Anda di halaman 1dari 17

REFERAT JANUARI 2023

Dermatitis Visecobullosa

Disusun Oleh:

Andi Rahma Anugrah


N 111 22 006

Pembimbing Klinik
dr. Diany Nurdin, Sp.KK., M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Andi Rahma Anugrah

Stambuk : N 111 22 006

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Judul : Bullous Disease

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

RSUD UNDATA Palu

Fakultas Kedokteran

Universitas Tadulako

Palu, Januari 2023

Mengetahui

Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr.Diany Nurdin, Sp.KK Andi Rahma Anugrah


BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Bullous Disease atau vesicobullous disease (penyakit kulit berlepuh) ialah
penyakit yang ditandai dengan terdapatnya lepuh (vesikel maupun bula) pada
kulit. Terjadinya bula pada kulit dapat dibedakan sesuai dengan letak
terjadinya bula yaitu bula epidermal, subepidermal, dan intrademal1.
Berdasarkan patogenesisnya, penyakit kulit bulosa dapat dibagi menjadi
penyakit kulit bulosa autoimun dan non-autoimun. Kedua kondisi ini dapat
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi penyakit kulit bulosa intra epidermal dan
subepidermal, berdasarkan lapisan kulit yang terkena1.
Dermatitis vesikobula kronik ditandai terutama oleh adanya vesikel dan
bula, yang termasuk dalam golongan ini yang penting ialah : pemphigus,
pemfigoid bulosa, dermatitis herpetiformis, chronic bullous disease of
chillhood, pemfigoid sikatrisial dan pemfigoid gestationis8.
Penyakit bulosa autoimun yang paling sering terjadi yaitu pemfigoid
bulosa dan pemfigus vulgaris. Diagnosis untuk kedua penyakit ini tidak hanya
berdasarkan gambaran klinis, tetapi juga melalui deteksi autoantibodi di kulit,
mukosa serta yang beredar di sirkulasi2.
Penyakit ini dapat melemahkan kondisi pasien dan sering menyebabkan
kematian. Apabila tidak dirawat dengan tepat, maka lesi akan menetap dan
semakin meluas, menyebabkan kerusakan kulit dan mukosa sehingga dapat
terjadi kehilangan cairan, ketidakseimbangan elektrolit, infeksi dan bahkan
sepsis3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Bullous Disease
Penyakit bulosa autoimun merupakan penyakit yang relatif jarang
dijumpai, yang menyerang kulit dan mukosa. Kelainan ini berhubungan
dengan terdapatnya deposit autoantibodi dan komplemen melawan molekul-
molekul asing yang terdapat di epidermis dan basement membrane zone dari
dermal/epidermal. Autoantibodi ini akan menyebabkan hilangnya integritas
antara molekul-molekul di kulit, dengan manifestasi klinis berupa
terbentuknya lepuh dan erosi2.
Penyakit bulosa autoimun yang paling sering terjadi yaitu pemfigoid
bulosa dan pemfigus vulgaris. Diagnosis untuk kedua penyakit ini tidak hanya
berdasarkan gambaran klinis, tetapi juga melalui deteksi autoantibodi di kulit,
mukosa serta yang beredar di sirkulasi2.
B. Epidemiologi Bullous Disease
Secara epidemiologi jenis kelamin tidak mempengaruhi angka kejadian
penyakit ini. pada umumnya terjadi pada dekade keempat dan kelima. Angka
insiden di spanyol yaitu 0,1-0,5 kasus per 100.000 populasi setiap tahunnya.
selain itu di yerusalem angka insiden sekitar 1,6 per 100.000 populasi setiap
tahun6.
Prevalensi PBA bervariasi berdasarkan wilayah geografis, berkisar antara
7 hingga 14 kasus per 1.000.000 orang per tahun, dan umumnya terjadi pada
populasi lansia. Di Indonesia, meskipun tidak ada data nasional, insidens di
Denpasar dilaporkan sebesar 0,46 per 100.000 orang per tahun oleh Wardhana
dkk. Namun, jumlah data yang dipublikasikan ini bersifat retrospektif dan
terfokus pada pemfigus saja13.
C. Klasifikasi Bullous Disease
Berdasarkan patogenesisnya, penyakit kulit bulosa dapat dibagi menjadi
penyakit kulit bulosa autoimun dan non-autoimun. Kedua kondisi ini dapat
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi penyakit kulit bulosa intra epidermal dan
subepidermal, berdasarkan lapisan kulit yang terkena1.
