Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

Eritroderma Etcausa Pemphigus Vulgaris

DITUJUKAN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT


DALAM MENEMPUH PROGRAM DOKTER INTERNSHIP
DI RSUD DAHA HUSADA KOTA KEDIRI

Oleh:
dr. Atina Hasanah

Dokter DPJP
dr. Zahruddin Ahmad, M. Ked. Klin., Sp.DV

Pendamping:
dr. Dyah Novi Wulansari, M.Kes

PROGRAM INTERNSHIP IKATAN DOKTER


INDONESIA RSUD DAHA HUSADA
KOTA KEDIRI
2022-2023
1

DAFTAR ISI...........................................................................................................1
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................4
A. Definisi..........................................................................................................4
B. Klasifikasi Pemphigus..................................................................................5
C. Etiologi..........................................................................................................7
D. Patogenesis..................................................................................................10
E. Manifestasi Klinis.......................................................................................11
F. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................14
G. Tatalaksana.................................................................................................15
BAB 3 LAPORAN KASUS..................................................................................24
A. Identitas Pasien..........................................................................................24
B. Anamnesis..................................................................................................24
C. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................26
D. Diagnosis....................................................................................................27
E. Planning Terapi..........................................................................................28
F. Evaluasi Harian..........................................................................................29
BAB 4 PEMBAHASAN.......................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................34
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eritroderma atau generalized exfoliative dermatitis adalah dermatitis yang


ditandai dengan kemerahan dan pengelupasan kulit dan melibatkan 90% atau lebih
permukaan kulit. Keadaan ini dapat berasal dari penyakit lain yang merupakan penyakit
primer bahkan menyamarkan penyakit primer sehingga berpengaruh pada keberhasilan
pengobatan. Penelusuran riwayat penyakit sangat penting. Bila tidak ditemukan
penyakit primernya maka disebut idiopathic exfoliative dermatitis (Jaffer, 2005).
Gejala klinik yang menonjol adalah rasa gatal dan kemerahan dikulit disertai
adanya pengelupasan kulit. Bila terjadi infeksi maka dapat disertai demam. Bila
penderita sudah melakukan konsultasi atau pengobatan sendiri, gejala yang tampak
mungkin tidak khas lagi.
Penyakit imunobulosa ditandai dengan adanya autoantibodi patogen terhadap sel
target yang fungsinya adalah adhesi sel pada epidermis atau adhesi sel ke dermis.
Gangguan autoimun tersebut mengalami peningkatan frekuensi pada pasien dengan
riwayat penyakit autoimun lainnya. Kecenderungan untuk berkembangnya penyakit lain
terjadi pada sekitar 25% kasus. Kejadian overlapping sering terjadi, namun seringkali
satu penyakit mirip dengan penyakit lainnya.
Pemfigus vulgaris (PV) merupakan penyakit autoimun dengan manifestasi klinis
berupa bula pada kulit dan mukosa. Pemphigus vulgaris merupakan bentuk penyakit
bulosa yang paling sering ditemukan dengan insidensi 0,1 – 0,5 / 100.000 populasi. Rata-
rata onset usia padadecade ke empat dan lima, tetapi mungkin terjadi pada usia lebih tua
maupun anak- anak. Etiologi PV tidak diketahui secara pasti, PV dapat timbul sebagai
hasil interaksi antara faktor genetik penjamu dan faktor lingkungan seperti obat-obatan
(captopril, penisilinamin), infeksi (virus herpes simpleks, EBV, dll), pestisida, radiasi
ultraviolet, luka bakar, stress dan diet pernah dilaporkan memicu munculnya PV.
Mekanisme terjadinya lesi pada PV, akantolisis, dikaitkan dengan adanya antibodi IgG
dan juga kerusakan desmosom akibat antibodi tubuh bertindak melawan desmoglein 3
yaitu sel yang berfungsi untuk melekatnya satu sel dengan sel lain. Gambaran klinis PV
diawali
2
3

bula di atas kulit normal yang berkembang menjadi bula di atas kulit yang eritema, bula
yang timbul mudah pecah menjadi erosi yang disertai krusta dan rasa nyeri.
Adanya penyakit autoimun meningkatkan kemungkinan munculnya penyakit
autoimun tambahan lainnya. Terjadinya koinsidensi penyakit autoimun menunjukkan
perlunya pengawasan lanjutan kemungkinan munculnya penyakit autoimun baru pada
pasien yang memiliki predisposisi. Pemphigus vulgaris dapat muncul pada pasien dengan
systemic lupus erythematosus (SLE), Manifestasi kulit sering terjadi dan kadang dapat
muncul sebagai lesi bulosa atau lepuh, seperti SLE bulosa (BSLE). Selain SLE bisa juga
diperantarai karena drug induce.
Terdapat laporan kasus yang menunjukkan pada salah satu pasien, pemfigus
vulgaris berkembang setelah pasien tersebut terkena drug induce. Sindromanya sama
seperti pada pemphigus vulgaris dan juga pemphigus foliaceus dan dipacu oleh
penggunaan obat. Obat yang dilaporkan memacu pemphigus terbagi tiga kelompok sesuai
struktur kimianya: obat yang mengandung radikal sulfhydryl seperti penisilamin; phenol
seperti rifampin, levodopa dan aspirin; dan obat nonthiol nonphenol, seperti calsium
channel bloker, angiotensin converting enzyme inhibitors, NSAIDS, dipiron dan
glibenklamid.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Eritroderma adalah kelainan kulit yang tergolong dalam kelompok erupsi


