Oleh:
dr. Atina Hasanah
Dokter DPJP
dr. Zahruddin Ahmad, M. Ked. Klin., Sp.DV
Pendamping:
dr. Dyah Novi Wulansari, M.Kes
DAFTAR ISI...........................................................................................................1
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................4
A. Definisi..........................................................................................................4
B. Klasifikasi Pemphigus..................................................................................5
C. Etiologi..........................................................................................................7
D. Patogenesis..................................................................................................10
E. Manifestasi Klinis.......................................................................................11
F. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................14
G. Tatalaksana.................................................................................................15
BAB 3 LAPORAN KASUS..................................................................................24
A. Identitas Pasien..........................................................................................24
B. Anamnesis..................................................................................................24
C. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................26
D. Diagnosis....................................................................................................27
E. Planning Terapi..........................................................................................28
F. Evaluasi Harian..........................................................................................29
BAB 4 PEMBAHASAN.......................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................34
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
bula di atas kulit normal yang berkembang menjadi bula di atas kulit yang eritema, bula
yang timbul mudah pecah menjadi erosi yang disertai krusta dan rasa nyeri.
Adanya penyakit autoimun meningkatkan kemungkinan munculnya penyakit
autoimun tambahan lainnya. Terjadinya koinsidensi penyakit autoimun menunjukkan
perlunya pengawasan lanjutan kemungkinan munculnya penyakit autoimun baru pada
pasien yang memiliki predisposisi. Pemphigus vulgaris dapat muncul pada pasien dengan
systemic lupus erythematosus (SLE), Manifestasi kulit sering terjadi dan kadang dapat
muncul sebagai lesi bulosa atau lepuh, seperti SLE bulosa (BSLE). Selain SLE bisa juga
diperantarai karena drug induce.
Terdapat laporan kasus yang menunjukkan pada salah satu pasien, pemfigus
vulgaris berkembang setelah pasien tersebut terkena drug induce. Sindromanya sama
seperti pada pemphigus vulgaris dan juga pemphigus foliaceus dan dipacu oleh
penggunaan obat. Obat yang dilaporkan memacu pemphigus terbagi tiga kelompok sesuai
struktur kimianya: obat yang mengandung radikal sulfhydryl seperti penisilamin; phenol
seperti rifampin, levodopa dan aspirin; dan obat nonthiol nonphenol, seperti calsium
channel bloker, angiotensin converting enzyme inhibitors, NSAIDS, dipiron dan
glibenklamid.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
4
bulosa yang paling sering ditemukan dengan insidensi 0,1 – 0,5 / 100.000 populasi. Rata-
rata onset usia padadecade ke empat dan lima, tetapi mungkin terjadi pada usia lebih tua
maupun anak- anak.
Fixed drug eruption (FDE) merupakan salah satu bentuk erupsi kulit karena obat
yang unik. FDE ditandai oleh makula hiperpigmentasi dan kadang-kadang bula diatasnya
, ditandai dengan lesi pada kulit dengan batas yang jelas, bentuk oval, soliter, atau
multipel, warna merah sampai coklat. Lesi umumnya muncul 30 menit sampai 8 jam
setelah penggunaan obat yang dapat muncul kembali ditempat yang sama bila minum
obat yang sama. FDE adalah erupsi alergi obat yang dicetuskan oleh obat atau bahan
kimia. Tidak ada faktor etiologi lain yang dapat mengelisitasi (Soebaryo, 2015).
B. Klasifikasi Pemphigus
Pemphigus terdiri dari beberapa subklas dan varian yaitu pemphigus vulgaris,
pemphigus vegetans, pemphigus foliaceus, fogo selvagam, pemphigus erythematosus,
drug-induced pemphigus dan pemphigus paraneoplastik
Klasifikasi ini secara lebih jelas dapat digambarkan sebagai berikut:
Pemphigus vulgaris
Pemphigus vegetans
Drug-induced
Pemphigus foliaceus
Pemphigus erythematosus
Fogo selvagem
Drug-induced
Pemphigus paraneoplastik
1. Pemphigus Vegetans
5
2. Pemphigus Foliaceus
Sering terjadi pada muka, kulit kepala, dada bagian atas dan perut namun
dapat juga mengenai seluruh tubuh. Bula jarang terbentuk, lesi mengandung bercak
erytematous dan erosi tertutup oleh keropeng. Penyakit ini terjadi disebabkan
serangan autoantibodi terhadap Desmoglein
3. Fogo Selvagem
foliaceus namun terjadi secara endemik di Brasil tengah bagian selatan. Kondisi
pasien membaik apabila keluar dari daerah endemik namun akan mengalami relaps
apabila kembali. Terdapat beberapa andaian yang mengaitkan penyakit ini dengan
penularan oleh serangga. Lebih dari 1000 kasus baru pertahun muncul di daerah
endemik.
