Anda di halaman 1dari 23

TUGAS BACA

KRISIS HIPERTENSI

Disusun Oleh

Kelvin Sunaryo

NPM : 19710012

Pembimbing

dr. Irma Wesprimawati, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK 2020 – 2021

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD IBNU SINA GRESIK

2020

1|INTERNA
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Kelvin Sunaryo

NPM : 19710012

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Wijaya Kusuma Surabaya

Tingkat : Dokter Muda

Stase : Ilmu Penyakit Dalam

Judul Tugas Baca : Krisis Hipertensi

Pembimbing : dr. Irma Wesprimawati, Sp.PD

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Rumah Sakit Ibnu Sina Gresik

Disetujui Oleh :

dr. Irma Wesprimawati, Sp. PD

2|INTERNA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,


karena hanya oleh berkat dan karunia-Nya saja tugas baca yang berjudul
“Krisis Hipertensi” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih kepada dr. Irma Wesprimawati, Sp.PD
selaku pembimbing saya. Tugas ini dibuat agar memanmbah wawasan
mengenai krisis hipertensi dan mampu melakasanakan penatalaksanaan
secara tepat

Saya telah berusaha semaksimal mungkin namun mohon maaf


apabila banyak kekurangan dalam tugas ini, antara lain karena kurangnya
referensi dan pengalaman kami.

Saya ucapkan terimakasih atas bantuan dan saran yang telah


diberikan hingga tersusunnya tugas ini. Saran serta kritik sangat saya
harapkan untuk perbaikan ke depan.

Gresik, 12 November 2020

Penyusun

3|INTERNA
DAFTAR ISI

Halaman
Judul.............................................................................................................1

Lembar Penegsahan ……………………………………………………….2

Kata Pengantar.............................................................................................3

Daftar Isi.......................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………...6

2.1 Definisi Hipertensi dan Krisis Hipertensi…………………7

2.2 Epidemiologi Hipertensi..…………………………………7

2.3 Etiologi Hipertensi…..…………………………………….8

2.4 Patogenesis Hipertensi dan Krisis Hipertensi…………....10

2.5 Manifestasi Klinis.……………………………………….14

2.6 Komplikasi……………………………………………….15

2.7 Penatalaksanaan Hipertensi..…………………………….16

2.8 Penatalaksanaan Krisis Hipertensi……………………….18

BAB III KESIMPULAN………………………………………………….21

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….22

4|INTERNA
BAB I

PENDADULUAN

Hipertensi merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan


morbiditas di Indonesia, sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan
intervensi yang sangat umum dilakukan diberbagai tingkat fasilitas
kesehatan. seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada
pemeriksaan yang berulang (PERKI,2015). Krisis hipertensi terdiri dari
hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi yang memeiliki kriteria yaitu
tekanan darah sistolik lebih dari 200 mmHg dan diastole lebih dari 120
mmHg (Tackling,2020)

Komplikasi dari hipertensi secara akut yaitu krisis hipertensi yang


terbagi atas dua, yakni, Hipertensi emergensi jika disertai dengan kerusakan
organ target dan Hipertensi urgensi jika tanpa kerusakan organ target
(Nurkhalis,2015)

Berbagai faktor resiko hipertensi dapat mempengaruhi dari berbagi


aspek dari biologis seseorang. Berbagai faktor tersebut yaitu usia, riwayat
pekerjaan dengan resiko paling tinggi adalah kalangan petani/buruh/nelayan
sebesar 39,9%. Factor resiko lainnya yaitu obesitas, pola hidup atau
kebiasaan seperti konsumsi alkohol dan merokok (Sartik, 2017). Faktor
resiko tersebut juga merupakan factor resiko yang sama menuju pada
timbulnya krisis hipertensi.

