Anda di halaman 1dari 10

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2023


UNIVERSITAS HALU OLEO

IMPETIGO

OLEH :

M. Rilan Ampurama Ruslan, S.Ked


K1B122144

PEMBIMBING :

dr. Hj. Rohana Sari Suaib, Sp. KK

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan :

Nama : M. Rilan Ampurama Ruslan, S.ked

Stambuk : K1B122144

Judul Referat : Impetigo

Telah menyelsaikan tugas Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan

Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari, April 2023

Mengetahui

Pembimbing

dr. Hj. Rohana Sari Suaib, Sp.KK


IMPETIGO
M. Rilan Ampurama Ruslan, Rohana Sari Suaib

A. PENDAHULUAN

Secara klinis impetigo didefinisikan sebagai penyakit infeksi kulit yang

menular pada daerah superfisial yaitu hanya pada bagian epidermis kulit, yang

menyebabkan terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula) seperti

tersundut rokok/api. Di bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, penyakit ini

merupakan salah satu contoh pioderma yang sering dijumpai. Terdapat dua jenis

impetigo yaitu impetigo bulosa atau impetigo vesikobulosa yang disebabkan oleh

Staphylococcus aureus dan nonbulosa atau impetigo krustosa yang disebabkan oleh

Streptococcus pyogenes. Dasar infeksinya adalah kurangnya hygiene dan

terganggunya fungsi kulit. 1

Penyakit ini dapat berasal dari proses primer karena memang terjadi kerusakan

pada kulit yang intak (utuh) atau terjadi karena proses infeksi sekunder yang

disebabkan karena infeksi sebelumnya atau karena penyakit sistemik.1

Studi terakhir menemukan bahwa 50%–70% kasus disebabkan oleh S. aureus,

dengan sisanya dari S. pyogenes atau kombinasi dari kedua organisme ini.9

B. DEFINISI

Impetigo termasuk salah satu pioderma superfisial, yang terdiri dari 2 tipe,

yaitu impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa/krustosa/kontagiosa. Impetigo bulosa

merupakan infeksi bakteri lokal di lapisan epidermis kulit dengan manifestasi utama

berupa bula. Impetigo nonbulosa atau impetigo kontagiosa atau impetigo krustosa

merupakan infeksi bakteri lokal di lapisan epidermis kulit dengan gambaran klinis
vesikel atau pustula yang cepat pecah menjadi krusta berwarna kuning seperti madu

(honey-colored crusted plaque). 2

C. EPIDEMIOLOGI

Impetigo lebih sering terjadi pada bayi baru lahir dan bayi kurang dari 1 tahun,

tetapi juga dapat mengenai anak-anak. Impetigo bulosa terutama terjadi pada bayi

baru lahir, walaupun dapat juga terjadi pada semua umur. Impetigo bulosa tipe

neonatus merupakan tipe yang sangat mudah menular, dengan area tersering di wajah

dan tangan. Kejadian impetigo nonbulosa sebesar 70% dari kasus pioderma, dapat

terjadi pada anak maupun dewasa, dengan area tersering di wajah, leher, dan

ekstremitas. 2

S. Aureus adalah penyebab terbesar pada infeksi primer pyoderma dan SSTIs,

begitu pula menjadi infeksi sekunder dari berbagai penyakit kulit lainnya.10

D. ETIOLOGI

Impetigo nonbulosa paling sering disebabkan oleh S. aureus, namun bisa juga

oleh group A Streptoccocus atau keduanya. Impetigo bulosa disebabkan oleh S.

aureus strain memproduksi toksin eksfoliatif yang membelah desmoglein 1 pada

epidermis, sehingga terbentuk kumpulan bula, vesikel, dan atau pustul. 3

Infeksi kulit streptokokus β-hemolitik Grup A (tetapi bukan dari S. aureus)

terkadang diikuti oleh glomerulonefritis akut (AGN).9

Transmisi dari bakteri S. Aureus pada pasien didapatkan paling banyak

melalui kontak langsung dengan pasien dibandingkan melalui udara.10

E. FAKTOR PREDISPOSISI

1. Higiene yang kurang

2. Menurunnya daya tahan


Misalnya: kekurangan gizi, anemia, penyakit kronik, neoplasma ganas,

diabetes

melitus.