Dermatitis vesikobulosa kronik ditandai terutama oleh adanya vesikel dan
bula, yang termasuk golongan ini yang penting ialah8:
1. Pemfigus Vulgaris.
Pemfigus ialah autoimun, karena pada serum penderita ditemukan
autoantibodi, juga dapat disebabkan oleh obat (drug-induced
pemphigus), misalnya D-penisilamin dan kaptopril. Pemfigus yang
diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemphigus foliaseus (tennasuk
pemfigus eritematosus) atau pemfigus vulgaris. Pemfigus foliaseus
lebih sering timbul dibandingkan dengan pemfigus vulgaris. Pada
pemfigus tersebut, secara klinis dan histologik menyerupai pemfigus
yang sporadik, pemeriksaan imunofluoresensi langsung pada
kebanyakan kasus positif, sedangkan pemeriksaan imunofluoresensi
tidak langsung hanya kira-kira 70% yang positif8.
2. Pemfigoid Bullous. Pemfigoid bulosa (P.B.) ialah penyakit autoimun
kronik, ditandai adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding
tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan c3
(komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane
zone8.
3. Dermatitis Herpetiformis. Dermatitis herpetiformis (D.H.) ialah
penyakit yang menahun dan residif, ruam bersifat poliformik terutama
berupa vesikel, tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa
sangat gatal dengan etiologic yang belum diketahui secara pasti8.
4. Epidermolisis Bullous. Epidermolisis bulosa (EB) merupakan penyakit
bulosa kronik yang diturunkan secara genetik autosom (dominan atau
resesif), dapat timbul spontan atau akibat trauma ringan. Seperti
diketahui pada kulit bayi lebih mudah terjadi lepuh (bula). Pada EB
kejadian trauma ringan, misalnya di jalan lahir sudah cukup
menimbulkan bula. EB herediter berbeda dengan kelompok penyakit
vesikobulosa kronik non-herediter atau penyakit autoimun, misalnya
dermatitis herpetiformis Duhring, lgA linear dermatosis, pemfigoid
bulosa, dan pemfigus vulgaris atau foliaseus. Juga berbeda dengan
penyakit dermatosis pustular subkorneal, familial benign pemphigus,
dan herpes gestasiones8.
Penyakit bulosa autoimun yang paling sering ditemui yaitu pemfigoid
bulosa dan pemfigus vulgaris, sehingga pada refarat kali ini membahas lebih
rinci mengenai Pemfigo Vulgaris
D. Dermatitis Vesicobullosa
1. Pemfigo Vulgaris
a. Definisi
Pemfigus, berasal dari bahasa yunani pemphix, yang berarti lepuh
atau bula, adalah sekelompok penyakit kulit bulosa autoimun kronis,
berulang, dan berpotensi mematikan yang disebabkan oleh hilangnya
adhesi antar sel pada epidermis1. Pemfigus secara garis besar dibagi
menjadi beberapa tipe, yaitu pemfigus vulgaris, pemfigus foliaceus,
pemfigus herpetiformis, pemfigus paraneoplatik dan pemfigus IgA3.
Pemfigus vulgaris (PV) adalah subtipe klinis yang paling umum dari
pemfigus1.
Berdasarkan letaknya, pemfigus dibagi menjadi dua yakni di
suprabasal (pemfigus vulgaris dan variannya pemfigus vegetans) serta
di granulosum (pemfigus foliaseus dan variannya pemfigus
eritematosus)5.
b. Etio-Patogenesis
Pemfigus vulgaris dimulai adanya antibodi imunoglobulin G (IgG)
menyebabkan protein desmosomal menghasilkan bula mukokutan6,
yang mana antibodi tersebut menyerang desmoglein 1 dan desmoglein
3. Jika yang diserang hanya desmoglein 3, maka lesi mukosa yang
dominan terkena. Desmoglein merupakan protein yang berperan dalam
adhesi sel terutama di epidermis dan membran mukosa. Antibodi
tersebut merupakan subkelas IgG1 dan IgG4, tetapi yang patogenik
ialah gG4, dapat menyebabkan proses akantolisis tanpa adanya sel
komplemen atau sel inflamasi. Pembentukan autoantibodi bersifat T-
cell dependent, Th1 dan Th2 yang autoreaktif terjadi pada pemfigus
vulgaris. Terdapat hubungan antara kadar antibodi dan aktivitas
penyakit. Antibodi ini dapat melalui plasenta dan akan menyebabkan
bulla sementara pada neonates. Antibodi antidesmoglein menyebabkan
pembentukan bulla. Pemfigus vulgaris dapat muncul bersamaan dengan
penyakit autoimun lain seperti miastenia gravis dan SLE4.