Prevalensi hipertensi di Indonesia menurut Riskesdas pada tahun


2018 menyatakan bahwa sebesar 8,36% dari total penduduk mengalami
hipertensi menurut diagnostik dokter. Dari kategori umur yang memiliki
prevalensi terbesar adalah kategori umur ≥75 tahun yaitu 69,53% dan paling
tinggi terjadi didaerah perkotaan sebesar 34,43%. Di provinsi Jawa Timur
memiliki jumlah penderita hipertensi berumur ≥18 tahun yaitu sebesar
36,32%. Di kabupaten Gresik memiliki prevalensi hipertensi sebesar
36,42%. (Riskesdas,2018).

5|INTERNA
Dari data Riskesdas pada tahun 2018 dapat diketahui bahwa
prevalensi diabetes masih sangat tinggi di Indonesia terutama di kabupaten
Gresik. Dengan tingginya prevalensi yaitu sebesar 36,42%. Maka akan
makin besar resiko dari timbulnya berbagai komplikasi hipertensi salah
satunya yaitu krisis hipertensi berupa emergensi maupun urgensi hipertensi.

6|INTERNA
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hipertensi dan Krisis Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai kondisi tekanan darah sistolik ≥ 130


mmHg atau diastolik ≥ 80 mmHg. Kondisi ini umumnya jarang
menimbulkan gejala dan sering tidak disadari, sehingga dapat
menimbulkan morbiditas lain seperti gagal jantung kongestif, hipertrofi
ventrikel kiri, stroke, gagal ginjal stadium akhir, atau bahkan kematian
(Adrian,2019).

Menurut Unger dkk pada tahun 2020 menyebutkan bahwa hipertensi


merupakaan keadaan dimana pada individu usia 18 tahun ataupun lebih
dengan keadaan tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg dan tekanan darah
diastolic mencapai ≥90 mmHg dengan beberapa kali pemeriksaan.

Hipertensi emergensi memiliki karakteristik yaitu tekanan darah


yang meningkat secara progresif yaitu tekanan darah sistol lebih dari
200 mmHg dan tekana darah diastolik lebih dari 120 mmHg disertai
dengan gangguan organ target lainnya. Sedangkan hipertensi urgensi
memiliki karakteristik yaitu peningkatan tekanan darah akut yang sama
dengan hipertensi emergensi namun tanpa adanya gangguan pada organ
target (Tackling,2020)

2.2 Epidemiologi Hipertensi

Prevalensi hipertensi di seluruh dunia yaitu 26,4% per 1,1 miliar jiwa
atau dapat diperkirakan setiap satu dari lima orang memiliki hipertensi.
Di negara Amerika, sebanyak 75 juta orang dewasa memiliki hipertensi
atau setiap satu orang dari 3 orang memiliki hipertensi, 54% diantaranya
memiliki tekanan darah yang terkontrol.(Tackling,2020)

Prevalensi hipertensi di Indonesia menurut Riskesdas pada tahun 2018


menyatakan bahwa sebesar 8,36% dari total penduduk mengalami
hipertensi menurut diagnostik dokter. Dari kategori umur yang memiliki

7|INTERNA
prevalensi terbesar adalah kategori umur ≥75 tahun yaitu 69,53% dan
paling tinggi terjadi didaerah perkotaan sebesar 34,43%. Di provinsi
Jawa Timur memiliki jumlah penderita hipertensi berumur ≥18 tahun
yaitu sebesar 36,32%. Di kabupaten Gresik memiliki prevalensi
hipertensi sebesar 36,42%.

Penelitian mengenai krisis hipertensi dilakukan di berbagai negara.


Di Mulago National Hostpital Afrika memiliki prevalensi krisis
hipertensi 5,1% dari total 4000 pasien dengan diagnosis hipertensi
dengan 32,5% pasien dengan hipertensi urgensi dan hipertensi
emergensi sebesar 67,5%. Sedangkan di negara Italia memiliki
prevalensi krisis hipertensi sebesar 4,6/1000 kasus hipertensi dari total
333.407 pasien dengan hipertensi (Varounis,2017;Nakalema,2019)

2.3 Etiologi Hipertensi

Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik.


Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau
peningkatan tekanan perifer. Faktor- factor resiko ini dapat
mencetuskan hipertensi yang apabila tidak terkontrol dapat
menimbulkan krisis hipertensi. Faktor – faktor resiko hipertensi antara
lain :

1.Genetik

Adanya faktor genetic pada keluarga tertentu akan menyebabkan


keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini
berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan
rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium. Individu dengan
orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar
untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai
keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70-80% kasus
hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga.
(Nuraini,2015)

2.Obesitas

8|INTERNA
Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada
kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Perubahan fisiologis dapat
menjelaskan hubungan antara kelebihan berat badan dengan tekanan
darah, yaitu terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi
saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin, dan perubahan fisik pada
ginjal. (Nuraini,2015)

3.Jenis kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun


wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause
salah satunya adalah penyakit jantung koroner. Wanita yang belum
mengalami menopause dilindungi oleh hormone estrogen yang
berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein
(HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung
dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan
estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia
premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit
demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh
darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen
tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami,
yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.
(Nuraini,2015)

4.Stres

stres dapat meningkatkan tekanah darah sewaktu. Hormon adrenalin


akan meningkat sewaktu kita stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung
memompa darah lebih cepat sehingga tekanan darah pun meningkat.
(Nuraini,2015)

5. Kurang olahraga

olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak


menular, karena olahraga isotonic dan teratur dapat menurunkan tahanan
perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan

9|INTERNA
melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus
melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu.
Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena
bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak
aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung
mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras
dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang
mendesak arteri. (Nuraini,2015)

6. Pola asupan garam dalam diet

Pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya


hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari
100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari.
Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di
dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan
intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler
meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut
menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampakkepada
timbulnya hipertensi. (Nuraini,2015)

7. Kebiasaan Merokok

Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat


dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko
terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.
(Nuraini,2015)

2.4 Patogenesis Hipertensi dan Krisis Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh


darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf

10 | I N T E R N A
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah kapiler, dimana dengan dilepaskannya
norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah kapiler.

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat


mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi.Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis
merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar
adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang
menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan
steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh
darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke
ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan
angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan
hipertensi. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh
darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang
terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis,
hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot
polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan
distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan
arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume
darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan
penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.

Pada dasarnya, tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan


tekanan perifer.Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan

11 | I N T E R N A
tekanan perifer akan mempengaruhi tekanan darah seperti asupan garam
yang tinggi, faktor genetik, stres, obesitas, faktor endotel. Selain curah
jantung dan tahanan perifer sebenarnya tekanan darah dipengaruhi juga
oleh tebalnya atrium kanan, tetapi tidak mempunyai banyak pengaruh.
Dalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan
tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi
yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam
jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks.
Pengendalian dimulai dari sistem yang bereaksi dengan cepat misalnya
reflek kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek kemoreseptor, respon
iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis
otot polos. Dari sistem pengendalian yang bereaksi sangat cepat diikuti
oleh sistem pengendalian yang bereaksi kurang cepat, misalnya
perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang
dikontrol hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan
sistem yang poten dan berlangsung dalam jangka panjang misalnya
kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang dipertahankan oleh
sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai
organ.Peningkatan tekanan darah pada hipertensi primer dipengaruhi
oleh beberapa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal
dan membran sel, aktivitas saraf simpatis dan renin, angiotensin yang
mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme
natrium dalam ginjal sertaobesitas dan faktor endotel. Akibat yang
ditimbulkan dari penyakit hipertensi antara lain penyempitan arteri yang
membawa darah dan oksigen ke otak, hal ini disebabkan karena jaringan
otak kekurangan oksigen akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh
darah otak dan akan mengakibatkan kematian pada bagian otak yang
kemudian dapat menimbulkan stroke. Komplikasi lain yaitu rasa sakit
ketika berjalan kerusakan pada ginjal dan kerusakan pada organ mata
yang dapat mengakibatkan kebutaan, sakit kepala, Jantung berdebar-
debar, sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban kerja,
mudah lelah, penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah,

12 | I N T E R N A
sering buang air kecil terutama di malam hari telingga berdering
(tinnitus) dan dunia terasa berputar (Isselbacher,2002).