papulos- kuamosa. Nama lain bagi penyakit ini adalah dermatitis eksfoliata, pytiriasis
rubra (Hebra), eritroderma (Wilson Brocq), dan eritema scarlatiniform. Erythroderma,
atau dermatitis eksfoliatif generalisata, adalah kelainan peradangan yang jarang yang
ditandai dengan eritema menyeluruh, yang terdapat pada lebih dari 90% area permukaan
tubuh disertai dengan tingkat scaling yang tersedia, yang mungkin merupakan presentasi
morfologis kulit yang memiliki berbagai penyebab mendaar termasukkondisi kulit yang
sudah ada sebelumnya, seperti dermatitis atopic, dermatitis kontak dan kondisi kulit
sistemik termasuk keganasan dan asupan obat. Penyebab paling umum dari eritroderma
adalah eksaserbasi dermatosis yang sudah ada sebelumnya (43,5%), termasuk psoriasis
(27,2%), eksim (7,6%), pemfigus foliaceous (6,5%) danpityriasis rubra pilaris (2,2%).
Diikuti oleh reaksi obat (38%) yang didominasi oleh sindrom DRESS (30,4%). Limfoma
sel T kulit merupakan15,2% penyebab eritroderma.
Eritroderma biasanya terjadi pada usia diatas 40 tahun kecuali bila didasari oleh
penyakit lain seperti dermatitis atopi, dermatitis seboroik, staphylococcal scalded skin
syndrome atau hereditary ichthyosis. Lebih banyak terjadi pada wanita dengan rasio 2 :
4,1. Tidak ada pengaruh dengan ras (Sehgal, 2004).
Pemphigus vulgaris yang berasal dari bahasa Greek, ‘pemphix’, yang berarti busa
atau lepuhan. Kelainannya berupa penyakit bula atau lepuhan yang kronik di mana
antibodi yang bersirkulasi pada pasien melawan sel pada permukaan jaringan yang
dikenal sebagai keratosit dan terjadi lepuhan pada kulit dan membrana mukosa. Hal ini
diakibatkan oleh hilangnya integritas pada perlekatan interselular yang normalantara
epidermis kulit dan epitel mukosa yang berhubungan dengan kehadiran autoantibodi
terhadap desmoglein-3. Lepuhan pada pemphigus vulgaris terlihat menyerupai lesi
terbakar dan batas keparahannya dari ringan sampai berat sehingga dapat menyebabkan
kematian (Sularsito SA, 2015).
Pemfigus vulgaris (PV) merupakan penyakit autoimun dengan manifestasi klinis
berupa bula pada kulit dan mukosa. Pemphigus vulgaris merupakan bentuk penyakit

4
bulosa yang paling sering ditemukan dengan insidensi 0,1 – 0,5 / 100.000 populasi. Rata-
rata onset usia padadecade ke empat dan lima, tetapi mungkin terjadi pada usia lebih tua
maupun anak- anak.
Fixed drug eruption (FDE) merupakan salah satu bentuk erupsi kulit karena obat
yang unik. FDE ditandai oleh makula hiperpigmentasi dan kadang-kadang bula diatasnya
, ditandai dengan lesi pada kulit dengan batas yang jelas, bentuk oval, soliter, atau
multipel, warna merah sampai coklat. Lesi umumnya muncul 30 menit sampai 8 jam
setelah penggunaan obat yang dapat muncul kembali ditempat yang sama bila minum
obat yang sama. FDE adalah erupsi alergi obat yang dicetuskan oleh obat atau bahan
kimia. Tidak ada faktor etiologi lain yang dapat mengelisitasi (Soebaryo, 2015).
B. Klasifikasi Pemphigus
Pemphigus terdiri dari beberapa subklas dan varian yaitu pemphigus vulgaris,
pemphigus vegetans, pemphigus foliaceus, fogo selvagam, pemphigus erythematosus,
drug-induced pemphigus dan pemphigus paraneoplastik
Klasifikasi ini secara lebih jelas dapat digambarkan sebagai berikut:

 Pemphigus vulgaris

 Pemphigus vegetans

 Drug-induced

 Pemphigus foliaceus

 Pemphigus erythematosus

 Fogo selvagem

 Drug-induced

 Pemphigus paraneoplastik

1. Pemphigus Vegetans

Pemphigus vegetans merupakan varian dari pemphigus vulgaris. Lepuhan


biasanya berkembang cepat dan memiliki lesi yang besar yang sering berlokalisasi di
daerah pangkal paha dan bawah lengan.

5
2. Pemphigus Foliaceus

Sering terjadi pada muka, kulit kepala, dada bagian atas dan perut namun
dapat juga mengenai seluruh tubuh. Bula jarang terbentuk, lesi mengandung bercak
erytematous dan erosi tertutup oleh keropeng. Penyakit ini terjadi disebabkan
serangan autoantibodi terhadap Desmoglein
3. Fogo Selvagem

Gejala klinik dan pemeriksaan secara histologik sama dengan pemphigus

foliaceus namun terjadi secara endemik di Brasil tengah bagian selatan. Kondisi

pasien membaik apabila keluar dari daerah endemik namun akan mengalami relaps

apabila kembali. Terdapat beberapa andaian yang mengaitkan penyakit ini dengan

penularan oleh serangga. Lebih dari 1000 kasus baru pertahun muncul di daerah

endemik.

4. Pemphigus Erythematosus

Terdapat lesi yang erytematous, berkeropeng dan erosif yang berbentuk

kupu- kupu di daerah muka, dahi, daerah sternum dan daerah tulang skapula. Secara

histologik sama dengan gambaran pada pemphigus foliaceus. Pemphigus

erytematousdikaitkan juga dengan penyakit thymomas dan myastenia gravis.

5. Drug Induced

Sindromanya sama seperti pada pemphigus vulgaris dan juga pemphigus

foliaceus dan dipacu oleh penggunaan obat. Obat yang dilaporkan memacu

pemphigus terbagi tiga kelompok sesuai struktur kimianya: obat yang mengandung

radikal sulfhydryl seperti penisilamin; phenol seperti rifampin, levodopa dan

aspirin; dan obat nonthiol nonphenol, seperti calsium channel bloker, angiotensin

converting enzyme inhibitors, NSAIDS, dipiron dan glibenklamid

6
6. Pemphigus Paraneoplastik

Limphoma, leukemia dan thymomas sering merangsang pembentukan

antibodi pemphigus dan antibodi yang mirip pemphigus. Neoplasma yang sering

menyebabkan pemphigus adalah lymphoma, leukemia, sarkoma dan tumor thymus.

Waldenstrom’s makroglobulinemia dan penyakit Castleman’s juga dilaporkan

sebagai pencetus terjadinya pemphigus.

