Disusun Oleh:
N 111 20 062
Pembimbing Klinik:
2022
i
HALAMAN PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako.
Bagian Anestesiologi
RSUD ANUNTALOKO PARIGI
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Analgesi adalah kata yang berarti hilangnya atau bebas dari nyeri. Istilah ini pada
masa kini menunjukkan makna ganda. Pertama, untuk menunjukkan proses penderita
bebas dari nyeri tanpa kehilangan kesadaran. Kedua, dipergunakan oleh beberapa pakar
dalam kaitannya dengan istilah anestesi untuk menunjukkan anestesi lokal atau regional
obat analgesi dibagi ke dalam dua kelompok yakni golongan NSAID dan golongan
opioid, yang bekerja di perifer atau sentral, sedangkan obat untuk melakukan analgesi
lokal adalah kelompok obat analgesi lokal, seperti prokain, lidokain dan bupivakain.1
Hipnosis mempunyai makna kata berupa keadaan menjadi tidur. Seringkali
hipnosis diartikan sebagai komponen pertama trias anestesi. keadaan tak sadar, tidur
secara farmakologik yang tetap bereaksi terhadap nyeri dengan reflek penarikan diri atau
reflek otonomik, jika penderita tidak cukup di berikan analgetik. Hipnosis adalah istilah
yang ditimbulkan oleh hipnotism, yakni penurunan sifat kritis seseorang akibat
hipnotism.1
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang. Fraktur dibagi atas dua, yaitu
fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup (simple) yaitu bila kulit yang tersisa
diatasnya masih intak (tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar), sedangkan fraktur terbuka (compound) yaitu bila kulit yang melapisinya tidak intak
dimana sebagian besar fraktur jenis ini sangat rentan terhadap kontaminasi dan infeksi2.
Fraktur collum atau neck (leher) femur adalah tempat yang paling sering terkena
fraktur pada usia lanjut. Ada beberapa variasi insiden terhadap ras. Fraktur collum femur
lebih banyak pada populasi kulit putih di Eropa dan Amerika Utara. Insiden meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien adalah wanita berusia tujuh
puluh dan delapan puluhan. Namun fraktur collum femur bukan semata-mata akibat
penuaan. Fraktur collum femur cenderung terjadi pada penderita osteopenia diatas rata-
rata, banyak diantaranya mengalami kelainan yang menyebabkan kehilangan jaringan
tulang dan kelemahan tulang, misalnya pada penderita osteomalasia, diabetes, stroke, dan
alkoholisme. Beberapa keadaan tadi juga menyebabkan meningkatnya kecenderungan
terjatuh. Selain itu, orang lanjut usia juga memiliki otot yang lemah serta keseimbangan
yang buruk sehingga meningkatkan resiko jatuh2.
Subarachnoid Spinal Block, sebuah prosedur anestesi yang efektif dan bisa
digunakan sebagai alternatif dari anestesi umum. Umumnya digunakan pada operasi
bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah, perineum, atau abdomen bawah.3,4
Pada laporan ini akan membahas tentang pemberian anestesi pada pasien yang
dilakukan tindakan pro hemiarthroplasty.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Coxitis
A. Definisi
5
C. Gambaran Klinis
Perjalanan klinis coxitix TB berlangsung lambat dan
kronik.keluhan biasanya ringan dan makin lama makin berat disertai
perasaan lelah pada sore dan malam hari, subfebris dan penurunan
berat badan, keluhan yang lebih berat seperti panas tinggi, malaise,
keringat malam, anoreksi biasanya bersamaan dengan TB
milliar.Gejala-gejala dari coxitis TB tergantung dari derajat
patologis yang terjadi. Pada tingkat awal, gejala sangat minimal,
mungkin hanya ditemukan nyeri dan pembengkakan sendi panggul
penderita sedikit pincang. Pada tingkat selanjutnya pembengkakan
dan nyeri bertambah berat dan terdapat deformitas sendi. Pada
stadium ini, pincang merupakan kelainan yang sering ditemukan dan
dapat pula ditemukan atrofi otot. Dalam keadaan yang lanjut dan
berat, pasien sukar menggerakkan dan mengangkat tungkai pada
sendi panggul yang terkena , disertai rasa sakit yang sangat
mengganggu disekitar paha dan daerah pinggul tersebut
II. Artroplasti
Arthroplasty adalah suatu prosedur pembedahan penggantian komponen
sendi dengan implan prostetik. Arthroplasti saat ini menjadi pilihan utama terapi
pembedahan pada fraktur collum femoris (Neck of Femur) serta osteoarthritis
stadium lanjut, khususnya pada penderita usia tua. Pada umumnya, teknik
arthroplasti dibagi menjadi dua yaitu dengan pemberian semen tulang (cemented
arthroplasty) atau tanpa semen tulang (noncemented arthroplasty). Kedua teknik
tersebut memiliki keuntungan dan kerugian masing – masing. Namun, secara
umum pada penderita usia lebih tua akan lebih menguntungkan menggunakan
teknik Arthroplasti dengan pemberian semen tulang11.