Gambar 2.1 Skema Patofisiologi Krisis Hipertensi (Varounis,2017)

Pada dasarnya mekanisme dari timbulnya krisis hipertensi masih


belum ditentukan secara pasti. Namun, terdapat dua mekanisme yang
memiliki kemungkinan untuk menimbulkan krisis hipertensi.

Pertama yaitu kegagalan mekanisme autoregulasi pada pembuluh


darah. Autoregulasi merupakan kunci dari timbulnya hipertensi dan
krisis hipertensi. Autoregulasi merupakan kemampuan dari organ seperti
jantung, ginjal dan otak untuk mengatur kestabilan dari tekanan darah
termasuk tekanan perfusi. Apabila tekanan perfusi turun secara
mendadak, mekanisme autoregulasi mampu mengembalikan tekanan
seperti semula dalam waktu yang singkat. Dalam kasusu malfungsi
autoregulasi, apabila tekanan perfusi turun, maka dapat menyebabkan

13 | I N T E R N A
aliran darah berkurang tetapi diikuti dengan peningkatan tahanan
perifer. Pada kasus krisis hipertensi, dapat ditemukan adanya factor lain
seperti mekanikal stress dan kerusakan endotel pembuluh darah.

Kedua yaitu aktivasi dari renin-angiotensin sistem yang


menimbulkan vasokonstriksi pada pembuluh darah, yang dalam jangka
waktu lama dapat menyebabkan iskemik pada jaringan. Pada beberapa
studi ditemukan bahwa dalam keadaan krisis hipertensi, terjadi
peningkatan aktivitas trombotik yang juga dapat menimbulkan iskemik
pada organ target (Varounis,2017).

2.5 Manifestasi Klinis Hipertensi

Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala klinis


yang spesifik. Namun mayoritas pasien memmiliki keluhan yaitu terasa
nyeri di kepala terutama di daerah oksipital namun akan berangsur
berkurang setelah beberapa jam baik saat bangun tidur maupun ditengah
- tengah aktivitas. Gejala umum dari krisis hipertensi pun memiliki
kesamaan dengan gejala dari hipertensi sistemik pada umumnya yaitu
berupa nyeri kepala, angina dan dapat diikuti dengan dypsneu
(Varounis,2017).

Pasien dapat datang dengan kulahan utama pusing, berdebar-debar,


terasa lemah, impotensi, epistaksis, pandangan mata kabur, nyeri dada
ataupun sesak nafas. Dari Riwayat penyakit dan keluarga dapat
ditelusuri apakah pasien memiliki Riwayat anggota keluarga memiliki
hipertensi. Riwayat pengobatan dengan menggunakan steroid jangka
Panjang ataaupun riawayat penbgobatan dengan menggunakan hormone
estrogen. Riwayat infeksi tractus urinarius yang berulang yang dapaty
memicu timbulnya pielonefritis kronik, adanya nocturia hingga
kemungkinan trauma pada bagian pinggang. Riwayat penyakit
metabolic lain seperti Cushing Syndrome. Dan juga pola hidup,
makanan juga kebiasaan pasien seperti Riwayat merokok, konsumsi
alcohol, status keluarga, pekerjaan dan tingkat pendiidikan. Pemeriksaan
fisik pasien lebih difokuskan pada pengukutan tekanan darah di kedua

14 | I N T E R N A
ekstremitas atas pada posisi duduk dan berdiri. Pemeriksaan funduskopi
dapat dilakukan untuk menilai adanya perubahan pada fundus okuli
dengan klasifikasi Keith-Wagener-Barker juga dilakukan pemeriksaan
jantung dan paru untuk meneumkan adanya disfungsi ventrikel maupun
suara jantung ketiga dan rhonki pada paru .(Isselbacher,2012)

2.6 Komplikasi Hipertensi

Komplikasi pada hipertensi dapat digolongkan menajdi komplikasi


akut dan kronis. Pada komplikasi kronis dapat timbul apabila tekanan
darah individu tidak terkontrol dalam jangka waktu lama sehingga
mempenagruhi organ vital seperti jantung, ginjal hingga otak.
Sedangkan komplikasi akut dapat timbul secara mendadak dengan
tingkat mortalitas yang tinggi.