C. Etiologi
Etiologi dari penyakit ini ialah autoimun dimana terjadi perikatan antara IgG
autoantibodi dengan permukaan sel keratinosit. Dalam beberapa penelitian yang
dilakukan dengan cara pewarnaan indirect immunofluorescence, telah ditemukan
autoantibodi di dalam serum penderita pemphigus vulgaris dan ini membuktikan penyakit
ini mempunyai kaitan dengan autoimunitas.
Para ahli menyatakan kemungkinan adanya faktor eksternal atau faktor
lingkungan yang bertindak sebagai pencetus atau faktor predisposisi sehingga penyakit
pemphigus vulgaris dapat terjadi, yaitu :
1. Endokrin

Kehamilan mempunyai kaitan erat dengan penyakit autoimun demikian juga

penyakit imunoblistering, hubungan ini memperparahkan pemphigus vulgaris

selama kehamilan. Kehamilan atau kondisi setelah melahirkan menyebabkan

terjadinya herpes gestationis dan pemphigus pada neonatal.

2. Jenis Kelamin

Rasio kedua jenis kelamin hampir sama namun pada waktu pubertas, wanita

lebih sering mendapat pemphigus vulgaris dibandingkan laki-laki.

3. Usia

Penyakit ini sering muncul sekitar 50-60 tahun, namun dapat juga muncul

pada individu yang lebih tua atau pada anak-anak. Umur pasien di India biasanya

7
lebih muda dibandingkan penghidap pemphigus vulgaris di Eropa

4. Obat-obatan

Obat yang dilaporkan dapat mencetus terjadinya pemphigus vulgaris

dikelompokkan kepada tiga kelompok besar berdasarkan kepada struktur kimianya

yaitu obat yang mengandung radikal sulfhydryl seperti penisilamin; mengandung

phenol seperti rifampin, levodopa dan aspirin; dan obat nonthiol nonphenol, seperti

calcium channel blockers, angiotensin converting enzyme inhibitors, NSAIDS,

dipiron dan glibenklamid. Dalam setengah kasus, pemphigus vulgaris dapat

mengalami remisi apabila penggunaan obat ini dihentikan

5. Lingkungan

Bahan-bahan perkebunan dan pestisida merupakan kelompok terbesar yang

terlibat dalam perkembangan penyakit ini. Dalam beberapa literatur dilaporkan

banyak kasus yang dirangsang oleh berbagai pestisida di seluruh dunia. Pestisida

organoklorin dan organofosfat, yang merupakan pestisida generasi baru mempunyai

kaitan erat dengan penyakit ini.

D. Patogenesis

Pada pemphigus vulgaris, terjadinya penumpukan antibodi klas IgG dan

juga kerusakan desmosom akibat antibodi tubuh bertindak melawan desmoglein 3

yaitu sel yang berfungsi untuk melekatkan antara satu sel dengan sel lain. Ketika

antibodi menyerang desmoglein, hubungan interseluler akan rusak dan

mengakibatkan hilangnya adhesi antara sel sehingga terbentuk vesikel. Epitel oral

mengandung jumlah Dsg 3 yang banyak sedangkan kulit mempunyai Dsg 1 dan

Dsg 3, maka bila kerusakan terjadi pada Dsg 3 seperti pada kasus pemphigus

vulgaris, gejala

8
primer sering terjadi hanya pada mukosa oral sedangkan perlekatan pada kulit

masih dapat dipertahankan oleh Dsg 1.

Autoantibodi merupakan subklas dari IgG dan terdapat bukti terlibatnya

autoantibodi terhadap Dsg 3 dalam patogenesis penyakit ini. Dalam suatu penelitian

dimana serum IgG antibodi terhadap Dsg 3 yang diperoleh dari penderita

pemphigus vulgaris disuntikkan ke tikus uji yang baru lahir, terjadi reaksi

pembentukan bula seperti pada pemphigus vulgaris. Hilangnya toleransi terhadap

Dsg3 pada sel B dan T merupakan penyebab penting terjadinya pemphigus vulgaris.

E. Manifestasi Klinis

Gambaran umum dari lesi pemphigus vulgaris ialah munculnya ulser

yang menyakitkan, ditandai dengan bula dan vesikel yang sudah pecah dan

kemunculan lesi baru bila lesi lama mula membaik. Kira-kira 80 % dari kasus

menunjukkan gejala awal muncul di rongga mulut yaitu di bagian bukal dan labial,

palatum molle dan oropharyng dan pada fase lanjut dapat mengenai gingiva dan

palatum durum. Vesikel dan bula biasanya tidak bertahan lama dalam bentuk yang

utuh dan akan pecah menyebabkan terbentuknya ulser yang menyakitkan. Ulser

yang terlihat hampir sama

Gambar 1: Vesikel Pemphigus vulgaris yang pecah pada fase awal penyakit muncul pada jaringan palatum mo

9
seperti pada lesi aphtous namun akan berubah dengan cepat menjadi ulser yang

besar dan mempunyai pinggir yang irregular. Bentuk deskuamatif mungkin akan

muncul apabila gingiva cekat terlibat. Dengan menggunakan kapas lidi, dapat

dilihat tanda Nikolsky.

Lesi oral merupakan bula yang sering pecah terutama saat didiagnosis.

Lesiini berbeda dengan ulser traumatik dan lesi aphtous dimana dasar dari lesi

pemphigus vulgaris tidak konkaf dan biasanya kurang menyakitkan.Bula jarang

cenderung mendapat infeksi sekunder namun dapat membesar sehingga berdiameter

4 cm dan berjumlah banyak sehingga dapat memenuhi seluruh mukosa oral.Sering

juga terdapat tanda Nikolsky. Bula dapat muncul pada permukaan manapun pada

rongga mulut atau oropharyng namun paling sering muncul pada bagian bukal,

palatal dan gingiva. Lesi yang terjadi pada kulit sama, kecuali pada kulit lebih

berkeratin sehingga bula berada dalam bentuk yang utuh.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan langsung

Secara visual dilakukan dengan cara operator memeriksa gejala klinis yang

terdapat pada rongga mulut dan kulit.