Terdapat dua jenis artroplasti, yaitu artroplasti eksisi (Gridlestone) dimana
sendi palsu dibentuk dengan cara eksisi kaput femur dan ruangan sendi diisi
dengan massa jaringan lunak (otot gluteus medius). Selanjutnya pemakaian
protesis, dimana ada dua jenis yaitu half joint replacement arthroplasty dan total
replacement arthroplasty. Half joint arthroplasty adalah penggantian salah satui
bagian tulang sendi dengan alat sintesis, total joint arthroplasty adalah suatu
operasi penggantian kaput dan permukaan sendi secara total, biasanya dilakukan
pada sendi panggul, lutut, atau siku dan bahu.
6
III. Anestesi Spinal
Disebut juga spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi karena
deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok saraf yang
spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan
otonom.
Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya
temperatur, sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi
motoris dan proprioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut dibawa oleh
serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya terhadap obat anestesi lokal. Oleh
sebab itu ada obat anestesi lokal yang lebih mempengaruhi sensoris daripada
motoris. Blokade dari medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah
sephalad.Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif)
paling resisten dan kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan
konsentrasi tinggi obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut.Level
blokade otonom 2 atau lebih dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi
kulit, sedangkan blokade motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level
analgesi.6
7
b) Kontra Indikasi Absolut
Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal.6
1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk
pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan
medulla spinalis.
2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.
3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak
bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal.
4. Bila pasien menolak.
5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk
jarum spinal.
6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernisiosa,
neurosyphilys, dan porphiria.
7. Hipotensi.
d) Anatomi
Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal,
5 sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena
ditakutkan menusuk medulla spinalis saat penyuntikan, maka spinal anestesi
umumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan epidural berakhir
di vertebra S2.6
Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi
medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut7:
1. Ligamentum supraspinosum.
2. Ligamentum interspinosum.
3. Ligamentum flavum.
4. Ligamentum longitudinale posterior.
8
5. Ligamentum longitudinale anterior.
9
mengurangi komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal headache),
dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan
menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan
subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal
analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter
sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah,
masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan
obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan.
Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik
obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing
(Meningismus).
10
4) High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi
termasuk segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.
11
Perawatan Pascabedah4
1) Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam pascabedah.
2) Minum banyak, 3 lt/hari.
3) Cegah trauma pada daerah analgesi.
4) Periksa kembalinya aktifitas motorik.
5) Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.
6) Cegah sakit kepala, mual-muntah.
7) 7.Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada
kemungkinan penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi.
Komplikasi sirkulasi12:
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi.
Biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga
tekanan darah perlu diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan,
sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika
tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau terdapat
gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka kita harus bertindak cepat
untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi
karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat
hipotensi12.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan
anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti
efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal total dengan
anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus
melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru, serta berikan
12
penanganan seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini, biasanya blok
spinal total dapat diatasi dalam 2 jam12.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit,
berikan atropin 0,5 mg intravena12.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi
anestesi spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal
biasanya akan memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila
pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital
dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan
oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin
besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat
dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh
menggunakan satu bantal) selama 24 jam12.
Nyeri sakit kepala PDPH menurut Crocker (1976) dikelompokkan
menjadi 4 skala yakni:
Nyeri kepala ringan yang memungkinkan periode lama untuk duduk
/berdiri dan tanpa ada gejala tambahan lain.