Gambar 1. Skema Patogenesis Pemfigus Vulgaris


(Sumber : William, 2016)

c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis PV pada awalnya berupa bula di atas kulit normal
yang selanjutnya berkembang menjadi bula dengan dasar eritematosa,
kemudian pecah, sehingga timbul erosi yang biasanya disertai krusta
dan rasa nyeri7. Semua tipe penyakit tersebut memberi gejala yang khas
yakni :
a) Pembentukan bula yang kendur pada kulit yang umumnya
terlihat normal dan mudah pecah
b) Pada saat dilakukan penekanan, bula meluas (Nikolsky sign
positif)
c) Akantolisis selalu positif
d) Adanya antibody tipe IgG terhadap antigen interseluler di
epidermis yang dapat ditemukan dalam serum
Lesi utama pemfigus vulgaris adalah melepuhnya bagian kulit
(flaccid blister), yang dapat terjadi di mana saja pada permukaan kulit,
tetapi biasanya tidak pada telapak tangan dan telapak kaki5.

A B
Gambar 2. A. Flaccid Blister, B. Erosi Oral
(Sumber : Wibawa, 2022)
Lesi mukosa dapat merupakan satu-satunya tanda pemfigus vulgaris
sebelum adanya lesi kulit yang dapat muncul 5 bulan hingga 1 tahun
setelah adanya lesi mukosa. Lesi mukosa dapat mengenai mukosa oral,
mukosa hidung, konjungtiva, penis, dan mukosa vagina. Lesi pada
mulut dapat berlanjut hingga ke tenggorokan, menimbulkan suara serak
dan sulit menelan. Pada beberapa kasus dapat terjadi esofagitis
meskipun gangguan kulit terkontrol. Pada umumnya pemfigus vulgaris
mengenai mukosa terlebih dahulu sebelum lesi kulit. Kasus yang hanya
mengenai kulit tanpa mengenai lapisan mukosa jarang terjadi4.
Pada pasien tertentu, erosi cenderung berkembang menjadi
papillimatosis dan pengerasan kulit yang berlebihan, yang disebut
sebagai lesi vegetasi. Jenis lesi ini cenderung lebih sering terjadi di
daerah intertriginosa, di kulit kepala, atau di wajah. Umumnya,
prognosis untuk apa yang disebut pasien pemfigus vegetan ini dianggap
lebih baik, dengan penyakit yang lebih ringan dan kemungkinan remisi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien pemvigus vulgaris
tipikal.
Gambar 3. Lesi Berkerak dan Bervegetasi pada Pemfigus vulgaris
(Sumber : Wibawa, 2022)
Beberapa lesi pemvigus vulgaris biasa sembuh dengan morfologi
vegetasi dan dapat bertahan lama periode waktu di satu tempat. Dengan
demikian, lesi vegetasi tampaknya menjadi salah satu pola reaktif kulit
terhadap gangguan autoimun pemfigus vulgaris5.
d. Diagnosis
Diagnosis pemfigus vulgaris dapat ditegakkan jika ditemukan hasil
positif pada pemeriksaan klinis, pemeriksaan histologi, dan uji
imunologik, atau dua tanda yang mengarah diagnosis pemfigus vulgaris
dan adanya uji imunologik4.
Pada pemeriksaan fisik terdapat Nikolsky sign, tanda ini sensitif
tetapi tidak spesifik. Nikolsky sign dilihat dengan cara menggosokkan
tangan dari daerah normal hingga ke lesi, hasil positif jika kulit
mengelupas, menandakan pelepasan lapisan superfisial lapisan basal
epidermis. Selain itu, terdapat Asboe-Hansen sign berupa gambaran
bulla yang melebar jika bagian tengah bulla ditekan4.
Gambaran histologi pada biopsi lesi pemfigus vulgaris berupa
gambaran bulla suprabasiler dengan akantolisis. Lapisan antara stratum
basale epidermis dan bagian epidermis lain yang lebih superfisial
tampak lepas dan membentuk bulla. Kadang tampak sel keratinosit
yang lepas ke dalam bulla. Bagian superfisial epidermis terlihat intak4.
Gambar 4. Gambar histopatologi pemphigus vulgaris
(Sumber : Wibawa, 2022)
Pemeriksaan imunologi berperan penting; pemeriksaan
imunofluorosensi direk ataupun indirek baik terhadap antibodi serum
maupun lesi kulit dapat mendukung diagnosis, pemeriksaan antibodi
pada lesi lebih spesifik dan sensitif dibandingkan pada antibodi serum.
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk mengetahui
adanya antibodi yang menyerang desmoglein 1 dan desmoglein 3
menunjang diagnosis pemfigus vulgaris, sedangkan adanya antibodi
yang hanya menyerang desmoglein 1 menunjang diagnosis pemfigus
foliaceus. Pemeriksaan ELISA bersifat spesifik, sedangkan
pemeriksaaan imunofloresensi lebih sensitif. Pemeriksaan antibodi juga
dapat membantu menilai keberhasilan terapi, pada penderita yang telah
remisi tidak terdapat lagi antibodi 4. Ikeda, et al, membuat skoring
derajat pemfigus vulgaris, skoring tersebut berhubungan dengan
pengobatan4.
Tabel 2. Tabel Skoring derajat pemfigus vulgaris4
Jumlah lesi baru
Score Luas Lesi (%) Nikolsky’s sign Luas lesi mulut (%)
per hari
3 >15 Nyata >5 >30
2 5-15 Positif 1-5 5-30
1 <5 Hanya Lokal Jarang Muncul <5
0 Tidak ada Tidak ada Tidak Terdeteksi Tidak ada