2. Biopsi

Metode biopsi dilakukan dengan cara sampel diambil pada daerah erosi atau

bula setelah kulit atau mukosa dianastesi dengan injeksi anastesi lokal. Sampel

kemudiannya diperiksa secara histologis dibawah mikroskop untuk melihat adakah sel

terpisah antara satu sama lain

3. Direct Immunofluorescence

1
Sampel diperiksa di laboratorium untuk melihat kehadiran autoantibodi yang

berkaitan. Jika terdapat autoantibodi tersebut, direct immunofluorescence pada

mukosa di bagian tepi lesi akan menunjukkan corak yang menyerupai renda atau

chicken-wire pattern dari penumpukan yang mengelilingi setiap epitel sel spinous.

Immunoglobulin yang sering bertumpuk adalah dari golongan IgG. Setengah pihak

menyatakan bahwa direct immunofluorescence dapat dipercayai dan merupakan

metode diagnosis yang tidak invasif.

Gambar 3: Tampilan klasik pemphigus vulgaris


Gambar 4 : Dalam pemeriksaan immuno-
dibawah mikroskopik dimana satu dari sel epitel
fluorescence, antibodi yang menyerang
terlihat berjauhan antara satu sama lain dan
ditandai dengan pewarnaan hijau apel di
membulat dalam cairan pada lepuhan.
antara atau mengelilingi setiap sel epitel.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mencampurkan spesimen jaringan mukosa

yang dibiopsi dengan beberapa siri immunoglobulin. Immunoglobulin ini telah ditandai

dengan bahan fluoresense (fluorochrome) yang digunakan untuk menunjukkan

kehadiran autoantibodi yang melekat pada sel jaringan pasien

4. Indirect Immunofluorescence

Test ini dilakukan dengan mengukur jumlah autoantibodi di dalam darah. Dalam

indirect immunofluorescence ini, serum pasien akan dicampur dengan jaringan kontrol

untuk mengidentifikasi kehadiran dan konsentrasi antibodi sirkulasi

1
G. Tatalaksana

Perawatan bertujuan untuk mengontrol penyakit dan mencegah infeksi dari lesi

yang melepuh. Jika dibiarkan tanpa diobati, pemphigus vulgaris dapat menyebabkan

kematian. Pemphigus vulgaris tidak dapat sembuh sempurna dimana bila telah dirawat

pun, serangkaian remissi dan relaps dapat terjadi.

1. Perawatan

 Perawatan Konvensional

a) Kortikosteroid

Kortikosteroid

Sistemik

Biasanya perawatan dilakukan dengan pemberian steroid dalam bentuk

tablet seperti prednison. Steroid mengurangi inflamasi dengan cara menekan

sistem kekebalan tubuh. Dosis tinggi biasanya diperlukan pada peringkat

pertama. Kadang- kadang ini diberikan dengan suntikan sebagai tindakan

pertama. Dosis dikurangi bila lesi melepuh telah berhenti terbentuk. Tujuannya

adalah untuk tablet dari waktu ke waktu dapat dilakukan dan tablet dapat

diberikan kembali jika gejala muncul. Dalam beberapa kasus, dosis steroid yang

tinggi diperlukan untuk mengendalikan penyakit ini dan ini dapat menimbulkan

efek samping. Efek samping dari steroids terkadang serius, terutama jika

penggunaan steroids dosis tinggi dilakukan untuk waktu yang lama. Misalnya,

pasien lebih rentan terhadap infeksi tertentu jika menggunakan steroid dosis

tinggi secara berkepanjangan.

Kortikosteroid Topikal

1
Steroid topikal kadang-kadang digunakan pada kulit yang melepuh di

1
samping perawatan lainnya. Hal ini bertujuan untuk menjaga dosis steroid tablet

agar lebih rendah. Obat kumur steroid atau sprays kadang-kadang digunakan

untuk membantu merawat mulut yang mengalami lepuhan.

Kortikosteroid diindikasikan sebagai obat pilihan untuk pemphigus

vulgaris. Pada perawatan pemphigus, kortikosteroid bersifat live saving.

Perawatan awal sering dengan kortikosteroid karena ia efektif dan bekerja lebih

cepat berbanding perawatan lain dimana kortikosteroid bekerja dengan menekan

sistem imun tubuh. Terapi topikal saja tidak mampu untuk mengobati penyakit ini

karena penyakit ini. merupakan penyakit autoimun sistemis maka pengobatan

haruslah diberi secara sistemik.

Dosis prednison 0,5-2 mg/kg/BB secara oral atau parenteral menimbulkan

efek immunosupresif pada limfoid, neutrofil dan monosit. Dosis lebih besar

dari 2 mg/kg/BB tidak meningkatkan efek terapi, tetapi meningkatkan efek

samping obat. Apabila terapi bertujuan untuk mengatasi keadaan yang dapat

mengancam pasien, misalnya pemphigus maka dosis awal harus cukup besar. Bila

dalam beberapa hari belum terlihat efeknya maka dosis dapat dilipatgandakan.

Dalam hal ini dokter haruslah dapat mempertimbangkan antara bahaya

pengobatan dan bahaya akibat penyakit itu sendiri. Kebanyakan pasien dapat

dirawat dengan prednison dengan dosis 0,5-2 mg/kg/BB dan dikurangi bagi

mendapatkan dosis terendah. Pengurangan dilakukan relatif cepat pada awalnya

yaitu dikurangi 5-10 mg perminggu tetapi bila dosis mencapai 40 mg perhari,

proses pengurangan dosis dilakukan dengan lebih lambat yaitu dengan regimen

selang hari (alternate-day regimen). Pengurangan dosis dilakukan sehingga

1
mencapai dosis 40 mg, dan 0 mg pada hari berikutnya.

Kontraindikasi absolut kortikosteroid tidak ada tetapi kondisi-kondisi

seperti diabetes melitus, tukak peptik, infeksi berat, hipertensi atau gangguan

sistem vaskular merupakan kontraindikasi relatif karena efek samping dari

kortikosteroid namun hal ini dapat diabaikan terutama pada keadaan yang

mengancam jiwa pasien seperti pemphigus vulgaris. Dalam hal ini dibutuhkan

pertimbangan matang antara risiko dan keuntungan sebelum obat diberikan.