 Komplikasi Akut

a) Krisis Hipertensi

Krisis hipertensi merupakan keadaan darurrat dimana terjadi


peningkatan tekanan darah yang progresif secara cepat dan signifikan
dengan atau tanpa timbulnya disfungsi organ target. Krisis hipertensi
dapat doiobagi menjadi dua kategori yaitu hipertensi emergensi dan
hipertensi urgensi.

Hipertensi emergensi memiliki karakteristik yaitu tekanan darah


yang meningkat secara progresif yaitu tekanan darah sistol lebih dari
200 mmHg dan tekana darah diastolik lebih dari 120 mmHg disertai
dengan gangguan organ target lainnya. Sedangkan hipertensi urgensi
memiliki karakteristik yaitu peningkatan tekanan darah akut yang sama
dengan hipertensi emergensi namun tanpa adanya gangguan pada organ
target (Tackling,2020)

Prevalensi dari krisis hipertensi yaitu sebesar 1-3% dari total pasien
hipertensi yang dapat mengalami krisis hipertensi (Benken,2018).
Pasien yang memiliki resiko hipertensi yaitu pasien dengan riwayat
aneurisma aorta, edema pulmo, infark miokard akut, unstable angina

15 | I N T E R N A
pektoris, gagal ginjal, cerebro-vascular attack, Iskemik stroke,
ensefalopati hipertensi, eclampsia atau pre-eklampsia.(Aronow,2017).

Kerusakan organ target yang sering dijumpai pada pasien dengan


hipertensi emergensi terutama berkaitan dengan otak, jantung dan ginjal.
Berbagai kerusakan organ target yang bisa dijumpai : hipertensi
malignant dengan papiledema, berkaitan dengan cerebrovaskular
(seperti Infark cerebral, intracerebral hemorrhage, subarachnoid
hemorrhage ), trauma kepala, berkaitan dengan kardiak (seperti diseksi
aorta akut, gagal jantung akut, infark miokard akut / mengancam),
setelah operasi bedah pintas koroner, berkaitan dengan ginjal (seperti
glomerulonephritis akut, hipertensi renovaskular, krisis renal akibat
penyakit kolagen –vascular dan hipertensi berat setelah transpalntasi
ginjal), berkaitan dengan kadar katekolamin yang berlebihan( seperti
krisis feokromositoma, interaksi antara makanan atau obat –obatan
dengan monoamine oxidase inhibitor, pemakaian obat simpatomimetik
(kokain), rebound hipertensi akibat penghentian mendadak obat –obat
antihipertensi dan hiperrefleksia automatic setelah cedera tulang
belakang), preeklampsi / eklampsi,berkaitan dengan pembedahan
(seperti hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera,
hipertensi pasca operasi, perdarahan pasca operasi), luka bakar yang
luas / berat, epistaksis yang berat, purpura trombotik trombositopenia
(Varounis,2017)

Hypertension Heart Disease merupakan salah satu komplikasi yang


paling berkaitan erat dengan hipertensi yang kronis. Hipertensi yang
kronis dapat menyebabkan berbagai gangguan pada jantung seperti
pembesaran ventrikel kiri yang dapat menyebabkan angina ataupun
gejala iskemik. Hipertrofi pada otot jantung sebagai akibat dari tekanan
darah yang tidak terkontrol juga dapat menyebabkan fibrilasi atrial yang
dapat mengarah pada stroke iskemik. Pada tingkat lanjut dapat
menyebabkan stroke hemoragik dan penyakit ginjal kronis akibat
kompensasi dari Renin-angiotensi-aldosterosn system.