3. Telah ada penyakit lain di kulit

Karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit sebagai pelindung

akan terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi.4

F. PATOGENESIS

Kulit merupakan pertahanan tubuh pertama terhadap lingkungan. Adanya

homeostasis yang tidak seimbang antara mikroba kulit dengan pejamu berhubungan

dengan timbulnya impetigo bulosa. Impetigo bulosa disebabkan oleh exfoliatin

(extracelullar exfoliative toxin) Staphylococcus aureus tipe A dan B. Exfoliatin tipe A

bekerja sebagai serin protease dari desmoglein 1 (desmosomal chaderin). Sebuah

studi mengenai impetigo bulosa, pada 51% pasien didapatkan kultur positif

Staphylococcus aureus pada hidung dan tenggorok, dan 79% kultur disebabkan oleh

strain yang sama di kedua area tubuh tersebut. 1

G. MANIFESTAS KLINIS

Gejala dari impetigo krustosa adalah awalnya berupa warna kemerahan pada

kulit (makula) atau papul yaitu penonjolan padat dengan diameter < 0,5 cm berukuran

2-1 mm. Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul yaitu papula yang berwarna

keruh atau mengandung nanah yang mudah pecah dan menjadi papul dengan

keropeng atau koreng berwarna kulit madu dan lengket. Kira-kira berukuran < 2 cm

dengan

kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan sama sekali disekitarnya.5


Gambar 1. Impetigo krustosa

Gambar 2. Impetigo Bulosa

Pada impetigo bulosa keadaan umum tidak dipengaruhi. Tempat predileksi di

aksila, dada, punggung. Sering bersama-sama miliaria. Terdapat pada anak dan orang

dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula, dan bula hipopion. Kadang- kadang

waktu penderita datang berobat, vesikel/ bula telah memecah sehingga yang tampak

hanya koleret dan dasarnya masih eritematosa.4

H. DIAGNOSIS

Pada pasien impetigo nonbulosa ditemukan daerah wajah, terutama di sekitar

nares dan mulut. Lesi awal berupa makula atau papul eritematosa yang secara cepat

berkembang menjadi vesikel atau pustul yang kemudian pecah membentuk krusta

kuning madu (honey colour) dikeliling eritema. Lesi dapat melebar sampai 1-2 cm,
disertai lesi satelit di sekitarnya, rasa gatal dan tidak nyaman dapat terjadi. Gejala

sistemik yang dapat timbul adalah demam dan limfadenopati regional. 7

Pada pasien impetigo bulosa dapat ditemukan lesi pada daerah intertriginosa

(aksila, inguinal, gluteal), dada dan punggung. Lesi berupa Vesikel-bula kendur,dapat

timbul bula hipopion, tanda Nikolsky negatif. Bula pecah meninggalkan skuama

anular dengan bagian tengah eritematosa (kolaret) dan cepat mengering. 7

I. DIAGNOSA BANDING

1. Ektima

Ektima adalah penyakit kulit pioderma ulseratif yang disebabkan oleh

infeksi bakteri Streptococcus β-hemolyticus atau Staphylococcus aureus dan

dapat juga kombinasi dari keduanya yang mengenai lapisan epidermis dan

dermis membentuk ulkus dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis.8

2. Dermatofitosis

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat

tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang

disebabkan golongan jamur dermatofita . Jamur ini dapat menginvasi seluruh

lapisan stratum korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons

imun pejamu.4

J. TATALAKSANA

Penatalaksanaan kasus impetigo yang paling utama adalah pemberian

antibiotik secara topical. Antibiotic sistemik juga dapat diberikan jika lesi lebih luas

atau tidak adanya respon dengan tata laksana topikal.

 Antibiotik topikal
Sediaan topikal yang dapat digunakan pada kasus impetigo adalah mupirosin dan

asam fusidat topikal. Berikut ini adalah beberapa antibiotic topikal yang dapat

digunakan :

- Asam fusidat 2% topikal dapat dioleskan tipis- tipis pada lesi sebanyak 3 kali

sehari selama 7 – 12 hari

- Mupirosin 2% topikal dapat doleskan tipis- tipis pada lesi sebanyak 3 kali sehari

selama 7- 10 hari. Jika tidak ada respon klinis, dilakukan evaluasi ulang dalam 3-

5 hari.

- Retapamulin 1 % topikal dapat dioleskan tipis- tipis pada lesi sebanyak 2 kali

sehari selama 5 hari.