 Persentase luas lesi dibandingkan dengan seluruh luas permukaan kulit


 Persentase luas lesi dibandingkan dengan seluruh mukosa oral
 Hanya beberapa bulan setiap minggu
 Skor <5=Ringan, 5-7=Sedang, >7=Berat
e. Diagnosis Banding
Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis,
yang dapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umum baik, keluhan
sangat gatal, ruam polimorf, dinding vesikel/ bula tegang dan
berkelompok, dan mempunyai tempat predileksi. Sebaliknya pemfigus
terutama terdapat pada orang dewasa, keadaan umum buruk, tidak
gatal, bula berdinding kendur, dan biasanya generalisata. Pada
gambaran histopatologik dermatitis herpetiformis, letak vesikel/bula di
subepidermal, sedangkan pada pemfigus vulgaris terletak di
intraepidermal dan terdapat akantolisis. Pemeriksaan imunofluoresensi
pada pemfigus menunjukkan lgG yang terletak intraepidermal,
sedangkan pada dermatitis hipertiformis terdapat lgA berbentuk
granular intrapapilar. Pemfigoid bulosa berbeda dengan pemfigus
vulgaris karena keadaan umumnya baik, dinding bula tegang, letaknya
di subepidermal dan terdapat lgG linie8.
f. Penatalaksanaan
Tujuan terapeutik pada PV adalah mengontrol dan menyebuhkan
lesi dikulit, mencegah munculnya kekambuhan, meningkatkan kualitas
hidup pasien, serta meminimalkan efek samping pengobatan yang
serius karena penggunaan imunosupresif atau kortikosteroid jangka
panjang10.
 Non-Medikamentosa
a. Menjelaskan kepada pasien dan atau keluarga mengenai
penyebab, terapi dan prognosis penyakit.
b. Memberi edukasi cara merawat lesi kulit yang lepuh.
c. Menghindari penggunaan obat-obat tanpa sepengetahuan
dokter.
d. Meminimalisir trauma pada kulit karena dapat memperluas lesi
e. Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini merupakan
penyekit kronis dan mudah sekali kambuh
f. Menjelaskan kepada pasien mengenai dosis obat dan gejala
toksisitas obat sehingga mereka dapat melaporkan kepada
dokter dengan segera
g. Menjelaskan kepada pasien mengenai pentingnya perawatan
lesi yang eksudatif9.
 Medikamentosa
Pilihan terapi yang diberikan untuk kasus PV adalah terapi
topikal kortikosteroid dan terapi sistemik. Disesuaikan dengan luas
lesi, tanda Nikolsky sign, ada atau tidak lesi baru dan lesi oral
pada pasien dengan Terapi lini pertama: kortikosteroid sistemik,
dimulai dengan dosis 1 mg/kgBB/hari. Tapering dapat dilakukan
bila telah terdapat respon klinis yang baik. Pada keadaan klinis
yang berat dapat diberikan kortikosteroid terapi denyut. Cara
pemberian kortikosteroid secara terapi denyut (pulsed therapy):
metilprednisolon sodium suksinat i.v. selama 2-3 jam, 500-1000
mg. Atau injeksi deksametason atau metil prednisolon i.v 1 g/hari
selama 4-5 hari. Bila diperlukan dapat diberikan terapi ajuvan
sebagai steroid sparing agent: mikofenolat mofetil 2-2,5 g/hari 2
kali sehari, azathioprine 1-3 mg/kgBB/hari atau 50 mg setiap 12
jam namun disesuaikan dengan kadar TPMT, siklofosfamid (50-