Sakit kepala sedang, yang membuat pasien tidak dapat bertahan berada
pada posisi tegak lurus selama lebih dari setengah jam. Biasanya di
sertai dengan mual, muntah dan gangguan pendengaran dan
penglihatan.
Sakit kepala berat yang timbul segera ketika beranjak dari tempat tidur,
berkurang bila berbaring terlentang di tempat tidur. Sering disertai
dengan mual, muntah, gangguan penglihatan dan pendengaran.
Nyeri kepala sangat berat yang timbul bahkan ketika penderita sedang
berbaring terlentang di tempat tidur dan bertambah makin berat bila
duduk atau berdiri, untuk makan tidak mungkin dilakukan karena mual
dan muntah.12
13
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan
PDPH, baik invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim
anestesi. Walaupun tidak semuanya didukung oleh evidence based
yang lengkap, tetapi kebanyakan telah diterima dengan baik oleh
berbagai kalangan anestesiolog. Terapi non-invasif meliputi tirah
baring, status hidrasi, posisi, ikatan abdominal, analgesia, dan obat-
obat farmakologis lain seperti kaffein intravena, theophylline, dsb.
Terapi invasif meliputi Epidural Blood Patch dan Epidural Dextran.12
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen
abdomen, pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga
pasien tetap supine akan mengurangi tekanan hidrostatik yang
mendorong cairan keluar dari lubang dura dan meminimalkan nyeri
kepala. Medikasi analgesia bisa berkisar dari asetaminofen sampai
NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja menstimulasi produksi CSF.
Kaffein membantu dengan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah intrakranial. Salah satu yang menjadi faktor penentu terjadinya
PDPH adalah status hidrasi pasien, dimana konsep hidrasi pada PDPH
masih banyak salah dimengerti. Tujuan dari hidrasi adalah untuk
memastikan kecepatan produksi CSF optimal, dimanaselama 10 menit.
Bila terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt Test
positif dan pasien masih belum terhidrasi dengan cukup.12
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat
efektif terhadap PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah
autologous ke ruang epidural pada, satu interspace dibawahnya atau
pada tempat tusukan dura. Hal ini dipercaya akan menghentikan
kebocoran yang terjadi pada CSF oleh karena efek massa atau
koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau beberapa jam setelah
tindakan ketika produksi CSF secara perlahan akan meningkatkan
tekanan intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien akan
memberikan respon terhadap tindakan blood patch ini12.
4. Komplikasi Respirasi
a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.
14
b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok
spinal tinggi.
c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,
merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu
segera ditangani dengan pernafasan buatan10.
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi
lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat
pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-
48jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada
orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat12.
15
BAB III
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 50 kg
Tinggi badan : 155 cm
Alamat : Parigi
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Diagnosa Pra bedah : Coxitis Hip Joint
Jenis pembedahan : Artroplasti hip dextra gridlestone prosedur
Tanggal operasi : 14 Januari 2022
Jenis anestesi : Regional Anestesi Subarachnoid Block
Anestesiology : dr. Muhammad Nahir Sp.An
Ahli bedah : dr. Angga M.Kes, Sp.OT
A. S-O-A-P
1. Subjektif :
Keluhan Utama : Nyeri pada panggul sebelah kanan
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien laki-laki berusia 47 tahun datang ke RSUD
ANUNTALOKO dengan keluhan nyeri pada panggul kanan, dan lebih terasa
dibagian paha atas ke panggul yang dirasakan sejak 1 minggu sebelum masuk RS.
Pasien mengatakan sebelumnya pernah mengalami panas tinggi, hingga berkeringat
pada malam hari.
Keluhan penyerta : Anemia (+) demam (-) mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-),
sakit kepala (-), pusing (-). Batuk (-), flu (-), BAB terakhir kemarin, BAK dalam
batas normal.
Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat Penyakit Jantung (-)
- Riwayat Penyakit Hipertensi (-)
16
- Riwayat Diabetes Melitus (-)
- Riwayat Penyakit Asma (-)
- Riwayat Alergi Obat (-)
- Riwayat Alergi Makanan (-)
- Riwayat Trauma atau Kecelakaan (+)
- Riwayat Merokok (-)
- Riwayat Kejang (-)
- Riwayat Konsumsi Obat-obatan (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat Penyakit DM : tidak ada
- Riwayat Penyakit Alergi : tidak ada
- Riwayat Penyakit Asma : tidak ada
- Riwayat Penyakit Hipertensi : tidak ada
- Lain-lain : tidak ada
2. Objektif :
Pemeriksaan Fisik : (B1-B6)
B1 (Breath)
- Gigi Palsu (-) Gigi Goyang (-) gigi ompong(-) gigi lubang (-).
- Mallampati Score : 1
- Leher pendek (-)
- Airway paten (tidak ada sumbatan).
- Inspeksi : Pengembangan dada simetris, retraksi (-)
- Palpasi : Vokal Fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi : Bunyi napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
- RR : 22 x/menit.
B2 (Blood)
- Akral : Hangat
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Tekanan darah : 110/80 mmHg
17
- Nadi : 88 x/menit, reguller, dan kuat angkat
B3 (Brain)
- Kesadaran : Compos Mentis, GCS = E4M6V5
- Reflex cahaya : (+/+)
- Suhu : 37,2 ˚C
- VAS :4
B4 (Bladder)
- BAK lancar seperti biasanya, berwarna kuning, nyeri berkemih (-)
B5 (Bowel)
- Inspeksi : Tampak perut kesan normal, tidak terdapat jejas
- Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal, bising usus (-)
- Perkusi : Bunyi timpani seluruh regio
- Palpasi : Nyeri tekan epigastric (+) Rovsing sign (-), Massa (-),
- BAB Lancar
Pemeriksaan Penunjang
18
Hematokrit 32,4 36-47%
MCV 84,8 81-99 fL
Pemeriksaan Radiologi
Foto Femur Dextra :
Kesan :
Dislokasi dan erosi caput femoris kanan
Foto thorax :
Kesan :
- Corakan bronkovaskuler kedua paru dalam batas normal
- Cor. Ukuran dalam batas normal
- Tidak tampak infiltrate maupun nodul metastasis
3. Assesment
Status fisik ASA ps kelas II
Rencana anestesi : Regional anestesi
Diagnosis pra-bedah : Coxitis Hip Joint
19
4. Plan
Jenis anestesi : Regional Anestesi
Teknik anestesi : SAB (Subarachnoid Block Anastesi)
Regimen : Bupivacain 0,5% 15 mg
Jenis pembedahan : Artroplasti hip dextra gridlestone prosedur
20
Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
S Scope LaringoScope : pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
21
7. Prosedur Regional Anestesi :
a. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kiri dengan cairan ringer
laktat 20 tpm menggunakan infus set
b. Memasang monitor untuk melihat tekanan darah, heart rate, saturasi oksigen dan laju
respirasi.
c. Pre Oksigenasi O2 via nasal canule 3 lpm
d. Diberikan obat premedikasi yaitu Ondansentron 4 mg, Midazolam 1 mg, fentanyl
100 mcg
e. Spinal Anestesi : Pasien diposisikan duduk, Identifikasi Interspace vertebrata.
Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan vertebrata
merupakan lumbal 3-4, setelah itu lumbal 3-4 di desinfeksi dengan betadine dan
alcohol.
f. Cara tusukan dengan median atau paramedian. Tusukan jarum spinal dengan nomor
26 G setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar LCS
(+) mengalir dan darah (-), lalu pasang spuit berisi obat dan maskan obat
(Bupivacain 0,5% 15 mg) pelan-pelan (0,5 mL/detik) diselingi sedikit aspirasi, untuk
memastikan posisi jarum tetap baik.
g. Pasien diposisikan kembali dalam posisi supine
h. Maintenance : O2 3 L/menit, Ephedrine 10 mg.