4. Pemphigus Erythematosus
kupu- kupu di daerah muka, dahi, daerah sternum dan daerah tulang skapula. Secara
5. Drug Induced
foliaceus dan dipacu oleh penggunaan obat. Obat yang dilaporkan memacu
pemphigus terbagi tiga kelompok sesuai struktur kimianya: obat yang mengandung
aspirin; dan obat nonthiol nonphenol, seperti calsium channel bloker, angiotensin
6
6. Pemphigus Paraneoplastik
antibodi pemphigus dan antibodi yang mirip pemphigus. Neoplasma yang sering
C. Etiologi
Etiologi dari penyakit ini ialah autoimun dimana terjadi perikatan antara IgG
autoantibodi dengan permukaan sel keratinosit. Dalam beberapa penelitian yang
dilakukan dengan cara pewarnaan indirect immunofluorescence, telah ditemukan
autoantibodi di dalam serum penderita pemphigus vulgaris dan ini membuktikan penyakit
ini mempunyai kaitan dengan autoimunitas.
Para ahli menyatakan kemungkinan adanya faktor eksternal atau faktor
lingkungan yang bertindak sebagai pencetus atau faktor predisposisi sehingga penyakit
pemphigus vulgaris dapat terjadi, yaitu :
1. Endokrin
2. Jenis Kelamin
Rasio kedua jenis kelamin hampir sama namun pada waktu pubertas, wanita
3. Usia
Penyakit ini sering muncul sekitar 50-60 tahun, namun dapat juga muncul
pada individu yang lebih tua atau pada anak-anak. Umur pasien di India biasanya
7
lebih muda dibandingkan penghidap pemphigus vulgaris di Eropa
4. Obat-obatan
phenol seperti rifampin, levodopa dan aspirin; dan obat nonthiol nonphenol, seperti
5. Lingkungan
banyak kasus yang dirangsang oleh berbagai pestisida di seluruh dunia. Pestisida
D. Patogenesis
yaitu sel yang berfungsi untuk melekatkan antara satu sel dengan sel lain. Ketika
mengakibatkan hilangnya adhesi antara sel sehingga terbentuk vesikel. Epitel oral
mengandung jumlah Dsg 3 yang banyak sedangkan kulit mempunyai Dsg 1 dan
Dsg 3, maka bila kerusakan terjadi pada Dsg 3 seperti pada kasus pemphigus
vulgaris, gejala
8
primer sering terjadi hanya pada mukosa oral sedangkan perlekatan pada kulit
autoantibodi terhadap Dsg 3 dalam patogenesis penyakit ini. Dalam suatu penelitian
dimana serum IgG antibodi terhadap Dsg 3 yang diperoleh dari penderita
pemphigus vulgaris disuntikkan ke tikus uji yang baru lahir, terjadi reaksi
Dsg3 pada sel B dan T merupakan penyebab penting terjadinya pemphigus vulgaris.
E. Manifestasi Klinis
yang menyakitkan, ditandai dengan bula dan vesikel yang sudah pecah dan
kemunculan lesi baru bila lesi lama mula membaik. Kira-kira 80 % dari kasus
menunjukkan gejala awal muncul di rongga mulut yaitu di bagian bukal dan labial,
palatum molle dan oropharyng dan pada fase lanjut dapat mengenai gingiva dan
palatum durum. Vesikel dan bula biasanya tidak bertahan lama dalam bentuk yang
utuh dan akan pecah menyebabkan terbentuknya ulser yang menyakitkan. Ulser
Gambar 1: Vesikel Pemphigus vulgaris yang pecah pada fase awal penyakit muncul pada jaringan palatum mo
9
seperti pada lesi aphtous namun akan berubah dengan cepat menjadi ulser yang
besar dan mempunyai pinggir yang irregular. Bentuk deskuamatif mungkin akan
muncul apabila gingiva cekat terlibat. Dengan menggunakan kapas lidi, dapat
Lesi oral merupakan bula yang sering pecah terutama saat didiagnosis.
