkan tangan dari daerah normal hingga ke lesi, hasil positif jika

kulit mengelupas, menandakan pelepasan lapisan superfisial lapisan basal epidermis.2

Selain itu, terdapat Asboe-Hansen sign berupa gambaran bulla yang melebar jika bagian

tengah bulla ditekan.9

Pemeriksaan imunologi berperan penting; pemeriksaan imunofluorosensi direk

ataupun indirek baik terhadap antibody serum maupun lesi kulit dapat mendukung

diagnosis, pemeriksaan antibodi pada lesi lebih spesifik dan sensitif dibandingkan

pada antibodi serum. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk

mengetahui adanya antibodi yang menyerang desmoglein 1 dan desmoglein 3

menunjang diagnosis pemfigus vulgaris, sedangkan adanya antibodi yang hanya

menyerang desmoglein 1 menunjang diagnosis pemfigus foliaceus. Pemeriksaan

ELISA bersifat spesifik, sedangkan pemeriksaaan imunofloresensi lebih sensitif.

Pemeriksaan antibodi juga dapat membantu menilai keberhasilan terapi, pada

penderita yang telah remisi tidak terdapat lagi antibodi.7

10
Pada pemfigus foliaseus, keterlibatan dari selaput lendir sedikit atau tidak ada.

Pada pemfigus foliaseus bermula sebagai vesikel gatal, kendur/tidak tegang dalam

pola melingkar. Pada subklas pemfigus foliaseus tipe pemfigus herpetiformis dimulai

sebagai lesi yang sangat gatal, papula berkelompok dan vesikula yang mirip dengan

dermatitis herpetiformis. Patch eritematous dengan vesikula perifer mungkin

ditemukan.10

2.8 Diagnosa Banding

2.8.1 Pemfigus Foliaseus

Karena terdapat eritema yang menyeluruh penyakit ini mirip eritoderma.

Perbedaan dengan eritoderma antara lain pada pemfigus foliaseus terdapat bula dan

tanda Nikolsky positif. Selain itu pemeriksaan histopatologi juga berbeda.2

2.8.2 Pemfigus Vulgaris

Pemfigus vulgaris dibedakan dari dermatitis herpetiformis dan pemfigoid

bulosa. Dermatitis herpetiformis dapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umum

penderita baik, keluhan gatal sangat nyata, ruam polimorf, dinding vesikel/ bulla

tegang dan berkelompok. Pemfigus vulgaris umumnya mengenai orang dewasa,

keadaan umumnya buruk, tidak gatal, bulla berdinding kendur, dan biasanya

generalisata. Pada dermatitis herpetiformis, bulla letaknya di subepidermal,

sedangkan pada pemfigus vulgaris, bulla letaknya intraepidermal dan terdapat

akantolisis. Pemfigoid bulosa berbeda dari pemfigus vulgaris karena keadaan

umum baik, bulla tegang, dan letaknya di subepidermal.2,9

11
2.9 Penatalaksanaan

Terapi untuk pemfigus foliaseus biasanya kurang agresif dibandingkan dengan

pemfigus vulgaris karena angka kesakitan/morbiditas dan angka kematian/mortalitas

yang lebih rendah.7 Kortikosteroid oral dan perenteral dapat digunakan untuk

penanganan lini pertama untuk pemfigus. Pemberian kortikosteroid ini secara

epidemiologi telah dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penderita

pemfigus. Selain pemberian kortikosteroid pasien pemfigus foliaseus juga diberikan

antibiotik sebagai penanganan infeksi sekunder yang mungkin terjadi. Antibiotik yang

dapat digunakan antara lain minosiklin (derivate tetrasiklin yang efektif bagi

organisme gram positif dan negatif, dosis yang dapat diberikan yaitu 50-100 mg

peroral terbagi dalam 2 dosis perhari) dan dapsone (bersifat bakterisidal dan

bakteriostatik, memiliki mekanisme kerja seperti sulfonamide dimana bersifat

kompetitif antagonis PABA yang mencegah terbentuknya asam folic, menghambat

perkembangan bakteri; obat ini digunakan pada pasien pemfigus khususnya pemfigus

herpetiformia dan pemfigus foliaseus IgA; dosis yang diberikan 50-200 mg peroral

terbagi dalam 4 dosis/hari).Pada kasus pemfigus local, kortikosteroid topikal mungkin

sudah mencukupi 2,10

2.10 Prognosis

Secara umum, PF lebih baik daripada PV. Pada pasien usia lanjut dengan

penyakit lain, sebanyak 60% mematikan. Penyebab utama kematian adalah infeksi,

sepsis, disebabkan infeksi sekunder dan penggunaan terapi immunosuppresisf jangka

panjang.6

BAB III

12
RINGKASAN

Pemfigus merupakan penyakit yang disebabkan adanya kelainan autoimun berupa

bula dan vesikel pada kulit ataupun mukosa. Amerika merupakan insiden pemfigus tertinggi

didunia dengan prevlensi tahunan 32 per 1000000 populasi. Pemfigus dibagi menjadi 2

kelompok utama yaitu pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus.