i. Operasi selesai pasien ditransfer ke recovery room
8. Laporan Anestesi
a) Diagnosis pra-bedah : Coxitis Hip Joint
b) Diagnosis post-bedah : Coxitis Hip Joint Post Pro Artroplasti
c) Jenis pembedahan : Pro Artroplasti (gridlestone presedur)
d) Anestesiologi : dr. Muhammad Nahir, Sp.An
e) Ahli Bedah : dr. Angga, M.Kes Sp.OT
22
j) Medikasi Tambahan : Ondansentron 8 mg
Dexametasone 10 mg
Asam Tranexamat 1 gr
k) Maintenance : O2 3 lpm,
l) Posisi : Miring ke kanan
m) Anestesi mulai : 11.15 WITA
n) Operasi mulai : 11.25 WITA
o) Selesai operasi : 11.20 WITA
p) Lama Operasi : 1 jam 10 menit
q) Lama anastesi : 1 jam 15 menit
r) Cairan yang masuk durante operasi : Ringer Laktat 500cc
s) Perdarahan : + 100 cc
23
Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi
Darah (x/menit) Oksigen
(mmHg) (%)
25
Stress Operasi (Operasi sedang) =
6 ml/kgBB/jam x BB (kg)
= 6 ml/kgBB/jam x 50 kg
= 300 ml/jam (5 cc/menit)
Keseimbangan cairan
= Cairan masuk – (Kebutuhan Cairan selama
operasi+Puasa)
= 1500 ml – (650 + 664 ml)
= 186 ml
9. Post Operatif :
26
a. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 95 kali per menit
Pernafasan : 21 x per menit
SpO2 : 99%
Bromage score : 1 (pasien tidak dapat menekuk lutut tetapi dalam mengangkat kaki)
Bila Bromage Score ≤ 2 boleh pindah ruangan
BAB IV
PEMBAHASAN
27
Pada kasus ini pasien laki-laki usia 47 tahun dengan diagnosis Coxitis Hip Joint
dilakukan operasi Artroplasti (gridlestone preosedur). Tindakan yang digunakan pada
operasi ini yaitu, anestesi regional menggunakan spinal anesthesia blok atau
subarachnoid blok.
Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid .
Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul,
tindakan sekitar rektum dan perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi, bedah
abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas inferior.
Sebelum dilakukan tindakan operasi, dilakukan evaluasi pra-anestesia yang meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik
ASA dan risiko operasi. Pada pasien ini termasuk ASA II karena, pasien memiliki
penyakit sistemik yang ringan.
American Society of Anestesiology (ASA) 2020 membuat klasifikasi status fisik pra-
anestesi menjadi 6 kelas yaitu :7
Contoh
Contoh Dewasa, Contoh Anak,
Klasifikasi Kehamilan,
Definisi Termasuk, tapi Termasuk, tapi
ASA Termasuk, tapi
tidak terbatas tidak terbatas
tidak terbatas
pada: pada:
pada:
ASA I Pasien sehat Sehat, tidak Sehat (tidak ada
yang normal merokok, penyakit akut
tidak/atau atau kronis),
penggunaan BMI normal
alcohol yang persentil untuk
minimal usia
28
(30 <BMI <40), epilepsi yang yang parah,
DM / HTN terkontrol dengan Diet DM
terkontrol dengan baik, noninsulin Gestasional yang
baik, penyakit diabetes terkontrol.
paru-paru yang mellitus, BMI
ringan abnormal
persentil untuk
usia, OSA ringan
/ sedang, status
onkologis dalam
remisi, autisme
dengan
keterbatasan
ringan
ASA III Pasien Batasan Kelainan jantung Preeklamsia dengan
dengan fungsional yang kongenital stabil gambaran berat,
Penyakit substansial; Satu yang tidak DM gestasional
sistemik atau lebih terkoreksi, asma dengan komplikasi
yang berat penyakit sedang dengan atau kebutuhan
hingga berat. DM eksaserbasi, insulin yang tinggi,
atau HTN yang epilepsi yang penyakit
tidak terkontrol, tidak terkontrol, trombofilik yang
COPD, obesitas diabetes mellitus membutuhkan
morbiditas (BMI yang tergantung antikoagulasi.