Lesiini berbeda dengan ulser traumatik dan lesi aphtous dimana dasar dari lesi
juga terdapat tanda Nikolsky. Bula dapat muncul pada permukaan manapun pada
rongga mulut atau oropharyng namun paling sering muncul pada bagian bukal,
palatal dan gingiva. Lesi yang terjadi pada kulit sama, kecuali pada kulit lebih
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan langsung
Secara visual dilakukan dengan cara operator memeriksa gejala klinis yang
2. Biopsi
Metode biopsi dilakukan dengan cara sampel diambil pada daerah erosi atau
bula setelah kulit atau mukosa dianastesi dengan injeksi anastesi lokal. Sampel
kemudiannya diperiksa secara histologis dibawah mikroskop untuk melihat adakah sel
3. Direct Immunofluorescence
1
Sampel diperiksa di laboratorium untuk melihat kehadiran autoantibodi yang
mukosa di bagian tepi lesi akan menunjukkan corak yang menyerupai renda atau
chicken-wire pattern dari penumpukan yang mengelilingi setiap epitel sel spinous.
Immunoglobulin yang sering bertumpuk adalah dari golongan IgG. Setengah pihak
yang dibiopsi dengan beberapa siri immunoglobulin. Immunoglobulin ini telah ditandai
4. Indirect Immunofluorescence
Test ini dilakukan dengan mengukur jumlah autoantibodi di dalam darah. Dalam
indirect immunofluorescence ini, serum pasien akan dicampur dengan jaringan kontrol
1
G. Tatalaksana
Perawatan bertujuan untuk mengontrol penyakit dan mencegah infeksi dari lesi
yang melepuh. Jika dibiarkan tanpa diobati, pemphigus vulgaris dapat menyebabkan
kematian. Pemphigus vulgaris tidak dapat sembuh sempurna dimana bila telah dirawat
1. Perawatan
Perawatan Konvensional
a) Kortikosteroid
Kortikosteroid
Sistemik
pertama. Dosis dikurangi bila lesi melepuh telah berhenti terbentuk. Tujuannya
adalah untuk tablet dari waktu ke waktu dapat dilakukan dan tablet dapat
diberikan kembali jika gejala muncul. Dalam beberapa kasus, dosis steroid yang
tinggi diperlukan untuk mengendalikan penyakit ini dan ini dapat menimbulkan
efek samping. Efek samping dari steroids terkadang serius, terutama jika
penggunaan steroids dosis tinggi dilakukan untuk waktu yang lama. Misalnya,
pasien lebih rentan terhadap infeksi tertentu jika menggunakan steroid dosis
Kortikosteroid Topikal
1
Steroid topikal kadang-kadang digunakan pada kulit yang melepuh di
1
samping perawatan lainnya. Hal ini bertujuan untuk menjaga dosis steroid tablet
agar lebih rendah. Obat kumur steroid atau sprays kadang-kadang digunakan
Perawatan awal sering dengan kortikosteroid karena ia efektif dan bekerja lebih
sistem imun tubuh. Terapi topikal saja tidak mampu untuk mengobati penyakit ini
efek immunosupresif pada limfoid, neutrofil dan monosit. Dosis lebih besar
samping obat. Apabila terapi bertujuan untuk mengatasi keadaan yang dapat
mengancam pasien, misalnya pemphigus maka dosis awal harus cukup besar. Bila
dalam beberapa hari belum terlihat efeknya maka dosis dapat dilipatgandakan.
pengobatan dan bahaya akibat penyakit itu sendiri. Kebanyakan pasien dapat
dirawat dengan prednison dengan dosis 0,5-2 mg/kg/BB dan dikurangi bagi
proses pengurangan dosis dilakukan dengan lebih lambat yaitu dengan regimen
1
mencapai dosis 40 mg, dan 0 mg pada hari berikutnya.