200 mg/hari), dapson 100 mg/hari, imunoglobulin intravena 1,2-2
g/kgBB terbagi dalam 3-5 hari yang diberikan setiap 2-4 minggu
untuk 1-34 siklus, Rituximab (0,4 g/kgBB/hari selama 5 hari dan
dapat diulang sebagai monoterapi setiap 21 hari10.
Tatalaksana harus dilakukan segera setelah didiagnosis
meskipun lesi hanya sedikit, karena lesi akan cepat meluas dan
jika tidak ditatalaksana dengan baik prognosisnya buruk.
Tatalaksana pemfigus vulgaris dibagi dalam 3 fase, yaitu fase
kontrol, fase konsolidasi, dan fase maintenance
a. Fase Kontrol, adalah fase penyakit dapat dikontrol, terbukti
dari tidak terbentuknya lesi baru dan penyembuhan lesi yang
sudah ada4.
Direkomendasikan kortikosteroid dosis tinggi, umumnya
diberikan prednisone dan deksametason. Dosis prednison
bervariasi bergantung pada berat dan ringan dari penyakit,
yakni berkisar antara 60-150 mg/hari. Ada pula yang
menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagi pemfigus yang berat.
Pada dosis tinggi, sebaiknya diberikan deksametason scara
intramuskular atau intravena. Dosis harus di taper off segera
setelah lesi terkontrol. . Dosis harus di taper off segera setelah
lesi terkontrol. Selama terapi kortikosteroid dosis tinggi harus
dipantau risiko diabetes, infeksi, hipertensi, gangguan jantung
dan paru5.
Obat-obat imunosupresi, seperti azathioprine,
mycophenolate mofetil, methrotrexate, dan
cyclophosphamide, dikombinasi dengan kortikosteroid dosis
rendah dapat mengurangi efek samping kortikosteroid4.
b. Fase Konsolidasi
Merupakan fase terapi untuk mengontrol penyakit hingga
sebagian besar (sekitar 80%) lesi kulit sembuh, fase ini
dimulai saat berlangsung penyembuhan kulit hingga sebagian
besar lesi kulit telah sembuh. Lama fase ini hanya beberapa
minggu, jika penyembuhan lambat dosis terapi kortikosteroid
ataupun terapi adjuvan imunosupsresan perlu ditingkatkan5
c. Fase Maintenance
Fase ini dimulai saat sebagian besar lesi telah sembuh dan
tidak tampak lagi lesi baru. Pada fase ini dosis kortikosteroid
diturunkan bertahap, sekitar seperempat dosis setiap satu
hingga dua minggu. Penurunan yang terlalu cepat berisiko
memunculkan lesi kulit baru, penurunan yang terlalu lambat
meningkatkan risiko efek samping kortikosteroid. Jika pada
fase ini muncul lesi baru minimal dapat diberi kortikosteroid
topikal atau intralesi. Jika lesi jumlahnya banyak, dosis
kortikosteroid ditingkatkan 25-50%. Pada fase ini obatobat
imunosupresi perlu dibatasi karena mempunyai efek samping
infertilitas dan meningkatkan risiko kanker5.
g. Prognosis
Pemfigus vulgaris jika tidak diobati berisiko tinggi kematian,
sebagian besar disebabkan oleh sepsis dan gangguan keseimbangan
cairan. Penggunaan kortikosteroid akan mengurangi angka kematian
5% hingga 15%. Morbiditas dan mortalitas berkaitan dengan beratnya
penyakit, efek dosis maksimum kortikosteroid untuk mencapai remisi,
dan adanya infeksi lain. Kasus relaps umumnya terjadi pada 2 tahun