Namun harus diberi perhatian pada kondisi ini, pemeriksaan ulang setelah

penggunaan selama beberapa hari atau beberapa minggu perlu dilakukan.

Perawatan Eksperimental

a) IVIG

IVIG ialah hasil pemecahan dan pemurnian darah yang didapat dari

plasma 1000 sehingga 15.000 donor yang sehat. Yang mengandung konsentrasi

IgG yang menemukan dosis terendah yang diperlukan untuk mengendalikan

gejala dimana dosis yang diperlukan bervariasi antara pasien.

Pada sebagian kasus dalam tempoh laten, penghentian pemberian steroid

tinggi dan mempunyai berbagai antibodi yang mampu menyerang antibodi

patogen, antigen asing dan antigen tubuh pasien sendiri. Walaupun mekanismenya

masih belum jelas namun IVIG dihubungkan dengan penurunan yang cepat dari

paras serumantobodi patologik pada pasien pemphigus vulgaris.

b) Plasmapheresis

Plasmapheresis merupakan suatu proses dimana plasma dikeluarkan dari

darah dengan menggunakan alat pemisah sel. Sel darah dan plasma yang sehat

dikembalikan kepada pasien yang sedang menjalani perawatan. Disebabkan

1
antibodi terdapat di dalam plasma maka plasmapheresis berguna dalam

membuang antibodipatogen.

c) Imunoadsorption (IA)

IA mengandung plasma pasien yang dikumpul yang kemudian dialirkan

melalui kolum penyerap untuk membuang kompleks imun sirkulasi dan IgG.

Kemudian, hasil saringan dikembali ke hasil saringannya ke pasien. 4 seri kasus

dan 2 laporan kasus telah melaporkan keberhasilan merawat pasien pemphigus

vulgaris. Pengambilan terapi imunosupresif bersamaan perawatan ini

menunjukkan hasil klinis yang baik disamping penurunan IgG autoantibodi yang

menyerang desmoglein. Terbaru, kombinasi antara perawatan ini dan rituximab

menghasilkan remisi jangka panjang. Penelitian membuktikan, penggunaan

perawatan ini berada dalam batasaman.

d) Extracorporeal Photochemotherapy (ECP)

Dalam ECP, yang juga dikenali sebagai photopheresis, sel darah putih

pasien dikumpul (leukapheresis), dipaparkan pada 8-methoxypsoralen,

dipancarkan dengan cahaya ultraviolet-A dan kemudian dimasukkan kembali ke

pasien. Mekanisme perawatan ini adalah dengan menghambat antibodi patologik

yang dihasilkan oleh limfosit B. Terdapat dua seri kasus dan dua laporan kasus

yang melaporkan penggunaan perawatan ini untuk pasien pemphigus vulgaris.

Dari sembilan pasien yang dirawat pada suatu penelitian, semua pasien yang

mendapat perawatan ini menunjukkan perbaikan gambaran klinis yang signifikan

dan tidak menunjukkan efeksamping.

e) Rituximab

Rituximab ialah monoklonal autobodi chimeric murine/human IgG1 anti-

1
CD20 yang menyerang limfosit B yang belum dan yang sudah matang yang

bertanggungjawab menyebabkan terjadinya sitotoksik akibat antibodi dan

apoptosis. Rituximab mengurangkan sirkulasi sel B yang menyebabkan

terhalangnya proses pematangan sel ini kepada bentuk sel plasma yang mampu

menghasilkan antobodi. Banyak laporan kasus yang menyatakan rituximab

merupakan perawatan yang efektif untuk pemphigus vulgaris. Penelitian terbesar

yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa dari 14 pasien, 12 pasien mengalami

remisi total setelah 3 bulan mendapatkan perawatan satu siklus rituximab.

Rituximab juga efektif bila digunakan bersama IVIG.

f) Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-á) Antagonists

TNF-á antagonists mungkin bermanfaat dalam perawatan pemphigus

vulgaris karena dalam penelitian yang dilakukan, dibuktikan bahwa TNF-á

mempunyai hubungan yang erat dengan terjadinya akantholisis. Dua laporaan

kasus melaporkan keberhasilan perawatan dengan infliximab dan dua lagi laporan

kasus melaporkan perbaikan gambaran klinis pasien pemphigus vulgaris dengan

penggunaan etanercept. Percobaan klinis untuk kedua jenis obat ini masih dalam

proses percobaan.

H. Edukasi dan Pencegahan

Anjuran diet dan gizi yang baik dapat membantu tubuh menyembuhkan dan

memerangi penyakit. Namun, beberapa makanan mungkin akan membuat gejala

bertambah buruk atau memicu timbulnya penyakit pemphigus vulgaris. Berhati-hati

dengan pengambilan makanan yang tampaknya menyebabkan reaksi pada kulit dan

hindarilah makanan tersebut. Label pada semua makanan hendaklah dibaca untuk

1
memastikan agar tidak mengandung bahan yang dapat menyebabkan suatu reaksi.

Untuk mengurangi risiko osteoporosis akibat perawatan dengan kortikosteroid,

pengambilan gizi yang kaya dengan kalsium seperti susu, keju dan yogurt serta

pengambilan vitamin D dan suplemen kalsium dapat mengurangi efek samping

perawatan.

Hal-hal lain yang perlu mendapat perhatian ketika perawatan dengan

kortikosteroid ialah mempertahankan berat badan dengan mengkonsumsi diet tinggi

protein dan rendah karbohidrat dan lemak. Penggunaan garam dikurangi bila timbul

udem yang diakibatkan oleh retensi cairan.

Konsumsi makanan yang mengandungi potassium seperti buah-buahan, bayam,

kentang dan kacang karena kortikosteroid akan menurunkan kadar potassium. Selain

buah-buahan, sayuran dan kacang juga dapat mengurangi kadar kolestrol.