16 | I N T E R N A
2.7 Penatalaksanaan hipertensi

Target ideal dari terapi tekanan darah tergantung dari


populasipasien, tetapi guideline harus merekomendasikan terhadap
populasi secara umum. Sampai saat ini target tekanan darah adalah <
140/90 mmHg untuk hipertensi uncomplicateddan target yang lebih
rendah <130/80 mmHg untuk mereka yang berisiko tinggi yaitu pasien
dengan diabetes, penyakit kardiovaskuler atau serebrovaskuler dan
penyakit ginjal kronik. Khusus untuk guideline JNC VIII, usia <60
tahun target kendali TD adalah sama yaitu <140/90 mmHg dan usia 60
tahun adalah <150/90 mmHg (Varounis,2017)

Obat anti hipertensi terdiri dari beberapa jenis, sehingga


memerlukan strategi terapi untuk memilih obat sebagai terapi awal,
termasuk mengkombinasikan beberapa obat anti hipertensi. Asessmen
awal meliputi identifikasi faktor risiko, komorbid, dan adanya kerusakan
organ target memegang peranan yangsangat penting dalam menentukan
pemilihan obat anti hipertensi. Sebelum membahas lebih mendetail
mengenai terapi farmakologi pada hipertensi, peran tatalaksana
modifikasi gaya hidup tetap memegang peranan penting. Modifikasi
gaya hidup selama periode observasi (TD belum mencapai ambang
batas hipertensi) harus tetap dilanjutkan meskipun pasien sudah
diberikan obat anti hipertensi. Perubahan gaya hidup dapat
mempotensiasi kerja obat anti hipertensi khususnya penurunan berat
badan dan asupan garam. Perubahan gaya hidup juga penting untuk
memperbaiki profil risiko kardiovaskuler disamping penurunan TD.

Terapi farmakologi hipertensi diawali dengan pemakaian obat


tunggal. Tergantung level TD awal, rata-rata monoterapi menurunkan
TD sistole sekitar 7-13 mm Hg dan diastole sekitar 4-8 mmHg Terdapat
beberapa variasi dalam pemilihan terapi awal pada hipertensi primer.
Sebelumnya guideline JNC VII merekomendasikan thiazide dosis
rendah. JNC VIII saat ini merekomendasikan ACE-inhibitor, ARB,
diuretic thiazide dosis rendah, atau CCB untuk pasien yang bukan ras

17 | I N T E R N A
kulit hitam. Terapi awal untuk ras kulit hitam yang direkomendasikan
adalah diuretic thiazidedosis rendah atau CCB. Di lain pihak
guidelineEropa terbaru merekomendasikan 5 golongan obat sebagai
terapi awal yaitu ACE-inhibitor, ARB, diuretic thiazide dosis rendah,
CCB atau -blocker berdasarkan indikasi khusus. Tujuan utama
pengobatan hipertensiadalah untuk mencapai dan mempertahankan
target TD. Jika target TD tidak tercapai dalam waktu satu bulan
pengobatan,maka dapat dilakukan peningkatan dosis obat awal atau
dengan menambahkan obat kedua dari salah satu kelas. Kombinasi dua
obat dosis rendah direkomendasikan untuk kondisi TD >20/10 mmHg di
atas target dan tidak terkontroldengan monoterapi. Secara fisiologis
konsep kombinasi 2 obat (dual therapy)cukup logis, karena respon
terhadap obat tunggal sering dibatasi oleh mekanisme counter aktivasi.
Sebagai contoh kehilangan air dan sodium oleh thiazide akan
dikompensasi oleh RAAS sehingga akan membatasi efektivitas thiazide
dalam menurunkan tensi. Kombinasi 2 golongan obat dosis rendah yang
direkomendasikan adalah penghambat RAAS+diuretic dan penghambat
RAAS+CCB (Kovell,2015)

2.8 Penatalaksanaan Krisis Hipertensi

Tujuan utama dari penanganan krisis hipertensi adalah mencegah


progresifitas kerusakan organ target. Obat –obatan yang ideal digunakan
pada kondisi pasien dengan hipertensi emergensi bersifat: memberikan
efek penurunan tekanan darah yang cepat, reversible dan mudah dititrasi
tanpa menimbulkan efek samping. Pengendalian penurunan tekanan
darah tersebut harus benar –benar terkontrol dengan baik dengan
mempertimbangkan manfaat yang dicapai dan efek hipoperfusi yang
mungkin terjadi.Target penurunan tekanan darah sistolik dalam satu jam
pertama sebesar 10 –15% dari takanan darah sistolik awal dan tidak
melebihi 25 %. Jika kondisi pasien cukup stabil maka target tekanan
darah dalam 2 sampai 6 jam selanjutnya sekitar 160 /100 –110 mmHg.