≥40), hepatitis insulin, obesitas
aktif, morbid,
ketergantungan malnutrisi, OSA
atau berat, status
penyalahgunaan onkologis, gagal
alkohol, alat pacu ginjal, distrofi
jantung implan, otot, fibrosis
pengurangan kistik, riwayat
fraksi ejeksi transplantasi
29
sedang, ESRD organ,
yang menjalani malformasi otak /
dialisis terjadwal sumsum tulang
secara teratur, belakang,
riwayat IM, CVA hidrosefalus
(> 3 bulan), TIA, simptomatik,
atau CAD / stent. PCA bayi
prematur <60
minggu, autisme
dengan
keterbatasan
berat, penyakit
metabolik,
kesulitan jalan
napas,
penggunaan
nutrisi parenteral
jangka panjang.
Bayi cukup bulan
usia <6 minggu.
30
ancaman yang parah, ensefalopati peripartum dengan
seumur pengurangan hipoksia-iskemik EF <40, penyakit
hidup fraksi ejeksi yang akut, syok, jantung tidak
berat, syok, sepsis, sepsis, koagulasi terkoreksi /
DIC, ISPA atau intravaskular dekompensasi,
ESRD yang tidak diseminata, didapat atau
menjalani dialisis defibrilator bawaan.
terjadwal secara kardioverter
teratur implan otomatis,
ketergantungan
ventilator,
endokrinopati,
trauma berat,
gangguan
pernapasan berat,
keadaan
onkologis lanjut.
ASA V Seorang Aneurisma Trauma masif, Ruptur uteri
pasien yang abdomen / toraks perdarahan
sekarat atau yang pecah, intrakranial
keadaan trauma masif, dengan efek
beratdan perdarahan massa, pasien
diperkirakan intrakranial yang
tidak akan dengan efek membutuhkan
selamat massa, iskemik ECMO, gagal
tanpa operasi usus saat atau henti
menghadapi pernapasan,
kelainan jantung hipertensi
yang signifikan maligna, gagal
atau disfungsi jantung kongestif
multi organ / / dekompensasi,
sistem ensefalopati
hepatik, iskemik
usus
31
ataudisfungsi
multi organ /
sistem.
ASA VI Seorang pasien yang terkonfirmasi mengalami kematian batang otak yang
organnya akan diambil untuk tujuan donor
32
Keuntungan anestesi regional adalah penderita tetap sadar, sehingga refleks jalan napas tetap
terpelihara. Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang aman, terutama pada operasi di
daerah umbilikus ke bawah. Waktu prosedur analgesia spinal juga lebih singkat, relatif
mudah, dan efek analgesia lebih nyata (kualitas blok motorik dan sensorik yang baik), serta
mulai kerja dan masa pulih yang cepat dari anestesi jenis ini.
Pada anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi absolut
diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia berat, syok
hipovolemia, koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan, tekanan intrakanial meninggi,
fasilitas resusitasi minim, kurang pengalaman / tanpa didampingi konsultan anestesi.
Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi infeksi sitemik (sepsis, bakteremi), infeksi sekitar
tempat suntikan, kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung,
hipovolemia ringan, nyeri punggung kronis. Pada pasien ini tidak terdapat kontraindikasi
absolute dan relatif untuk dilakukan anestesi spinal.
Persiapan anestesi spinal pada dasarnya seperti persiapan pada anestesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diperiksa untuk menilai apakah ada kesulitan, misalnya ada
kelainan anatomis tulang punggung (scoliosis atau kifosis) atau pasien yang memiliki berat
badan lebih (obesitas) sehingga sulit meraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu
diperhatikan informed consent atau izin dari pasien dan keluarga, kita tidak boleh memaksa
pasien untuk menyetujui anestesia spinal, memberikan informasi tentang tindakan anestesi
spinal meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan
fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya
kontraindikasi seperti infeksi. Pemeriksaan laboratorium anjuran : Darah lengkap. Pasien ini
33
sudah menyetujui untuk dilakukan tindakan anestesi spinal. Pada pemeriksaan fisik tidak
ditemukan adanya kelainan bentuk pada tulang belakang ataupun fraktur ditulang belakang.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus disiapkan secara lengkap untuk monitor
pasien (tekanan darah, nadi, oksimetri dan EKG), pemberian anestesi umum, dan tindakan
resusitasi. Jarum spinal (Spinocan) dan obat anestesi spinal juga harus disiapkan. Jarum
spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G
sampai dengan 30G. Pada pasien ini digunakan jarum dengan ukuran 26 G.