Jika pemphigus vulgaris aktif di dalam mulut, agak sukar untuk mengkonsumsi

diet. Namun, diet yang bergizi tetap penting maka pasien dapat mengkonsumsinya dalam

bentuk cairan dan jika perlu diisap menggunakan pipet. Penggunaan obat kumur anastetik

sebelum makan dapat mengurangkan rasa sakit danjika tenggorokan atau mulut sakit, es

krim atau menghisap es batu dapat mengurangkan rasa sakit walaupun tidak mudah,

namun olahraga rutin dapat membantu untuk otot dan sakit sendi bagi mempertahankan

kekuatan otot dan mengurangi risiko osteoporosis.

Pasien juga perlu diingatkan bahawa pemphigus vulgaris merupakan penyakit

kronik yang dapat terjadinya relaps. Ini bermakna, pasien pemphigus vulgaris mungkin

akan mengalami flare-up pada suatu ketika. Sebagian flare-up mungkin serius dan pasien

harus segera menemui dokter yang merawatnya agar dosis obat dinaikkan untuk

sementara

1
waktu jika perlu. Apabila flare-up sudah terkontrol, dokter akan menurunkan kembali

dosis obat. Kadang-kadang istirahat dan mengelakkan faktor pencetus dapat meredakan

flare-up yang ringan. Selain itu dukungan dari segi psikologis dari ahli keluarga dan

orang-orang terdekat juga sangat perlu dan mereka tidak seharusnya menjauhkan diri

kerana penyakit ini bukanlah penyakit yang menular.

1
BAB 3

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. W
Jenis Kelamin : Perempuan
No RM 063284
Usia : 59 tahun
Alamat : Kediri
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Suku : Jawa
Agama : Islam
Tanggal MRS : 23 Januari 2023

ANAMNESIS (Autoanamnesis)

Keluhan Utama
Muncul bula di kedua kaki dan gatal

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan muncul gelembung berair pada kulit kedua kaki dan
mengeluarkan cairan serta menyebabkan gatal dengan rasa nyeri minimal, bewarna merah
keunguan sejak kemarin. Pasien juga mengeluh gatal dan kemerahan di seluruh tubuh.
Sebelum timbul luka gelembung tersebut pasien mengaku kakinya tersiram air panas dan
dibiarkan selama semalam, setelah bangun tidur dipagi hari muncul bula di kaki dan gatal.
5 bulan yang lalu pasien mengaku pernah mengalami keluhan seperti ini karena meminum
obat Supertetra dan dirawat selama 4 hari di RSUD Daha Husada dengan diagnosis fixed
drug eruption. Pasien mengatakan mandi 2x sehari dan memakai sabun mandi pada
umumnya. Pusing (-), Mual (-) Muntah (-). Demam (-), pusing (-), Batuk (-). Bak dan
BAB

2
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Diabetes mellitus : Disangkal
b. Hipertensi : Disangkal
c. Alergi (obat dan makanan) : Obat Tetracyclin
d. Asma : Disangkal
e. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
f. Riwayat penyakit paru : Disangkal
g. Riwayat penyakit kuning ; Disangkal
h. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
i. Riwayat penyakit kulit : Eritroderma, Fixed Drug Eruption
j. Riwayat operasi : Disangkal

Riwayat Keluarga
Untuk riwayat peyakit keluarga disangkal.

Riwayat Sosial
Pasien seorang ibu rumah tangga, keseharian pasien di rumah dan masih bisa
melakukan rutinitas harian secara mandiri. Pasien masih memiliki ingatan yang baik.
Pasien tidak merokok, minum jamu maupun alkohol.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat tetracycline

Tanda-tanda Vital
Kesadaran : Compos Mentis
GCS 456
Frekuensi Napas : 20x/menit
Frekuensi Nadi : 90x/menit
Tekanan Darah : 122/80
Suhu : 36,6 C
SpO2 : 99% room air

2
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Cukup
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Gizi : Kesan gizi baik
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 165 cm

 Kepala dan leher : konjungtiva anemis (-), icterus (-), cyanosis (-), dyspnea (-)
 Thorax : gerak dada kanan dan kiri simetris, retraksi (-), perkusi
dadakanan dan kiri simetris sonor, auskultasi vesikular, rhonki (-), wheezing (-), S1 S2
tunggal, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : distended, bising usus (+),supel, hepar, ginjal, dan lien tak
teraba, nyeri tekan epigastrium(-)
 Extremitas : akral hangat, kering, merah, CRT < 2 detik, edema (-)

Status Lokalis dan Efloresensi


 Pada regio pedis dextra sinistra terdapat bula kendur multiple ukuran 3x4 cm
sampai 6x7 cm dengan diameter 2-3 cm berbatas tegas bentuk bulat dengan isi
cairan

 Pada regio cruris dextra sinistra terdapat makula hiperpigmentasi multipel dengan
ukuran 3x4 sampai 10x15 cm dengan erosi berwarna merah, kecoklatan soliter
batas tidak tegas berbentuk bulat dengan ditutupi krusta coklat kehitaman

 Pada region coli dan facialis terdapat macula eritem kecoklatan hiperpigmentasi
berbatas tegas bentuk tidak khas distribusi regional dengan dasar skuama halus

2
PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Darah Lengkap
Indikator Hasil Result Nilai Rujukan

Leukosit 9.89 103/ uL 5.000-10.000

Neutrofil 8.39 103/ uL 2000-7500

Limfosit 0,54 103/ uL 1.300-4000

Monosit 0,74 103/ uL 0,150-0,700

Eosinofil 0.12 103/ uL 0.00-0.500

Basofil 0.10 103/ uL 0-00-0.150

Eritrosit 4.14 103/ uL 4.00-5.00

Hemoglobin 10,0 g/dL 11.7-15.5

Hematokrit 35,2 % 35-47

MCV 85,0 fL 80-100

MCH 24,1 pg 26-34

MCHC 28,4 g/dL 32-36

Trombosit 46.000 103/ uL 150.000-440.000

GDA 124 Mg/dL <200

Rapid Antigen negatif negatif negatif

WORKING DIAGNOSIS
Eritroderma etcausa Pemphigus Vulgaris

2
Gambar Status Lokalis

Tatalaksana ( Senin, 23/01/2023 )