18 | I N T E R N A
Selanjutnya hingga 24 jam kedepan tekanan darah dapat diturunkan
hingga tekanan sistoliknya 140 mmHg (Unger,2020)

Pasien dengan hipertensi emergensi dapat mengalami natriuresis


spontan sehingga dapat menyebabkan terjadinya penurunan volume
intravascular, sehingga pemberian cairan kristaloid akan memperbaiki
perfusi organ dan mencegah menurunan tekanan darah yang drastic
akibat efek obat antihipertensi yang diberikan. Namun pemberian cairan
tersebut harus berhati –hati karena pada sebagian pasien hipertensi
emergensi disertai / mengancam terjadinya edema paru. Peningkatan
tekanan darah yang mendadak tentunya juga akan meningkatkan
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang selanjutnya juga akan
meningkatkan pula tekanan di atrium kiri dan vena pulmonal sehingga
terjadi bendungan dan kongesti di paru. Pemberian cairan sebaiknya
diberikan setelah target penurunan tekanan darah dalam 1 jam telah
tercapai dan perlu pemantauan yang ketat. Pada saat target tekanan
darah yang diharapkan telah tercapai maka pemberian obat –obat oral
antihipertensi dapat segera dimulai dan obat intravena dapat diturunkan
perlahan –lahan hingga dihentikan. Penurunan tekanan darah hingga
normotensi sebaiknya dicapai dalam beberapa hari kemudian.
(Aronow,2017)

Hipertensi emergensi dan urgensi perlu dibedakan karena cara


penanggulangan keduanya berbeda. Hipertensi urgensi adalah situasi
dimana tekanan darah meningkat sangat tinggi dengan tekanan sistolik
lebih dari 180mmHgdan diastolik lebih dari 110 mmHg, akan tetapi
tidak terdapat kerusakan organ terkait. Sementara keadaan hipertensi
emergensi ditandai dengan peningkatan tekanan darah yang akut dan
parah, seringlebih besar dari 180/110 mmHg biasanya dengan tekanan
darah sistolik lebih dari 200 mmHg dan / atau tekanan darah diastolik
lebih besar dari 120 mmHg terkait dengan adanya kerusakan organ
terkait. Upaya penurunan tekanan darah pada kasus hipertensi emergensi
harus dilakukan segera (< 1 jam) dengan menggunakan obat-obat
antihipertensi kerja pendek, sepertiantihipertensi yang diberikan secara

19 | I N T E R N A
intravena. Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu
tergantung pada kerusakan organ target. Manajemen tekanan darah
dilakukan dengan obat-obatan parenteral secara tepat dan cepat.
Perawatan obat yang direkomendasikan untuk keadaan hipertensi
emergensi terdapat dalam ESC/ESH Guidelines for the management of
arterial hypertension adalah esmolol, metoprolol, labetalol, fenoldopam,
clevidipine, nikardipin, nitrogliserin, nitroprusside, enalaprilat,
clonidine. Nikardipin adalahlini pertamadalam pengobatan tatalaksana
hipertensi emergensi. Menurut Banken (2018) dalam hasil
penelitianyang dilakukan secara prospektif untuk membandingkan
nikardipin dengan nitrogliserin memberikan hasil tekanan darah
menurun lebih cepat pada pasien nikardipin dengan waktu 7,7jam
dengan tekanan darah sistolik rata-rata mencapai 94 mmHgsementara
nitrogliserin baru turun setelah 11,9 jamdengan tekanan darah sistolik
rata-rata mencapai108 mmHg (Benken,2018).