seperti diabetes melitus, tukak peptik, infeksi berat, hipertensi atau gangguan
kortikosteroid namun hal ini dapat diabaikan terutama pada keadaan yang
mengancam jiwa pasien seperti pemphigus vulgaris. Dalam hal ini dibutuhkan
Namun harus diberi perhatian pada kondisi ini, pemeriksaan ulang setelah
Perawatan Eksperimental
a) IVIG
IVIG ialah hasil pemecahan dan pemurnian darah yang didapat dari
plasma 1000 sehingga 15.000 donor yang sehat. Yang mengandung konsentrasi
patogen, antigen asing dan antigen tubuh pasien sendiri. Walaupun mekanismenya
masih belum jelas namun IVIG dihubungkan dengan penurunan yang cepat dari
b) Plasmapheresis
darah dengan menggunakan alat pemisah sel. Sel darah dan plasma yang sehat
1
antibodi terdapat di dalam plasma maka plasmapheresis berguna dalam
membuang antibodipatogen.
c) Imunoadsorption (IA)
melalui kolum penyerap untuk membuang kompleks imun sirkulasi dan IgG.
menunjukkan hasil klinis yang baik disamping penurunan IgG autoantibodi yang
Dalam ECP, yang juga dikenali sebagai photopheresis, sel darah putih
yang dihasilkan oleh limfosit B. Terdapat dua seri kasus dan dua laporan kasus
Dari sembilan pasien yang dirawat pada suatu penelitian, semua pasien yang
e) Rituximab
1
CD20 yang menyerang limfosit B yang belum dan yang sudah matang yang
terhalangnya proses pematangan sel ini kepada bentuk sel plasma yang mampu
kasus melaporkan keberhasilan perawatan dengan infliximab dan dua lagi laporan
penggunaan etanercept. Percobaan klinis untuk kedua jenis obat ini masih dalam
proses percobaan.
Anjuran diet dan gizi yang baik dapat membantu tubuh menyembuhkan dan
dengan pengambilan makanan yang tampaknya menyebabkan reaksi pada kulit dan
hindarilah makanan tersebut. Label pada semua makanan hendaklah dibaca untuk
1
memastikan agar tidak mengandung bahan yang dapat menyebabkan suatu reaksi.
pengambilan gizi yang kaya dengan kalsium seperti susu, keju dan yogurt serta
perawatan.
protein dan rendah karbohidrat dan lemak. Penggunaan garam dikurangi bila timbul
kentang dan kacang karena kortikosteroid akan menurunkan kadar potassium. Selain
Jika pemphigus vulgaris aktif di dalam mulut, agak sukar untuk mengkonsumsi
diet. Namun, diet yang bergizi tetap penting maka pasien dapat mengkonsumsinya dalam
bentuk cairan dan jika perlu diisap menggunakan pipet. Penggunaan obat kumur anastetik
sebelum makan dapat mengurangkan rasa sakit danjika tenggorokan atau mulut sakit, es
krim atau menghisap es batu dapat mengurangkan rasa sakit walaupun tidak mudah,
namun olahraga rutin dapat membantu untuk otot dan sakit sendi bagi mempertahankan
kronik yang dapat terjadinya relaps. Ini bermakna, pasien pemphigus vulgaris mungkin
akan mengalami flare-up pada suatu ketika. Sebagian flare-up mungkin serius dan pasien
harus segera menemui dokter yang merawatnya agar dosis obat dinaikkan untuk
sementara
1
waktu jika perlu. Apabila flare-up sudah terkontrol, dokter akan menurunkan kembali
dosis obat. Kadang-kadang istirahat dan mengelakkan faktor pencetus dapat meredakan
flare-up yang ringan. Selain itu dukungan dari segi psikologis dari ahli keluarga dan
orang-orang terdekat juga sangat perlu dan mereka tidak seharusnya menjauhkan diri
1
BAB 3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. W
Jenis Kelamin : Perempuan
No RM 063284
Usia : 59 tahun
Alamat : Kediri
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Suku : Jawa
Agama : Islam
Tanggal MRS : 23 Januari 2023
ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan Utama
Muncul bula di kedua kaki dan gatal
2
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Diabetes mellitus : Disangkal
b. Hipertensi : Disangkal
c. Alergi (obat dan makanan) : Obat Tetracyclin
d. Asma : Disangkal
e. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
f. Riwayat penyakit paru : Disangkal
g. Riwayat penyakit kuning ; Disangkal
h. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
i. Riwayat penyakit kulit : Eritroderma, Fixed Drug Eruption
j. Riwayat operasi : Disangkal
Riwayat Keluarga
Untuk riwayat peyakit keluarga disangkal.