 Inf. PZ 14 tpm
 Inj. Diphenhidramin 1 amp
 Inj. Ranitidine 2x1
 Inj. Anbacim 3x1
 Inj. Metylprednisolon 32,5 mg-0-0
 Po Cetrizine 2x1 gr

2
 Salep Fusipar
 Salep Cloderma

Monitoring Harian (Selasa, 24/01/2023)


Subjective Objective Assesment Planning
- Gatal - TD : 120/70 Eritroderma  Inf. RL 14 tpm
- Bula yang pecah - N : 90 etcausa  Inj. Diphenhidramin
sedikit nyeri - S : 36 Pemphigus
1 amp
- Tidak ada mual  RR : 20x Vulgaris
muntah - Spo2 : 98%  Inj. Ranitidine 2x1
- GCS : 456
 KU sedang  Inj. Anbacim 3x1
- K/L : A-/I-/C-/D-  Inj. Metylprednisolon
 Thorax : ves/ves,
32,5 mg-0-0
Rh -/-, Wh -/-,
Ret  Po Cetrizine 2x1 gr
-/-, Simetris +/+
 Abdomen :  Salep Fusipar 2%
distended +, BU  Salep Cloderma
+, hipertimpani
 Status lokalis :
beberapa bula Planning monitoring :
sudah kempes  Klinis
 TTV
Edukasi
 Hindari untuk tidak
menggaruk lesi
 Penggunaan salep
setelah dari toilet
agar tidak terkena
air
 Hindari
penggunaan obat-
obatan yang di
curigai alergi
 Hindari
faktor
pencetus
Monitoring Harian (Rabu, 25/01/2023)
Subjective Objective Assesment Planning
- Gatal berkurang - TD : 120/70 Eritroderma  Inf. RL 14 tpm
- Luka pada bula - N : 88x etcausa  Inj. Diphenhidramin
yang pecah - S : 36 C Pemphigus
1 amp
sudah tidak nyeri  RR : 20x Vulgaris
- Spo2 : 98%
2
- Pasien - GCS : 456  Inj. Ranitidine 2x1
mengatakan kulit  KU sedang
menjadi kering - K/L : A-/I-/C-/D-  Inj. Anbacim 3x1
- Tidak ada mual  Thorax : ves/ves,  Inj. Metylprednisolon
muntah Rh -/-, Wh -/-,
32,5 mg-0-0
Ret
-/-, Simetris +/+  Po Cetrizine 2x1 gr
 Abdomen :
distended +, BU  Salep Fusipar
+, hipertimpani  Salep Cloderma
 Status lokalis :
beberapa bula
sudah kempes, Planning monitoring :
kulit disekitar  Klinis
bula sudah  TTV
mengering Edukasi
 Hindari untuk tidak
menggaruk lesi
 Penggunaan salep
setelah dari toilet
agar tidak terkena
air
 Hindari
penggunaan obat-
obatan yang di
curigai alergi
 Hindari
faktor
pencetus
Monitoring Harian (Kamis, 26/01/2023)
Subjective Objective Assesment Planning
- Gatal berkurang - TD : 118/70 Eritroderma  ACC KRS
- Luka pada bula - N : 90 etcausa  Po. Cetrizine 1x1
yang pecah - S : 36 Pemphigus
sudah tidak nyeri  RR : 20x Vulgaris  Po. Metylprednisolon
- Pasien - Spo2 : 98% 16 mg 1x1
mengatakan kulit - GCS : 456
menjadi kering  KU sedang  Po. Tab Elkana 1x1
- Tidak ada mual - K/L : A-/I-/C-/D-  Salep Fusipar
muntah  Thorax : ves/ves,
Rh -/-, Wh -/-,  Salep Cloderma
Ret
-/-, Simetris +/+ Planning monitoring :
 Abdomen :  Klinis
distended +, BU  TTV
+, hipertimpani Edukasi
 Status lokalis :  Hindari untuk tidak
2
beberapa bula

2
sudah kempes, menggaruk lesi
kulit disekitar  Penggunaan salep
bula sudah setelah dari toilet
mengering agar tidak terkena
air
 Hindari
penggunaan obat-
obatan yang di
curigai alergi
 Hindari faktor
pencetus
 Kontrol Poli Kulit
dr.Zahruddin
Ahmad.M.Ked.Klin,
SP.DV.

2
BAB 4

PEMBAHASAN

Eritroderma atau generalized exfoliative dermatitis adalah dermatitis yang


ditandai dengan kemerahan dan pengelupasan kulit dan melibatkan 90% atau lebih
permukaan kulit. Keadaan ini dapat berasal dari penyakit lain yang merupakan penyakit
primer bahkan menyamarkan penyakit primer sehingga berpengaruh pada keberhasilan
pengobatan. Penelusuran riwayat penyakit sangat penting. Bila tidak ditemukan
penyakit primernya maka disebut idiopathic exfoliative dermatitis (Jaffer, 2005).
Gejala klinik yang menonjol adalah rasa gatal dan kemerahan dikulit disertai
adanya pengelupasan kulit. Bila terjadi infeksi maka dapat disertai demam. Bila
penderita sudah melakukan konsultasi atau pengobatan sendiri, gejala yang tampak
mungkin tidak khas lagi.
Eritroderma biasanya terjadi pada usia diatas 40 tahun kecuali bila didasari oleh
penyakit lain seperti dermatitis atopi, dermatitis seboroik, staphylococcal scalded skin
syndrome atau hereditary ichthyosis.
Pemphigus vulgaris adalah penyakit bula intra-epidermal kronik yang
berpotensi menyebabkan bula dan erosi yang luas. Pemphigus vulgaris disebabkan
karena antibodi yang menyerang desmoglein 1 dan desmoglein 3, yang bertanggung
jawab menyebabkan gangguan ikatan adesi antar sel, sering disebut sebagai akantolisis.
Pada kasus ini, pasien perempuan berusia 59 tahun datang dengan keluhan
muncul plenting berair di daerah kedua kaki terutama pada kedua punggung kaki,
bentuk bulat dan multiple. Plenting berair cepat pecah menimbulkan luka yang tertutup
krusta tebal. Keluhan juga disertai bercak kemerahan pada kulit dan mengelupas di
daerah wajah, leher, dada, perut sejak 3 bulan yang lalu. Pada daerah bercak kemerahan
terasa gatal, kemudian mengelupas dan terjadi perubahan warna menjadi merah
kehitaman. Pasien sebelumnya pernah minum obat Supertetra dan mulai timbul lesi-lesi
dibadan pasien. Berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik, didapatkan
eritematosa dan skuama padahampir seluruh bagian tubuh, yang menurut literatur,
adanya symptom eritematosa eritroderma dan skuama pada seluruh tubuh atau sebagian
besar bagian tubuh. Usia dan gejala klinis serta hasil pemeriksaan dermatologis berupa
plenting berair kendur di