20 | I N T E R N A
BAB III
KESIMPULAN
Menurut Unger dkk pada tahun 2020 menyebutkan bahwa hipertensi
merupakaan keadaan dimana pada individu usia 18 tahun ataupun lebih
dengan keadaan tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg dan tekanan darah
diastolic mencapai ≥90 mmHg dengan beberapa kali pemeriksaan.

Berbagai factor dapat mempengaruhi timbulnya hipertensi seperti


usia, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat Pendidikan, hingga pola hidup.
Sehingga hipertensi memiliki prevalensi kejadian yang tinggi di dunia
yaitu 26,4% per 1,1 miliar jiwa atau dapat diperkirakan setiap satu dari
lima orang memiliki hipertensi. Manifestasi klinis dari pasien Sebagian
besar merasakan nyeri kepala terutama di bagian oksipital saat bangun
pagi haru ataupun saat beraktivitas. Dan pada pemeriksaan ditemukan
peningkatan tekanan darah di kedua ektremitas atas dengan pemeriksaan
rutin.

Komplikasi dari hipertensi dapat terjadi secara akut maupun kronis.


Hipertensi krisis merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada
pasien. Hipertensi krisis dibagi menjadi hipertensi urgensi dan
emergensi. Hipertensi emergensi merupakan peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari 200 mmHg dan tekanan diastole yaitu lebih dari 120
mmHg dan terjadi gangguan fungsi organ target yaitu jantung, otak dan
ginjal sedangkan hipertensi urgensi yaitu dengan kriteria hipertensi
emergensi namun tanpa ditemukan gangguan fungsi organ target.

Penatalaksaan hipertensi yaitu dapat diawali dengan terpai tunggal


dari salah satu golongan anti hipertensi seperti Calsium Channel
Blocker namun apabila kurang adekuat maka dapat dikombinasikan
dengan golongan anti hipertensi lain seperti ACE inhibitor, Beta
blocker, diuretic, α-blocker. Sedangkan penatalaksanaan krisis
hipertensi, diutamakan sediaan obat parenteral untuk segera
mngendalikan tekanan darah yang tinggi serta mencegah terjadi

21 | I N T E R N A
kerusakan organ target dengan pilihan obat yang sering digunakan
adalah Nicardipine.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian, Steven Johanes. Adrian. 2019. Hipertensi Esensial : Diagnosis


dan Tatalaksana Terbaru pada Dewasa. Universitas Atma Jaya : Jakarta

Aronow,Wilbert S. 2017. Treatment of hypertensive emergencies .


Westchester Medical Center

Benken,Scott. 2018. Hypertensive Emergencies. USA

Kovell, et al. 2015. US Hypertension Management Guidelines ; A


review of the recent past and recommendation for the future. American
Heart Association

Nuraini,Bianti. 2015. Risc Factors of Hypertension. Universitas


Lampung

Nurkhalis. 2015. Penanganan Krisis Hipertensi. Universitas Syiah


Kuala : Aceh

Nakalema, et al. 2019. Prevalence, Patterns, and factors associated


with hypertensive crises in Mulago hospital emergency department; a
cross-sectional study. Afrika

PERKI.2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit


Kardiovaaskular. Jakarta

Sartik.et al.2017. Faktor – Faktor Resiko dan Angka Kejadian


Hipertensi Pada Penduduk Palembang. Universitas Sriwijaya

Tackling,Garry., Borhade, Marhesh B. 2020. Hypertensive Heart


Disease. Cape Fear Valley Hospital

Unger, et al.2020. 2020 International Society of Hypertension Global


Hypertension Practice Guidelines. American Heart Association : USA

22 | I N T E R N A
Varounis,et al. 2016. Cardiovascular Hypertensive Crisis : Recent
Evidence and Review of the Literature. Attikon Hospital

Williams,, et al. 2018. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management


of arterial hypertension. European Society Cardiology

23 | I N T E R N A

Anda mungkin juga menyukai