Ada dua golongan besar obat anesthesi regional berdasarkan ikatan kimia, yaitu
golongan ester dan golongan amida. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun
hanya berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi lokal ini adalah
menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja obat anestesi
ini adalah di membran sel. Obat anestesi yang sering dipakai adalah bupivakain. Lidokain 5%
sudah ditinggalkan karena mempunyai efek neurotoksisitas, sehingga bupivacain menjadi
pilihan utama untuk anestesi spinal saat ini. Bupivacaine memiliki potensi 3-4 kali dari
lidokain dan lama kerjanya 2-5 kali dari lidokain. Dosis maksimal 2 mg/kg BB.
Efek samping yang dapat ditimbulkan dari penggunaan bupivacain ini cukup serius,
terutama jika penggunaannya tidak oleh tenaga ahli. Efek samping yang perlu diwaspadai
adalah efek samping sistem saraf pusat dan kardiovaskuler yang diantaranya adalah
hipotensi, bradikardia, hipertensi, takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel. Pada pasien
digunakan obat anestesi golongan amida yaitu Bupivacain 0,5% dengan dosis 12.5 mg via
spinocan 26 G.
Selanjutnya pasien diberikan obat injeksi midazolam 2 mg, dikarenakan nadi pasien
yang meningkat dan juga pasien terlihat cemas gelisah dan tidak dapat tidur. Midazolam
merupakan golongan benzodiazepine yang larut air yang mampu menurunkan tingkat
kecemasan yang biasa digunakan untuk premedikasi. Midazolam dosis 1-2,5mg IV efektif
sebagai sedsasi selama regional anestesi. Dibanding dengan diazepam, midazolam memiliki
onset cepat, amnesia lebih baik, dan sedasi post operasi yang lebihi rendah namun waktu
pulih sempurna tetap sama..
Pada pasien ini, saat operasi berjalan pasien diberikan cairan Nacl 0,9% 150 cc, Ringer
Laktat 500 cc Total pemberian cairan 650 cc. Berdasarkan keterangan tersebut, maka
Estimasi Blood Volume (EBV) 3900 cc. Pendarahan selama operasi ± 250 cc
Operasi berlangsung selama 1 jam 40 menit. Pasien kemudian dipindahkan ke ruang
pemulihan (Recovery Room) dilakukan pemantauan di ruang recovery room. Saat di evaluasi
34
selama kurang lebih 1 jam di dapatkan tekanan darah 120/80, nadi 86 kali permenit,
pernafasan 21 x permenit, Bromage Score nilainya 2 sehingga pasien dapat di pindahkan ke
ruangan. Untuk penilaian Bromage Score, nilai 0 pasien dapat melakukan gerakan penuh
pada tungkai bawah, nilai 1 pasien tidak dapat menekuk lutut tetapi dalam mengangkat kaki,
nilai 2 pasien tidak dapat mengangkat tungkai bawah tetapi masih dapat menekuk lutut, dan
pada nilai 3 pasien tidak dapat mengangkat kaki sama sekali. Pasien dapat di pindahkn ke
ruangan jika score kurang dari 2.
BAB V
KESIMPULAN
35
1. Berdasarkan hasil pra operatif dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang tersebut, maka dapat di simpulkan status pasien pra anestesi American
Society of Anestesiology (ASA) pada pasien dikategorikan sebagai pasien ASA PS
kelas II
2. Pada pasien ini dilakukan jenis anestesi dengan regional anastesi dengan Teknik
Spinal dimana sesuia dengan salah satu indikasi dilakannya tindakan anastesi spinal
yaitu bedah abdomen bawah. Keuntungan anestesi regional adalah penderita tetap
sadar, sehingga refleks jalan napas tetap terpelihara. Waktu prosedur analgesia spinal
lebih singkat, relatif mudah, efek analgesia lebih nyata (kualitas blok motorik dan
sensorik yang baik), mulai kerja dan masa pulih yang cepat.
3. Setelah operasi selesai pasien di pindahkan ke Recovery room dan dilakukan
monitoring sampai keadaan pasien stabil dan dilakukan penilaian , Bromage Score
dengan hasil ≤ 2 sehingga pasien dapat di pindahkan ke ruangan.
36