2
5

punggung kaki, dominan pada exposed area sesuai untuk Pemphigus Vulgaris, untuk
menegakkan diagnosis selain itu harus disertai dengan gambaran histopatologi bula
intaepidermal suprabasal dan akantolisis epitel dasar bula serta ditemukan adanya
kerusakan desmosom secara sekunder. Hal tesebut akan menimbulkan pemeriksaan
Tzank positif. Imunofloresensi juga dibutuhkan dalam penegakkan diagnosis pemfigus
vulgaris untuk mengetahui antibodi interseluler IgG dan C3 (pada tes imunofloresensi
langsung) dan antibodi IgG (pada tes imunofloresensi tidak langsung). Imunofloresensi
tidak langsung dapat dilakukan apabila biopsi tidak dapat dilakukan
Pada kasus ini, eritroderma awalnya disebabkan karena reaksi alergi obat
Supertetra. Prevalensi eritroderma disebabkan oleh berbagai obat di berbagai populasi.
Biasanya, timbulnya eritroderma bertahap dan berbahaya, di mana cenderung tiba- tiba,
dan resolusi lebih cepat daripada penyebab lain. Pada penelitian yang diketuai oleh E.
EuchD et al, pada 127 kasus eritroderma di Tunisia, 13% adalah jelas. Sementara, dari
letratur yang berbeda, menjelaskan prevalensi eritroderma yang disebabkan obat adalah
kira kira 5-40% darisemua kasus eritroderma.
Dari berbagai literaturdijelaskan jenis obat yang sering menyebabkan eritroderma
adalah calcium chanbel blocker, antiepilepsi, anmikroba (sefalosporin, penicilin,
sulfonamid, vankomisin), allupurinol, emas, litium, quinidine, simetidin, NSAIDs dan
dapsone. Walau bagaimanapun, untuk mendiagnosa obatpenyebab, perlu dilakukan
patch test. Pasien dengan dugaan hipersensitivitas obat dapat dimulai dengan terapi
kortikosteroid intravena. Obat-obatan biologis atau siklosporin dapat digunakan pada
psoriasis eritrodermik. Setiap obat yang dicurigai harus dihentikan.
Prognosis eritroderma bergantung pada penyebab penyakit. Eritroderma akibat
erupsi obat, prognosis lebih baik jika obat penyebab diketahui dan dihentikan.
Padakasus ini, pasien mengalami reaksi alergi akibat obat. Sebaiknya diketahui obat
yang dicurigai menjadi penyebab timbulnya erupsi dandihentikan pemberiannya. Pasien
berespon baik terhadap penanganan yang diberikan dan bisa dibuktikan pada kasus ini
pasien ertiroderma akibat erupsi obat mempunyai prognosis yang baik.
Prognosis pada pasien ini adalah dubius ad bonam dimana adanya perbaikan lesi
yang signifikan dan tidak adanya komplikasi sistemik maupun faktor komorbiditas pada
pasien.
6

DAFTAR PUSTAKA

Akhyani M, Ghodsi ZS, Toosi S, Dabbaghian Ali F.A, Ali J.A. Pemphigus vulgaris
and mucous membrane pemphigoid: Update on Ethiopathogenesis, oral
manifestations and management. J Clin Exp Dent. 2011;3: 246-50
H. Erythroderma: A clinical study of 97 cases.BMC Dermatol. 2005 Dec;5(1):5
Jill Rothe M, Bialy TL, Grant-Kels JM. ERYTHRODERMA. Dermatol Clin. 2000
Jul;18(3):405–15.
Killic A., Pemphigus: Subtypes, Clinical Features, Diagnosis, and Treatment. In :
Autoimmune Bullous Disease, 2017. p23 - 46
Li J, Zheng H-Y. Erythroderma: A Clinical and Prognostic Study. Dermatology.
2012;225(2):154–62.
Liao W, Singh R, Lee K, ucmak derya, Brodsky M, Atanelov Z, et al. Erythrodermic
psoriasis: pathophysiology and current treatment perspectives. Psoriasis
TargetsTher. 2016 Jul;Volume 6:93–104.
Ljubojevic S, Lipozenčić J,. Autoimmune bullous diseases associations. Clinics in
Dermatology. 2012:30,17–33
Mohan MP, Ramesh TC. Multiple autoimmunesyndrome. Indian J Dermatol
Venereol Leprol 2003:298-9.
Ruocco V, Ruocco E, Lo Schiavo A, et al.Pemphigus: Etiology, pathogenesis, and
inducing or triggering factors: Facts and controversies. Clinics in
Dermatology. 2013;31:374-381.
Sofyan asrawati, nur rahma situ, madjid asnawati. Eritroderma disebabkan Alergi
Obat. 2003;4(6):407–28.
Stanley J.R. Pemphigus. In: Wolff K.,Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest
B.A.,Paller A.S., Leffel D.J. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General
Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill. 2012. p. 1100-22.
Wilson DC, Jester JD, King Jr. LE. Erythroderma and exfoliative dermatitis. Clin
Dermatol. 1993 Jan;11(1):67–72.
Wojnarowska F. Immunobullous diseases. In: Burns T, Breathnach Cox N, Griffiths
C, editors. Rook's textbook of dermatology. Singapore: Wiley-Blackwell;
2010:40.1.-40.6
7

Anda mungkin juga menyukai