Riwayat Sosial
Pasien seorang ibu rumah tangga, keseharian pasien di rumah dan masih bisa
melakukan rutinitas harian secara mandiri. Pasien masih memiliki ingatan yang baik.
Pasien tidak merokok, minum jamu maupun alkohol.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat tetracycline
Tanda-tanda Vital
Kesadaran : Compos Mentis
GCS 456
Frekuensi Napas : 20x/menit
Frekuensi Nadi : 90x/menit
Tekanan Darah : 122/80
Suhu : 36,6 C
SpO2 : 99% room air
2
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Cukup
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Gizi : Kesan gizi baik
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 165 cm
Kepala dan leher : konjungtiva anemis (-), icterus (-), cyanosis (-), dyspnea (-)
Thorax : gerak dada kanan dan kiri simetris, retraksi (-), perkusi
dadakanan dan kiri simetris sonor, auskultasi vesikular, rhonki (-), wheezing (-), S1 S2
tunggal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : distended, bising usus (+),supel, hepar, ginjal, dan lien tak
teraba, nyeri tekan epigastrium(-)
Extremitas : akral hangat, kering, merah, CRT < 2 detik, edema (-)
Pada regio cruris dextra sinistra terdapat makula hiperpigmentasi multipel dengan
ukuran 3x4 sampai 10x15 cm dengan erosi berwarna merah, kecoklatan soliter
batas tidak tegas berbentuk bulat dengan ditutupi krusta coklat kehitaman
Pada region coli dan facialis terdapat macula eritem kecoklatan hiperpigmentasi
berbatas tegas bentuk tidak khas distribusi regional dengan dasar skuama halus
2
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap
Indikator Hasil Result Nilai Rujukan
WORKING DIAGNOSIS
Eritroderma etcausa Pemphigus Vulgaris
2
Gambar Status Lokalis
2
Salep Fusipar
Salep Cloderma
2
sudah kempes, menggaruk lesi
kulit disekitar Penggunaan salep
bula sudah setelah dari toilet
mengering agar tidak terkena
air
Hindari
penggunaan obat-
obatan yang di
curigai alergi
Hindari faktor
pencetus
Kontrol Poli Kulit
dr.Zahruddin
Ahmad.M.Ked.Klin,
SP.DV.
2
BAB 4
PEMBAHASAN
2
5
punggung kaki, dominan pada exposed area sesuai untuk Pemphigus Vulgaris, untuk
menegakkan diagnosis selain itu harus disertai dengan gambaran histopatologi bula
intaepidermal suprabasal dan akantolisis epitel dasar bula serta ditemukan adanya
kerusakan desmosom secara sekunder. Hal tesebut akan menimbulkan pemeriksaan
Tzank positif. Imunofloresensi juga dibutuhkan dalam penegakkan diagnosis pemfigus
vulgaris untuk mengetahui antibodi interseluler IgG dan C3 (pada tes imunofloresensi
langsung) dan antibodi IgG (pada tes imunofloresensi tidak langsung). Imunofloresensi
tidak langsung dapat dilakukan apabila biopsi tidak dapat dilakukan
Pada kasus ini, eritroderma awalnya disebabkan karena reaksi alergi obat
Supertetra. Prevalensi eritroderma disebabkan oleh berbagai obat di berbagai populasi.
Biasanya, timbulnya eritroderma bertahap dan berbahaya, di mana cenderung tiba- tiba,
dan resolusi lebih cepat daripada penyebab lain. Pada penelitian yang diketuai oleh E.