 Antibiotik sistemik

Antibiotik sistemik merupakan pilihan yang dapat digunakan pada impetigo yang

lesinya lebih luas atau tidak berespon dengan tata laksana dengan lini pertama, berikut

merupakan pilihan antibiotic yang dapat digunakan adalah :

1. Terapi lini pertama

a. cloxacillin/dicloxacillin untuk dewasa dengan dosis 4 x 250–500mg/hari

peroral, sedangkan untuk anak-anak dengan dosis 25–50 mg/kgBB/hari

terbagi dalam 4 dosis;

b. bila alergi terhadap penicillin dapat diberikan erythromycin 4x 250–500 mg,

oxycillin dan clavulanic acid untuk dewasa dengan dosis 3 x 250–500 mg/hari,

sedangkan untuk anak-anak dengan dosis 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3

dosis.

c. cephalexin 25–50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis.

2. Terapi lini kedua


a. azythromycin 1 x 500 mg (pada hari pertama), dilanjutkan 1 x 250 mg (pada

hari ke-2 sampai ke-5);

b. clindamycin 15 g/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis; dan

c. erythromycin untuk dewasa dengan dosis 4 x 250–500 mg/hari, sedangkan

untuk anak-anak dengan dosis 25–50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis.2,7

K. KOMPLIKASI

Komplikasi kasus impetigo yang paling sering adalah :

Komplikasi yang dapat terjadi akibat impetigo bulosa dan impetigo

nonbulosa adalah selulitis, sepsis, limfangitis, limfadenitis, bakteremia, dan

post streptococcal glomerulonephritis (PSGN). PSGN adalah komplikasi yang

serius dan lebih sering timbul pada infeksi yang disebabkan oleh

streptococcus. PSGN dapat terjadi pada 2–5% pasien dengan impetigo

nonbulosa (10–15% disebabkan oleh nephritogenic strains of streptococcus)

dan menetap hingga 2 minggu. Gejalanya dapat berupa bengkak wajah,

terutama sekitar mata, oliguria, hematuria, peningkatan tekanan darah.2

L. PROGNOSIS

Impetigo bulosa dan nonbulosa dapat sembuh tanpa pengobatan dalam 2–3

minggu tanpa sekuele. Walaupun demikian, pemberian terapi pada kasus impetigo

bulosa akan mempercepat penyembuhan pasien dan menurunkan risiko penyebaran

infeksi.2

M. PENCEGAHAN

Pencegahan timbulnya impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa dapat

dilakukan dengan menjaga higiene perorangan dan lingkungan, serta menghindari

faktor predisposisi dan memperbaiki faktor komorbiditas yang ada. Mencuci tangan

dengan air hangat dan sabun antibakteri, serta mandi teratur akan menurunkan risiko
infeksi. Pasien dengan impetigo harus membersihkan handuk dan peralatan pribadi

dengan rutin. Pada anak-anak, peralatan pribadi termasuk mainan anak-anak juga

harus dilakukan pencucian secara rutin.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Yuningsih. 2022. Bahan Mata Ajar KMB II. Bandung : Widina Bhakti

2. Nurul Hidayati, dkk. 2019. Infeksi Bakteri di Kulit. Surabaya : AUP

3. Harlim, Ago. 2019. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Jakarta : FK UKI

4. Kusumo, I. D. (2022). Tinjauan Atas Pioderma. Cermin Dunia Kedokteran, 49(4),

207-211.

5. Amalia, Isnaini Rosydatul. 2016. Perbedaan Antara Pemberian Ekstrak Rimpang Jahe

Merah (Zingiber Officinale Var Rubrum Rhizoma) Dan Antibiotik Ceftriaxon

Terhadap Pertumbuhan Streptococcus Pyogenes Dengan Metode Dilusi. Skripsi. FK

UWKS

6. Harlim, ago. 2017. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Dasar Diagnosis

Dermatologi. Jakarta : FK UKI

7. Widaty, Sandra dkk,. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit Dan

Kelamin Di Indonesia. Jakarta : PERDOSKI

8. Wiratama, I., Ismail, S., & Sabir, M. (2020). Ektima Pada Perempuan Usia 73

Tahun: Laporan Kasus. Jurnal Medical Profession (Medpro), 2(1), 14-17.

9. James, D William. 2020. Andrews Disease Of The Skin Clinical Dermatology. China

: Elsevier

10. Kang, Sewon et all,.2019. Fitzpatrick Dermatology 9Th Edition. New York : Mc

Graw Hill Education

Anda mungkin juga menyukai