Penyebab pemfigus adalah adanya autoantibodi yang menyerang desmoglein 1 dan

desmoglein 3, pada pemfugus vulgaris autoantibodi menyerang desmoglein 1 dan desmoglein

3 jika desmoglein 3 diseran maka lesi mukosa atau rongga mulut lebih dominan, sedangkan

pemfigus foliaseus autoantibodi hanya menyerang desmoglein 1 sehingga pemfigus foliaseus

tidak mempunyai lesi pada mukosa atau rongga mulut, lesi pemfigus foliaseus secara klinis

terdapat erosi kusta pada dasar eritematous terutama pada daerah seborbik.

Gambara histologi pada pemfigus foliaseus terdapat gambaran akantolisis dibawah

startum korneus sedangkan pemfigus vulgaris akantolisis terdapat di suprabasalis dan uji

imunologi yaitu untuk mengetahui adanya autoantibodi yang menyerang desmoglein 1 dan

desmoglein 3 menunjang diagnosis pemfigus. Secara umum prognosis pemfigus foliaseus

lebih baik dari pemfigus vulgaris, jika pemvigus vulgaris tidak diobati dapat beresiko tinggi

kematian.

Terapi untuk pemfigus foliaseus biasanya kurang agresif dibandingkan dengan

pemfigus vulgaris karena angka morbiditas dan angka mortalitas yang lebih rendah.

Pemberian kortikosteroid oral maupun parenteral merupakan penanganan lini pertama pada

kasus ini.

13
Daftar Pustaka

1. Dr. P. T. Chan . Review on pathogenesis of pemphigus. Hongkong Dermatology &

Verenology Bulletin. 2002; 10(2) 62-63

2. Hamzah, M.,Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh, Jakarta: Balai Penerbit

FKUI, 2017; 426-35

3. Khalaf Kridin. Shira Zelber-sagi. Reuven Bergman. Pemfhigus vulgaris and pemfhigus

foliaceus; differences in epidemology and mortality. Advances in Dermatology

Venereology, 2017; 97: 1095-1099

4. Erkan Alpsoy. Ayse Akman-farakas. Sonner azun. Geographic variations in

epidemology of two autoimune bullous diseases; pemphigus and bullous

pemphigus.Archives of Dermatology Researc. 2015; 1-9

5. Volker Spindler. Jens Waschke. Pemphigus – a Diseases of desmpspme dysfunction

caused by multiple mechanisms.Frontiers in Immunology. 2018; 9 (136) 1-8

6. Ata Ali F, Ata Ali J. Pemphigus vulgaris and mucous membrane pemphigoid: Update

on etiopathogenesis, oral manifestations and management. J Clin Exp Dent. 2011; 3(3):

246-50.

7. Schwartz, Robert. A. Majowski, Stawornir. Majowski, Sebasian. S.. (2018). Pemfigus

Foliaceus. Diakses tanggal 27 september 2018, dari www.emedicie.medscape.com

8. Vanessa N (2011).Pemfigus Foliaseus. Diakses tanggal 27 september 2018, dari

http://dermnetnz.org

9. William, V. 2016. Pemfigus vulgaris: Diagnosis dan Tatalaksan. Bali: CDK-246 vol.

43, No. 2: 905-908.

14
10. Amor Khacemoune, MD. Kjetil Kristoffer, MD. Eric Ehrsam, MD. 2016. Pemphigus

foliaceus: a case report and short review. Continuing Medical Education. Vol (78)

105-110

11. Burton JL, Rook Bullous Eruption in :Textbook of Dermatology, vol 3, 6 th edition,

Blackwell Science, 1998 : 1849-65.

12. Stanley Jr, Pemphigus in Dermatology in General medicine, 4th edition, MC Graw- Hill,

1993 : 606-13.

13. Moshella SL, Autoimmune Bullous Disease in Textbook of Dermatology, vol 2, 2 nd

edition, New York, W.B.Saunders Company, 1992 :656-63.

14. Pradeep., AR, Manojkumar., ST, Arjun., R. Pemphigus Vulgaris associated with

significant periodontal findings: A case report. J Califf Dent Assoc:2010. 38:343-6.

15

Anda mungkin juga menyukai