EuchD et al, pada 127 kasus eritroderma di Tunisia, 13% adalah jelas. Sementara, dari
letratur yang berbeda, menjelaskan prevalensi eritroderma yang disebabkan obat adalah
kira kira 5-40% darisemua kasus eritroderma.
Dari berbagai literaturdijelaskan jenis obat yang sering menyebabkan eritroderma
adalah calcium chanbel blocker, antiepilepsi, anmikroba (sefalosporin, penicilin,
sulfonamid, vankomisin), allupurinol, emas, litium, quinidine, simetidin, NSAIDs dan
dapsone. Walau bagaimanapun, untuk mendiagnosa obatpenyebab, perlu dilakukan
patch test. Pasien dengan dugaan hipersensitivitas obat dapat dimulai dengan terapi
kortikosteroid intravena. Obat-obatan biologis atau siklosporin dapat digunakan pada
psoriasis eritrodermik. Setiap obat yang dicurigai harus dihentikan.
Prognosis eritroderma bergantung pada penyebab penyakit. Eritroderma akibat
erupsi obat, prognosis lebih baik jika obat penyebab diketahui dan dihentikan.
Padakasus ini, pasien mengalami reaksi alergi akibat obat. Sebaiknya diketahui obat
yang dicurigai menjadi penyebab timbulnya erupsi dandihentikan pemberiannya. Pasien
berespon baik terhadap penanganan yang diberikan dan bisa dibuktikan pada kasus ini
pasien ertiroderma akibat erupsi obat mempunyai prognosis yang baik.
Prognosis pada pasien ini adalah dubius ad bonam dimana adanya perbaikan lesi
yang signifikan dan tidak adanya komplikasi sistemik maupun faktor komorbiditas pada
pasien.
6
DAFTAR PUSTAKA
Akhyani M, Ghodsi ZS, Toosi S, Dabbaghian Ali F.A, Ali J.A. Pemphigus vulgaris
and mucous membrane pemphigoid: Update on Ethiopathogenesis, oral
manifestations and management. J Clin Exp Dent. 2011;3: 246-50
H. Erythroderma: A clinical study of 97 cases.BMC Dermatol. 2005 Dec;5(1):5
Jill Rothe M, Bialy TL, Grant-Kels JM. ERYTHRODERMA. Dermatol Clin. 2000
Jul;18(3):405–15.
Killic A., Pemphigus: Subtypes, Clinical Features, Diagnosis, and Treatment. In :
Autoimmune Bullous Disease, 2017. p23 - 46
Li J, Zheng H-Y. Erythroderma: A Clinical and Prognostic Study. Dermatology.
2012;225(2):154–62.
Liao W, Singh R, Lee K, ucmak derya, Brodsky M, Atanelov Z, et al. Erythrodermic
psoriasis: pathophysiology and current treatment perspectives. Psoriasis
TargetsTher. 2016 Jul;Volume 6:93–104.
Ljubojevic S, Lipozenčić J,. Autoimmune bullous diseases associations. Clinics in
Dermatology. 2012:30,17–33
Mohan MP, Ramesh TC. Multiple autoimmunesyndrome. Indian J Dermatol
Venereol Leprol 2003:298-9.
Ruocco V, Ruocco E, Lo Schiavo A, et al.Pemphigus: Etiology, pathogenesis, and
inducing or triggering factors: Facts and controversies. Clinics in
Dermatology. 2013;31:374-381.
Sofyan asrawati, nur rahma situ, madjid asnawati. Eritroderma disebabkan Alergi
Obat. 2003;4(6):407–28.
Stanley J.R. Pemphigus. In: Wolff K.,Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest
B.A.,Paller A.S., Leffel D.J. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General
Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill. 2012. p. 1100-22.
Wilson DC, Jester JD, King Jr. LE. Erythroderma and exfoliative dermatitis. Clin
Dermatol. 1993 Jan;11(1):67–72.
Wojnarowska F. Immunobullous diseases. In: Burns T, Breathnach Cox N, Griffiths
C, editors. Rook's textbook of dermatology. Singapore: Wiley-Blackwell;
2010:40.1.-40.6
7