pertama4.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bullous Disease atau vesicobullous disease (penyakit kulit berlepuh) ialah
penyakit yang ditandai dengan terdapatnya lepuh (vesikel maupun bula)
pada kulit.
2. Berdasarkan patogenesisnya, penyakit kulit bulosa dapat dibagi menjadi
penyakit kulit bulosa autoimun dan non-autoimun. Kedua kondisi ini dapat
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi penyakit kulit bulosa intra epidermal
dan subepidermal
3. Pemfigus secara garis besar dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu pemfigus
vulgaris, pemfigus foliaceus, pemfigus herpetiformis, pemfigus
paraneoplatik dan pemfigus IgA3 dan Pemfigus vulgaris (PV) adalah
subtipe klinis yang paling umum dari pemfigus
4. Pemfigus vulgaris merupakan kelainan autoimun dengan manifestasi bulla
atau vesikel pada kulit dan mukosa. Penyebabnya adalah antibodi yang
menyerang desmoglein 1 dan desmoglein 3.
5. Prevalensi kasus 1-4 per 100.000 jiwa. Diagnosis berdasarkan manifestasi
klinis, gambaran histologi, dan uji imunologik.
6. Tatalaksana terbagi menjadi 3 fase, yaitu fase kontrol, fase konsolidasi,dan
fase maintenance
DAFTAR PUSTAKA
1. Yang, M. et al. The Patogenesis of Bullous Skin Diseases. Journal Elsevier. 2-
19;2.
2. Mellaratna, P, W. et al. Penegakan Diagnosis Pemfigoid Bulosa Pada
Penderita Non Hodgkin Lymphoma. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Malikussaleh. 2021;7(2):73-86.
3. Amining, F. et al. Case Of Pemphigus Vulgaris In 45-Year-Old Woman.
Jurnal Medical Profession (MedPro). 2020;2(2):112-117.
4. Wiliam, V. Pemfigus Vulgaris: Diagnosis dan Tatalaksana. CDK.
2016;43(12):905-908.
5. Wibawa, S, K. et al. Laporan Kasus: Pemfigus Vulgaris Dengan Hipertensi
Primer Dan Hipoalbuminemia. Ganesha Medicina Journal. 2022;2(2):90-103.
6. Mahadewi, R, A, K. et al. Pemfigus Vulgaris Pada Wanita Dewasa. Jurnal
Medika Udayana. 2014;3(8):1-8
7. Made, D, H. et al. Pemfigus Vulgaris Disertai Infeksi Methicillin Resistant
Staphylococcus Aureus: Sebuah Laporan Kasus. MDVI. 2019;46(4):182-187.
8. Menaldi, S. L. S. W., Bramono, K., Indriatmi, W. Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta : Badan Penerbit FKUI. 2016
9. PERDOSKI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit Dan
Kelamin Di Indonesia. Jakarta : Perdoski. 2017.
10. Earlia, N. et al. Pemfigus vulgaris: laporan kasus (Pemphigus vulgaris after
covid-19 vaccine: association or coincidence?). Jurnal Kedokteran Syiah
Kuala. 2022. ISSN : 1412-1026. E-ISSN : 25500112.
11. Corbaux, C. et al. Bullous Disease. Curr Probl Dermato. 2018;53:64-68.
12. Siddig, O. et al. The epidemiology of autoimmune bullous diseases in Sudan
between 2000 and 2016. 2021;16(7):1-11.
13. Sofwan, Y, N. et al. Profil Penyakit Bula Autoimun Di Klinik Rawat Jalan
Dermatologi Dan Venereologi Rsup Sanglah Denpasar Periode April 2016-
Desember 2017. MDVI. 2020;47(3):112-117.
14.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai